tag:blogger.com,1999:blog-70647173922988018622024-02-07T12:18:59.566+07:00#aliansiBONOBOBlog ini copy-left. Silakan mengutip sebagian atau keseluruhan teks, tapi sertakan alamat blog ini sekadar untuk sopan-santun akademis. Selamat membaca.#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.comBlogger66125tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-24934191613373121432015-08-21T23:45:00.000+07:002015-08-21T23:50:42.253+07:00Pendidikan Tinggi Pemasok Buruh Ahli<div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px; text-align: center;">
<div align="center" class="MsoNormal">
<b>Disusun Oleh:</b></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<b>Martinus Radityo Adi</b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<b>Pengantar</b> </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kakak saya cukup berpengaruh pada keputusan saya untuk kuliah dengan cerita-cerita seputaran dinamika kampus yang sedang dia jalani waktu itu. Sejak tahun 2002 saya sudah mendapatkan kesempatan untuk mengenyam atmosfir pendidikan tinggi di Universitas Sanata Dharma. Ketika sambil lalu saya perhatikan dinamika mahasiswa di Universitas Sanata Dharma, ada beberapa fenomena yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mahasiswa di universitas ini memang sangat beragam, dari latar belakang yang bisa dikatakan Indonesia kecil, mungkin dari Sabang sampai Merauke semua ada. Perilaku mahasiswanya pun sangat beragam. Dari yang disiplin sampai yang <i>leda-lede</i> pun ada. Namun saya yakin, bahwasannya fenomena di Universitas Sanata Dharma bisa sedikit banyak mewakili apa yang terjadi di universitas-universitas lain. Bahkan mungkin saja di universitas lain lebih dinamis.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ada pola yang berbeda dari perilaku akademis mahasiswa dari masa ke masa. Sampai pada tahun 2000-an, mahasiswa cenderung santai dan rileks dalam menempuh masa studinya sehingga banyak dari mahasiswa ini yang menyandang gelar 'Mapala' yang mempunyai maksud 'mahasiswa paling lama'. Uniknya, mahasiswa yang tergabung dalam UK Mapala (Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam) kebanyakan akan menyandang gelar yang sama -Mapala (Mahasiswa Paling Lama). Sedang pada tahun setelah 2000, mahasiswa cenderung lulus dengan lebih cepat.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pola mahasiswa yang berubah ini sedikit banyak terpengaruh dari kebijakan kampus itu sendiri. Di Universitas Sanata Dharma misalnya, kalau tidak salah ingat, semenjak tahun 2004 mahasiswa diberikan waktu studi maksimal 5 tahun. Jika mahasiswa tidak mampu menyelesaikan studi mereka dalam waktu yang disediakan oleh pihak kampus, maka mereka harus mempersiapkan diri untuk menyandang gelar 'DO' atau Drop Out (walau banyak dari mahasiswa ini menerima “kebebasan bersyarat” dari kampus). Biasanya, untuk mahasiswa yang mengalami peristiwa naas tersebut pihak kampus akan memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk mengundurkan diri. Cara ini dianggap lebih persuasif, manusiawi, dan egaliter dari pada pihak kampus menjatuhkan vonis 'DO' yang mengerikan kepada mahasiswa naas tersebut.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kebijakan kampus yang dikeluarkan dalam rangka pendidikan ini terkait di beberapa wilayah antara lain; masyarakat, pemerintah dan permintaan pasar. Dalam arti lain, pendidikan menjadi bahan tarikan di ke-tiga wilayah tersebut. Sedangkan, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan pendidikan nasional. Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah euforia tentang pasar bebas, yang memang tidak bisa dipungkiri, pemerintah merespon positif akan hal tersebut.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pasar bebas sangat membutuhkan tenaga-tenaga ahli siap pakai untuk mengikuti bahkan berakselerasi dalam sistem pasar antara lain produksi, distribusi, dan konsumsi dalam persaingan tingkat internasional. Oleh karena itu, negara-negara pemuja pasar bebas akan mengkonstruksi kebijakan-kebijakan dalam negeri, salah satunya dalam bidang pendidikan, sebagai upaya untuk membangun daya saing.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menurut Drijarkara, pendidikan itu harusnya semakin memanusiakan manusia muda. Tantangan pendidikan saat ini bukanlah pada bagaimana mencetak tenaga-tenaga ahli yang siap kerja saja, namun juga membentuk intelektual publik yang siap menjadi oposisi dari intelektualitas yang semakin condong mengarah ke pasar bebas.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Negara semakin maju akan cenderung makin masuk ke dalam percaturan pasar bebas. Indonesia tergabung dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area). Indonesia juga mengarahkan pendidikan nasional melalui perundangan, kemendiknas, dan sebagainya. Dari kebijakan-kebijakan yang ada kita bisa mengetahui apakah pendidikan yang diselenggarakan oleh Indonesia masih bisa dikatakan “Pendidikan” atau sudah bergeser menjadi lembaga pelatihan, kursus atau bahkan kaderisasi.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Pembahasan<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
WTO (<i>World Trade Organization</i>) atau Organisasi Perdagangn Dunia merupakan satu-satunya badan dunia yang yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Tujuannya adalah membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam kegiatan perdagangan. WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ada sebuah perjanjian di bawah WTO yang disebut GATS (<i>General Agreement Trade in Services</i>) yang mengatur secara umum untuk sektor jasa. Tujuan GATS adalah untuk memperluas tingkat liberasi sektor jasa di antara negara-negara anggota, sehingga diharapkan perdagangan di sektor jasa semakin berkembang.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pelayanan pendidikan dimasukkan dalam golongan jasa atau services. Semenjak pelayanan pendidikan dimasukkan dalam kategori jasa, terbentuklah dua wacana besar yang saling berseberangan antara pendidikan adalah layanan publik (<i>publik good</i>) dan pendidikan adalah jasa (<i>services</i>). GATS mempunyai potensi melemahkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional karena semua layanan publik harus terbuka untuk persaingan asing. Dampak GATS pada pendidikan tinggi meliputi subsidi, dana negara, akreditasi, jaminan kualitas, dll.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Jika pendidikan masuk dalam dimensi ekonomi dan atau jasa, maka pendidikan merupakan layanan yang dapat diperdagangkan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Sekolah maupun perguruan tinggi bisa menawarkan apa yang mereka punyai sebagai komoditas. Iming-imingnya adalah ketrampilan pada bidang tertentu dan kesempatan kerja yang akan didapat oleh para calon peserta didik. Bahkan, sebuah institusi bisa menawarkan sebuah fasilitas tertentu bagi peserta didik yang diterima. Misalnya pemberian laptop gratis bagi yang diterima. Hal ini tentu saja menimbulkan persaingan bisnis dalam dunia pendidikan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pasca Perang Dunia II, muncul kesadaran bahwa tenaga kerja yang berkualitas sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah peserta didik. Karena jumlah siswa atau peserta didik meningkat, maka permintaan akses untuk perguruan tinggi juga meningkat. Hal ini sejalan karena tenaga kerja di bursa lapangan kerja membutuhkan gelar universitas.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Globalisasi didukung oleh keberhasilan Bahasa Inggris dalam mengambil alih bahasa nasional dalam pendidikan tinggi. Saat ini di Indonesia, Bahasa Inggris bahkan mulai dikenalkan sampai ke jenjang Sekolah Dasar. Pertukaran pelajar pun sebagai pintu masuk konsep budaya mancanegara. Baik swasta maupun pendidikan tinggi publik melihat bahwa mahasiswa asing merupakan sumber pendapatan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
GATS mempunyai pengaruh dalam sistem pendidikan tinggi. Menurut Knight, internasionalisasi pada pendidikan tinggi adalah ketika pada saat yang sama dipengaruhi oleh globalisasi. Istilah nasionalisasi menggambarkan hubungan pertumbuhan antar bangsa dan antar budaya. Globalisasi tidak menciptakan satu dunia politik atau menghapuskan negara-bangsa. Tetapi mengubah kondisi negara-bangsa yang beroperasi (Marginson, 2000). Negara-bangsa yang telah terpengaruh oleh globalisasi akan merubah pola beroperasi yang lama-kelamaan akan mengikuti pola negara-negara maju.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Globalisasi ini membuat perguruan tinggi mengalami reformasi. Kehidupan perguruan tinggi menjadi sangat kompleks. Birokrasi menjadi kompleks, massifikasi perguruan tinggi, terjadi privatisasi perguruan tinggi, korporatisasi perguruan tinggi, internasionalisasi perguruan tinggi negeri, dan lain sebagainya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Massifikasi perguruan tinggi mengakibatkan kekurangan sumber daya manusia terutama pada bidang staf pengajar. Banyak akademisi muda yang baru bergelar master direkrut untuk menjadi staf pengajar di universitas-universitas negeri. Idealnya, staf pengajar di perguruan tinggi yang sudah bergelar doktor. Di perguruan tinggi swasta, hal ini semakin parah. Banyak fresh graduate S1 yang direkrut untuk menjadi dosen. Alhasil, pihak perguruan tinggi harus menanggung biaya studi lanjut mereka agar sesuai dengan regulasi yang diterapkan pemerintah setempat.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ketika kekuatan akademik universitas semakin berkembang, pengelolaan institusi dibatasi oleh suatu lapisan birokrat profesional yang memiliki kekuatan besar dalam pelaksnaan administrasi sehari-hari di universitas tersebut (Altbach, 1991). Semua institusi umum didanai oleh pemerintah sehingga institusi-institusi tersebut berjalan sebagaimana departemen-departemen dalam pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menuntut adanya akuntabilitas dengan dana yang sudah dikeluarkan bagi universitas. <span lang="IN">Para akademisi harus menyerahkan pengendalian fiskal, meningkatkan produktifitas mereka, dan harus tunduk pada peraturan dan regulasi serta prosedur penilaian yang menyeluruh dan detail. Sebagai akibatnya, budaya akademik kehilangan kolegialitas dan menjadi lebih birokratis dan hirarkis dengan konsentrasi kekuasaan di atas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perkembangan perguruan tinggi di Indonesia sangat cepat. Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk melakukan persaingan di antara mereka. Perguruan tinggi yang berkembang ini beberapa berorientasi pada laba yang didirikan oleh <span lang="IN">pengusaha-pengusaha, perusahaan swasta atau konsorsium, dan PT serta BUMN. Institusi swasta nirlaba didirikan oleh yayasan-yayasan, organisasi-organsasi amal, dan melalui dukungan masyarakat (Lee, 1999). Institusi swasta ini menawarkan berbagai macam program dalam berbagai macam bidang ilmu. Pembukaan sektor swasta juga membuka kesempatan kerja bagi para akademisi, namun kali ini bisa menyebabkan merosotnya etos kerja terutama bagi para akademisi yang bertugas di perguruan tinggi swasta yang kecil dan minim pendanaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Pasar menentukan mata kuliah apa saja yang harus diajarkan, penelitian yang mana yang layak didanai. Dalam budaya korporasi inilah hasil penelitian seorang profesor di universitas mungkin tidak dinilai secara kriteria tradidional “apakah itu valid?”, namun dinilai dengan kriteria komersial “untuk apakah itu?” atau “apakah hal itu bisa dijual?”. Maka pendidikan model ini akan selalu mengacu pada jual-beli. Bukan pada hakikat pendidikan yang sebenarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Penetrasi budaya korporat ke akademisi tidak terbatas pada institusi swasta tetapi juga ke universitas negeri. Melalui korporatisasi, perguruan tinggi negeri dibebaskan dari serangkaian supervisi birokratik pemerintah dan harus beroperasi seperti halnya perusahaan bisnis. Perguruan tinggi swasta dikorporasi dalam pengelolaannya saja, tidak dalam hal pendanaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Pendidikan tinggi dengan cepat terinternasionalisasi ke seluruh dunia dan Indonesia demikian juga. Internasionalisasi ini tercermin dari aliran ilmu pengetahuan, cendekiawan/sarjana, dan mahasiswa ke seluruh penjuru dunia melampaui batas-batas negara. Dengan kemajuan dan teknologi, banyak program pendidikan dihadirkan dan disampaikan dengan cara yang tidak tradisional lagi, misalnya pembelajaran jarak jauh, program lepas, dan pembelajaran elektronik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Para akademisi yang bukan menjadi bagian dari tim pengelolaan tidak memiliki suara dalam hal menjalankan institusi. Peran utama mereka adalah mengajar dan memastikan bahwa anak didik mereka lulus ujian. Di beberapa perguruan tinggi swasta bahkan perlakuan kepada mahasiswa justru lebih baik daripada perlakuan terhadap dosen-dosen mereka. Para mahasiswa diperlakukan sebagai konsumen yang sangat bernilai dimana keinginan dan kepuasan mereka diutamakan karena mereka telah membayar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Semua institusi dikelola secara manajerial dan bukan kolegial. Sehingga mayoritas akademisi merasa bahwa mereka juga memiliki suara yang lemah terhadap pembuatan keputusan dan sangat tidak mungkin memberikan pengaruh pada kebijakan akademik. Praktik birokratik yang <i>top down</i> termasuk dalam membuat keputusan-keputusan akademik telah memperlemah posisi staf akademik dimana mereka sebenarnya punya hak untuk ditanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Selama lembaga-lembaga tersebut dijalankan secara komersial, sangat sering para dosen diwajibkan untuk memasarkan program-program mereka dan juga merekrut mahasiswa, karena jika ternyata program-program mereka tidak berjalan dengan baik, akan sangat mungkin mereka kehilangan pekerjaan. Untuk sebagian besar, budaya birokrasi akademik ini baik langsung maupun tak langsung telah mempengaruhi peran dan fungsi para akademisi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Lebih-lebih kebijakan-kebijakan kampus, padatnya tugas-tugas kuliah, ancaman DO, biaya kuliah yang tinggi, membuat mahasiswa menjadi <i>back to campus, </i>mahasiswa KUPU (habis KUliah Pulang) yang tanpa mereka sadari, kepedulian akan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Mahasiswa lebih memilih untuk <i>stay on the track</i> dari pada mereka tertimpa bencana DO.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Hal-hal diatas adalah paling mungkin memengaruhi dinamika belajar para mahasiswa sehingga muncul fenomena-fenomena tertentu. Fenomena yang muncul pastilah tidak mungkin muncul begitu saja, namun berkaitan dengan sistem di mana mereka berada. Dalam hal ini ada kemungkinan wacana pasar bebas yang difasilitasi oleh WTO, World Bank dan kroni-kroninya telah berpengaruh pada sistem pendidikan nasional yang cenderung memenuhi kebutuhan pasar, bukan pada arti pendidikan itu sendiri. Bukan pula memenuhi kebutuhan ruang publik, memproduksi intelektual publik sehingga menciptakan manusia-manusia muda yang utuh, cerdas, dan humanis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN">Kesimpulan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Indonesia merespon positif pasar bebas dan menjadi member dalam AFTA. Indonesia membuat kebijakan dalam dunia pendidikan yang cenderung mengarah kepada kebutuhan pasar bebas. Pendidikan di Indonesia masih cenderung vokasional. Hal ini menimbulkan efek pada lulusan perguruan tinggi untuk selalu mencari perkejaan (dengan menjadi karyawan, babu).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Para cendekiawan Indonesia hanya mempunyai tempat sebagai pengamat apapun sesuai bidangnya, paling banter ya cuma dosen. Para cendekiawan Indonesia belum mempunyai tempat strategis dalam pengambilan kebijakan publik demi kemaslahatan bangsa dan negara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<div align="center" class="MsoNormal" style="background-color: black; color: #484848;">
<b><span lang="IN">Daftar Pustaka<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: black; color: #484848; text-align: justify;">
1. Philip G. Altbach, The Decline of the Guru The Academic Profession in Developing and Middle-Income Countries (2003)</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: black; color: #484848; text-align: justify;">
2. Higher Education and GATS, Ales Vlk, 2006</div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: black; color: #484848; text-align: justify;">
<a href="http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/contents/53-indonesia-in-fta" style="color: #73387e; text-decoration: none;"><span class="InternetLink"><b><span lang="IN">http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/contents/53-indonesia-in-fta</span></b></span></a><b><span lang="IN"> (18/06/2015, 23:55)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: black; color: #484848; text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
</div>
Salvatore Ngomyanghttp://www.blogger.com/profile/05853159720541881676noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-85659625691669623782015-08-21T23:42:00.002+07:002015-08-22T00:01:44.772+07:00Pendidikan Kita (Renungan Filosofis)<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Ditulis Oleh</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: center;">
<b style="font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Padmo Adi</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pendidikan Kita<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">ketika kampus tak lagi aman<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">dan kehilangan wibawa akademisnya...<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">untuk apa ada universitas kalau demikian?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">untuk apa kuliah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">kalau tak boleh berbicara dan mendengarkan?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">untuk apa sekolah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">kalau tak boleh berpikir dan berdialektika?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">hai, Negara,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">apa kausediakan itu sekolah-sekolah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">supaya kami cuma jadi Tenaga Kerja cerdas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">bagi cukong-cukong itu?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">wahai kawan-kawan, mari kita membolos saja!!!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">kita sekolah untuk jadi manusia<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">bukan jadi kerbau yang dicocok hidungnya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Februari-Maret 2015<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin-bottom: 0.0001pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Padmo Adi<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Puisi di atas adalah reaksi spontan saya mendengar bahwa acara diskusi dan menonton bersama yang diadakan oleh Natas (pers mahasiswa Universitas Sanata Dharma) pada tanggal 25 Februari 2015 yang lalu dibubarkan oleh Aparat Kepolisian. Padahal, acara itu merupakan suatu kegiatan akademis yang diadakan di lingkungan kampus, benteng terakhir kebebasan akademis. Aparat Kepolisian membubarkan acara tersebut karena, selain mengadakan diskusi Kebangsaan, Natas mengajak pula hadirin untuk menonton bersama film <i>The Look of Silence</i> (<i>Senyap</i>) karya Joshua Oppenheimer. Golongan Fasis dan Fundamentalis khawatir bahwa film itu akan membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia. Padahal, film yang berbicara melalui sudut pandang korban itu bermaksud membuka perspektif alternatif di dalam memandang peristiwa Genosida 1965 demi mengupayakan rekonsiliasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Memang benar bahwa film Joshua Oppenheimer itu banyak mendapatkan kritik. Golongan Kiri mengatakan bahwa <i>Senyap</i>,<i> </i>tidak jauh berbeda dari <i>The Act of Killing </i>(<i>Jagal</i>), merupakan sebuah film orientalis yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua Oppenheimer, seorang bule Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan Orang-orang Indonesia atas kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap keluarganya sendiri di tahun 1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan (perusahaan-perusahaan) Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di balik panggung drama berdarah tersebut. Selain itu, Golongan Kiri memandang bahwa sudut pandang film itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan faktor kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta aparatus militernya yang didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika Serikat. Sedangkan Golongan Muslim menilai bahwa film Senyap itu islamofobia; film itu menghadirkan tokoh protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi sebagai optometris (tukang kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah tua, rabun, dahulu gemar meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima waktu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Terlepas dari segala kritik atas film <i>Senyap</i> tersebut, para akademisi sudi menonton dan mendiskusikannya, sebab yang dibicarakan adalah diri kita sendiri sebagai suatu bangsa. Para akademisi dari UAJY, ISI Yogyakarta, UGM, dan USD mencoba mengadakan acara <i>nonton bareng</i> dan diskusi itu di dalam lingkup akademis, kampus mereka masing-masing. Akan tetapi, dari empat kampus itu, hanya UAJY yang berhasil menyelenggarakannya, sementara ISI Yogyakarta, UGM, dan USD gagal. Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Aparatus Negara (AD dan Polri), berhasil menembus tembok kampus dan membubarkan acara itu. Kampus (institusi pendidikan tinggi) telah kehilangan wibawa akademisnya dan sekaligus kehilangan kebebasannya untuk menyumbangkan wacana dan perspektif baru/alternatif kepada masyarakat! Dari sini, kita bisa bertanya, mengapa kita, Bangsa Indonesia, membutuhkan institusi pendidikan tinggi (universitas)? Ada dua jawaban yang akan saya hadirkan di sini: (1) tujuan-tujuan yang seharusnya sebagaimana diidealkan oleh para sarjana pendahulu kita dan (2) tujuan-tujuan yang senyatanya sebagaimana terjadi di depan mata kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Douglas S. Paaw di dalam artikel berjudul <i>Universitas-universitas Indonesia: Generasi Pertama</i> (1970) mengatakan,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin: 0cm 26.05pt 10pt 42.55pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 15.3333320617676px;">“Universitas adalah sebuah sarana-kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kemajuan manusia dalam segala bidang dibatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dan digunakan secara efektif oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Bila terdapat banyak jalan untuk mendapat pengetahuan, maka adaptasi pengetahuan yang diimpor, dan produksi pengetahuan baru merupakan fungsi utama lembaga-lembaga yang berada pada puncak pendidikan--yaitu universitas yang dipunyai suatu bangsa. Universitas-universitas juga mempunyai suatu tugas pendidikan, yaitu menyebarluaskan pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada para mahasiswa, yang pada gilirannya, akan mendistribusikan pengetahuan itu ke seluruh sistem pendidikan dan menerapkannya dalam seluruh masyarakat luas.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Raison d’etre</span></i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"> (alasan eksistensi) suatu universitas tidak lain adalah pengetahuan dan keahlian yang dihubungkan dengan praksis. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh suatu universitas bagi suatu bangsa antara lain adalah buku-buku (perpustakaan). Akan tetapi, karya fisik semacam itu bisa segera menjadi usang. Kekayaan intelektual yang paling berharga yang bisa disumbangkan oleh suatu universitas kepada suatu bangsa adalah pemikiran-pemikiran para sarjana (manusia) yang hidup, dinamis, terus berkembang, dan tidak pernah usang. Para sarjana diharapkan menjadi batu sendi perkembangan universitas dan sekaligus agen perubahan suatu bangsa. Douglas S. Paauw mengatakan bahwa para sarjana yang ada di dunia sekarang ini sangat mobil dan ide-ide mereka dapat dengan cepat menjadi viral. Di sisi lain, hanya beberapa negara saja yang masih melakukan sensor, baik ke luar maupun ke dalam, terhadap pengetahuan baru.