see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Jumat, 21 Agustus 2015

Pendidikan Tinggi Pemasok Buruh Ahli

Disusun Oleh:
Martinus Radityo Adi
Pengantar                 
            Kakak saya cukup berpengaruh pada keputusan saya untuk kuliah dengan cerita-cerita seputaran dinamika kampus yang sedang dia jalani waktu itu. Sejak tahun 2002 saya sudah mendapatkan kesempatan untuk mengenyam atmosfir pendidikan tinggi di Universitas Sanata Dharma. Ketika sambil lalu saya perhatikan dinamika mahasiswa di Universitas Sanata Dharma, ada beberapa fenomena yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mahasiswa di universitas ini memang sangat beragam, dari latar belakang yang bisa dikatakan Indonesia kecil, mungkin dari Sabang sampai Merauke semua ada. Perilaku mahasiswanya pun sangat beragam. Dari yang disiplin sampai yang leda-lede pun ada. Namun saya yakin, bahwasannya fenomena di Universitas Sanata Dharma bisa sedikit banyak mewakili apa yang terjadi di universitas-universitas lain. Bahkan mungkin saja di universitas lain lebih dinamis.
            Ada pola yang berbeda dari perilaku akademis mahasiswa dari masa ke masa. Sampai pada tahun 2000-an, mahasiswa cenderung santai dan rileks dalam menempuh masa studinya sehingga banyak dari mahasiswa ini yang menyandang gelar 'Mapala' yang mempunyai maksud 'mahasiswa paling lama'. Uniknya, mahasiswa yang tergabung dalam UK Mapala (Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam) kebanyakan akan menyandang gelar yang sama -Mapala (Mahasiswa Paling Lama). Sedang pada tahun setelah 2000, mahasiswa cenderung lulus dengan lebih cepat.
            Pola mahasiswa yang berubah ini sedikit banyak terpengaruh dari kebijakan kampus itu sendiri. Di Universitas Sanata Dharma misalnya, kalau tidak salah ingat, semenjak tahun 2004 mahasiswa diberikan waktu studi maksimal 5 tahun. Jika mahasiswa tidak mampu menyelesaikan studi mereka dalam waktu yang disediakan oleh pihak kampus, maka mereka harus mempersiapkan diri untuk menyandang gelar 'DO' atau Drop Out (walau banyak dari mahasiswa ini menerima “kebebasan bersyarat” dari kampus). Biasanya, untuk mahasiswa yang mengalami peristiwa naas tersebut pihak kampus akan memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk mengundurkan diri. Cara ini dianggap lebih persuasif, manusiawi, dan egaliter dari pada pihak kampus menjatuhkan vonis 'DO' yang mengerikan kepada mahasiswa naas tersebut.
            Kebijakan kampus yang dikeluarkan dalam rangka pendidikan ini terkait di beberapa wilayah antara lain; masyarakat, pemerintah dan permintaan pasar. Dalam arti lain, pendidikan menjadi bahan tarikan di ke-tiga wilayah tersebut. Sedangkan, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan pendidikan nasional. Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah euforia tentang pasar bebas, yang memang tidak bisa dipungkiri, pemerintah merespon positif akan hal tersebut.
            Pasar bebas sangat membutuhkan tenaga-tenaga ahli siap pakai untuk mengikuti bahkan berakselerasi dalam sistem pasar antara lain produksi, distribusi, dan konsumsi dalam persaingan tingkat internasional. Oleh karena itu, negara-negara pemuja pasar bebas akan mengkonstruksi kebijakan-kebijakan dalam negeri, salah satunya dalam bidang pendidikan, sebagai upaya untuk membangun daya saing.
            Menurut Drijarkara, pendidikan itu harusnya semakin memanusiakan manusia muda. Tantangan pendidikan saat ini bukanlah pada bagaimana mencetak tenaga-tenaga ahli yang siap kerja saja, namun juga membentuk intelektual publik yang siap menjadi oposisi dari intelektualitas yang semakin condong mengarah ke pasar bebas.
            Negara semakin maju akan cenderung makin masuk ke dalam percaturan pasar bebas. Indonesia tergabung dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area). Indonesia juga mengarahkan pendidikan nasional melalui perundangan, kemendiknas, dan sebagainya. Dari kebijakan-kebijakan yang ada kita bisa mengetahui apakah pendidikan yang diselenggarakan oleh Indonesia masih bisa dikatakan “Pendidikan” atau sudah bergeser menjadi lembaga pelatihan, kursus atau bahkan kaderisasi.

Pembahasan
            WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangn Dunia merupakan satu-satunya badan dunia yang yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Tujuannya adalah membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam kegiatan perdagangan. WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995.
            Ada sebuah perjanjian di bawah WTO yang disebut GATS (General Agreement Trade in Services) yang mengatur secara umum untuk sektor jasa. Tujuan GATS adalah untuk memperluas tingkat liberasi sektor jasa di antara negara-negara anggota, sehingga diharapkan perdagangan di sektor jasa semakin berkembang.
            Pelayanan pendidikan dimasukkan dalam golongan jasa atau services. Semenjak pelayanan pendidikan dimasukkan dalam kategori jasa, terbentuklah dua wacana besar yang saling berseberangan antara pendidikan adalah layanan publik (publik good) dan pendidikan adalah jasa (services). GATS mempunyai potensi melemahkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional karena semua layanan publik harus terbuka untuk persaingan asing. Dampak GATS pada pendidikan tinggi meliputi subsidi, dana negara, akreditasi, jaminan kualitas, dll.
            Jika pendidikan masuk dalam dimensi ekonomi dan atau jasa, maka pendidikan merupakan layanan yang dapat diperdagangkan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Sekolah maupun perguruan tinggi bisa menawarkan apa yang mereka punyai sebagai komoditas. Iming-imingnya adalah ketrampilan pada bidang tertentu dan kesempatan kerja yang akan didapat oleh para calon peserta didik. Bahkan, sebuah institusi bisa menawarkan sebuah fasilitas tertentu bagi peserta didik yang diterima. Misalnya pemberian laptop gratis bagi yang diterima. Hal ini tentu saja menimbulkan persaingan bisnis dalam dunia pendidikan.
            Pasca Perang Dunia II, muncul kesadaran bahwa tenaga kerja yang berkualitas sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah peserta didik. Karena jumlah siswa atau peserta didik meningkat, maka permintaan akses untuk perguruan tinggi juga meningkat. Hal ini sejalan karena tenaga kerja di bursa lapangan kerja membutuhkan gelar universitas.
            Globalisasi didukung oleh keberhasilan Bahasa Inggris dalam mengambil alih bahasa nasional dalam pendidikan tinggi. Saat ini di Indonesia, Bahasa Inggris bahkan mulai dikenalkan sampai ke jenjang Sekolah Dasar. Pertukaran pelajar pun sebagai pintu masuk konsep budaya mancanegara. Baik swasta maupun pendidikan tinggi publik melihat bahwa mahasiswa asing merupakan sumber pendapatan.
            GATS mempunyai pengaruh dalam sistem pendidikan tinggi. Menurut Knight, internasionalisasi pada pendidikan tinggi adalah ketika pada saat yang sama dipengaruhi oleh globalisasi. Istilah nasionalisasi menggambarkan hubungan pertumbuhan antar bangsa dan antar budaya. Globalisasi tidak menciptakan satu dunia politik atau menghapuskan negara-bangsa. Tetapi mengubah kondisi negara-bangsa yang beroperasi (Marginson, 2000). Negara-bangsa yang telah terpengaruh oleh globalisasi akan merubah pola beroperasi yang lama-kelamaan akan mengikuti pola negara-negara maju.
            Globalisasi ini membuat perguruan tinggi mengalami reformasi. Kehidupan perguruan tinggi menjadi sangat kompleks. Birokrasi menjadi kompleks, massifikasi perguruan tinggi, terjadi privatisasi perguruan tinggi, korporatisasi perguruan tinggi, internasionalisasi perguruan tinggi negeri, dan lain sebagainya.
            Massifikasi perguruan tinggi mengakibatkan kekurangan sumber daya manusia terutama pada bidang staf pengajar. Banyak akademisi muda yang baru bergelar master direkrut untuk menjadi staf pengajar di universitas-universitas negeri. Idealnya, staf pengajar di perguruan tinggi yang sudah bergelar doktor. Di perguruan tinggi swasta, hal ini semakin parah. Banyak fresh graduate S1 yang direkrut untuk menjadi dosen. Alhasil, pihak perguruan tinggi harus menanggung biaya studi lanjut mereka agar sesuai dengan regulasi yang diterapkan pemerintah setempat.
            Ketika kekuatan akademik universitas semakin berkembang, pengelolaan institusi dibatasi oleh suatu lapisan birokrat profesional yang memiliki kekuatan besar dalam pelaksnaan administrasi sehari-hari di universitas tersebut (Altbach, 1991). Semua institusi umum didanai oleh pemerintah sehingga institusi-institusi tersebut berjalan sebagaimana departemen-departemen dalam pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menuntut adanya akuntabilitas dengan dana yang sudah dikeluarkan bagi universitas. Para akademisi harus menyerahkan pengendalian fiskal, meningkatkan produktifitas mereka, dan harus tunduk pada peraturan dan regulasi serta prosedur penilaian yang menyeluruh dan detail. Sebagai akibatnya, budaya akademik kehilangan kolegialitas dan menjadi lebih birokratis dan hirarkis dengan konsentrasi kekuasaan di atas.