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Dari penjelasan Douglas S. Paaw di atas, kita bisa membayangkan bahwa di dalam universitas terjadi suatu transfer ilmu pengetahuan. Di dalam transfer ilmu pengetahuan tersebut, para akademisi membebaskan dirinya untuk mereproduksi atau menegasi ilmu pengetahuan itu untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gagasan ini akan diabadikan melalui karya-karya ilmiah, jurnal penelitian, buku-buku, dan disampaikan melalui seminar-seminar. Gagasan-gagasan baru ini akan segera menjadi viral seiring dengan pergerakan para sarjana yang semakin bebas dan global. Di dalam lingkungan akademis tersebut kita bisa membayangkan bahwa seorang mahasiswa dibebaskan untuk menjadi dirinya sendiri, memanusiakan dirinya sendiri, semakin menjadi manusia. Di sana kita bisa membayangkan pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia muda (Drijarkara, 2006: 273, 367) dan upaya untuk memanifestasikan kemanusiaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Akan tetapi, fungsi universitas seperti yang diidealkan oleh para akademisi pendahulu kita itu harus berkompromi dengan, bahkan dikalahkan oleh, hal-hal lain yang acap kali sama sekali tidak akademis. Pendidikan kita, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dewasa ini berada di dalam konteks Neo-Liberalisme (A. Supratiknya, <i>Membaca Pemikiran Drijarkara Tentang Pendidikan di Zaman Sekarang</i>, 2014). Ada tiga pilar yang menentukan gerak langkah sebuah lembaga pendidikan (universitas): (1) masyarakat, (2) negara, dan (3) pasar. Pilar ketiga, pasar, tak lain adalah pasar global, kerap kali menenggelamkan pilar masyarakat dan negara. Kebutuhan pasar sering mendominasi arah gerak langkah lembaga pendidikan. Sekolah bukanlah sebuah lembaga yang netral. Sekolah adalah arena pertarungan wacana. Dan, wacana dominan, yaitu pasar global selalu berhasil membungkam wacana-wacana lainnya. Negara sendiri pun kerap kali bergandengan tangan dengan kepentingan pasar. Aturan-aturan yang diratifikasi oleh Negara sering kali merupakan pesanan Bank Dunia dan/atau IMF (A. Supratiknya, 2014). Sehingga, di dalam arena sekolah itu kini tinggal dua kubu yang saling berhadap-hadapan, yaitu kepentingan pasar global dan kepentingan masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Kapitalisme membutuhkan lembaga-lembaga sekolah untuk mereproduksi ideologi sekaligus tenaga kerja. Althusser menjelaskan bahwa lembaga sekolah merupakan salah satu <i>Ideological State Apparatus </i>(ISA), tempat di mana ideologi dominan direproduksi dan dijejalkan kepada generasi muda. Selain itu, sekolah mereproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme, sehingga sistem itu dapat tetap berjalan. Diharapkan sekolah dapat menaikkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja baru. Dengan kemampuan dan keterampilan yang bertambah, para pekerja itu dapat bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus, sehingga pendapatan mereka pun naik. Dengan pendapatan yang bertambah, diharapkan para pekerja itu mampu mengonsumsi segala komoditas yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme itu sendiri. Jadi, sekolah menjadi tempat reproduksi pekerja dengan ideologi Neo-Liberalnya, sehingga pekerja yang sudah diinterpelasi dengan ideologi Neo-Liberal ini dapat bekerja dengan kecakapan yang lebih, dan dapat memperoleh upah yang lebih sehingga mereka dapat mengonsumsi segala komoditas, supaya sistem Kapitalisme tetap terus berjalan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Di dalam sistem Neo-Liberalisme ini, peran Negara semakin diminimalisasi. Privatisasi (swastanisasi) di segala bidang, termasuk pendidikan, menjadi ciri khas kebijakan Neo-Liberal. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menawarkan pendidikan terbaik, yang celakanya diidentikkan dengan biaya yang mahal. Baik Universitas Swasta maupun Universitas Negeri yang (ingin) menjadi favorit di mata masyarakat kini mewajibkan para mahasiswanya untuk membayar uang kuliah yang tidak sedikit; hal itu belum termasuk pungutan sana dan pungutan sini. Hak seluruh warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas berubah menjadi peluang yang tidak sama untuk merebut pendidikan dan modal budaya tambahan lain, sesuai dengan kemampuan finansial. Hal yang paling ekstrim dari fenomena itu adalah <i>Edu-business</i>. Ada tiga agenda para kapitalis pelaku bisnis pendidikan ini: (1) memproduksi dan mereproduksi angkatan kerja terampil sesuai kebutuhan industri kapitalis dan generasi konsumen yang selaras dengan kepentingan akumulasi modal, (2) mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari menjual jasa pendidikan ini, sehingga seakan-akan pandangan bahwa pendidikan merupakan kegiatan non-profit tidak lagi bisa dipertahankan, (3) mendirikan kampus-kampus/sekolah-sekolah <i>franchise </i>secara global, menjual kurikulum, atau langsung bekerja sama dengan korporasi lokal untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar (A. Supratiknya, 2014). Sekolah dikelola selayaknya korporasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Di dalam suasana dan situasi semacam itu kita bisa membayangkan bagaimana tunas muda (saya mengikuti terminologi Drijarkara) dikirim ke sekolah bukan demi proses pemanusiaan manusia muda secara utuh, melainkan semata memburu kecakapan kerja (Drijarkara, 2006: 363). Para mahasiswa itu pergi ke kampus bukan untuk membebaskan dirinya menjadi dirinya sendiri, melainkan untuk menerima proses “normalisasi”. Mereka dicetak, bukan ditempa, untuk semata menjadi tenaga kerja cerdas dan handal, yang hanya boleh menghafal apa yang sudah diajarkan, dan diharamkan untuk memiliki pemikiran sendiri, diharamkan untuk bertanya, dan diharamkan untuk mengkritisi. Mereka tidak perlu memanusiakan diri mereka sendiri sebab sistem kapitalisme (pasar) tidak membutuhkan hal yang demikian. Mereka hanya perlu memenuhi standard nilai, melengkapi diri dengan kemampuan dan kecakapan tertentu yang dibutuhkan, lalu lulus dengan sesegera mungkin, bahkan kalau bisa akselerasi. Di dalam sekolah (baca: arena pertarungan wacana) para mahasiswa itu telah dikalahkan oleh wacana dominan, yaitu Neo-Liberalisme.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Maka, jangan heran jika ormas dari Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Apparatus Negara, berhasil menembus tembok kampus untuk membubarkan sebuah acara akademis! Bukan karena para mahasiswa itu hendak mengadakan rekonsiliasi nasional, bukan karena mereka menonton film <i>Senyap</i>, bukan karena mereka mempelajari (Neo-/<i>post</i>-)Marxisme, tetapi semata karena mereka dilarang untuk berpikir kritis dan menggalang gerakan sosial supaya tidak mengganggu <i>status quo</i>, yang pada akhirnya mengganggu sistem Kapitalisme yang berjalan. Dalam artikel berjudul <i>Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme</i>(1982) Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) berkata,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; margin: 0cm 26.05pt 10pt 42.55pt; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 15.3333320617676px;">“Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu (Marxisme-Leninisme alias Komunisme) sendiri tidak dibiarkan secara hukum negara, melainkan karena di lingkungan bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.”<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #484848; font-family: 'Times New Roman', Times, FreeSerif, serif; font-size: 13.1999998092651px; line-height: 18.4799995422363px; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18.3999996185303px;">Negara hanya ingin para mahasiswanya menjadi pelajar yang manis, yang cakap dan cerdas, yang tidak perlu berpikir kritis, sehingga dapat segera lulus tepat waktu, supaya segera dapat memenuhi permintaan pasar (global) dan dapat segera lanjut mengonsumsi kembali komoditas Kapitalisme.</span></div>
Salvatore Ngomyanghttp://www.blogger.com/profile/05853159720541881676noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-25059155799367873012015-05-11T01:22:00.000+07:002015-05-11T01:23:53.229+07:00Surat Pernyataan Bersama "Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta"<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b>Surat Pernyataan Bersama<o:p></o:p></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b>Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta*<o:p></o:p></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
*<i>diambil dari <a href="http://literasi.co/bersihkan-kampus-brawijaya-dari-para-orbais/" target="_blank">http://literasi.co/bersihkan-kampus-brawijaya-dari-para-orbais/</a><o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Melalui surat pernyataan bersama
ini, kami mengutuk praktik sewenang-wenang yang dilakukan para pendidik
Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) Malang yang telah
melakukan pembubaran paksa kegiatan mahasiswa dari Lembaga Pers Mahasiswa
DIANNS. Praktik demikian kami nilai telah melanggar marwah institusi pendidikan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik dan kebebasan ekspresi mahasiswa.
Melalui praktik yang ditunjukkan Dekanat FIA, kami mencap Kampus Brawijaya
telah disusupi oleh antek-antek Orbais. Hal ini ditunjukkan melakui praktik
sewenang-wenang berupa pembubaran paksa kegiatan mahasiswa dan intimidasi
berwujud pemanggilan orangtua oleh pihak kampus sebagai dampak pelaksanaan
kegiatan tersebut. Apa yang dilakukan pihak Dekanat FIA ini secara gamblang
menunjukkan beroperasinya kembali praktik NKK BKK sebagaimana di era rezim
despotik Soeharto.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Argumentasi Solidaritas Kebebasan
Akademik Yogyakarta:<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Kami menggalang aksi solidaritas
kebebasan akademik di Yogyakarta dengan argumentasi sebagai berikut:</b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Standar ganda yang diperlakukan
oleh para pendidik FIA dalam melarang kegiatan mahasiswa menonton film “Samin
Versus Semen” dan “Alkinemokiye” patut dipertanyakan, mengingat film tersebut
telah diputar berkali-kali di Yogyakarta, diantaranya Universitas Gadjah Mada,
Universitas Islam Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, dan Universitas Sanata Dharma,
termasuk kampus di beberapa kota lainnya. Klaim norma pendidikan seperti apakah
yang dipakai Universitas Brawijaya sehingga melarang pemutaran film tersebut?
Sungguh mencurigakan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Acara yang diadakan oleh LPM
DIANNS sejak awal sudah mendapat izin dari pihak rektorat Brawijaya yang
diterbitkan tanggal 13 April 2015 oleh pihak Pejabat Rektorat bernama Marfuah.
Surat izin rektorat pun sudah ditembuskan ke pihak Dekanat FIA Brawijaya.
Pertanyaannya, mengapa jawaban atas izin pihak Rektorat tidak dijawab secara
tertulis malah mengerahkan pihak keamanan kampus untuk membubarkan acara?
Sungguh tidak demokratis.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tindakan pelarangan sebagaimana yang berhasil
direkam dan diunggah di youtube.com jelas sekali menunjukkan bahwa pelarangan
itu berdasarkan alasan yang mengada-ada. Pernyataan dosen FIA bernama Drs. H.
Luqman Hakim M.Sc bahwa film yang diputar oleh LPM DIANNS adalah film
propaganda jelas tidak berdasar. Hampir semua film pasti memiliki perspektif
maupun cara pandang tertentu, karena memang demikian eksistensi film hadir.
Karenanya, membedah film adalah wahana pendidikan paling tepat, terutamauntuk
mendiskusikan sebuah realitas maupun fenomena yang ada di masyarakat. Jika
memang Bapak Luqman Hakim melihat itu sebagai propaganda, maka cara elegan yang
sesuai kaidah akademik adalah dengan menunjukkan dititik mana anggapan
propaganda itu. Apakah Bapak bisa dan berani berdebat? Karena menjadi
pertanyaan besar, dalam kepentingan apakah pihak Dekanat FIA melarang pemutaran
film ini, apakah sudah ada keterlibatan korporasi di ruang-ruang kerja
dosen-dosen Brawijaya?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Pelanggaran:</b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kami menilai, apa yang dilakukan
para pendidik di Kampus Brawijaya telah mencederai semangat Tri Dharma
Perguruan Tinggi, bahkan menjauhkan para mahasiswanya dari isu-isu yang ada di
akar rumput (yang dihadapi rakyat). Pelanggaran ini jauh lebih besar dibanding
dengan pelanggaran legal formal seperti UU No 20 tahun 2013 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Jika
sebuah kampus sudah menjauhkan para mahasiswanya dari persoalan yang dihadapi
masyarakat bawah, artinya universitas itu bukan melangsungkan pendidikan, namun
pembodohan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Tuntutan:</b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menuntut Rektor UB, Prof. Dr. Ir.
Mohammad Bisri, MS agar menjunjung tinggi marwah akademik dengan memberi
jaminan atas kebebasan berekspresi dan berpendapat seluruh sivitas akademika
Kampus Brawijaya. Untuk itu, pihak Rektor harus menindak tegas praktik-praktik
penuh kesewenang-wenangan ala Orbais sebagaimana dilakukan pihak Dekanant FIA.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menuntuk pihak dekanat FIA,
khususnya Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku Dekan FIA UB untuk meminta
maaf pada para mahasiswa karena telah membiarkan jajarannya melakukan praktik
penindasan di dunia pendidikan. Selanjutnya memberikan garansi jaminan atas
kebebasan berekspresi para mahasiswa untuk melakukan kerja-kerja kreatifnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menyerukan para dosen-dosen
Universitas Brawijaya untuk turut bersuara atas ketidakbenaran dan
kesemena-menaan yang telah dilakukan oknum-oknum dosen Brawijaya. Sebagaimana
Che Guevara pernah sampaikan, “Jika hati Anda bergetar melihat penindasan, maka
bersuaralah. Sebab diam adalah bentuk penghianatan”. Diamnya para dosen
Brawijaya sama artinya dengan penghianatan terhadap institusi pendidikannya
sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Surat bersama ini merupakan suara
solidaritas sebagai sesama mahasiswa. Kami di sini sudah menikmati kebebasan
berekspresi seluas-luasnya. Maka, di tengah saudara-saudara kami yang ditindas,
maka kami tidak akan tinggal diam. Kebebasan berekspresi harus menjadi norma
kehidupan kampus di seluruh wilayah Indonesia. Unduh surat bersama.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Tembusan:</b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Prof. Muhammad Nasir, Ph.D, Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc, Direktur Jenderal Ditjen
Pendidikan Tinggi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Dr. Ir. Illah Sailah MS, Direktur Direktorat Pembelajaran
dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Prof. Dr. Supriadi Rustad, M.Si, Direktur Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Ditjen Dikti.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS, Rektor Universitas
Brawijaya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS, Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Syaukani Ichsan, Pimpinan Umum LPM Dianns.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<b>Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta<o:p></o:p></b></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Satria Virajati I<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ketua HMI MPO Cabang
Sleman<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Shadri Saputra<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ketua HMI MPO
Komisariat Fisipol Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Angga Palsewa Putra<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Koordinator Umum
Gerakan Literasi Indonesia<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Himawan Karniadi<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Forum Mahasiswa
Progresif Revolusioner (FMPR) Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Abdullah bin Zed<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Komunitas Turun Tangan
Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Arif Novianto<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
MAP Corner–Klub
Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Rizka Fakhry A.<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pengurus Cabang PMII
Sleman<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Wahyu Budi Utomo<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa Manajemen dan
Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Faizal Akbar<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ketua HMI Komisariat
Fisipol Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Elki Setiyo N.<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Editor Jaganyala<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Erka R. K.<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Komunitas Seni Extra
Pedas Universitas Muhamadiyah Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Krisna Yulianto<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Multiculture Area
Universitas Sanata Dharma<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Leonardo Budi S.<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pussaka Institute<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Dewi Setiyaningsih<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
IMM Komisariat Fisipol
Universitas Muhamadiyah Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Fauzia Fitrianingrum<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
KOHATI Komisariat
Fisipol Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
M. Iqbal Alallah<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ketua Future Leader
Party Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pinto Buana Putra<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ketua Partai Boulevard
Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Dwicipta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Front Nahdliyin untuk
Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA) Regional Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Hendra Try Ardianto<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Odent Setyanegara<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Forum Mahasiswa Aksi
Jalanan (FAM-J)<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Bastyo Arsa<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Etnohistori<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ahmad Sarkawi<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Rumah Baca Komunitas
(RBK) Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
T. J. ‘Umaruzaman<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Kepala Sekolah Bengkel
Menulis<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Helmy Badar N.<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
LPM Solid FTSP
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Novianto H. Sihite<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ketua GMNI Komisariat
Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Joko Nurbianto<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Koordinator Umum Partai
Pandawa Universitas Ahmad Dahlan<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Fajar B. Mahardika<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Gubernur BEM FSBK
Universitas Ahmad Dahlan<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Nurvianto Basori<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa Ilmu Religi dan
Budaya Universitas Sanata Dharma<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Lutfi Zanwar Kurniawan<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Komunitas Podjok Baca
Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Muharriroh<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa Ilmu Politik
dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Rosa Vania Setowati<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pemimpin Umum LPM Natas
Universitas Sanata Dharma<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Boby Sidik Dyan Wijaya<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ilmu Pemerintahan
Sekolah Tinggi Pemerintahan Masyarakat Desa (STPMD)<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Yoga Putra Prameswari<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Intitute for
Development & Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Muchamad Muslich<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
PMII Komisariat
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Prasetyo Wibowo<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Kepsek LPM Ekspresi
Universitas Negeri Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Muhammad Ibrahim<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
HMI Komisariat
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ariesta Budi<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa Ilmu Politik dan
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Chika Agustina<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa D3
Pengelolalaan Hutan SV Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Agus Kusmawanto<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Mahasiswa Kehutanan
Universitas Gadjah Mada<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Yudho Prdekso<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Komunitas Kamusuka
Klaten<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Heru Prasetya<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Gusdurian<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ervina P. Rete<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Jangkrik! (Kelompok
Belajar Studi Pendidikan Kritis) Universitas Sanata Dharma<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Rifqi Khoirul Anam<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
LPM Loper Aufklarung
Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Fariq Firdaus<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Madrasah Intelektual
Muhammadiyah<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Suyoto Arif Friodi<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pushamka A.R. Fachrudin
Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Listia Damanik<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
HMPS Sosiologi
Universitas Atmajaya Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Alwi Atama Ardhana<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pengelola
mediasastra.com<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Y. Jatmiko Yuwono<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Ilmu Religi Budaya
Universitas Sanata Dharma<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
M. Hilmy Dzulfaldli<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
Pengurus Cabang IMM
A.R. Fakhruddin Yogyakarta<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<div align="right" class="MsoNormal">
Padmo Adi<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal">
#aliansiBonobo
Universitas Sanata Dharma</div>
<br />
<div align="right" class="MsoNormal">
<br /></div>
</div>
SarangKalonghttp://www.blogger.com/profile/00725118808507117219noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-92154015708198201632015-05-06T22:57:00.001+07:002015-05-07T00:31:13.121+07:00MITOS KESEJAHTERAAN, Logika Kapitalis dan Negara, dalam Menundukan Rakyat<div align="center" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: center;">
<div align="center" class="MsoNormal">
<div align="center" class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">MITOS KESEJAHTERAAN</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Logika Kapitalis dan Negara, dalam Menundukan
Rakyat</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">(</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Catatan
Diskusi Film Samin vs Semen</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">)</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Yogyakarta, </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> 6 Mei 2015</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Oleh:</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Rahmat
R. Wali</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">“<i>Alasan
mereka (perusahaan) kesejahteraan. </i></span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Tapi
ketika saya menanyakan ke mereka, </span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">kesejahteraan
yang bagaimana?</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Yang
pabrik semen berikan ke kami. </span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Sedangkan
kami saat ini sudah sejahtera </span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">dengan
pertanian</span></i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">.”</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">(Testimoni Joko Priatno Petani Rembang)</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: right;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Kutipan</span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> di
atas saya ambil dalam film, sengaja menjadikannya sebagai kalimat pembuka dalam
tulisan ini. Sebab kalimat di atas sangat berhubungan dengan pola, cara lama
dalam bentuk bahasa yang dipakai oleh pemerintah(negara), dan pemilik
modal(kapitalis) untuk membujuk masyarakat agar lahan(tanah) beserta isinya
dijual ke pemilik modal. Sebab kata kesejahteraan mempunyai daya tarik tersendiri
dalam benak masyarakat. Siapa yang tidak mau sejahtera? Mungkin yang muncul
paling pertama dalam benak masyarakat yaitu sejahtera dalam bentuk ekonomi.
Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat
kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat
dijadikan ukuruan, antara lain adalah 1)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">. </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Tingkat pendapatan keluarga; 2)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan
membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">
</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Tingkat pendidikan
keluarga; 4)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">
</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Kondisi perumahan serta
fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Sedangkan
menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari
beberapa aspek kehidupan: 1)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Dengan melihat kualitas hidup dari segi <i>materi</i>, seperti kualitas rumah, bahan
pangan dan sebagianya; 2)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Dengan melihat kualitas hidup dari segi <i>fisik, </i>seperti kesehatan tubuh,
lingkungan alam, dan sebagainya; 3)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Dengan melihat kualitas hidup dari segi <i>mental</i>, seperti fasilitas pendidikan,
lingkungan budaya, dan sebagainya; 4)</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Dengan melihat kualitas hidup dari segi <i>spiritual</i>, seperti moral, etika,
keserasian penyesuaian, dan sebagainya. Akan tetapi, mungkinkah masyarakat bisa
sejahteraan dengan ada tambang?