            Perkembangan perguruan tinggi di Indonesia sangat cepat. Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk melakukan persaingan di antara mereka. Perguruan tinggi yang berkembang ini beberapa berorientasi pada laba yang didirikan oleh pengusaha-pengusaha, perusahaan swasta atau konsorsium, dan PT serta BUMN. Institusi swasta nirlaba didirikan oleh yayasan-yayasan, organisasi-organsasi amal, dan melalui dukungan masyarakat (Lee, 1999). Institusi swasta ini menawarkan berbagai macam program dalam berbagai macam bidang ilmu. Pembukaan sektor swasta juga membuka kesempatan kerja bagi para akademisi, namun kali ini bisa menyebabkan merosotnya etos kerja terutama bagi para akademisi yang bertugas di perguruan tinggi swasta yang kecil dan minim pendanaan.
            Pasar menentukan mata kuliah apa saja yang harus diajarkan, penelitian yang mana yang layak didanai. Dalam budaya korporasi inilah hasil penelitian seorang profesor di universitas mungkin tidak dinilai secara kriteria tradidional “apakah itu valid?”, namun dinilai dengan kriteria komersial “untuk apakah itu?” atau “apakah hal itu bisa dijual?”. Maka pendidikan model ini akan selalu mengacu pada jual-beli. Bukan pada hakikat pendidikan yang sebenarnya.
            Penetrasi budaya korporat ke akademisi tidak terbatas pada institusi swasta tetapi juga ke universitas negeri. Melalui korporatisasi, perguruan tinggi  negeri dibebaskan dari serangkaian supervisi  birokratik pemerintah dan harus beroperasi seperti halnya perusahaan bisnis. Perguruan tinggi swasta dikorporasi dalam pengelolaannya saja, tidak dalam hal pendanaan.
            Pendidikan tinggi dengan cepat terinternasionalisasi ke seluruh dunia dan Indonesia demikian juga. Internasionalisasi ini tercermin dari aliran ilmu pengetahuan, cendekiawan/sarjana, dan mahasiswa ke seluruh penjuru dunia melampaui batas-batas negara. Dengan kemajuan dan teknologi, banyak program pendidikan dihadirkan dan disampaikan dengan cara yang tidak tradisional lagi, misalnya pembelajaran jarak jauh, program lepas, dan pembelajaran elektronik.
            Para akademisi yang bukan menjadi bagian dari tim pengelolaan tidak memiliki suara dalam hal menjalankan institusi. Peran utama mereka adalah mengajar dan memastikan bahwa anak didik mereka lulus ujian. Di beberapa perguruan tinggi swasta bahkan perlakuan kepada mahasiswa justru lebih baik daripada perlakuan terhadap dosen-dosen mereka. Para mahasiswa diperlakukan sebagai konsumen yang sangat bernilai dimana keinginan dan kepuasan mereka diutamakan karena mereka telah membayar.
            Semua institusi dikelola secara manajerial dan bukan kolegial. Sehingga mayoritas akademisi merasa bahwa mereka juga memiliki suara yang lemah terhadap pembuatan keputusan dan sangat tidak mungkin memberikan pengaruh pada kebijakan akademik. Praktik birokratik yang top down termasuk dalam membuat keputusan-keputusan akademik telah memperlemah posisi staf akademik dimana mereka sebenarnya punya hak untuk ditanya.
            Selama lembaga-lembaga tersebut dijalankan secara komersial, sangat sering para dosen diwajibkan untuk memasarkan program-program mereka dan juga merekrut mahasiswa, karena jika ternyata program-program mereka tidak berjalan dengan baik, akan sangat mungkin mereka kehilangan pekerjaan. Untuk sebagian besar, budaya birokrasi akademik ini baik langsung maupun tak langsung telah mempengaruhi peran dan fungsi para akademisi.
            Lebih-lebih kebijakan-kebijakan kampus, padatnya tugas-tugas kuliah, ancaman DO, biaya kuliah yang tinggi, membuat mahasiswa menjadi back to campus, mahasiswa KUPU (habis KUliah Pulang) yang tanpa mereka sadari, kepedulian akan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Mahasiswa lebih memilih untuk stay on the track dari pada mereka tertimpa bencana DO.
            Hal-hal diatas adalah paling mungkin memengaruhi dinamika belajar para mahasiswa sehingga muncul fenomena-fenomena tertentu. Fenomena yang muncul pastilah tidak mungkin muncul begitu saja, namun berkaitan dengan sistem di mana mereka berada. Dalam hal ini ada kemungkinan wacana pasar bebas yang difasilitasi oleh WTO, World Bank dan kroni-kroninya telah berpengaruh pada sistem pendidikan nasional yang cenderung memenuhi kebutuhan pasar, bukan pada arti pendidikan itu sendiri. Bukan pula memenuhi kebutuhan ruang publik, memproduksi intelektual publik sehingga menciptakan manusia-manusia muda yang utuh, cerdas, dan humanis.
           
Kesimpulan
            Indonesia merespon positif pasar bebas dan menjadi member dalam AFTA. Indonesia membuat kebijakan dalam dunia pendidikan yang cenderung mengarah kepada kebutuhan pasar bebas. Pendidikan di Indonesia masih cenderung vokasional. Hal ini menimbulkan efek pada lulusan perguruan tinggi untuk selalu mencari perkejaan (dengan menjadi karyawan, babu).
            Para cendekiawan Indonesia hanya mempunyai tempat sebagai pengamat apapun sesuai bidangnya, paling banter ya cuma dosen. Para cendekiawan Indonesia belum mempunyai tempat strategis dalam pengambilan kebijakan publik demi kemaslahatan bangsa dan negara.




Daftar Pustaka
1. Philip G. Altbach, The Decline of the Guru The Academic Profession in Developing and Middle-Income Countries (2003)
2. Higher Education and GATS, Ales Vlk, 2006

Pendidikan Kita (Renungan Filosofis)

Ditulis Oleh
Padmo Adi


Pendidikan Kita

ketika kampus tak lagi aman
dan kehilangan wibawa akademisnya...
untuk apa ada universitas kalau demikian?

untuk apa kuliah
kalau tak boleh berbicara dan mendengarkan?

untuk apa sekolah
kalau tak boleh berpikir dan berdialektika?

hai, Negara,
apa kausediakan itu sekolah-sekolah
supaya kami cuma jadi Tenaga Kerja cerdas
bagi cukong-cukong itu?

wahai kawan-kawan, mari kita membolos saja!!!
kita sekolah untuk jadi manusia
bukan jadi kerbau yang dicocok hidungnya