Kesejahteraan macam apa yang dimaksud oleh perusahaan? Ataukah kata
kesejahteraan itu hanyalah kamuflase dalam mengelabui rakyat? Saya tidak tahu
pengalaman kalian seperti apa, tapi dari sekian pengalaman saya, yang hidup
keluar masuk di wilayah masyarakat tambang dan membaca hasil laporan
penelitian, laporan pendampingan masyarakat saya belum menemukan dimana ada
tambang beroperasi disitu masyarakat sejahtera. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Film
Samin vs Semen, secara pribadi sangat menarik karena film itu menyuguhkan
sebuah lanskap perampasan sumber penghidupan masyarakat Samin di Rembang, yang
sebelumnya terjadi di Pati oleh PT. Sahabat Mulia Sakti (PT. SMS) anak
perusahaan PT. Indocement Tunggal Perkasa tapi kemudian digagalkan oleh
masyarakat dan aliansinya Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
(JMPPK). Dari film tersebut, saya membaginya menjadi 3 bagian; pertama, pegunungan
kendeng dengan bentangan yang luas, kemudian sawah rakyat yang luas. Kedua,
masyarakat Pati yang juga menolak perusahaan tambang Semen, dan perlawanan
masyarakat Rembang terhadap PT. Semen Indonesia yang telah mengeksploitasi kars
yang ada di pegunungan tersebut. Ketiga, pabrik semen di Surabaya yang telah
berjalan dan sementara beroperasi, dan sejumlah testimoni oleh warga yang
menjual lahan mereka dan dijanjikan dengan berbagai alasan, seperti ganti rugi
lahan dan sebagainya, namun itu semua tidak pernah terjadi. Jadi ini semua
semacam mitos dalam arti yang sebenarnya yang diciptakan oleh kapitalis tentang
kesejahteraan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Peta Konflik Wilayah Tambang</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Ketika kita menonton film tersebut, kita
kemudian merasa prihatin dan marah, di posisi ini sebenarnya betapa
ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Rembang. Akan tetapi, lebih rumit
lagi kalau kita berada di lapangan (Rembang). Sebab, kondisi tersebut sudah
bisa dipastikan sejak penolakan PT. Semen Indonesia di Rembang, masyarakat
sudah mulai terpecah menjadi dua kubu, yaitu pro dan kontra terhadap
pembangunan PT. Semen Indonesia tersebut. Ralf Dahrendorf Sosiolog Jerman dalam
karyanya <i>Konflik dan Konflik Sosial dalam
Masyarakat Industri</i>, mengatakan bahwa dalam masyarakat (<i>quasi group</i>) akan terlahir kelompok
kepentingan (<i>interest group</i>) dimana
sebuah industri berdiri. Kepentingan ini bisa dalam bentuk kelompok untuk
mencari keuntungan di perusahaan sebaliknya masyarakat yang lain berkepentingan
mempertahankan sumber-sumber hidup mereka yang selama ini dijalankan sehingga
konflik kemudian lahir, karena terpecah belahnya masyarakat dengan
kepentingannya masing-masing. Kalau kita melihat lebih jauh lagi, maka bisa
dipetakan seperti ini; <b>pertama</b>,
pemerintah(negara) beserta aparatus represifnya (tentara dan polisi); <b>kedua</b>, pemilik modal(kapitalis) dengan
sejumlah premannya; <b>ketiga</b>,
masyarakat Rembang (pro dan kontra); <b>keempat</b>,
mahasiswa/pemuda, LSM, Organisasi Agama dan sebagainya. Point pertama dan kedua
sangat mesra dalam hubungannya, sehingga aparatus seperti tentara dan polisi
yang menjadi alat negara, seharusnya melindungi rakyat, berbalik melindungi
kapitalis dan menindas rakyat, kadang juga sampai terjadi pelanggaran HAM berat
seperti penembakan terhadap warga yang melakukan perlawanan. Jadi bisa dibilang
lewat pemetaan tersebut, ketika terjadi perlawanan rakyat terhadap perusahaan
yaitu <b>Rakyat menekan pemilik modal(kapitalis) kapitalis menekan
pemerintah(negara) sehingga negara berbalik menekan masyarakatnya lewat
aparatusnya (tentara dan polisi)</b>. Penekanan yang dilakukan aparatus
tersebut sangat beragam, mulai dari meneror hingga intimidasi yang dialami oleh
rakyat, bahkan sampai penghilangan nyawa misalkan kasus yang terjadi di
Halmahera pada tahun 2004 awal. Kemudian point ketiga dan empat, masyarakat
terbelah dengan kepentingannya masing-masing. Ada yang apatis, ada yang kritis
karena menjadi korban dan ada yang mencari untung dengan adanya tambang
tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Ditingkat masyarakat bisa dibayangkan telah
terjadi terpecah belah kepentingan, dan dengan kondisi yang demikian itu kita
sendiri hampir tidak bisa mengenali siapa kawan, siapa lawan. Sebab dalam
perlawanan atau perjuangan, masalah yang paling menyakitkan, ketika kita
dikhianati oleh teman seperjuangan sendiri. Itu biasanya sering terjadi di lapangan
sehingga perlu untuk merapatkan barisan dan tidak tergoda dengan uang yang
nilainya berkisar satu-dua juta rupiah. Karena pemilik modal(kapitalis), selalu
berusaha menggagalkan setiap perlawanan yang ada, sampai setingkat pengadilan
sekalipun, seperti memakai para akademisi dari kampus tertentu dengan nama
kampus yang besar untuk menjadi saksi ahli, misalkan bahwa eksploitasi tersebut
tidak membawa dampak buruk bagi perkebunan dan lingkungan lainnya termasuk pada
manusia. kejadian ini pernah terjadi ketika masyarakat Buyat Pante menuntut PT.
Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang telah mencemari teluk buyat di
PTUN yang menyebabkan mata pencaharian warga Ratatotok Buyat Pante sebagai
nelayan hilang, sebab limbah perusahaan emas tersebut selalu dibuang ke laut
dialiri lewat sungai, begitu juga penyakit aneh-aneh mulai muncul seperti yang
terjadi pada kasus Minamata di Jepang. Tapi sayangnya tuntutan warga Ratatotok
Buyat Pante di PTUN kalah, karena salah satu akademisi ahli perikanan dari
Universitas terbesar di Sulawesi Utara menjadi saksi ahli dari PT. Newmont
Minahasa Raya dan akhirnya perkampungan tersebut dibakar oleh warganya sendiri
dan pindah ke tempat lain yaitu di duminangan dengan jarak dari perkampungan
awal Ratatotok Buyat Pante 120 km untuk menghindari pencemaran dari perusahaan
tambang tersebut. Jadi segala cara itu sering terjadi demikian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Begitu juga terjadi di Maluku Utara, nyata-nyata
PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM) membuang limbah di sungai kobok yang
kemudian dilaporkan oleh warga yang berkebun di sekitar tambang tersebut, namun
tidak berbuat apa-apa sebab para akademisi yang dianggap berpengaruh di daerah
sudah menjadi kaki tangan perusahaan dan ketika kasus misalkan pencemaran
lingkungan dibawa ke pengadilan, tuntutan rakyat selalu kalah. Sehingga sangat
penting bagi saya untuk terus membangun jaringan sekuat-kuatnya, dan melakukan
kampanye lewat pemutaran film sampai menulis di koran, sebab bagi saya aksi
tidak hanya sekedar demonstrasi tapi lebih dari itu harus juga melalui tulisan,
film dokumenter dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Di tanah Papua sendiri Ngadisah (2003) dalam
karyanya <i>Konflik Pembangunan dan Gerakan
Sosial Politik di Papua</i>, menguraikan
anatomi gerakan sosial di kalangan warga asli Papua, khususnya Suku Amungme
(dataran tinggi) di kawasan Mimika dan suku Komoro (dataran rendah), terhadap
eksistensi PT. Freeport Indonesia (PTFI) di tanah Papua dan menguraikan
bagaimana “aktor-aktor Jakarta” turut bermain dalam riak-riak konflik tersebut.
Perang antar suku diciptakan untuk memuluskan eksploitasi PTFI tersebut. Suku
Amungme adalah suku yang berpandangan tentang alam, Tuhan dan roh sebagai satu
kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia—yang mempunyai makna positif dalam
upaya pelestarian alam. Manusia adalah bagian dari alam sehingga kalau ia
merusak alam berarti merusak dirinya sendiri. Ditambah lagi, orang Amungme
mengindentikan alam dengan orang tua, di mana tanah dianggap sebagai Ibu
(mama), dan gunung sebagai adalah bapak. (Ngadisah, 50) sehingga dengan
latarbelakang itulah oarang Amungme kemudian menentang PTFI, namun perlawanan
yang panjang itu kemudian, warga Papua dianggap Saparatis. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Pola-Pola
Perlawanan</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Setiap tempat dimana industri tambang berdiri
selalu memicu konflik dan perlawanan dari rakyat. Perlawanan rakyat tersebut
sangat berhubungan dengan keterancaman sumber-sumber penghidupan yang telah
mereka jalani secara turun-temurun. Kasus semen di Pati, kemudian di Rembang
adalah perlawanan rakyat untuk mempertahankan sumber-sumber penghidupan yaitu
bertani sebagai jalan hidup dengan mengolah sawah, sedangkan pegunungan kendeng
(kars) adalah sumber air untuk sawah dan sangat wajar kalau rakyat harus
melawan. Dalam film ini dan juga dalam setiap pemberitaan media televisi proses
perlawanan yang dilakukan warga sangat rapi, ibu-ibu sangat sadar dalam
melakukan perlawanan, juga melawan dengan menggunakan teatrikal yang dilakukan
sejumlah mahasiswa dan pemuda terhadap PT. Semen Indonesia yang mengeksploitasi
pegunungan kendeng di bagian Rembang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Sangat berbeda dengan pola perlawanan di bagian
timur yang lebih mengandalkan otot, simbol-simbol yang lebih mengarah pada
kekerasan sehingga korban banyak berjatuhan. Hal itu tidak bisa dihindari sebab
rakyat dalam konteks tertentu, mereka tidak lagi percaya terhadap nagara. sebab pemerintah tidak pernah mematuhi
janjinya sehingga rakyat juga sudah tidak lagi percaya dengan
pemerintah(negara). Masyarakat yang pernah saya amati di Maluku Utara merasa
mereka hidup tanpa negara, negara hadir dikala malam hari yaitu ketika listrik
dinyalakan 12 jam sehari. Jadi saya tidak akan menguraikan disini pola perlawan
secara detail. Tetapi, pola perlawanan tergantung dimana dan siapa yang
melakukan perlawanan, sebab misalkan yang pernah yang lihat di video perlawanan
masyarakat di Jawa terhadap tambang sangat datar namun sasaran perlawanannya
jelas, dan selalu didukung oleh berbagai pihak seperti mahasiswa, juga LSM yang
benar-benar LSM yang dalam memperjuangkan hak rakyat, bukan LSM yang menjadi
perpanjangan tangan Negara dan modal Asing. Sedangkan di wilayah Timur terutama
perlawanan kecenderungan represif, dan memang sesuai dengan kondisinya. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Daftar
Bacaan:</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Bintarto.
1989. <i>Interaksi Desa-Kota dan
Permasalahannya</i>. Jakarta: Ghalia Indonesia.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 42.55pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: -42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 42.55pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: -42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Dahrendorf, Ralf. 1986. <i> Konflik dan Konflik Sosial dalam
Masyarakat Industri</i>. Jakarta: Rajawali.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 42.55pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: -42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-language: EN-US;">Ngadisah. 2003. <i>Konflik
Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. </i>Yogyakarta. Pustaka Raja.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: 10.0pt; mso-pagination: widow-orphan;">
<br /></div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-4984718556175389842014-04-01T08:50:00.000+07:002014-04-01T08:57:23.625+07:00IMPLIKASI POSKOLONIALITAS RELASI KEKUASAAN MISI KATOLIK DAN KOLONIAL BELANDA<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">IMPLIKASI
POSKOLONIALITAS<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></b></span><!--[endif]--></span></a>
<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">RELASI
KEKUASAAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">MISI
KATOLIK DAN KOLONIAL BELANDA<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidzTrbEfCZjM7y6uWmbtBVGPMr72HqKie_hj6Ebs87Q02je-aQ_UBPXFoq_i8Wy6ozroZpaAIEw9aEONtGcSgzpbZAbJ7qLvzaw6VurRsOpDnnT3QiwztQn-lRmt9WhK4yQGwnZp8u-OI/s1600/Gereja+Matraman+(tropenmuseum+1930).jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidzTrbEfCZjM7y6uWmbtBVGPMr72HqKie_hj6Ebs87Q02je-aQ_UBPXFoq_i8Wy6ozroZpaAIEw9aEONtGcSgzpbZAbJ7qLvzaw6VurRsOpDnnT3QiwztQn-lRmt9WhK4yQGwnZp8u-OI/s1600/Gereja+Matraman+(tropenmuseum+1930).jpg" height="236" width="320" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<div style="text-indent: 37.79999923706055px;">
<b>Ditulis Oleh Alfons No Embu</b></div>
<div style="text-indent: 37.79999923706055px;">
<b>Nim 136322011</b></div>
</div>
<div>
<b><br style="background-color: #fefdfa; color: #545454; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px; text-align: center; text-indent: 37.79999923706055px;" /></b>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Abstract:
<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span class="longtext"><i>T</i></span><span class="hps"><i>here are</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>various</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>forms and dynamics</i></span><span class="longtext"><i> of </i></span><span class="hps"><i>mission</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>and power relationship in the</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>early development</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>of Christianity</i></span><span class="longtext"><i>. By reading</i></span><span class="hps"><i> the history of</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Western</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>colonialism</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>of</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>the East, will </i></span><span class="longtext"><i>give</i></span><span class="hps"><i> clearly</i></span><span class="longtext"><i> description </i></span><span class="hps"><i>that the</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>mission</i></span><span class="longtext"><i> was </i></span><span class="hps"><i>presented in</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>conjunction</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>with the</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>colonial</i></span><span class="longtext"><i>. </i></span><span class="hps"><i>In the Archipelago</i></span><span class="longtext"><i>, </i></span><span class="hps"><i>the Catholic</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>mission</i></span><span class="longtext"><i> re</i></span><span class="hps"><i>presented</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>along</i></span><span class="longtext"><i> the </i></span><span class="hps"><i>Portuguese colonization
(1543-1666).</i></span><a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><i><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[2]</span></b></span><!--[endif]--></i></span></a><span class="longtext"><i> Thus</i></span><span class="hps"><i>, VOC</i></span><span class="longtext"><i> in 1606-1800 amputated </i></span><span class="hps"><i>this</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Catholic</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>mission</i></span><span class="longtext"><i>. </i></span><span class="hps"><i>And then,</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>the mission reanimated in
Nederland Hindia by King</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Louise</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Napoleon</i></span><span class="longtext"><i>, </i></span><span class="hps"><i>the</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>French</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Catholic</i></span><span class="longtext"><i> of </i></span><span class="hps"><i>Dutch</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>master in</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>the 1800s</i></span><span class="longtext"><i>. </i></span><span class="hps"><i>Nevertheless,</i></span><span class="longtext"><i> p</i></span><span class="hps"><i>ower relationship</i></span><span class="longtext"><i> of </i></span><span class="hps"><i>mission</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>and the</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Dutch colonial government</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>was in suffering situation</i></span><span class="longtext"><i>. </i></span><span class="hps"><i>Dutch colonial government</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>had a</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>political</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>interest</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>in the presence of</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>the Catholic mission</i></span><span class="longtext"><i>. </i></span><span class="hps"><i>Conversely, the mission itself</i></span><span class="longtext"><i> took </i></span><span class="hps"><i>advantages</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>from</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>its proximity of the</i></span><span class="longtext"><i> Dutch </i></span><span class="hps"><i>colonialism</i></span><span class="longtext"><i>. In fact, </i></span><span class="hps"><i>there was</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>a kind of</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>symbiotic</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>mutualism</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>between the</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>mission</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>and</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>the Dutch</i></span><span class="longtext"><i> colonial </i></span><span class="hps"><i>government</i></span><span class="longtext"><i>. I</i></span><span class="hps"><i>t</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>brought </i></span><span class="longtext"><i>the postcolonial impact </i></span><span class="hps"><i>to the life</i></span><span class="longtext"><i> of </i></span><span class="hps"><i>Catholic mission during that
time, and</i></span><span class="longtext"><i>
for the</i></span><span class="hps"><i>
development of</i></span><span class="longtext"><i> </i></span><span class="hps"><i>Indonesian</i></span><span class="longtext"><i> local Catholic Church </i></span><span class="hps"><i>in future.</i></span><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></i></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Key
terms: Misi, zending, kolonialisme, poskolonialitas, ambiguitas, ambivalensi, mutualisme.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: 0in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pengantar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sejak awal penyebaran dan perkembangan
kekristenan sudah selalu bersinggungan dengan para penguasa dan kekuasaannya.
Relasi Misi dengan kekuasaan itu sangat dinamis, dari masa ke masa, dari tempat
yang satu ke tempat yang lainnya. Dalam sejarah Gereja kita menyaksikan di satu
sisi ada peristiwa-peristiwa dimana Misi sering dipersulit oleh
penguasa-penguasa, bahkah dimatikan. Tetapi ada banyak juga kisah Misi yang
mendapatkan sokongan penguasa, para raja, kaisar. Dan Misi itu berkembang bersama kekuasaan
para raja dan kaisar tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Dalam Kisah Para Rasul, kita menemukan bahwa
embrio kekristenan muncul di dalam situasi yang sangat tidak kondusif, bahkan
destruktif. Jemaat perdana tumbuh ‘di bawah tanah’, karena tekanan terutama
dari kekuasaan bangsa dan agama Yahudi dan juga dari kekuasaan kekaisaran Romawi.
Kisah awal Saulus menampilkan kepada kita tentang betapa kekristenan itu dalam
perkembangan awalnya mendapat tekanan dari kekuasaan. Banyak orang Kristen
dibunuh. Stefanus, martir pertama, kematiannya di’amin’i oleh Saulus, sebagai
representasi kebencian dan kekuasaan Yahudi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari Yerusalem kekristenan mulai
tersebar ke berbagai wilayah kekaisaran Romawi. Paulus, yang pernah menjadi
penganiaya orang Kristen, ialah yang mewartakan kekristenan keluar dari dunia
Yahudi. Paulus jugalah yang membawa kekristenan itu sampai ke pusat kekuasaan
Imperium Romawi. Ia sendiri mati di pusat kekuasaan itu, karena kekristenan
dianggap merongrong kekuasaan Imperium Romawi. Di bawah Imperium Romawi banyak
orang Kristen mati dibunuh, bahkan dengan cara-cara yang paling sadis. Tetapi
kekristenan tetap bertumbuh subur, dan menjadi semakin besar.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada tahun 312 M,
Konstantinus (306-337), kaisar Roma bertobat dan dibabtis menjadi Kristen. Di
bawah seorang kaisar Kristen, pertumbuhan agama Kristen sangat pesat. Pada saat
itu sudah berlaku prinsip <i>Quius Regio,
quius religio</i>. Agama kaisar atau rajanya harus menjadi agama rakyatnya
juga. Agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, bahkan diwajibkan
kepada seluruh rakyatnya menjadi Kristen. Pertumbuhan agama Kristen mendapat
dukungan penuh dari kekuasaan. Oleh karena itu, kekristenan tersebar seluas
wilayah imperium Romawi. Dan sejak saat itu juga, Roma menjadi pusat Misi kekristenan,
hingga kini.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ekspansi kekuasaan imperium Romawi pada
saat itu sama dengan ekspansi kekristenan. Wilayah Imperium Romawi luas hingga
separuh Eropa. Kekristenan selanjutnya menyebar ke seluruh Eropa dan kemudian menjadi
identitas Eropa.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Dari Eropa kekristenan menyebar ke seluruh penjuru dunia bersamaan dengan
ekspansi dan okupasi Negara-negara Eropa (Prancis, Inggris, Portugis, Spanyol,
Belanda, dan lainnya) ke wilayah Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Dalam hal
ini, persebaran dan perkembangan kekristenan bersamaan dan memboncengi
kolonialisme. Jadi, kita tidak dapat menyangkal bahwa kekristenan hadir di
seluruh dunia, termasuk Indonesia, bersamaan dengan kolonialisme Eropa.
Sekalipun demikian relasi Misi dan kekuasaan kolonial bukan tanpa masalah. Ada
berbagai dinamika di dalamnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Menurut David Hilliard, ada relasi yang
erat antara Misi dan kekuasaan. Ketika berbicara sejarah kekristenan, orang
begitu mudah untuk mengasosiasikannya dengan kekuasaan kolonialisme Barat di
dunia Non-Barat. Bagi sebagian orang, Misi yang hadir bersama ekspansi kolonial
Barat merupakan agresi para Misionaris ke dalam agama dan kebudayaan lokal.
Para Misionaris menjadi agen utama dari infiltrasi budaya dan agama Kristen
Barat, yang menunjang kontrol kekuasaan kolonial.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jelas bahwa karya Misi di Timur
sebenarnya dibawa, dan/atau memboncengi bangsa kolonial. Gereja hadir di Timur
bersamaan dengan bangsa kolonial. Para Misionaris yang datang bersama bangsa
kolonial itu pertama-tama dan terutama bertugas sebagai pelayan rohani bagi
para tentara dan pegawai kolonial.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></a>
A.C. Kruyt, seperti dikutip Van Klinken, menyatakan bahwa: “<i>Misi merupakan bagian penting dari
kolonisasi kita (Belanda)”.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[8]</span></b></span><!--[endif]--></span></a></i>
Selanjutnya, mengingat prinsip <i>Quius
Regio, Quius religio</i>, para Misionaris itu dengan dukungan para penjajah
melakukan pewartaan Injil kepada bangsa pribumi. Bahkan ada kalanya
kristenisasi itu terjadi dengan paksaan atau represi oleh tentara kolonial.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></a> Dan
dalam banyak hal, sebenarnya ada bantuan pemerintah kolonial juga untuk karya Misi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Berdasarkan beberapa hal tersebut di
atas, saya tertarik untuk secara khusus membahas hubungan kekuasaan Misi Gereja
Katolik (<i>selanjutnya disebut ‘Misi’ saja</i>)
dan kolonialisme di Nusantara pada masa penjajahan Belanda (sejak VOC hingga
pemerintah kolonial Belanda). Hal ini menarik bagi saya karena kolonial
Belanda, <i>de facto</i> didominasi oleh
kaum Protestan eksklusif dan radikal dengan berbagai denominasinya. Namun, pada
masa penjajahan Belanda inilah Gereja Katolik Indonesia mendapatkan fondasi dan
landasan untuk bertumbuh dan menjadi mandiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pokok persoalan yang hendak dibahas dirumuskan
dalam dua pertanyaan mendasar. Bagaimana dinamika relasi kekuasaan antara
kolonial Belanda dan Misi? Apa implikasi poskolonialitas relasi Misi dan
kolonial Belanda itu terhadap proses awal kemandirian Gereja Indonesia? Kolonial
Belanda yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah penjajahan oleh orang
Belanda, sejak VOC hingga NICA. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya tidak
akan membahas dinamika lainnya yang tidak relevan dengan <i>relasi kekuasaan</i> Misi dan kolonial Belanda secara langsung. Proses
awal kemandirian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah masa sesudah proklamasi
kemerdekaan RI (agama Katolik dalam Negara Indonesia merdeka) sampai pada masa
awal sesudah Konsili Vatikan II, yang telah memulai wacana kemandirian Gereja
Lokal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dinamika Relasi Kekuasaan Kolonial
Belanda dan Misi <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ada
beberapa bentuk relasi kekuasaan yang akan dipaparkan, yakni: relasi finansial
antara Misi dan pemerintah kolonial Belanda, ketergantungan pembagian wilayah Misi
pada ketetapan pemerintah kolonial, dan tidak adanya kebebasan Misi dalam
berkarya. Dalam tiga ha tersebut, nampak bahwa Misi bergantung pada pemerintah
Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Saya akan memaparkan relasi kekuasaan itu secara kronologis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 28.35pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l4 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">A.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Misi pada Masa VOC<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Misi Katolik ke kepulauan Nusantara
datang bersama dengan penjajah Portugis. Portugis dan Spanyol, dalam <i>System Padroado</i>, melaksanakan pesan Paus
untuk memajukan, mendorong, dan melindungi karya suci Injil. Tercatat tahun
1543 Portugis mendarat di Halmahera. Gereja Katolik di Indonesia hadir bersama
mereka.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Sebagaimana umumnya hingga pada masa itu ada semboyan <i>Quius regio, Quius religio.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[12]</span></b></span><!--[endif]--></span></a></i>
Portugis juga hendak menjadikan semua bangsa jajahannya menjadi penganut agama
Katolik. Pada tahun 1546-1547, Fransiskus Xaverius, rasul Asia, mulai
mewartakan Injil dan membabtis di sana dan sejak itu Misi agama Katolik pun
dimulai.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Selanjutnya, perkembangan awal Gereja Katolik mengalami pasang surut bersama
kekuasaan Portugis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Bencana bagi misi mulai terjadi pada
1605, ketika serikat dagang Belanda, VOC, merebut Ambon.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></a> VOC
kemudian berhasil mengambilalih seluruh kekuasaan Portugis dan Spanyol pada
tahun 1666. VOC, <i>nota bene</i> membawa Protestantisme
yang keras dan eksklusif dari Belanda dan hanya melindungi, memelihara dan
menghendaki penyebaran Protestantisme. VOC tidak memberikan kebebasan beragama,<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></a>
khususnya bagi Misi Katolik. Sejak itulah, Misi Gereja Katolik tidak diijinkan lagi
dan terhenti. Para pastor dibuang dan juga dipulangkan ke Belanda. Sementara
itu banyak umat dikonversi secara paksa menjadi Protestan.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></a>
VOC juga menganut semboyan <i>Quius regio,
quius religio</i>. Di bawah payung VOC, Protestantisme dengan berbagai
denominasi berkembang pesat dan Misi Gereja Katolik dipersulit, ditekan dan
bahkan dimatikan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Masa VOC berkuasa di Nusantara Gereja
Katolik di Negeri Belanda juga ditindas. Mereka melarang ordo-ordo yang
berbasis di negeri Belanda untuk menerima anggota baru. Dengan demikian akan
menjadi masalah juga bagi kelanjutan Misi di Nusantara, karena Misionarisnya
semua dari Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[17]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Karena itu jelas bahwa masa VOC (abad 17 dan 18) di Hindia Belanda merupakan
masa kelam dalam pertumbuhan Gereja Katolik di Nusantara.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[18]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Pada periode 1600-1800, Misi Katolik, yang dibangun oleh Portugis dan Spanyol,
praktis hancur selama dan oleh VOC.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[19]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 28.35pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l4 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">B.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Misi pada Masa Pemerintah Kolonial
Belanda<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran dan mati.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[20]</span></span><!--[endif]--></span></a>
VOC bangkrut akibat dari korupsi oleh para pegawainya dan juga pengeluaran
biaya untuk peperangan yang besar. Selanjutnya, tahun 1800 negara kolonial
Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC, seluruh wilayah kekuasaan dan
aset-asetnya, termasuk tugas pemeliharaan dan pembiayaan zendeling
gereja-gereja Protestan di Indonesia.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[21]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di
Nusantara saat itu sudah ada beberapa agama, yakni Hindu, Budha, Islam, Katolik
dan Protestan yang baru dibawa sejak VOC. Hubungan antar agama-agama ini
berpotensi menimbulkan pertentangan dan konflik. Oleh karena itu, negara
kolonial Belanda menganggap perlu untuk mengatur, mengurus dan mengendalikan
hal ikhwal keagamaan di bawah otoritas tertinggi Negara kolonial.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[22]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Lebih dari itu pengaturan dan pengendalian itu bermanfaat dan menunjang
kepentingan Zending/Protestantisme. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada awal abad ke-19 Belanda dikuasai Raja Louis
Napoleon dari Prancis yang beragama Katolik. Hal ini menjadi keuntungan dan
peluang tersendiri bagi Misi yang karyanya di Nusantara diamputasi oleh VOC selama
hampir dua abad. Paus Pius VII memanfaatkan situasi itu untuk menghidupkan dan
melanjutkan kembali Misi di Hindia Belanda. Tanggal 8 Mei 1807 Paus Pius VII
mencapai kesepakatan dengan Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Perfektur
Apostolik Batavia. Dengan kesepakatan tersebut karya Misi kembali hadir di Nusantara,
Hindia Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[23]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
1807 dua orang imam pertama kembali dikirim ke Batavia. Berdasarkan keputusan
Kerajaan pada tanggal 4 Maret 1807, kedua imam itu menerima yang disebut ‘<i>radicaal</i>’<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[24]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Dalam dokumen itu ditetapkan bahwa keduanya berhak menjalankan tugas
kewarganegaraannya terhadap pemerintah. Sejak itu beberapa imam Misionaris lagi
yang didatangkan ke Hindia Belanda. Kepada mereka diberikan tunjangan tahunan
oleh Kerajaan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menggolongkan para imam
tersebut ke dalam kelas tertentu. Mereka menerima tunjangan sekali setahun.
Dengan demikian mereka menjadi pegawai negeri yang digaji pemerintah, sekaligus
menjadi Misionaris. Dalam hal ini para imam itu mendapat perlakuan yang sama
seperti para pendeta Protestan, soal gaji dan biaya perjalanannya.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[25]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sejak itu (tahun 1807) bermula hubungan yang erat
antara Misi dan pemerintah kolonial Belanda, terlebih dalam hal keuangan.
Berbagai kegiatan sosial Misionaris juga dibiayai oleh pemerintah. Selain itu
pemerintah Belanda mengeluarkan biaya juga berkaitan dengan penggajian dan
biaya perjalanan yang diberikan kepada para Misionaris di Hindia Belanda.
Ketentuan tentang gaji ini bisa berubah-ubah dan tergantung sepenuhnya pada
kebijakan pemeritah kolonial Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[26]</span></span><!--[endif]--></span></a> Perubahan
itu biasanya tergantung pada kondisi perekonomian dan juga kepentingan Belanda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Hal ini menjadi sebab sebagian konflik di
kemudian hari. Para Misionaris ini telah menjadi pegawai negeri, karena itu
mesti tunduk kepada kebijakan pejabat pemerintah kolonial Belanda yang lebih
tinggi di Hindia Belanda. Dalam melaksanakan tugas pastoral atau Misionernya,
para imam/Misionaris akan diawasi dan dimintai pertanggungjawaban oleh pejabat
pemerintah Belanda di Hindia Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn27" name="_ftnref27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[27]</span></span><!--[endif]--></span></a> Dalam
hubungan semacam ini, para Misionaris dan juga tokoh-tokoh Katolik dalam
pemerintahan Hindia Belanda terperangkap di antara hirakhi Roma dan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda. Mereka bahkan cenderung hampir sama tunduknya kepada
pemerintah Belanda seperti halnya Protestan.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn28" name="_ftnref28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[28]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Hal ini jelas sebagai implikasi dari ketergantungan Misi kepada pemerintah
kolonial Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal, H.W. Daendels
mendapat instruksi dari Raja Louis Napoleon di Belanda untuk memberikan
perlindungan kepada semua agama yang ada di Hindia Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn29" name="_ftnref29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[29]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Sejak itu kebebasan beragama mendapat perlindungan pemerintah kolonial Belanda.
Dua imam pertama yang dikirim akhirnya tiba di Batavia pada tahun 1808. Mereka memulai
lagi karya Misi yang ditinggalkan hampir dua abad.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn30" name="_ftnref30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[30]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Dengan kehadiran dan kunjungan para Misionaris ini, umat yang sempat beralih ke
Protestantisme, karena dipaksa atau tidak adanya pelayanan Misionaris Katolik,
kini mulai kembali ke dalam Gereja Katolik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ada
perkembangan relasi yang semakin baik antara Tahta Suci dan pemerintah Belanda.
Pada bulan Januari tahun 1847 Tahta Suci mencapai kesepakatan dengan pemerintah
kolonial Belanda yang dituangkan dalam <i>Nota
der Punten</i>. Dalam <i>Nota der Punten</i>
ditetapkan ketentuan penggajian dan perjalanan Vikaris, dan para imam. Vikaris
mengadakan perjalanan dinas dua kali setahun dan seluruh biaya perjalanan
ditanggung oleh pemerintah. Perjalanan Vikaris itu dapat juga diwakilkan kepada
seorang imam.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn31" name="_ftnref31" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[31]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Selain itu ditetapkan juga bahwa kewenangan untuk menugaskan, menempatkan, dan
memindahkan para rohaniwannya hanya ada pada Waligereja, dalam hal ini Vikaris.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sekalipun
demikian, Waligereja tetap wajib memberitahukan atau melaporkan hal itu kepada
Gubernur Genderal, disertai dengan permintaan agar rohaniwan bersangkutan
diperbolehkan mempergunakan hak-haknya, beserta gaji sekiranya ada, yang
terkait pada fungsi itu. Lalu Gubernur Genderal memerintahkan kepada residen
setempat supaya menindaklanjuti hal itu. Gubernur Genderal tetap mempunyai hak
untuk memberikan penilaian: apakah rohaniwan yang diangkat dapat menimbulkan
bahaya bagi tata tertib dan ketenteraman di tempat ia ditugaskan. Untuk itu,
Wali Gereja tetap secara intens walaupun tidak resmi mengadakan perundingan dan
negosiasi dengan Gubernur Genderal. Sebagai catatan, Tahta Suci di Roma tidak
pernah menandatangani <i>Nota der Punten</i>
tersebut.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn32" name="_ftnref32" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[32]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
tahun 1855 terdapat perubahan ketentuan tentang gaji Misionaris. Para Misionaris
dibagi kedalam 2 kelompok kelas gaji, yakni; Vikaris Apostolik menerima skala
gaji kelas I, sedangkan 9 imam menerima skala gaji kelas II.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn33" name="_ftnref33" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[33]</span></span><!--[endif]--></span></a> Jumlah
akumulasi gaji para msionaris itu lumayan besar. Bahkan, sampai tahun 1863 gaji
beberapa rohaniwan yang berhak menerima gaji berdasarkan ‘<i>radicaal</i>’ itu menjadi sumber pembiayaan satu-satunya untuk karya-karya
Misi.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn34" name="_ftnref34" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[34]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hingga tahun 1880-an pemerintah memberikan gaji
kepada sebagian besar imam/Misionaris. Jumlah itu sangat meningkat mengingat
pada tahun 1810-an hanya beberapa orang imam saja yang mendapatkan gaji. Pada
tahun 1890 Vikaris Apostolik Batavia memperoleh gaji kelas satu dan 22 orang
imam memperoleh gaji kelas dua. Sejak tahun 1890-an pemerintah menetapkan satu
kelas baru lagi dalam penggajian para Misionaris, yakni imam-imam bergaji kelas
tiga, yang meningkat menjadi 14 orang pada awal abad ke-20. Para imam kelas
tiga adalah para imam yang berkarya ditengah umat Katolik pribumi. Sejak itu
keseluruhan jumlah gaji tidak berubah. Imam-imam yang baru datang dari Belanda
berkarya tanpa membebani pemerintah, tidak diberikan gaji.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn35" name="_ftnref35" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[35]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Pada tahun 1921, pemerintah Belanda menerapkan penghematan anggaran. Sebagian
konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah bahwa jumlah imam yang mendapatkan
gaji tidak ditambah lagi.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn36" name="_ftnref36" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[36]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal
berikutnya yang menarik berkaitan dengan relasi kekuasaan Misi dan pemerintah
kolonial Belanda adalah soal pembagian wilayah Gerejani. Perluasan wilayah
untuk kegiatan Misioner harus berdasarkan ketetapan dan ketentuan pemerintah. Misi
tidak bisa seenaknya memasuki suatu wilayah di bawah kekuasaan pemerintah.
Sebagian pertimbangan untuk menetapkan dan menyerahkan wilayah kepada Misi dan/atau
Zending dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah faktor potensi dan
kekayaan sumber daya alam wilayah tertentu, apakah dapat mendatangkan
keuntungan finansial atau tidak. Daerah potensial umumnya diserahkan kepada Zending
Protestan, sedangkan daerah yang tidak memberikan keuntungan finansial bagi
pemerintah kolonial diserahkan kepada Misi. Flores dan Timor, misalnya,
dianggap tidak menguntungkan secara finansial diserahkan kepada Misi Katolik.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn37" name="_ftnref37" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[37]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Hal inilah juga mungkin juga menjadi sebab mengapa VOC tidak mengambil alih
wilayah ini, yang hingga tahun 1860 masih di bawah penguasaan Portugis.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn38" name="_ftnref38" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[38]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Untuk
mulai membuka wilayah Misi baru dan pemekaran Vikariat Apostolik Batavia, untuk
pertama kali, pembahasannya antara Vatikan, pemerintah Belanda memakan waktu
selama tujuh tahun (1896-1902). Pada dasarnya, <i>de facto</i> para Gubernur Jenderal di Batavia tidak menghendaki
gagasan tentang pembagian-pembagian wilayah Misi yang terpisah dan independen.
Mereka lebih menghendaki pola sebelumnya, yakni semua kegiatan Misi hanya
terpusat di Batavia, pada satu tempat. Hal ini sebenarnya erat kaitan dengan
upaya pengendalian dan pengontrolan keamanan di seluruh wilayah kekuasaan
Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada tahun 1913 terdapat kesepakatan yang
menjembatani hal di atas, yakni bahwa semua pembahasan dengan Hindia Belanda harus
ditandatangani melalui Vikaris Apostolik Batavia. Hal ini berlaku persis sama
seperti dalam semua regulasi Zending Protestan. Untuk itu Gubernur Genderal
mengeluarkan ketetapan tertanggal 12 Agustus 1913, No. 29. Berdasarkan
ketetapan itu Prefek dan Vikaris harus melaporkan semua kegiatan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini semua kegiatan Misi harus sepengetahuan
Gubernur Jenderal.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn39" name="_ftnref39" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[39]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Vikaris Apostolik dapat secara resmi mencalonkan imam-imamnya, namun hanya
setelah mereka mendapat <i>radicaal</i> di
Belanda dan mendapat ijin lainnya dari Gubernur Jenderal untuk bekerja di
wilayah tertentu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pemekaran
karya Misi di wilayah timur, misalnya, juga mesti atas ijin Gubernur Jenderal.
Tahun 1907, Prefek Neyens mengajukan izin kepada Gubernur Jenderal Idenburg
untuk membuka suatu stasi Misi permanen di Ambon. Permohonan itu pun tidak
langsung ditanggapi. Pada hal di sana masih ada sisa-sisa orang Katolik sejak
pada masa Portugis. Pada tahun 1910 Neyens kembali mengajukan permohonan untuk
mengadakan kunjungan pastoral ke Ambon dan Ternate dua kali setahun.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn40" name="_ftnref40" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[40]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Selanjutnya, pada tahun yang sama (1910) Prefek Noyen mengajukan permohonan
dengan surat resmi kepada Gubernur Jenderal untuk membuka Stasi Misi Katolik di
Fakfak, Dutch Neu Guinea. Dua tahun kemudian, melalui surat tertanggal 12
januari 1912 Gubernur Genderal menolak permintaan tersebut. Keputusan tersebut
diambil berdasarkan pertimbangan bahwa di sana sudah ada Zending Protestan dan
agar tidak terjadi benturan di antara Gereja-Gereja. Pemerintah kuatir bahwa <i>dubbele Zending</i> akan menimbulkan bahaya
bagi ketertiban dan keamanan.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn41" name="_ftnref41" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[41]</span></span><!--[endif]--></span></a> Permohonan
yang sama diajukan juga pada tahun 1919, dan sekali lagi ditolak.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn42" name="_ftnref42" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[42]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Upaya negosiasi untuk memisahkan karya Misi
dari pengaruh pemerintah kolonial itu sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak
tahun 1860-an.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn43" name="_ftnref43" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[43]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Dan pada 1920-an Misi di Hindia Belanda coba mulai melepaskan keterikatan
dengan pemerintah Belanda, demi kebebasan karya Misioner. Hak-hak istimewa dari
pemerintah Belanda mulai dihentikan. Namun, dalam kenyataan tidak lepas secara
total, tetap ada subsidi pemerintah yang sangat penting, secara langsung kepada
37 imam yang ditunjuk dan secara tidak langsung melalui tunjangan untuk karya
pemberadaban berupa sekolah-sekolah, karya kesehatan dan beberapa prakarsa
lainnya. Hal ini berkaitan erat dengan program Politik Etis yang dicanangkan
oleh pemerintah Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn44" name="_ftnref44" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[44]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada tahun-tahun berikutnya yang terjadi
justru sebaliknya, Misi kembali memanfaatkan pemerintah kolonial Belanda. Pada
tahun 1929 seorang bangsawan Katolik, Jonkher Charles Ruys de Beerenbrouk
ditunjuk sebagai Perdana Menteri di Belanda. Misi memanfaatkan itu untuk
meningkatkan jumlah imam yang mendapatkan gaji dari pemerintah. Saat itu, <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 28.65pt 0.0001pt 0.5in; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">“Vikaris Apostolik mendapat 1000 gulden perbulan,
sedangkan kebanyakan imam bergaji kelas dua menerima 650-850 gulden perbulan.
Kebanyakan imam bergaji kelas tiga menerima antara 400-450 gulden perbulan.
Sehingga pada tahun 1929 para imam Katolik secara total menerima gaji sebesar
360.358 gulden dan tunjangan pemerintah sebesar 30.530 gulden. Jumlah
keseluruhan gaji dan tunjangan sebesar 390.888 gulden. Angka tersebut masih
lebih kecil jumlahnya dari Zending Protestan yang menerima 1.096.939 gulden.”<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn45" name="_ftnref45" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[45]</span></b></span><!--[endif]--></span></a>
<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 28.65pt 0.0001pt 0.5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
tahun 1930 Gereja Katolik meminta subsidi serupa untuk seorang biarawan
Fransiskan N. Geise di daerah Sunda Tengah. Ada juga tunjangan untuk berbagai
karya Misioner. Gaji para biarawan/biarawati yang berijazah lebih besar dan
menjadi sumber keuangan Misi yang signifikan.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn46" name="_ftnref46" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[46]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
dekade awal abad ke-20 muncul pelbagai macam Pergerakan Nasional, yang dimotori
oleh kaum intelektual muda Indonesia, hasil dari Politik Etis melalui
pendidikan. Kebangkitan Nasional itu mendapatkan landasannya pada Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928. Munculnya pergerakan Kebangkitan Nasional, membuat
masalah yang dihadapi Misi semakin rumit. Kesadaran nasional itu juga tumbuh di
kalangan orang-orang pribumi Katolik sendiri. Dan justru lulusan-lulusan dari
sekolah-sekolah yang dikelolah oleh Zending dan Misi yang menjadi pelopornya.