Februari-Maret 2015
Padmo Adi


Puisi di atas adalah reaksi spontan saya mendengar bahwa acara diskusi dan menonton bersama yang diadakan oleh Natas (pers mahasiswa Universitas Sanata Dharma) pada tanggal 25 Februari 2015 yang lalu dibubarkan oleh Aparat Kepolisian. Padahal, acara itu merupakan suatu kegiatan akademis yang diadakan di lingkungan kampus, benteng terakhir kebebasan akademis. Aparat Kepolisian membubarkan acara tersebut karena, selain mengadakan diskusi Kebangsaan, Natas mengajak pula hadirin untuk menonton bersama film The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer. Golongan Fasis dan Fundamentalis khawatir bahwa film itu akan membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia. Padahal, film yang berbicara melalui sudut pandang korban itu bermaksud membuka perspektif alternatif di dalam memandang peristiwa Genosida 1965 demi mengupayakan rekonsiliasi.

Memang benar bahwa film Joshua Oppenheimer itu banyak mendapatkan kritik. Golongan Kiri mengatakan bahwa Senyap, tidak jauh berbeda dari The Act of Killing (Jagal), merupakan sebuah film orientalis yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua Oppenheimer, seorang bule Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan Orang-orang Indonesia atas kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap keluarganya sendiri di tahun 1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan (perusahaan-perusahaan) Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di balik panggung drama berdarah tersebut. Selain itu, Golongan Kiri memandang bahwa sudut pandang film itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan faktor kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta aparatus militernya yang didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika Serikat. Sedangkan Golongan Muslim menilai bahwa film Senyap itu islamofobia; film itu menghadirkan tokoh protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi sebagai optometris (tukang kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah tua, rabun, dahulu gemar meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima waktu.

Terlepas dari segala kritik atas film Senyap tersebut, para akademisi sudi menonton dan mendiskusikannya, sebab yang dibicarakan adalah diri kita sendiri sebagai suatu bangsa. Para akademisi dari UAJY, ISI Yogyakarta, UGM, dan USD mencoba mengadakan acara nonton bareng dan diskusi itu di dalam lingkup akademis, kampus mereka masing-masing. Akan tetapi, dari empat kampus itu, hanya UAJY yang berhasil menyelenggarakannya, sementara ISI Yogyakarta, UGM, dan USD gagal. Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Aparatus Negara (AD dan Polri), berhasil menembus tembok kampus dan membubarkan acara itu. Kampus (institusi pendidikan tinggi) telah kehilangan wibawa akademisnya dan sekaligus kehilangan kebebasannya untuk menyumbangkan wacana dan perspektif baru/alternatif kepada masyarakat! Dari sini, kita bisa bertanya, mengapa kita, Bangsa Indonesia, membutuhkan institusi pendidikan tinggi (universitas)? Ada dua jawaban yang akan saya hadirkan di sini: (1) tujuan-tujuan yang seharusnya sebagaimana diidealkan oleh para sarjana pendahulu kita dan (2) tujuan-tujuan yang senyatanya sebagaimana terjadi di depan mata kita.

Douglas S. Paaw di dalam artikel berjudul Universitas-universitas Indonesia: Generasi Pertama (1970) mengatakan,
“Universitas adalah sebuah sarana-kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kemajuan manusia dalam segala bidang dibatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dan digunakan secara efektif oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Bila terdapat banyak jalan untuk mendapat pengetahuan, maka adaptasi pengetahuan yang diimpor, dan produksi pengetahuan baru merupakan fungsi utama lembaga-lembaga yang berada pada puncak pendidikan--yaitu universitas yang dipunyai suatu bangsa. Universitas-universitas juga mempunyai suatu tugas pendidikan, yaitu menyebarluaskan pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada para mahasiswa, yang pada gilirannya, akan mendistribusikan pengetahuan itu ke seluruh sistem pendidikan dan menerapkannya dalam seluruh masyarakat luas.”
Raison d’etre (alasan eksistensi) suatu universitas tidak lain adalah pengetahuan dan keahlian yang dihubungkan dengan praksis. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh suatu universitas bagi suatu bangsa antara lain adalah buku-buku (perpustakaan). Akan tetapi, karya fisik semacam itu bisa segera menjadi usang. Kekayaan intelektual yang paling berharga yang bisa disumbangkan oleh suatu universitas kepada suatu bangsa adalah pemikiran-pemikiran para sarjana (manusia) yang hidup, dinamis, terus berkembang, dan tidak pernah usang. Para sarjana diharapkan menjadi batu sendi perkembangan universitas dan sekaligus agen perubahan suatu bangsa. Douglas S. Paauw mengatakan bahwa para sarjana yang ada di dunia sekarang ini sangat mobil dan ide-ide mereka dapat dengan cepat menjadi viral. Di sisi lain, hanya beberapa negara saja yang masih melakukan sensor, baik ke luar maupun ke dalam, terhadap pengetahuan baru.

Dari penjelasan Douglas S. Paaw di atas, kita bisa membayangkan bahwa di dalam universitas terjadi suatu transfer ilmu pengetahuan. Di dalam transfer ilmu pengetahuan tersebut, para akademisi membebaskan dirinya untuk mereproduksi atau menegasi ilmu pengetahuan itu untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gagasan ini akan diabadikan melalui karya-karya ilmiah, jurnal penelitian, buku-buku, dan disampaikan melalui seminar-seminar. Gagasan-gagasan baru ini akan segera menjadi viral seiring dengan pergerakan para sarjana yang semakin bebas dan global. Di dalam lingkungan akademis tersebut kita bisa membayangkan bahwa seorang mahasiswa dibebaskan untuk menjadi dirinya sendiri, memanusiakan dirinya sendiri, semakin menjadi manusia. Di sana kita bisa membayangkan pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia muda (Drijarkara, 2006: 273, 367) dan upaya untuk memanifestasikan kemanusiaan.

Akan tetapi, fungsi universitas seperti yang diidealkan oleh para akademisi pendahulu kita itu harus berkompromi dengan, bahkan dikalahkan oleh, hal-hal lain yang acap kali sama sekali tidak akademis. Pendidikan kita, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dewasa ini berada di dalam konteks Neo-Liberalisme (A. Supratiknya, Membaca Pemikiran Drijarkara Tentang Pendidikan di Zaman Sekarang, 2014). Ada tiga pilar yang menentukan gerak langkah sebuah lembaga pendidikan (universitas): (1) masyarakat, (2) negara, dan (3) pasar. Pilar ketiga, pasar, tak lain adalah pasar global, kerap kali menenggelamkan pilar masyarakat dan negara. Kebutuhan pasar sering mendominasi arah gerak langkah lembaga pendidikan. Sekolah bukanlah sebuah lembaga yang netral. Sekolah adalah arena pertarungan wacana. Dan, wacana dominan, yaitu pasar global selalu berhasil membungkam wacana-wacana lainnya. Negara sendiri pun kerap kali bergandengan tangan dengan kepentingan pasar. Aturan-aturan yang diratifikasi oleh Negara sering kali merupakan pesanan Bank Dunia dan/atau IMF (A. Supratiknya, 2014). Sehingga, di dalam arena sekolah itu kini tinggal dua kubu yang saling berhadap-hadapan, yaitu kepentingan pasar global dan kepentingan masyarakat.

Kapitalisme membutuhkan lembaga-lembaga sekolah untuk mereproduksi ideologi sekaligus tenaga kerja. Althusser menjelaskan bahwa lembaga sekolah merupakan salah satu Ideological State Apparatus (ISA), tempat di mana ideologi dominan direproduksi dan dijejalkan kepada generasi muda. Selain itu, sekolah mereproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme, sehingga sistem itu dapat tetap berjalan. Diharapkan sekolah dapat menaikkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja baru. Dengan kemampuan dan keterampilan yang bertambah, para pekerja itu dapat bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus, sehingga pendapatan mereka pun naik. Dengan pendapatan yang bertambah, diharapkan para pekerja itu mampu mengonsumsi segala komoditas yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme itu sendiri. Jadi, sekolah menjadi tempat reproduksi pekerja dengan ideologi Neo-Liberalnya, sehingga pekerja yang sudah diinterpelasi dengan ideologi Neo-Liberal ini dapat bekerja dengan kecakapan yang lebih, dan dapat memperoleh upah yang lebih sehingga mereka dapat mengonsumsi segala komoditas, supaya sistem Kapitalisme tetap terus berjalan.