Di pihak lain, pemerintah Belanda tetap ingin memperalat Zending dan juga Misi untuk
melanggengkan kekuasaannya. Untuk itu pemerintah bersiasat membujuk mereka
melalui dukungan politis dan keuangan, apalagi bertepatan dengan program
pemerintah yang telah mencanangkan Politik Etis. Pemerintah memberikan subsidi
kepada Zending dan Misi agar mengambil bagian dalam meningkakan taraf hidup
orang-orang pribumi melalui pendidikan dan pengobatan. Tujuan itu dimanfaatkan
oleh Zending dan Misi, tetapi pemerintah Belanda juga sebenarnya mempunyai
kepentingan politis dan sedang memperalat Gereja-Gereja.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn47" name="_ftnref47" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[47]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Bahkan menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, pemerintah kolonial menetapkan
peraturan-peraturan baru yang memperkuat kedudukan para klerus/misionaris.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn48" name="_ftnref48" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[48]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: 14.2pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Implikasi Poskolonialitas Relasi Misi
dan Kolonialisme<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Relasi
Misi dan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara membawa berbagai implikasi
bagi Gereja Indonesia sejak masa penjajahan dan juga di kemudian hari. Saya
mencoba menguraikan implikasi relasi itu dalam perspektif poskolonialitas. Hal
ini berdasarkan pertimbangan bahwa Misi hadir pada masa dan bersamaan dengan
kolonialisme Belanda. Relasi Misi dan
kolonial Belanda itu terpelihara hingga saat terakhir kekuasaan kolonial itu. Dalam
hal ini saya mengasumsikan adanya implikasi poskolonialitas dari relasi Misi dan
pemerintah kolonial Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo7; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">A.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Finansial
dan Tenaga Misioner<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
awal karya Misi, khususnya kehadiran kembali pada 1807-an hingga akhir abad
ke-19, ada relasi keuangan antara Misi dengan pemerintah kolonial Belanda dan
juga orang Katolik di Belanda. Sebagian imam sekaligus menjadi pegawai negeri
yang digaji oleh pemerintah. Sebagian karya Misi juga disokong oleh keuangan
kolonial. Sumbangsih finansial dari orang Katolik di Belanda juga sangat besar
untuk memulai karya Misi dan kelangsungan karya Misi selama Hindia Belanda,
selain sokongan finansial dari Karya Misi Kepausan dan Claverbond. Oleh karena
itu, ketika Jepang menaklukkan kolonial Belanda di Nusantara (1942-1945), hal
itu berdampak besar pada karya Misi. Misi mengalami kesulitan keuangan, selain
karena krisis ekonomi awal abad ke-20, tetapi juga putusnya aliran uang dari
Barat (dari orang Katolik Belanda, Karya Misi Kepausan dan Claverbond).<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn49" name="_ftnref49" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[49]</span></span><!--[endif]--></span></a> Dengan
berakhirnya kolonialisme Belanda, berbagai subsidi pemerintah Belanda yang
selama ini dinikmati Misi terhenti. Kondisi itu semakin sulit juga karena
keadaaan ekonomi umat katolik pribumi yang umumnya miskin.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn50" name="_ftnref50" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[50]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Menyikapi
hal itu, di Keuskupan Agung Semarang misalnya, mulai mencanangkan upaya-upaya swasembada/berdikari,
baik di bidang keuangan dan pembiayaan dan juga hal-hal lainnya untuk karya Misi.
Managemen keuangan Paroki dan keuskupan mulai ditata dengan lebih baik, mulai
dibuatkan Standarisasi Laporan Keuangan dan Rancangan Tahunan Paroki.
Digalahkan juga Dana Solidaritas Paroki, dalam hal ini paroki-paroki yang lebih
mampu di bidang keuangan memberikan subsidi atau bantuan kepada paroki yang
lebih miskin.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn51" name="_ftnref51" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[51]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain
persoalan keuangan, Misi terancam juga karena kekurangan tenaga Misionaris.
Pada masa Jepang, banyak Misionaris Belanda ditahan dan dipenjara/internir.
Hanya rohaniwan bumiputra yang boleh berkarya, sementara jumlah imam,
biarawan-biarawati pribumi masih sangat sedikit. Kekurangan personil itu
diperparah oleh konsentrasi tenaga Misionaris di Batavia, 30 orang: 20 Yesuit,
sisanya MSC dan OFM. Dengan sentimen antikolonial, di kemudian hari banyak Misionaris
Belanda juga yang dipulangkan. Beberapa tahun kemudian pemerintah membatasi
ruang gerak Misionaris asing di Indonesia. Bahkan pada tahun 1953 Kementerian
agama melarang Misionaris asing bekerja di Indonesia. Keputusan yang sama
kemudian diperbaharui tahun 1956.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn52" name="_ftnref52" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[52]</span></span><!--[endif]--></span></a> Hal
ini berpengaruh besar bagi pertumbuhan awal Gereja, mengingat para Misionaris
Belanda sekaligus merupakan sumber keuangan Misi. Oleh karena itu, kehilangan Misionaris
Belanda sama dengan kehilangan sumber-sumber keuangan Misi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sesudah
kekalahan Jepang dari Sekutu, banyak Misionaris yang dibebaskan dan tidak
sedikit juga yang beralih ke penjara-penjara di bawah pengawasan tentara
Indonesia baru. Selama para Misionaris Belanda dipenjara, seluruh kegiatan
missioner dan juga biara-biara ditangani oleh bumiputra. Dan ketika, pasca
internir terjadi ketegangan antara Misionaris Belanda dengan Misionaris
Bumiputera berkaitan dengan wewenang mengatur dan mengelolah karya Misioner,
juga dalam ordo-ordo dan serikat religius.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn53" name="_ftnref53" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[53]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Rupanya mentalitas kolonial itu ada juga dalam bawah sadar para Misionaris
Belanda. Mereka merasa terganggu dan tidak mulai mempercayakan karya Misi itu
sepenuhnya kepada kaum bumiputera. Menurut saya problem kepemimpinan ini erat
berkaitan dengan identitas Gereja. Ada keengganan Misionaris Belanda untuk
suatu identitas baru Gereja dan Misi di bawah kaum bumiputera. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo7; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">B.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hubungan
Antaragama<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Persoalan hubungan Gereja Katolik dengan
agama-agama lain di Hindia Belanda sebenarnya sejak awal kehadirannya. Persoalan
yang paling menonjol adalah relasi dengan Islam dan Protestan. De facto
pemerintah kolonial mengakui Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat. Demi keamanan dan ketertiban serta hubungan baik para pemimpin
Islam, Belanda menyatakan beberapa wilayah tertutup untuk karya Zending dan Misi,
yakni di Jawa, Sumatera, Sumbawa, Makasar, Buton, dan beberapa lainnya.
Pemimpin-pemimpin agama mereka juga diberikan gaji oleh Gubernur Jenderal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sekalipun demikian pemerintah kolonial
sebenarnya sangat diskriminatif dan tidak adil terhadap Islam. Belanda
memberikan gaji dengan perbedaan yang mencolok antara para Misionaris dengan
para ulama atau pemuka agama Islam. Sampai dengan awal abad ke-20, Misionaris
dan zendeling mendapatkan gaji 600-800 golden setiap bulannya, sedangkan
seorang penghulu atau kepala mesjid Kabupaten hanya diberikan 100-150 golden. Para
pemimpin muslim banyak mempersoalkan gaji-gaji tinggi yang diterima para pastor
dan pendeta ini.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn54" name="_ftnref54" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[54]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Biaya perjalanan dinas hanya kepada Misionaris dan zendeling, sedangkan
penghulu tidak diberikan. Pemerintah memberikan subsidi yang besar untuk karya Misi
dan Zending, sedangkan kegiatan keagamaan Islam hanya mendapatkan sangat
sedikit.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn55" name="_ftnref55" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[55]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Selain itu ada juga perbedaan perlakuan terhadap orang Islam di ruang publik
dan bidang pendidikan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal-hal tersebut di atas memicu banyak
ketegangan dan konflik dalam relasi dengan Gereja Katolik juga di kemudian
hari. Diskriminasi oleh pemerintah kolonial, bagi sebagian orang Islam, hanya
menegaskan bahwa agama Kristen (Protestan dan Katolik) adalah antek penjajah. Dampaknya,
misalnya, dalam pergerakan kemerdekaan Misi juga dirongrong oleh ekstrimis
muslim tahun 1945 dan juga 1965. Pemuda Hisboelah membunuh 1 orang Skolastik
dan 1 imam Praja, membakar kompleks Misi Muntilan pada 20 Desember 1948.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn56" name="_ftnref56" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[56]</span></span><!--[endif]--></span></a> Seolah
ada pandangan umum bahwa ketika penjajah pergi dan berakhir, mestinya juga Misi
mesti pergi dan diakhiri juga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Alasan yang sama masih sering
didengungkan dalam berbagai gerakan ekstrimis Islam Indonesia hingga dewasa ini
terhadap Gereja. Susahnya memperoleh IMB untuk gedung gereja baru di tengah
lingkungan mayoritas Islam, teror terhadap kenyamanan ibadah dan gereja,
prasangka kristenisasi terhadap karya-karya sosial karitatif Gereja, dan
lainnya hingga saat ini menurut saya termasuk bagian dari implikasi
poskolonialitas dari hubungan Misi dengan kolonialisme. Begitu mudahnya kaum
ekstrimis Islam sering mengidentifikasikan Gereja dengan Barat. Barat dalam asumsi
yang sering mereka dengungkan bermakna bias; kolonial, imperialis, liberal,
kafir, dan sebagainya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ketegangan dan konflik juga terjadi
dengan Zending sejak Misi kembali diijinkan untuk hadir di Nusantara. Persoalan
pokok ketegangan itu, umumnya karena para Misionaris sering tidak menghormati
batas-batas medan kerja pekabaran Injil, sebagimana telah ditetapkan oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk Zending dan Misi.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn57" name="_ftnref57" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[57]</span></span><!--[endif]--></span></a> Demi
ketertiban dan keamanan Belanda menetapkan dengan keputusan resmi pembagian
wilayah Misi dan Zending, berdasarkan pasal 123 dari konstitusi kolonial tahun
1854 (<i>regeerings-reglement)</i>. Di dalam
pasal tersebut terdapat ketentuan tentang tidak boleh adanya <i>dubbele Zending</i>, tetapi para Misionaris
sering mengabaikannya.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn58" name="_ftnref58" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[58]</span></span><!--[endif]--></span></a> Ketegangan
itu terjadi hingga sebelum tahun 1945, bahkan sampai sebelum Konsili Vatikan II.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hubungan
Gereja Katolik Indonesia dengan Gereja-Gereja Protestan menjadi semakin baik
dan akur segera sesudah Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II sendiri dikenal
sebagai Konsili Ekumenis. Sebagai tindak lanjutnya, di seantero jagat, termasuk
Gereja Indonesia gerakan ekumenisme dengan berbagai denominasi Gereja
digalahkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 35.65pt 0.0001pt 0.5in; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">“Dealing with the relationship and
cooperation of the DGI/PGI with the </span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: MinionPro-It;">Majelis
Agung Waligereja Indonesia</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">/</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: MinionPro-It;">Konferensi Waligereja Indonesia </span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">(MAWI/KWI),
we need to add some more information.14 Before the Second Vatican Council
(1962–1965) the relationship of the Protestant churches and the Roman Catholic
Church was characterized by tension and rivalry.15 But soon aft er the Second
Vatican Council there was a very signifi cant shift in atmosphere. From the
late 1960s up to the present for example, the DGI and the MAWI every year
issued a joint Christmas Message to all churches and to the whole nation. Reflecting
on the participation or role of the church in national life and development,
the DGI and the MAWI through their respective special departments frequently
sat together and formulated their common understanding and plan of action.”<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn59" name="_ftnref59" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[59]</span></b></span><!--[endif]--></span></a>
<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 35.65pt 0.0001pt 0.5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 35.65pt 0.0001pt 0.5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo7; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">C.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Secara
Politis<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ada
pandangan umum saat pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan bahwa agama
Kristen masuk ke Indonesia berkat kekuatan-kekuatan kolonial (Belanda dan
Portugis). Agama Kristen dan orang-orang Kristen adalah antek kolonial Belanda.
Oleh karena itu, ketika kolonialisme itu sudah pergi, maka agama Kristen, yang
termasuk unsur asing kolonial harus
meninggalkan Indonesia, sekalipun dalam kenyataan Agama Kristen telah ada di
Nusantara sebelum Islam hadir, yakni di Baros (yang kini bernama Sumatera) pada
abad ke-7 menurut catatan sejarahwan Islam, Syeik al-Armani.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn60" name="_ftnref60" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[60]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal
ini dipertajam pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang menerapkan
kebijakan untuk menghapus segala bentuk pengaruh kolonial Belanda dan
memobilisasi rakyat untuk kerja paksa dan demi kepentingan militer Jepang yang
sedang berperang. Jepang mengobarkan semangat ‘nasionalisme’. Saat itu, Gereja
tidak dapat dipercayai, umat Katolik dicurigai, Gereja dituduh antinasionalisme
dan musuh bangsa. Hal ini nampak dalam kenangan yang dibuat dalam Surat Gembala
Mgr. Soegijapranata.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn61" name="_ftnref61" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[61]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebagai
tanggapan terhadap hal itu, beberapa tokoh Katolik, misalnya I.J. Kasimo, Frans
Seda dan Mgr. Soegijapranata mengambil sikap untuk menjelaskan dan menempatkan
orang-orang Katolik dalam pergerakan nasional. Frans Seda bergerak berdasarkan
kedekatannya dengan tokoh seperti Soekarno-Hatta. I.J. Kasimo bergerak melalui
organisasi-organisasi pemuda, termasuk Boedi Oetomo.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn62" name="_ftnref62" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[62]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Sebagai dukungan penuh terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia, Mgr.
Soegijapranata, sebagai seorang pejabat Gereja dan juga seorang pribumi, memaklumkan
agar orang-orang Katolik untuk berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan.
Bagi dia, seorang katolik pribumi itu mesti sungguh-sungguh <i>100 persen Katolik, 100 persen patriotik</i>.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn63" name="_ftnref63" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[63]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Sikap ini menjadi sangat signifikan mematahkan asumsi bahwa Gereja adalah antek
penjajah dan anti nasionalisme. Atas dasar seruan inilah, banyak awam Katolik
terlibat dalam berbagai organisasi dan bentuk-bentuk pergerakan nasional dan
perjuangan kemerdekaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain
itu, tetap saja ada ambiguitas dan ambivalensi sikap para Misionaris yang de
facto orang Belanda dalam masa pergerakan nasional, entah pro Belanda atau pro
kemerdekaan. <a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn64" name="_ftnref64" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[64]</span></span><!--[endif]--></span></a>Hal
ini nampak jelas, ketika Frans Van Lith, SJ. secara nyata mendukung perjuangan
kemerdekaan pribumi dari jajahan Belanda, banyak Misionaris Belanda lainnya
yang sebenarnya tidak setuju dengan hal itu. Kata-kata Van Lith yang selalu
diingat dan menjadi inspirasi Frans Seda dan I.J. Kasimo: <i>“Kamu adalah pribumi di bumi Indonesia, kamu berhak atas kemerdekaan
dan kebebasan Negara dan bangsamu.”</i><a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn65" name="_ftnref65" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[65]</span></span><!--[endif]--></span></a><i> </i>Selain itu juga ada ambiguitas dan
ambivalensi di kalangan awam Katolik. Kasimo pernah membuat pernyataan mengenai
kita harus <i>“memerintah negara sendiri”.</i>
Hal ini menimbulkan polemik di antara anggota Partai Katolik. Karena hal itu Partai
Katolik bahkan harus mengeluarkan manifesto partai, bahwa <i>“memerintah Negara sendiri” tidak sama dengan “kemerdekaan”.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn66" name="_ftnref66" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[66]</span></b></span><!--[endif]--></span></a></i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam
pemaparan di atas nampak sangat jelas bahwa ada relasi kekuasaan yang sangat
erat antara Misi dengan kolonial Belanda. Sekalipun demikian, sebenarnya Gereja
Katolik berusaha tetap menjaga independensi dan tidak adanya ketergantungan
nyaris total a la <i>Indische Kerk</i> (Zending)<i>.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn67" name="_ftnref67" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[67]</span></b></span><!--[endif]--></span></a></i>
Pola relasi demikian dan implikasi-implikasinya menjadi tidak terhindarkan
karena beberapa hal, yakni: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pertama;
wilayah Nusantara berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Segala dinamika
yang terjadi di dalam wilayah kekuasaannya tentu sudah sewajarnya ingin
dikendalikan, dikontrol dan ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka
tidak akan mungkin membiarkan unsur-unsur lain, apalagi yang mungkin tidak akan
menunjang kelanggengan kekuasaannya. Otoritas Negara kolonial memiliki kendali
terhadap segala hal. Oleh karena itu, ketika Misi hendak memasuki wilayah
kekuasaan kolonial Belanda, dengan sendirinya akan berada di bawah kontrol dan
pengawasan penguasa kolonial Belanda. Hal ini nampak sangat jelas dalam
kebijakan-kebijakan pemekaran wilayah Vikariat Apotolik dan Prefektur Apostolik
dan pembukaan karya Misi di wilayah baru harus mendapat persetujuan dan dengan
keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn68" name="_ftnref68" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[68]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kedua;
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai kepentingan politis dengan wilayah
kekuasaannya. Dengan demikian, semua hal yang dihadirkan bersama dengan
kekuasaan kolonial Belanda, bagi mereka, selalu bersifat politis. Dalam hal
ini, Misi tidak dapat menghindarkan diri, bahwa pemerintah kolonial Belanda
mempunyai kepentingan politis juga dengan menghadirkan Misi dan juga Zending di
wilayah jajahannya. Berkaitan dengan ini, saya menangkap sekurang-kurangnya ada
dua kepentingan politis pemerintah kolonial atas Misi dan Zending. <i>Pertama:</i> para Misionaris dan zendeling, Misi
dan Zending dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial sebagai jembatan penghubung
antara pemerintah dengan masyarakat pribumi. Dalam pemikiran mereka, pendekatan
para Misionaris dan zendeling lebih mudah dan dapat diterima oleh masyarakat
pribumi, karena para Misionaris dan zendeling dianggap tidak mempunyai
kepentingan politis dan mempunyai tujuan yang luhur dan mulia. Ini merupakan
keuntungan tersendiri bagi pemerintah kolonial Belanda.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn69" name="_ftnref69" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[69]</span></span><!--[endif]--></span></a> <i>Kedua: </i>orang-orang pribumi yang berhasil
dikonversi menjadi Kristen (baik Katolik atau berbagai denominasi
Protestantisme) dapat lebih mudah dijadikan alat oleh pemerintah kolonial. Hal
ini menjadi mungkin karena ada satu ikatan yang sama antara pribumi Kristen
dengan orang Belanda, yakni kekristenan itu sendiri. Dalam sejarah kolonial, misalnya,
beberapa daerah atau kerajaan yang dikonversi menjadi Kristen, kemudian menjadi
semacam ‘benteng hidup’ dan sekutu Belanda berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
kerajaan Islam yang berpotensi melakukan pemberontakan dan mengancam keamanan
kolonial Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ketiga:
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Misi juga sebenarnya sedang
memanfaatkan kekuasaan kolonial Belanda demi penyebaran Injil dan Kerajaan
Allah di wilayah Nusantara. Sejarah membuktikan, sebagaimana dipaparkan di
atas, ada beberapa hal yang dimanfaatkan Misi dari pemerintah kolonial. <i>Pertama: </i>para Misionaris memanfaatkan
sarana dan prasarana pemerintah kolonial Belanda dalam mobilitas dan aktivitas
mereka. Kunjungan-kunjungan Misioner ke wilayah tertentu selalu memanfaatkan
fasilitas kolonial. <i>Kedua: </i> para Misionaris mendapatkan keuntungan
finansial dari kedekatannya dengan bangsa kolonial. Para Misionaris awal
(1800-an) sekaligus merupakan pegawai negeri pemerintah kolonial. Mereka
mendapatkan gaji dan tunjangan tahunan. Sampai awal abad ke-20 dan menjelang
akhir masa kolonial Belanda, ada banyak imam yang diberikan gaji dan tunjangan
tahunan. Bahkan seorang Vikaris Apotolik pun diberikan gaji dan tunjangan.
Selain itu, berbagai kegiatan sosial yang bersesuaian dengan kepentingan pemerintah
kolonial seluruhnya dibiayai oleh pemerintah, dan para Misionaris hanyalah
menjadi pengelolah. Benar kata Walbert Buhlman, uang itu penting untuk karya Misi
dan Gereja membutuhkannya.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn70" name="_ftnref70" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[70]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Dalam hal itu Misi kadang mengambil untung dari kedekatannya dengan kolonial. <i>Ketiga: </i>para Misionaris juga mendapatkan
perlindungan keamanan dari pemerintah kolonial. Bahkan dalam beberapa catatan,
terkadang pewartaan Injil itu terjadi dengan kekerasan dan dengan kekuatan militer
kolonial. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari
ketiga hal di atas, menurut saya, terdapat semacam <i>simbiosis mutualisme</i> antara Misi dan pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah Belanda secara sadar memanfaatkan kehadiran Misionaris dan karya Misi
untuk kepentingan politis dan kelanggengan kekuasaannya di Nusantara. Sementara
itu, Misi juga memanfaatkan kehadiran dan dukungan pemerintah kolonial untuk
karya-karyanya dan perluasan pewartaan Injil. Dalam hal ini, pemerintah
kolonial Belanda membutuhkan Misi dan karyanya untuk kepentingannya. Demikian
juga Misi membutuhkan pemerintah kolonial untuk kepentingan karya Misi.
Sekalipun demikian, dalam kenyataannya terdapat dinamika yanag tidak mudah bagi
Misi dalam relasi dengan pemerintah kolonial. Sampai dengan akhir masa
kolonial, ‘rantai emas’ antara pemerintah kolonial Belanda dan Misi tetap
bertahan dan kuat.<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftn71" name="_ftnref71" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[71]</span></span><!--[endif]--></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.55pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Penutup.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam
sejarah tercatat bahwa sebenarnya kekristenan telah masuk ke wilayah Nusantara
pada abad ke-7 di Fansur, Baros, Sumatera, sekalipun jejak-jejaknya tidak diketemukan
lagi. Misi kemudian hadir lagi di bawah
kolonial Portugis, selanjutnya di bawah kolonial Belanda dengan berbagai
dinamikanya. Secara singkat, memang kita tidak bisa menolak bahwa kehadiran Misi kembali ke Nusantara itu bersama dengan
kolonialisme. Sangat jelas ada relasi kekuasaan antara Misi dan pemerintah
kolonial. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam
banyak hal Misi bergantung kepada keputusan pemerintah kolonial Belanda,
misalnya soal pembagian dan pemekaran wilayah Misi Apostolik. Pemerintah
kolonial juga mempunyai kepentingan politis dengan kehadiran Misi. Dan
sebaliknya juga Misi mengambil keuntungan dari kedekatannya dengan pemerintah
kolonial demi kepentingan Misi. Sekalipun demikian tetap ada tegangan-tegangan
dalam relasi itu, terutama karena Misi dan para Misionaris selalu berusaha
untuk melampaui batas-batas yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Misi selalu
berusaha menjaga jarak dan independensinya, tetapi hal itu menjadi sangat
ambigu dan ambivalen ketika relasi keuntungan dengan kekuasaan kolonial tidak
sepenuhnya dilepaskan hingga berakhirnya masa kolonialisme Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal
ini juga membawa berbagai implikasi bagi Gereja Indonesia. Ketika rantai relasi
itu secara mendadak terputus oleh invasi Jepang keaadaan Misi memprihatinkan;
terputusnya, kekurangan dan kehilangan dukungan finansial, kekurangan tenaga Misioner,
Gereja Lokal belum disiapkan secara matang. Ada ambiguitas dan ambivalen di
kalangan para Misionaris dan juga di kalangan umat berhadapan dengan pergerakan
nasional untuk kemerdekaan, serta banyak pandangan miring lainnya karena
kedekatan Misi dengan pemerintah kolonial. Implikasi-implikasi tersebut tidak
hanya terjadi dan berlaku hingga masa awal Gereja Indonesia, tetapi hingga kini
masih tampak nyata asumsi-asumsi dan kebijakan-kebijakan yang sering
diskriminatif terhadap Gereja Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">DAFTAR
PUSTAKA<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">=================<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aritonang,
J.S. and Kareel Steenbrink. 2008. <i>A
History of Christianity in Indonesia</i>. Leiden: Koninklijke Brill NV.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Boelaars,
Huub J.W.M. 2005: <i>INDONESIANISASI: Dari
Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia.</i> Yogyakarta:
Kanisius.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Bonk,
Jonathan. 1991. <i>Mission and Money</i>.
New York: Orbis Book.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dua,
Mikhael. Et al. [Ed.], 2008: <i>Politik
Katolik, Politik Kebaikan Bersama: Sejarah dan refleksi Keterlibatan
Orang-Orang Katolik dalam Politik Indonesia.</i> Jakarta: Obor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hartono,
Budi dan M. Purwatma [ed.], 2004. <i>DI
JALAN TERJAL: Mewartakan Yesus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko</i>.
Yogyakarta: Kanisius.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Heuken,
A. 2010: <i>Umat Kristen di Asia. Jilid II.
Dari Abad Ke-16 Hingga Sekarang.</i> Jakarta: Yayasan Ciptaloka Caraka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Odahl,
C. M. 2010: <i>Constantine and the Christian Empire</i>. New York: Routledge. <b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-autospace: none; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Robert,
Dana L. 2009: <i>Christian Mission-How
Christianity Became a World Religion.</i> USA: A John Wiley & Sons, Ltd.,
Publication<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Steenbrink,
Karel. 2003: <i>ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1903. Jilid I.</i>
Maumere: Penerbit Ledalero.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Steenbrink,
Karel. 2006: <i>ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1942. Jilid II.</i>
Maumere: Penerbit Ledalero.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Subanar,
G.B. 2005: <i>Menuju Gereja Mandiri, Sejarah
Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup, 1940-1981.</i> Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Van
den End, Th. 1993: <i>RAGI CARITA 2: Sejarah
Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang .</i> Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Van
Klinken, Gerry. 2010: <i>Lima Penggerak
Bangsa yang Terlupa. Nasionalisme Minoritas Kristen.</i> Yogyakarta: LKiS.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Van
Schie. 1995: <i>Rangkuman Sejarah Gereja
Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain.</i> Jakarta: Obor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Vriens,
G. 1972: <i>Sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Wilayah Tunggal Prefektur Vikariat Abad Ke-19 - Awal Abad Ke-20. JILID II.</i> Jakarta: Bagian Dokumen
Penerangan KWI.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Vriens,
G. 1974: <i>Sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Umat Katolik Perintis ± 645 - ± 1500. Awal Mula Abad Ke-14 - Abad Ke-18.
JILID I.</i> Jakarta: Bagian Dokumen Penerangan KWI<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<a href="http://www.jstor.org/stable/25168177"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">www.jstor.org/stable/25168177</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Terminologi poskolonialitas /
pascakolonialitas TIDAK dalam pengertian biasa atau harafiah, yakni ‘sesudah
kolonial”. Poskolonialitas / Pascakolonialitas
di sini dalam pengertian tentang kondisi-kondisi dalam suatu masyarakat
yang terjadi akibat peristiwa-peristiwa historis tertentu, yaitu akibat penjajahan (kolonialisme) dan/atau
kondisi-kondisi yang merupakan kelanjutan dari efek-efek atau dampak
kolonialisme. Dalam kategori waktu, poskolonialitas berkaitan dengan
situasi-situasi yang terjadi sejak adanya kolonialisme, sesudah kolonialisme,
dan hingga saat ini. Kajian Poskolonial/Pascakolonial
(Poskolonialisme/Pascakolonialisme) adalah bidang studi yang berfokus
pada usaha memahami dan menjelaskan kondisi tersebut. </span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Flores dan Timor sebenarnya
tidak diambilalih oleh VOC. Sampai pada tahun 1860, kedua wilayah tersebut masih
di bawah kekuasaan penuh Portugis. Sesudah tahun 1860, wilayah Flores dan
sebagian wilayah Timor diambilalih oleh kekuasaan NICA (Hindia Belanda),
sedangkan Timor bagian Timur (kini Timor Leste tetap dalam penguasaan
Portugis). Hal ini berimplikasi juga terhadap perkembangan misi di daerah
Flores dan Timor lebih terawat, sekalipun dalam catatan sejarah Gereja
keberhasilan misi di sana (Flores dan Timor) baru memperoleh hasil yang
signifikan pada awal abad ke 20. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Robert, Dana L.
2009: <i>Christian Mission-How Christianity
Became a World Religion.</i> USA: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication:
p. 10-20.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Odahl, C. M.
2010: <i>Constantine and the Christian Empire</i>. New York: Routledge, p. 98.<b><o:p></o:p></b></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Robert, 2009: p. 21-22.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> </span><a href="http://www.jstor.org/stable/25168177"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">www.jstor.org/stable/25168177</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">: p. 93.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; text-justify: inter-ideograph;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Hartono, Budi dan M. Purwatma
[ed.], 2004. <i>DI JALAN TERJAL: Mewartakan
Yesus Yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko</i>. Kanisius, Yogyakarta: p. 319.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Van Klinken,
Gerry. 2010: <i>Lima Penggerak Bangsa yang
Terlupa. Nasionalisme Minoritas Kristen</i>. Yogyakarta: LKiS: p. 16.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Van Schie.
1995: Rangkuman Sejarah gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama
Lain. Jakarta: Obor <i>: p. 115.</i><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Steenbrink,
Karel. 2006:<i> ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1942. Jilid II</i>.
Maumere: Penerbit Ledalero: p. 9.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoNoSpacing" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Hartono [ed.], 2004:
p. 315 ; Van Klinken, 2010: p. 11;<i> </i>Vriens,
G. 1974: <i>Sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Umat Katolik Perintis ± 645 - ± 1500. Awal Mula Abad Ke-14 - Abad Ke-18.
JILID I</i>. Jakarta: Bagian Dokumen Penerangan KWI: p. 63-64.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">
</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">van Klinken,
2010: p. 11.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn13">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, G.B. 2005: <i>Menuju Gereja Mandiri, Sejarah Keuskupan
Agung Semarang di bawah Dua Uskup, 1940-1981.</i> Yogyakarta: Penerbit
Universitas Sanata Dharma: p. 19.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn14">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> van Klinken, 2010: p. 12;
Subanar, 2005: p. 19.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn15">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Van Klinken, 2010: p. 12.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn16">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 1-2.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn17">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[17]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Van den End, Th.
dan Weitjens, 1993: <i>RAGI CARITA 2:
Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang .</i> Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia: p. 388.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn18">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[18]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> van den End dan Weitjens, 1993:
p. 2.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn19">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[19]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Boelaars, Huub
J.W.M. 2005: <i>INDONESIANISASI: Dari Gereja
Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia</i>. Yogyakarta:
Kanisius; p. 76.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn20">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[20]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> van Klinken, 2010: p. 15.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn21">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[21]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 262.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn22">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[22]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 5.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn23">
<div class="MsoListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[23]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Hartono [ed.], 2004:
p. 319.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn24">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[24]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> <i>Radicaal</i> adalah sebuah surat resmi pemerintah Belanda yang menjadi
pengesahan seseorang untuk bekerja sebagai seorang pegawai pemerintahan.
Subanar, 2005: p. 29.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn25">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[25]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Boelaars, 2005: p. 72.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn26">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref26" name="_ftn26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[26]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Vriens, G. 1972: <i>Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Wilayah
Tunggal Prefektur Vikariat Abad Ke-19 -
Awal Abad Ke-20. JILID II</i>. Jakarta:
Bagian Dokumen Penerangan KWI: p. 215.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn27">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref27" name="_ftn27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[27]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Boelaars, 2005: p. 72.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn28">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref28" name="_ftn28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[28]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Van Klinken, 2010: p. 11, 19.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn29">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref29" name="_ftn29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[29]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> van Klinken,
2010: p. 19; Heuken, A. 2010: <i>Umat
Kristen di Asia. Jilid II. Dari Abad Ke-16 Hingga Sekarang.</i> Jakarta:
Yayasan Ciptaloka Caraka: p. 86.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn30">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref30" name="_ftn30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[30]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 2.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn31">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref31" name="_ftn31" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[31]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Vriens, 1972: p. 215 ;
Steenbrink, 2006: p. 709.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn32">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref32" name="_ftn32" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[32]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Boelaars, 2005: p. 76.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn33">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref33" name="_ftn33" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[33]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Vriens, 1972: p. 215.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn34">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref34" name="_ftn34" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[34]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Boelaars, 2005: 79.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn35">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref35" name="_ftn35" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[35]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 6.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn36">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref36" name="_ftn36" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[36]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Vriens, 1972: p. 215.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn37">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref37" name="_ftn37" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[37]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 135.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn38">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref38" name="_ftn38" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[38]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Van Klinken, 2010: p. 12.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn39">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref39" name="_ftn39" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[39]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 15.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn40">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref40" name="_ftn40" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[40]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrik, 2006: 378.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn41">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref41" name="_ftn41" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[41]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Vriens, 1972: p. 216; Subanar,
2005: p. 23-24.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn42">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref42" name="_ftn42" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[42]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: 429-430.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn43">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref43" name="_ftn43" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[43]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Van Klinken, 2010: p. 14.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn44">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref44" name="_ftn44" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[44]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: P. 710.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn45">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref45" name="_ftn45" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[45]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink<i>, </i>2006: p.6-8.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn46">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref46" name="_ftn46" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[46]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p.6-9.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn47">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref47" name="_ftn47" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[47]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> van den End, 1993: p. 7.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn48">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref48" name="_ftn48" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[48]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Steenbrink, 2006: p.9.</span></div>
</div>
<div id="ftn49">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref49" name="_ftn49" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[49]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 87.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn50">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref50" name="_ftn50" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[50]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 67 dan p. 103.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn51">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref51" name="_ftn51" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[51]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 189-192.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn52">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref52" name="_ftn52" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[52]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 59-60 dan p.
87.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn53">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref53" name="_ftn53" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[53]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 73.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn54">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref54" name="_ftn54" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[54]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: p. 11.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn55">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref55" name="_ftn55" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[55]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Steenbrink,
Karel. 2003:<i> ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1903. Jilid I</i>.
Maumere: Penerbit Ledalero: p. 400-401.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn56">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref56" name="_ftn56" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[56]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 72-73.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn57">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref57" name="_ftn57" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[57]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> van den End dan Weitjens, 1993:
p. 373.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn58">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref58" name="_ftn58" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[58]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2003: p. 406.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn59">
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 35.65pt 0.0001pt 0in; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref59" name="_ftn59" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[59]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Aritonang, J.S.
and Kareel Steenbrink. 2008. <i>A History of
Christianity in Indonesia</i>. Leiden: Koninklijke Brill NV : p. 856.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn60">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref60" name="_ftn60" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[60]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Boelaars, 2005: 59; Subanar,
2005: p. 17.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn61">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref61" name="_ftn61" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[61]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 54, p. 81; Van
Klinken, 2010: p. 35.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn62">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref62" name="_ftn62" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[62]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Dua, Mikhael.
Et al. (Ed.). 2008: <i>Politik Katolik,
Politik Kebaikan Bersama: Sejarah dan refleksi Keterlibatan Orang-Orang Katolik
dalam Politik Indonesia</i>. Jakarta: Obor,
p. 26-28. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn63">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref63" name="_ftn63" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[63]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 87.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn64">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref64" name="_ftn64" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[64]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Subanar, 2005: p. 75-78.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn65">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref65" name="_ftn65" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[65]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Dua, et al. (ed.), 2008: p. 35.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn66">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref66" name="_ftn66" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[66]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Dua, et al. (ed.), 2008: p. 41.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn67">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref67" name="_ftn67" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[67]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2006: 704.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn68">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref68" name="_ftn68" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[68]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2003: p. 394-395.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn69">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref69" name="_ftn69" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[69]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> van Klinken, 2010: p. 37.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn70">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref70" name="_ftn70" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[70]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Bonk, Jonathan:
1991.<i> Mission and Money.</i> New York:
Orbis Book. p. ix-xii.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn71">
<div class="MsoFootnoteText" style="tab-stops: 42.55pt; text-indent: 42.55pt;">
<a href="file:///G:/paper%20alfons/ZENDING%20MISI%20PAPER%20alfons.docx#_ftnref71" name="_ftn71" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[71]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Steenbrink, 2003: p. 394-395.</span></div>
</div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-53667516535000463092014-03-27T09:23:00.002+07:002014-03-27T09:26:28.851+07:00 Artikel Blue Velvet<h1>
<span style="font-size: 16.0pt;">Fantasizing the Father in <i>Blue Velvet<o:p></o:p></i></span></h1>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2OssZyMsJTMYNXA_w972-zL3Oj4d9vrfKb32pixfN9ofMI6mAHtxbAEEBTLJI5N4mUSpVdHqVDAZwq0VI6L8qiZrwdwd7BB0bilTx1R50bOe9qj1xwX9ybW2L5SHLM-CthpRSW-n4Nos/s1600/bluE+VELVET.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2OssZyMsJTMYNXA_w972-zL3Oj4d9vrfKb32pixfN9ofMI6mAHtxbAEEBTLJI5N4mUSpVdHqVDAZwq0VI6L8qiZrwdwd7BB0bilTx1R50bOe9qj1xwX9ybW2L5SHLM-CthpRSW-n4Nos/s1600/bluE+VELVET.jpg" height="400" width="258" /></a></div>
<h1>
<o:p> </o:p></h1>
<h1>
A Different Kind of Separation?</h1>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 0in;">
Chastened by the failure of <i>Dune</i>(1984) and his sense that he had
lost control of the film, Lynch returned to a smaller scale for his next project.
He vowed never again to give up final cut on a picture, and this necessitated
making films for less money. But one could not imagine a more resounding
response to critical and popular failure than<i>Blue Velvet</i> (1986). It became Lynch's signature <i>film</i>: if someone knows only one Lynch
film, chances are that the film is <i>Blue
Velvet</i>. After it appears, David Lynch<span style="letter-spacing: .2pt;">
became <i>David Lynch</i> - a cinematic
auteur. </span>He even received another Academy Award nomination for Best
Director. No prior or subsequent film generated as much popular and scholarly
interest or as much criticism (among feminists for the violence toward women,
among conservatives for the perverse image of small-town America, and among
Marxists for the seeming nostalgia for the 1950s). The interest almost
inevitably focused on the conspicuous division between two opposing worlds
that Lynch creates in the film.<br />
<a name='more'></a><span style="letter-spacing: .05pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Following <i>Eraserhead</i>
( 1977),<i>The Elephant Man </i>(1980), and <i>Dune</i>, the split between the public
social reality and its fantasmatic underside seems even more pronounced in <i>Blue Velvet</i>. Almost every viewer of the
film notices that it depicts "two separate worlds” that we experience as "thereal
world”, that which we can see and hear and touch; and a subconscious, dream
world which must remain hidden, so potentially dark and violent are its
wanderings."' Lynch foregrounds the opposition between these two distinct
worlds to such an extent that detecting it doesn't even require a sophisticated
interpretive act. As Laura Mulvey rightly points out, "the binary
opposition between the everyday and the netherworlds is there for all to see
and to grasp."' Despite the obviousness of the opposition between filmic
worlds—the public reality and its underside—the most visible opposition in <i>Blue Velvet</i> does not revolve around
desire and fantasy, but between two different modes of fantasy.<span lang="IN" style="letter-spacing: .2pt; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The binary opposition that everyone notices while watching <i>Blue
Velvet </i>is one between two equally fantasmatic worlds: an excessively
ordinary public world of Lumberton that coexists with a similarly ex<span style="letter-spacing: .6pt;">aggerated underworld populated by Frank Booth (Dennis
Hopper) </span>and his associates. According to Slavoj Zizek in <span style="letter-spacing: .3pt;">"the <i>Blue Velvet </i>univ</span><span style="letter-spacing: .15pt;">erse … we encounter the fantasy in its two poles,
in its pacifying aspect </span><span style="letter-spacing: -.05pt;">(the idyllic
family life) as well as in its destructive/obscene/excessive as</span><span style="letter-spacing: .45pt;">pect.” Through this opposition, Lynch develops
more fully what we </span><span style="letter-spacing: .25pt;">saw at work in the
structure of <i>The Elephant Man. </i>But in <i>Blue Velvet, </i></span>the different
aspects of fantasy emerge<span style="font-family: "Verdana","sans-serif"; font-size: 7.0pt; mso-bidi-font-family: Verdana;">as </span>fully developed worlds rather than
remaining, as in <i>The Elephant Man, </i>opposing modes of subjective <span style="letter-spacing: .15pt;">(John Merrick's) experience. As a result, we are
able to see their logic in </span>a way we
could not in the earlier film.</div>
<div class="MsoNormal">
The public world that we see when the film opens is not
"the real world" but a purely fantasmatic onc that corresponds
perfectly—even too perfectly—to an American ideal. The opening shots show a
bright bluesky, glowing red roses next to a shiny white picket fence, and a
waving firefighter riding down the street- on a red fire engine with a Dalmatian
by his side. These images suggest the kind of perfectly realized fantasy world
that one never encounters in reality. On the other hand, the horrific underside
of this public fantasy is equally extreme. Frank Booth and his gang revel in
their perversity and total disregard for the public law. Mere exposure to them
endangers the life of Jeffrey Reaumont (Kyle Mar Lachlan) and results in a
severe heating. If the public world of <i>Blue
Velvet </i>represents an American ideal, its underside represents an American
nightmare. What distinguishes <i>Blue Velvet
</i>from the typical American fantasy is the extent to which it hold these worlds
apart. </div>
<div class="MsoNormal">
Because <i>Blue Velvet </i>depicts
two competing fantasy worlds, it constantly violates narrative logic in ways
that are possible only within the structure of fantasy and in ways that reflect
the struggle between the two fantasy worlds. Or, as C. Kenneth Fellow puts it, "Over
and over again, Lynch commits blunders (both in his script and in his
direction) in the areas of sequence, causation, and consistency."5
Pellow's scathing criticisms of the film have the ironic effect of detailing
precisely how Lynch's film employs fantasy. For instance, according to Pellow,
the setting for the film, Lumberton, "is a small town when that's convenient
to his theme, and it is a big city when that serves his need.”' This ability of
Lumberton to be at once small town and a big city indicates not the failure of
Lynch's filmmaking ability but the fact that he has situated us on the terrain
of two opposed fantasy structures: in the ideal fantasy, Lumberton is a small
town, but in the nightmare fantasy, it’s a big city. It has the quaintness of
the small town and the problems of a big city (drug dealing, murder, etc.).