Di dalam sistem Neo-Liberalisme ini, peran Negara semakin diminimalisasi. Privatisasi (swastanisasi) di segala bidang, termasuk pendidikan, menjadi ciri khas kebijakan Neo-Liberal. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menawarkan pendidikan terbaik, yang celakanya diidentikkan dengan biaya yang mahal. Baik Universitas Swasta maupun Universitas Negeri yang (ingin) menjadi favorit di mata masyarakat kini mewajibkan para mahasiswanya untuk membayar uang kuliah yang tidak sedikit; hal itu belum termasuk pungutan sana dan pungutan sini. Hak seluruh warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas berubah menjadi peluang yang tidak sama untuk merebut pendidikan dan modal budaya tambahan lain, sesuai dengan kemampuan finansial. Hal yang paling ekstrim dari fenomena itu adalah Edu-business. Ada tiga agenda para kapitalis pelaku bisnis pendidikan ini: (1) memproduksi dan mereproduksi angkatan kerja terampil sesuai kebutuhan industri kapitalis dan generasi konsumen yang selaras dengan kepentingan akumulasi modal, (2) mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari menjual jasa pendidikan ini, sehingga seakan-akan pandangan bahwa pendidikan merupakan kegiatan non-profit tidak lagi bisa dipertahankan, (3) mendirikan kampus-kampus/sekolah-sekolah franchise secara global, menjual kurikulum, atau langsung bekerja sama dengan korporasi lokal untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar (A. Supratiknya, 2014). Sekolah dikelola selayaknya korporasi.

Di dalam suasana dan situasi semacam itu kita bisa membayangkan bagaimana tunas muda (saya mengikuti terminologi Drijarkara) dikirim ke sekolah bukan demi proses pemanusiaan manusia muda secara utuh, melainkan semata memburu kecakapan kerja (Drijarkara, 2006: 363). Para mahasiswa itu pergi ke kampus bukan untuk membebaskan dirinya menjadi dirinya sendiri, melainkan untuk menerima proses “normalisasi”. Mereka dicetak, bukan ditempa, untuk semata menjadi tenaga kerja cerdas dan handal, yang hanya boleh menghafal apa yang sudah diajarkan, dan diharamkan untuk memiliki pemikiran sendiri, diharamkan untuk bertanya, dan diharamkan untuk mengkritisi. Mereka tidak perlu memanusiakan diri mereka sendiri sebab sistem kapitalisme (pasar) tidak membutuhkan hal yang demikian. Mereka hanya perlu memenuhi standard nilai, melengkapi diri dengan kemampuan dan kecakapan tertentu yang dibutuhkan, lalu lulus dengan sesegera mungkin, bahkan kalau bisa akselerasi. Di dalam sekolah (baca: arena pertarungan wacana) para mahasiswa itu telah dikalahkan oleh wacana dominan, yaitu Neo-Liberalisme.

Maka, jangan heran jika ormas dari Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Apparatus Negara, berhasil menembus tembok kampus untuk membubarkan sebuah acara akademis! Bukan karena para mahasiswa itu hendak mengadakan rekonsiliasi nasional, bukan karena mereka menonton film Senyap, bukan karena mereka mempelajari (Neo-/post-)Marxisme, tetapi semata karena mereka dilarang untuk berpikir kritis dan menggalang gerakan sosial supaya tidak mengganggu status quo, yang pada akhirnya mengganggu sistem Kapitalisme yang berjalan. Dalam artikel berjudul Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme(1982) Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) berkata,
“Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu (Marxisme-Leninisme alias Komunisme) sendiri tidak dibiarkan secara hukum negara, melainkan karena di lingkungan bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.”
Negara hanya ingin para mahasiswanya menjadi pelajar yang manis, yang cakap dan cerdas, yang tidak perlu berpikir kritis, sehingga dapat segera lulus tepat waktu, supaya segera dapat memenuhi permintaan pasar (global) dan dapat segera lanjut mengonsumsi kembali komoditas Kapitalisme.