Each of the "vacillations in narrative logic" that we might detect
in the film—and there are many—point us in this direction. By presenting us
with these two opposed fantasy worlds, Lynch lays bare how fantasy necessarily
works.<span style="letter-spacing: .25pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Fantasy always functions in these two modes, one comforting
and the other disconcerting. As Slavoj Zizek notes,</div>
<div class="MsoQuote">
the notion of fantasy offers an exemplary fait of the
dialectical <i>coicindentia oppositorum</i>: on the one hand, fantasy in its beatific
side,in its stabilizing dimension, the dream of a state without disturbances, out
of reach of human depravity; on the other hand, fantasyin its <i>destabilizing</i>
dimension, whose elementary form is envy—allthat "irritates" me about
the Other, images that haunt me of whathe or she is doing when out of my sight,
of how he or she deceivesme and plots against me, of how he or she ignores me
and indulgesin an enjoyment that is intensive beyond my capacity of representation,
and so on and so forth.7</div>
<div class="MsoNormal">
These two modes of fantasy have an interconnected
relationship, as we saw in the case of <i>The
Elephant Man</i>. But <i>Blue Velvet </i>further
shows us by we cannot simply content ourselves with the stabilizing fantasy: it
fails to provide the stability that it promises, and this failure of stability
gives rise to the destabilizing or nightmarishfantasy that provides an<i>explanation</i> for this failure. Though the
stabilizing fantasy fails inherently, on its own terms, the existence of the
nightmare fantasy enables us to rescue the stabilizing fantasy and explain its
failure with reference to an external rather than an internal cause. It is in
this sense that the fantasy of the ideal depends on it underside.<span style="letter-spacing: .2pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
This interdependence of the two modes of fantasy causes us
to experience them at the same time and in an interrelated way. In this sense,
the division of the two opposed modes of fantasy in <i>Blue Velvet </i>separates what we experience together. Just as we
normally experience desire and fantasy in an interrelated way, we also
experience the two modes of fantasizing—the fantasy of the ideal and the
nightmare—simultaneously. That is to say, when we fantasize about our ideal, we
fantasize simultaneously about the threats that imperil that ideal. If, for
example, we entertain a nostalgic fantasy about small-town America, we also
fantasize the imminent destruction of this ideal due to the rise of the large
city. In our typical experience of fantasy, the nightmare exists within the
same narrative structure as the ideal.<span style="letter-spacing: .25pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Even cinematic fantasies tend to affirm this marriage of the
two modes. A romantic comedy that strives to show a fantasy of an ideal romantic
union always rehearses the threats to that union. And a horror film that delves
into a nightmarish fantasy stages this nightmare against the background of the
ideal that it threatens. This is what gives <i>Blue
Velvet </i>its initial distinctiveness as a film. By separating the two modes
of fantasy, Lynch allows us to see their similarity. Ironically, when the ideal
and the nightmare function together, we cannot see the underlying similarity
that hinds them together; their very interaction has the effect of making them
seem completely different. But in the act of separating and and opposing them, <i>Blue Velvet</i>renders
visible this similarity be<span style="letter-spacing: .25pt;">tween the ideal
and the nightmare that fantasies usually obscure.'</span><span style="letter-spacing: .2pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Despite the obviousness of the opposition between the ideal
world and the nightmare world, as is also true of <i>The Elephant Man</i>, this opposition is not the most important one
that Lynch constructs in the film. He also creates an opposition between a
world of desire and a world of fantasy.<span style="letter-spacing: .35pt;">
Between the two competing fantasy structures, Lynch inserts a space of desire </span>and
locates this space in and surrounding the apartment of Dorothy Wiens (Isabella
Rosselhini). The fundamental divide in the film is thus not, as is often
thought, between the proper public world and its criminal underside: they are
two side of the same coin. What isradically different is the space of desire
centered around Dorothy's apartment.<span style="letter-spacing: .2pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The divide between fantasy and desire in <i>Blue Velvet</i> is at once a divide between
masculinity and femininity. That is, the film opposes masculine fantasy to
feminine desire. In this relationship, feminine desire is a desire that no
object can satisfy, a void that threatens to overwhelm both the desiring
subject herself and the men who become caught within her desire. Masculine
fantasy provides respite insofar as it imagines a scenario in which this desire
has an identifiable object. The film depicts the struggle between these two
positions, and in the process it reveals the inability of fantasy to tame
completely the disruption of desire.</div>
<div class="MsoNormal">
Most feminist criticisms of the film focus on the seemingly
complete male dominance that it depicts. For instance, Jane Shattuc claims,
"As opposed to Hitchcock's melodramas, which often center on a woman, <i>Blue Velvet</i> is a man's world; it trades
on women as passive objects of male voyeuristic gazes and sadistic
impulses." This interpretation accepts the competing fantasies as the
sole filmic reality. Though the ideal and the nightmare fantasy appear to
dominate the film (and become the focus of most interpretations), Dorothy in
fact occupies the central position. And she is not simply central as the
object over which men fight. She desires, and the men are left in the position
of reacting to this desire,never acting independently.<b><span style="font-family: "Garamond","serif"; font-size: 9.0pt; mso-bidi-font-family: Garamond;"><o:p></o:p></span></b></div>
<h1>
Unleashed Desire</h1>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 0in;">
The idealized fantasy world that
opens the film lasts for less than two minutes. After a series of bright
fantasmatic images including roses in front of a white picket fence, a fireman
waving from a passing engine, and a crossing guard helping children across the
street, Lynch depicts Jeffrey's father Tom Beaumont (Jack Harvey) watering the
lawn. The image of the father figure watering the lawn is not simply one in the
series of idealized images but the key one. The father holds together and anchor
the other idealized images.<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The father who collapses in this scene is not a figure of
prohibition, a paternal authority barring subjects access to enjoyment; creates
a stable relationship to the impossible, privelee object, he acts as the
support for the entire fantasy structure evinced by the bright and cheery
montage that opens the film. Because he plays the crucial role in tile ideal
fantasy, his collapse necessarily appears as a devastating event. Fredric
Jameson claims that the Film treats Tom Beaumont's stroke as "an
incomprehensible catastrophe—an act of God which is peculiarly an act of
scandalous violence within this perfect American small town.""' The
nonsensical, traumatic status of this event stems from the idealized father's
role in the fantasy. Without him, the fantasy loses its appearance of
scamlessness.</div>
<div class="MsoNormal">
Immediately after Tom Beaumont's collapse, the tone of the
film undergoes a dramatic change. As he lies on the ground, his hand continues
to hold the garden hose, and w<a href="https://www.blogger.com/null" name="_GoBack"></a>e see slow-motion shots of
the pet <span style="letter-spacing: .2pt;">dog repeatedly snapping at the
jetting stream of water. The subsequent traveling shot at the </span>level of
the grass reveals the violent and active insect lift: that lies beneath the
surface of the lawn, as the audio track turns louder and more voracious. The
sequence of shots here—as is almost always the case in <i>Blue Velvet - </i>illustrates the relationship between the idealized
world of Lumberton and its obscene underside represented by the insects. Tom
Beaumont's collapse from a stroke creates an opening between the idealized world
and its underside where Frank Booth dominates. Whereas the stable father figure
keeps this underside hidden, his frailty renders it accessible. But despite the
focus of most spectators and critics, what is most important is not this
underside but the opening to it.</div>
<div class="MsoNormal">
The sequence of scenes that follow also indicate the
relationship between paternal insufficiency and the emergence of an opening to
another world. After this unnerving start, we see Jeffrey walking to the
hospital to visit his father. He walks through an abandoned lot and picks up a
few rocks to throw. This scene is important only insofar as it sets up the next
two. Jeffrey sees his father in the hospital, and we see a look of horror on
his face as he observes his father's debilitated condition. After the scene at
the hospital, Jeffrey again walks through the same lot and again picks up a
fewrocks to throw. This time, however, while searching for rocks, he finds a
detached human<span style="letter-spacing: .05pt;"> ear.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The fact that the hospital scene intervenes between the two
scenes at the abandoned lot suggests a causal relationship between Jeffrey’s experience
at the hospital and what he finds during the second scene ata the lot. The
absence of the father within the fantasy structure allows for the introduction
of desire.11 Viewing the incapacity of the father allows Jeffrey to see the ear,
which marks an opening within the fantasy world of Lumberton. As Lynch himself
points out, the specific body part that Jeffrey finds is not simply a
contingent element in the scene. He says, "It had to be an ear because
it's an opening. An ear is wide and, as it narrows, you can go down into it.
And it goes somewhere vast."" The opening that the ear provides in
the film is the opening of desire itself. It represents a gap in the fantasy
structure that allows the desire of both Jeffrey and the spectator to emerg<span style="letter-spacing: .05pt;">e.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
In addition to the opening inherent in the very form of an ear,
Lynch associates this particular ear with castration and thus with the
emergence of desire. Someone has used scissors to cut the ear off the head of a
person, and when the medical examiner pronounces the word "scissors,"
Lynch cuts back to the abandoned lot where we see a close-up of scissors
cutting the police tape. This filmic emphasis on the act of cutting further
links the ear to the emergence of desire. The cut of castration—or the
castration threat—gives birth to desire by separating the subject from its
privileged object. It has nothing to do with anatomy but with the subjection of
the subject to the exigencies of the social law. The ear thus acts as a threat
to Jeffrey, a warning about the dangers of too much enjoyment (which Detective
Williams (George Dickerson] repeats to Jeffrey), but at the same time it
incites his desire because of the opening that it creates<span style="letter-spacing: .05pt;">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
After Jeffrey's discovery of the detached ear, the film's
form undergoes transformation. Though the fantasy world of Lumberton remains,
it loses its perfect coherence and pockets of desire become evident within this
world. The evening of his discovery, we see Jeffrey walking in the dark to
visit Detective Williams, and then Lynch cuts to a close-up of the ear in which
the camera moves toward and apparently into the ear. The camera movement here
indicates that Jeffrey himself is plunging into the openness of desire. When
Jeffrey staves Detective Williams's house, Sandy (Laura Dern) confronts him,
and it seems as if she emerges out of a void of complete blackness in the
middle of the image. This is another of the openings that begins to populate
the fantasy world of Lumberton after the collapse of the father figure at the
beginning of the film. As they begin to discuss the mystery of the ear and of
Dorothy Vallens, Jeffrey and Sandy walk down a street that has the appearance
of a tunnel or an opening to some other place. As Janet Preston notes, tunnel
imagery dominates the film, but it becomes especially prevalent as the film's
narrative approaches and enters Dorothy Vallens's apartment. She says,
"The interior of the decaying apartment building on Lincoln Street in
which the victim protagonist, Dorothy Vallens, lives is the most significant
tunnel image. It ... illuminates the theme of initiation into knowledge which
coheres much of the film's imagery."13 Though Preston correctly sees
Dorothy’s apartment as the culmination of the film's tunnel imagery, a site
where openness and gaps exist throughout the filmic space, it does, in itself,
provide no knowledge for Jeffrey. In fact, Dorothy’s apartment marks a point of
Jeffrey's non-knowledge, and this is what has the effect of stimulatinghis
desire.</div>
<div class="MsoNormal">
The non-knowledge, or impossibility of meaning, is
epitomized by the mise-en-scene of Dorothy's apartment and the surrounding
area. Whereas Lynch depicts both the Lumnberton public world and the underworld
as colorful and and full, Dorothy's apartment is a world of empty spaces and
dark voids, a world bereft of the fullness that fantasy adds. When Jeffrey
enters Dorothy's apartment using a stolen key, Lynch shoots the scene with very
little light. Initially, the screen goes completely black as Jeffrey enters
and then we see Jeffrey walking around in the apartment in near-total darkness.
Even after Dorothy returns home and turns<span style="letter-spacing: .3pt;"> on
the apartment lights, the lighting in the scene </span>remains dim, leaving
dark spares within the mise-en-scene. Just before she discovers Jeffrey hiding
in her closet, Dorothy moves into one of these dark spaces: we know she is in
the apartment, but she appears to be in the middle of a void." This type
of lighting suggests a world of desire where nothing can be known. Even the
external shots of the apartment highlight our lack of knowledge about it
through the use of lighting. We learn that Dorothy lives on the seventh floor, and
yet in the first external shot of the apartment, the apartment appears to have
only three floors. We see the first three floors and nothing but darkness above
them. The lighting produces an apartment that is present as a visible absence.</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="letter-spacing: .2pt;">Lynch</span> constructs a
rigid barrier between the world of desire within Dorothy's apartment and the
fantasy worlds outside. One cannot easily access this appartment since the
elevator is out of order, it requires traversing seven flights of stairs. Lynch
further indicates the different world the appartment by changing the sound when
Jeffrey approaches it - sometimes even eliminating nondiegetic sound all together.
Within the diegesis, a similar sound barrier exists: Dorothy catches Jeffrey in
her closet because a flushing toilet prevents him from hearing Sandy honk the
car horn four times to warn him. Though it seems as if a contingent event—the
toilet flushing—blocks the passage of the sound, it follows necessarily from
the barrier that Lynch establishes in the film. Dorothy's apartment is an
isolated space in which fantasy breaks down and ceases to provide the
explanations that give the world its<span style="letter-spacing: .05pt;">
coherence.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<i>Blue Velvet</i>
reverses the trajectory, moving from a world of desire to a world of fantasy
that Lynch employs in his first three films. Here, the film initially immerses
the spectator in the fantasy and subsequently depicts a space of desire within
the fantasy world. This reversal of trajectory—which Lynch wouldrepeat in <i>Mulholland Drive</i> (2001)— illustrates
that the relationship between desire and fantasy is dialectical rather than
temporal. Even though fantasy attempts to solve the problem of desire, this
solution emerges simultaneously with the problem, not afterward. Neither
desire's question nor fantasy's answer has a temporal priority, which is why
Lynch can begin <i>Blue Velvet</i> with a
world of fantasy and later thrust the spectator into a world of desire when he
introduces Dorothy's apartment.<span style="letter-spacing: .25pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
To say that the one site in <i>Blue Velvet </i>where fantasy ceases to operate is Dorothy's apartment
seems counterintuitive. If a critical consensus exists about any aspect of the
film, it concerns the fantasmatic nature of the scene in which Jeffrey observes
Frank's sexual assault on Dorothy. Michel Chion points out that "the kind
of fantasy on display" here is one that reenacts "the surrealistic
sexual theories of children."'5 Echoing Chion, Betsy Berry is one of many
critics who specifies this as "the primal scene," which is "both
man's and child's most terrifying scenario: the vision of violent coupling
between one's parents."' Sam Ishii-Gonzales goes e‘cit further, noting,<span style="letter-spacing: .15pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoQuote">
This episode not only spectacularly evokes the primal scene,
it also conjures up the two other fantasy scenarios identified by Freud as the
primal fantasies—namely, the fantasy of seduction and the fantasy of
castration. These fantasies are not interchangeable, but they often become
interrelated or co-existent for the inquisitive subject. This is something <i>Blue
Velvet</i>makes dramatically clear. Within the confines of Dorothy's living
space, Jeffrey Beaumont is confronted with each of the primal fantasies in all
their enigmatic force; not in strict succession, but in continuous<span style="letter-spacing: .05pt;"> fluctuation.<sup>1</sup>7</span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="letter-spacing: .1pt;">The problem with this
otherwise exemplary analysis of this scene—and </span><span style="letter-spacing: .35pt;">the others that see fantasy at work here—is that it wrongly identifies </span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">the </span><i>attempt </i>to
construct a fantasy scenario with the <i>successful </i>elaboration of one.<span style="letter-spacing: .2pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Within Dorothy's apartment, both Jeffrey and Frank Booth confront
her desire, and each fails, despite their efforts, to fantasize a way of making
that desire meaningful. The film centers around Dorothy's desire and her status
as a desiring subject; the responses to this desire remain secondary and after
the fact. Throughout <i>Blue Velvet</i>, it
is completely unclear what Dorothy desires, or if she desires anything at all.
As Jeffrey tells Sandy after his encounter with Dorothy's desire, she seems to
desire nothing. He says, "I think she wants to die. I think Frank cut the
ear I found off her husband as a warning for her to stay alive." As Lynch
depicts it in the film, Dorothy's desire is a pure desire: it desires nothing,
and it refuses to satisfy itself with any pathological object. The very purity
of Dorothy's desire—her unwillingness to accept any fantasmatic substitutes.
her refusal of every satisfaction—may lead us to think that she has no desire
at all. But pure desire is in some sense equivalent to the complete absence of
desire. In both cases, the subject experiences every possible object as
inherently unsatisfying.</div>
<div class="MsoNormal">
As the embodiment of desire, Dorothy draws men to her. They
want to discover the secret of her desire, what it is that she wants, and the
fact that she wants nothing, that nothing can satisfy her, compels them all the
more. At the same time, she threatens the men that pursue her becauseshe reveals
the void upon which all subjectivity is based. As Jacques-Main Miller notes,
because of her relationship to nothingness, "A true woman ... reveals to
man the absurdity of having. To a certain extent. she is man's
ruination."'<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
This ruination becomes evident in Jeffrey's response to
Dorothy. When Dorothy discovers Jeffrey in her closet and confronts him, she
finds him in a state of desire. She asks. "What are you doing in my apa t
neat, Jeffrey Beaumont?" and "What do you want?" But Jeffrey is
unable to answer, saying only, "I don't know." Later, after Frank's
sexual assault on Dorothy, she asks him again, "What do you want?"
This time Jeffrey responds, "Nothing." Each of these responses
indicates that at this moment—while he is in Dorothy's apartment—Jeffrey's
desire lacks a fantasy frame through which it might obtain some direction. To
say "I don't know" or "Nothing" in response to the question
"What do you want? " is not (necessarily) to lie or to proclaim that
one does not desire at all. It is rather the way in which one asserts oneself
as a desiring subject in the purest possible form. The desiring subject doesn't
know what it wants because it wants nothing—the impossible object that exists
only insofar as it remains inaccessible. This is why the anorexic who literally
eats the nothing is in some sense the pure subject of desire. The subject who
can name what it wants has accepted a fantasmatic substitute for this nothing.
At this moment in the film, Jeffrey experiences desire without the surrounding
narrative that would domesticate it, and he occupies this position because he
encounters Dorothy and her desire. And rather than experience desire in this
way without the security of a fantasy frame, he asks Dorothy to allow him to
leave.<span lang="IN"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The absence of any clear direction for Dorothy's desire
becomes apparent in her behavior toward Jeffrey. Even Dorothy herself has no idea
what she wants, and as a result, she does contradictory things. She holds a
knife on Jeffrey and threatens to kill him, and yet she forces him to undress
and performs fellatio on him. She says to him, "Don't touch me, or I'll kill
you. Do you like it when I talk like that?" Throughout this and a later
sexual encounter with Jeffrey, Dorothy seems to be performing—often acting like
Frank acts toward her. She performs because she doesn't know what she wants,
and the performance leaves open the question of what Dorothy actually desires.</div>
<div class="MsoNormal">
One might say, of course, that Dorothy's performance with
Jeffrey occurs in response to Frank's abuse, that she plays the typical role of
the victim acting out the violence that has been done to her. But such a
reading tells us more about the subject who produces it than about Dorothy. It
posits supreme agency in male aggression rather than in female desire, which
leaves it unable to explain Frank's behavior toward Dorothy. Something about Dorothy
clearly disturbs Frank, which is why he goes to such elaborate lengths to
perform in front of her.<span style="letter-spacing: .15pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
From the moment Frank enters Dorothy's apartment, he appears
to be staging a fantasinatic scenario, acting out a drama for which the only
audience (to his knowledge) is Dorothy herself. Emphasizing the performative
aspect of Frank's behavior, Michel Chion contends that'Frank behaves as if he
were the actor in a show designed to move the woman sexually. His way of
repeating certain sentences may be the outpourings of a maniac, but might it
not also be the mechanical repetition of a particular sentence designed to
excite her?"'9 Even if Frank does not aim to excite her in a typical way,
he does clearly aim to arouse her and to give a direction to her desire. By
doing so, he hopes to avoid what Miller calls the ruination that she portends
for him as a male subject. As Chion says, Frank attempts to present Dorothy
"from becoming depressed and slipping into the void ... by heating her,
kidnapping her child and husband and then cutting off the man's ear."10 In
this light, we can see all of Frank's extreme behavior in the film as an effort
to domesticate the desire that Dorothy<span style="letter-spacing: .15pt;">
embodies<sub>.</sub></span></div>
<div class="MsoNormal">
While he remains within Dorothy's apartment, however,
Frank's attempt to translate Dorothy's desire into his fantasy structure comes
up short. Clearly, Frank dominates Dorothy physically, but he never solves the
problem of her desire or succeeds in locating her within his fantasy scenario.
From her first telephone conversation with him, Dorothy continually fails to
enact the fantasy impair; her desire intervenes and disrupts thenarrative that
Frank attempts to establish. On the telephone, she calls him "Frank,"
and Frank corrects her, saying that she must address him as "sir." When
Frank arrives at the apartment, Dorothy makes a similar mistake. She says,
"Hello, baby." Frank responds, "Shut lip. it's daddy, you
shithead." These slip-ups reveal Dorothy's difficulty with the fantasy
structure that Frank lays our for her. She can't perform her role correctly
because Frank's fantasy can't successfully locate her desire. She remains a
disruptive force that he strives to domesticate.</div>
<div class="MsoNormal">
The status of Dorothy's desire completely changes when she
leaves her apartment and appears in the fantasmatic underworld that Frank
dominates. Her desire becomes clear: she wants to care for her son, to be a
proper mother. Maternity, as a symbolic role, represents a retreat from desire
because it fills in this desire's fundamental absence with a discernible
object. As Miller points out, "The truth in a woman, in Lacan's sense, is
measured by her subjective distance from the position of motherhood. To be a
mother, the mother of one's children, is to choose to exist as Woman."'
That is to say, taking up the symbolic position of mother represents an
abandonment of one's desire. When Dorothy evinces maternal concern for her son,
she indicates that shehas left the terrain of pure desire and entered the world
or fantasy. As a mother, she is on male turf: the image of the maternal
plenitude is a male fantasy. By kidnapping her son and prompting Dorothy into
the position of the protective mother, Frank creates a fantasy scenario in
which Dorothy's desire ceases to be traumatic for him."<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<h1>
Fantasmatic Fathers</h1>
<div class="MsoNormal">
What the idealized public world of the film and its
nightmarish underside share is a father figure that provides support for the
fantasy structure. The coherence ofthis structure depends on the activity of
the father, which is why the collapse of Tom Beaumont at the beginning of the
film has such dramatic effects. Within fantasy, the father exists in order to
domesticate feminine desire and provide a direction for it. He names this
desire and thus works to eliminate its resistance to signification.<span style="letter-spacing: .05pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
In this sense, Frank's violence is an attempt to amuse
Dorothy's desire—to motivate her to desire something rather than nothing. Like
Jeffrey and like the spectator, Frank experiences the trauma of an encounter with
Dorothy's gaze and the horror of her desire, and he uses violence in order to
provide a solution to this traumatic desire. This is why the spectator can find
some degree of pleasure in the character of Frank, despite his disturbing violence.
Frank is a fantasy figure and offers relief from Dorothy's desire through the
fantasy scenario that he stages for her. Even his sexual assault on her—the
film's most famous scene—works to mitigate the trauma of Dorothy's desire by
giving it direction and forcing her to make clear what she wants.<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
After witnessing Frank's assault on Dorothy, Jeffrey returns
to Dorothy's apartment on a later night and has sex with her. Lynch films this
sex act in a way that indicates its traumatic status. Before they have sex, he
asks her, "What do you want?” She replies, "I want you to hurt
me." Though Jeffrey initially refuses, telling Dorothy, "No. I want
to help you,” he ends up striking her. When he does, the screen turns white.
After the white screen, we see a distorted shot of Jeffrey and Dorothy having
sex in slow motion. This depiction of their sexual act registers how disturbing
Dorothy's desire is for Jeffrey. It not only disturbs Jeffrey and pushes him
into uncharacteristic violence, but it also disrupts the filmic representation
itself. Lynch cannot film this scene in the typical way because it unhinges the
field of representation itself. Dorothy’s desire for nothing resists all
attempts - both Jeffrey's and the film’s - to
signify it. It produces the failure implicit in Jeffrey's violence and
the failure of representation embodied by the white screen.</div>
<div class="MsoNormal">
Seeing the trauma attached to Jeffrey’s encounter with Dorothy's
desire in this scene allows us to understand the role that Jeffrey's subsequent
joyride with Frank plays in his psychic economy. Jeffrey runs into Frank and
his gang as he is leaving Dorothy's apartment, and Frank forces Jeffrey to
accompany them on a joyride that almost results in Jeffrey's death. Frank
exposes Jeffrey to a violent and sadistic underworld in which Frank is the
sole figure of authority. When Jeffrey defies this authority and punches Frank
(for hitting Dorothy), Frank threatens to kill him and nearly heats him to
death. During this heating, a bond between Frank and Jeffrey emerges. Earlier,
Frank tells Jeffrey, "You're like me," and before beating him, Frank
smears lipstick all around his lips and kisses Jeffrey. The bond between them
is their shared retreat from Dorothy's desire. Even though his night with Frank
nearly leads to his death, it actually provides relief for Jeffrey after his encounter
with Dorothy's desire. The chronology of the film almost seems to suggest that
Jeffrey fantasizes the encounter with Frank and the abuse that results in order
to find respite from Dorothy. Far better to be beaten by Frank than to face the
trauma ofDorothy's unsatisfiable desire. Even if Frank horrifies us as
spectators, he nonetheless provides a horror that makes sense.<span style="letter-spacing: .05pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The bond between Jeffrey and Frank is a homosocial one, and
the film suggests that this powerful bond develops in response to the trauma of
female desire. The violent nature of homosocial bonding—the fraternity hazing
rituals, the humiliation of outsiders, and so on – does not derive simply from
an excess of testosterone. This violence has a clear meaning: it assures the
subjects participating in it that a power exists with the ability to contain
the desire for nothing (the desire that we see in Dorothy). The abyss of this
desire threatens to swallow men up, but homosocial violence implicitly premises
to control it. Even the victims of homosocial violence gain this assurance,
which is why they are often as artached to masculinity as the most aggressive
men.</div>
<div class="MsoNormal">
Frank also provides relief for Jeffrey insofar as he occupies
the position of paternal authority. Unlike the other fathers in the film,
Frank, despite his seeming commitment to unrestrained enjoyment, upholds
prohibition and supports the symbolic law, This becomes evident during the
joyride sequence when Frank stops at Ben's to discuss his drug dealings and
allow Dorothy to see her son. Here, despite loudly proclaiming "I'll fuck
anything that moves," Frank also enforces codes of civility. When Frank
toasts Ben (Dean Stockwell), Jeffrey doesn't say anything. We then see Frank
walk over to Jeffrey, punch him in the midsection, and say, "Be polite!"
Though this command appears wildly incongruous in the mouth of Frank given what
we have just seen him do, it fits with the idea of him as a figure of paternal
authority. And as the sole effective paternal figure in the film, his presence
offers assurance to Jeffrey that Dorothy can be contained.<span style="letter-spacing: .05pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Frank equally reassures the spectator watching the film.
Even though he is clearly an evil character (a killer, a drug dealer, a sexual
predator, a kidnapper, even a drunk driver), Frank remains a thoroughly
pacifying figure on the screen. Dennis Hopper’s performance as Frank
accentuates his humorous qualities even when perpetuating violence. For instance,
when he kidnaps Jeffrey and fences him to go to Ben's, he does so through
wordplay reminiscent of Abbott and Costello's "Who's on first?"
routine. Lynch also uses music to diffuse rather than enhance the threat that
Frank represents. Typically, films associate villains with haunting music. The
song we associate with Frank—and that plays as he beats up Jeffrey the night of
the joyride—is Roy Orbison’s "In Dreams," a song that defies an
association with villainy. Frank attempts to distort the meaning of the song:
we see him in a close-up telling Jeffrey, "in dreams, you're mine,"
implying that he will haunt Jeffrey like a nightmare. But the very soft and
melodious nature of the Orbison song belies this threat and, along with the
lipstick smeared on Frank's face, renders it less intimidating. Lynch's
depiction of Frank the night of the joyride and throughout the film emphasizes
that he functions as a figure of psychic relief rather than trauma.23<span style="letter-spacing: .15pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Jeffrey's flashbacks the next morning confirm that Dorothy
represents the real trauma for him, not Frank. Rather than dreaming about his
horrific beating at Frank's hands and his near death, Jeffrey remains fixated
on Dorothy, seeing her in a flashback saying "Hit me” and seeing himself
hit her in response. Dorothy is a traumatic object-cause of desire precisely
because no one can fantasize away her desire and she seems to desire nothing. It
is against this background of Dorothy's desire for nothing—or the nothingness
of Dorothy’s desire – that the desire <i>for</i>
her emerges. As an impossible object, an <i>objet
petit a</i>, Dorothy represents a far greater threat to Jeffrey than the father
figure. Frank <span style="letter-spacing: .05pt;">can merely kill him, but
Dorothy can force him to confront his desire.</span></div>
<div class="MsoNormal">
Both the ideal father and the nightmare father are fantasy
constructions who work to tame the impossible object-cause of desire. Even
though these paternal figures do violence to the subject and represent a
barrier m the subject's enjoyment, they nonetheless provide a sense of relief.
Without the father, the fintasizing subject experiences the unbearable weight
of the impossible object intrude into its fantasy screen, causing the very
structure of the fantasy to disintegrate. Th is is precisely what occurs when
Dorothy enters the idealized fantasy world—a world where the father has become
incapacitated—near t he end of the film.<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<h1>
Fantasy and the Traumatic Encounter</h1>
<div class="MsoNormal">
The function of fantasy is to render the impossible object
accessible for the subject. In doing so, fantasy provides a way for the subject
to enjoy itself that would be unthinkable outside of fantasy. However, the act
of making the impossible object accessible for the subject involves a danger.
This object remains pleasurable only insofar as it remains absent and
impossilile. An actual encounter dislocates the entire symbolic structure in which
the subject exists. Thus, most fantasies are very careful about the kind of
access they offer to the impossible object.</div>
<div class="MsoNormal">
Fantasies distort the object by never allowing it to appear
in a pure form. We see an image masking the object, not the object itself. Or
we see this object indirectly—as it disappears or moves away. The distortion
of the object in the fantasy is the result of a failure to play out fully the
logic of fantasy. When fully developed, the logic of fantasy leads to an
encounter with the object in its real, traumatic dimension, but most fantasies
never go this far. The separation of the worlds of desire and fantasy in <i>Blue Velvet</i> allows Lynch to avoid this
failure that plagues most films. The film displays the fantasy in its entirety,
and thus we experience a direct encounter with the impossible<span style="letter-spacing: .05pt;"> object.<sup>2</sup>4<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The ideological function of cinema depends on the limited
access it provides to this object. Films provide a hint of enjoyment through the
fantasy scenarios they deploy, but not too much. They remain pleasurable
rather than becoming authentically enjoyable and thus threatening. The
pleasure depends on an abbreviated deployment of fantasy, one that ends before
it reachs its traumatic point. But the trauma<span style="letter-spacing: .1pt;">is
the</span>key to the enjoyment that fantasy offers: when films avoid trauma,
they avoid enjoyment. Lynch gives both by continuing the fantasy where other
films stop. If it were the typical film, <i>Blue
Velvet</i> would end when Jeffrey and Sandy proclaim their love for each other
while dancing at a party. But just after this scene, Lynch unleashes a
traumatic encounter with the impossible object.<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Dorothy, her body naked and beaten, appears in the
fantasmatic ideal world of Lumberton. This scene begins with Sandy's former boyfriend
Mike chasing Jeffrey and Sandy through the Lumberton streets with his car. Lynch
shoots this chase so as to create a sense of danger: we see the pursuing car
only in a series of long shots that don't allow us to see who's driving. When
Jeffrey assumes that Frank is in the car, the film encourages us to agree with
him. After Sandy recognizes Mike driving, we experience the same relief that
Jeffrey and Sandy do. Tension persists as they stop in front of Jeffrey's
house as Mike prepares to tight Jeffrey for stealing Sandy from him, but Mike
does not represent a threat like Frank. We are thus unprepared, like the
characters in the film, for what happens<span style="letter-spacing: .2pt;">
next.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
While Mike is in the process of confronting Jeffrey, Dorothy
gradually enters into the back left side of the image. She seems to appear out
of thin air, appearing at first as an indecipherable blot that no one—including
the spectator—initially notices. When the other characters do notice, they
become completely disoriented. Her intrusion into the fantasmatic realm rips
apart the fantasy structure. Mike abandons any notion of lighting with Jeffrey
and begins to depart. But ro lessen the trauma of Dorothy's appearance, he
adds. "Who's that, huh? Is that your mother?" On the one hand, Mike's
comment seems to support the reading of the film that identifies Dorothy’s with
maternity, but on the other, it attests to the fantasmatic role that the image
of Dorothy as mother plays. That this would be Mike's first assumption when he
sees her walking through the yard naked and beaten suggests that he is responding
with what immediately comes to mind—i.e., with his unconscious fantasy. Mike's
comment says more about him as a character than it does about Dorothy and her
actual status in the film.<span style="letter-spacing: .1pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The threat of the fight suddenly seems absurdly insignificant
in comparison with the trauma of Dorothy's body. Her body has no place within within
the fantasmatic public world, and the fantasy screen breaks down. The fform in
which Dorothy appears – publicly naked and begging for Jeffrey’shelp—reveals
the spectator's investment in the fantasy and demands that the spectator
confront her qua impossible object. She doesn't fit in the picture, which is
why we become so uncomfortable watching her naked body in the middle of the
suburban neighborhood. When Jeffrey and Sandy take Dorothy into Sandy's house,
Dorothy clings to Jeffrey and repeats, "He put his disease in me."
Dorothy 's presence is unbearable both for characters in the film—Sandy begins
to cry, and her mother retrieves a coat to cover Dorothy—and for the spectator.<span style="letter-spacing: .15pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
Here the realm of desire intersects with that of fantasy,
forcing an encounter with the real dimension of the impossible object without
its imaginary guise. The fantasy, structure of Lumberton's idealized world can
only maintain its consistency as long as it excludes desire. Hence, when
Dorothy's desire intrudes into this structure, she shatters it and at the same
time shatters the spectator's distance from what's happening. As a foreign body
in this mise-en-scene, Dorothy embodies the gaze, and our anxiety in seeing her
indicates our encounter with it, revealing that we are in the picture at its
nonspecular point, the point of the gaze. For<span style="letter-spacing: -.1pt;">
Lacan, "<i>The</i> object a <i>in the
field of the visibleis the gaze ."<sup>25 </sup></i></span>That is, the
gaze is the impossible object—not a subjective look but the point at which the object
marks the subject's desire. Hie gaze includes the subject's desire within the
visual field as an impossible point irreducible to that field. As this scene
illustrates, in the form of the gaze the object looks back at us. Our desire
becomes embodied in the traumatic point of Dorothy's body on the screen. <i>Blue Velvet</i>uses a strict separation of
desire and fantasy in order to depict the traumatic point of their intersection.
The film shows that by immersing ourselves in fantasy without the security of
the father, we can encounter the impossible object. And it is through this
encounter that we enjoy.</div>
<h1>
A Utopia Without Disavowal</h1>
<div class="MsoNormal">
The film concludes with what seems like the restoration of
the idealized fantasy, now cleansed of both its nightmare underside and of Dorothy's
desire. At Jeffrey's house, we see Jeffrey’s and Sandy's family interacting
with each other on a sunny summer afternoon, Jeffrey's father stands with
Detective Williams in the backyard, his health now restored. Jeffrey and Sandy
are together, with her boyfriend Mike no longer a barrier to their romance.
What's more, a robin appears on thewindow ledge, seeming to confirm Sandy's
fantasmatic prediction that there will lie trouble only until the robins come.
There are, however, noticeable stains within this idealized<span style="letter-spacing: .05pt;"> image.</span><span style="letter-spacing: .15pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
The robin itself, the representative of the ideal, also
hints at the continued existence of the underside as we see it eating a hug.
This bug serves to remind us of the opening sequence, where Tom Beaumont's
collapse opened up the underworld of bug life beneath the surface of the grass.
The idealized fantasy thus reveals its failure again, even at the point of its
apparent success. The limitation of this fantasy becomes even more evident as
the film ends.</div>
<div class="MsoNormal">
The film ends with a final image of Dorothy that suggests
that the restoration of the father has secured her desire. She now exists as a
mother, with only maternal desires, in the idealized fantasy world of
Lumberton. The last image of the film depicts Donnie, freed from Frank's
threat, playing with his smiling mother on a bright sunny day. The idyllic
scene offers visual confirmation of the clarity of Dorothy's desire, but, as so
often happens in a Lynch film, the audio track belies the visual image. The
last words of the film are Dorothy singing the song she has sung throughout the
film. We hear, "And I still can see blue velvet through my tears." This
line suggests that despite the image of Dorothy playing peacefully with her
son, her desire cannot fit completely into the maternal role. Here the visual
and the audio tracks are completely at odds with each other, as the audio track
recalls Dorothy’s involvement with Frank. This continued division within
Dorothy's desire indicates that neither alternative is entirely satisfying to
her. She remains a subject de<span style="letter-spacing: .25pt;">siring nothing
and thereby staining the denouement </span>of the film.</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="letter-spacing: .3pt;">In this </span>way, the
film shows us the limit that fantasy cannot eclipse. As <i>Blue Velvet</i> makes clear, fantasy works in two different ways to narrate
the disturbance that desire brings to the symbolic order, but neither of these
ways is fully successful. The ultimate contention of the film is not that we
should abandon our fantasies--if this were even possible—because they always
fail. What we most do, instead, is pay attention to those moments at which
fantasy fails, not to guard against these moments, in order to see that the
enjoyment we derive from fantasy depends dirertly on the moments of failure. It
is onlyat which they fail that fantasies allow us access to an otherwiie
inaccessible<br />
object.</div>
<br />
<div class="MsoNormal">
We most often think of the turn to fantasy as a betrayal of
desire, as a way of compromising on the purity of desire. On one level, <i>Blue Velvet </i>confirms this idea through
its depiction of fantasy as a retreat from Dorothy's implacable desire. But on
another level, the conclusion of the film indicates how a certain mode of
fantasizing can take desire into account and remain true to it. By taking
fantasy to its limit, by fantasizing absolutely, one sees desire reemerge in
the fantasy. The bug that the robin eats and the sound of "Blue
Velvet" on the film's audio track in the final scene bear witness to
desire's reemergence. Fantasy allows us to rediscover the desire that it leaves
behind so long as we persist in it seriously enough. It is only the halfhearted
fantasy that forsakes desire. The absolute commitment to fantasy produces the
impossible moment at which betrayed desire<span style="letter-spacing: .1pt;">
returns.<o:p></o:p></span></div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-2356276862651318072014-03-27T09:14:00.000+07:002014-03-27T10:52:52.050+07:00Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia<h3 style="text-align: center;">
<b><span style="font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia</span></b></h3>
<div class="Section2">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: small; line-height: 150%;">Oleh: Anne Shakka-136322013</span><br />
<span style="font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> </span><b><span style="font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> </span></b><br />
<b><span style="font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"></span></b><br />
<b><span style="font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnYD2ORW9l4bYhUPWEjyWW-RQH2bwkouI56ljXGwzmAQ7QPLwqJFrT0-AhvPd3-JapkFvdx7O2TpLRqQ02xhqTM7pRi91jKW54kWgqJUV9V8vfDKF8gC1D1U0Ar5IWzd5MkC9oBtdMP_Y/s1600/IMG_1175(1).JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnYD2ORW9l4bYhUPWEjyWW-RQH2bwkouI56ljXGwzmAQ7QPLwqJFrT0-AhvPd3-JapkFvdx7O2TpLRqQ02xhqTM7pRi91jKW54kWgqJUV9V8vfDKF8gC1D1U0Ar5IWzd5MkC9oBtdMP_Y/s1600/IMG_1175(1).JPG" height="240" width="320" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 21.3pt;">
<b><span style="font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pengantar <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bertahun-tahun dalam hidup saya,
Kartini menjadi suatu gambaran perempuan ideal yang didengung-dengungkan oleh
banyak orang di sekitar saya. Gambaran untuk menjadi seorang ibu dan seorang
istri yang baik. Suatu gambaran yang ternyata diwacanakan oleh negara seperti
yang dikatakan Julia I. Suryakusuma dalam artikelnya Seks, Posisi Birokratis<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Dalam Artikel itu Julia menjelaskan bahwa negara ikut campur dan melembagakan
seksualitas para pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah no. 10 tahun
1983. Pembentukan dan penyebaran citra tersebut juga dilanggengkan dengan
dibentuknya Darma Wanita dan PKK.</span></div>
<a name='more'></a><o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Gambaran sebagi istri dan sebagai
ibu yang ikut suami, ibu yang merupakan seorang ibu rumah tangga yang hanya di
rumah dan mengurus rumah serta anak-anaknya, sangat jauh dengan apa yang saya
temui dalam kehidupan sehari-hari. Ibu dalam keseharian saya adalah seorang
yang aktif bekerja untuk membuat perekonomian rumah tetap berjalan. Ibu yang
berada di posisi yang setara dengan suaminya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Saya melalui tulisan ini ingin
menggambarkan adanya imaji gender yang berbeda dengan apa yang selama ini banyak
diwacanakan di Indonesia. Tulisan ini akan menggunakan metode penulisan <i>autoetnografi. </i>Dalam bukunya <i>Ethnographic I, </i>Carolyn Ellis
menjelaskan bahwa autoenografi adalah suatu metode penulisan yang berangkat
dari pengalaman pribadi penulis, dan mengamati sensasi fisik, perasaan, pikiran
dan emosi. Suatu introspeksi sosiologis yang sistematis dan mengingat ulang
suatu pengalaman yang emosional untuk lebih memahami pengalaman yang sudah
dijalani.<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Inilah kisah saya…<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<i><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Cilik-cilik Cina, suk gede meh dadi apa?”<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[3]</span></b></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pertanyaan itu yang mendarat di
telinga kecilku ketika aku mulai bisa bermain di luar rumah. Pertanyaan yang
datang dari para tentanggaku yang sudah jauh lebih tua dariku kala itu yang
bahkan belum berusia lima tahun. Pertanyaan yang kubawa pulang dan kutanyaakan
ulang kepada mama dan wak-ku, kakak perempuan mama. Sekarang aku masih
bertanya-tanya apa yang dirasakan mamaku kala itu, ketika anak perempuan
kecilnya pulang dan menanyakan pertanyaan itu padanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kanyataan bahwa aku berbeda dari
para tetanggaku adalah hal yang aku harus hadapi ketika aku mulai bisa
bermain-main di luar rumah. Aku tidak memanggil kakakku dengan “Mas”, seperti
di keluarga ibu Mutinah di belakang rumah. Aku memanggil kakakku dengan “Koko”,
penggilan yang selalu ditertawakan, hingga aku memutuskan untuk berhenti
menggunakan kata-kata itu. Pada usia enam tahun, aku mulai memanggil kakakku
yang lebih tua lima tahun dariku dengan namanya, Daniel.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Aku tumbuh di sebuah kota kecil di
Jawa Tengah. Temanggung adalah tempat kelahiran papaku. Setelah kedua
orangtuaku menikah di Solo, mereka berdua kemudian pindah ke kota kelahiran
papaku ini. Sebuah kota kecil di mana orang-orangnya saling mengenal satu sama
lain. Setelah setahun tinggal bersama kakek dan nenekku, keluarga kami memutuskan
untuk mandiri dan mengontrak rumah sendiri, meninggalkan kawasan pecinan yang
aman dan tinggal bersama-sama dengan orang Jawa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tahun 1982, orangtuaku mulai
membuka toko yang menjual minyak tanah dan barang kebutuhan sehari-hari
lainnya. Karena papaku bekerja di gudang tembakau kala itu, praktis urusan
membuka dan mengurus toko menjadi pekerjaan mama. Sepanjang 30 tahun mama
dengan setia membuka toko dari jam setengah tujuh pagi sampai jam dua siang,
kemudian buka kembali jam setengah lima sore sampai jam delapan malam. Begitu
rutinitasnya setiap hari, sepanjang tahun. Kami bahkan tidak mengenal hari
raya, mau hari Natal, Paskah, Lebaran, sampai Imlek, jam buka toko tidak bisa
diganggu gugat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Etos kerja yang penuh dedikasi itu
yang aku lihat sepanjang hari. Anehnya, tidak ada tuntutan yang sama yang
diberikan kedua orangtuaku kepada anak-anaknya. Mereka hanya ingin sekolah kami
berjalan dengan baik dan beres. Pernah waktu kelas empat SD rangkingku keluar
dari lima besar, dan papaku berkata demikian padaku, “Kalau nilaimu <i>ndak </i>membaik, besok Papa belikan sapi
dan angon sapi <i>aja</i> di sawah, <i>ndak</i> usah sekolah.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Penekanan akan pentingnya sekolah
mungkin karena kedua orangtuaku tidak mendapat kesempatan yang sama. Papa hanya
lulus SMA, selepas sekolah ia langsung bekerja dan menikah. Sedangkan Mama,
hanya lulusan SMP. Keluarganya tidak lagi mampu membiayai pendidikannya, dan
memintanya untuk membantu keluarga berjualan masakan yang dijualkan oleh para
ibu-ibu <i>tenongan</i> dari rumah ke rumah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sejak kecil, mamaku sebagai anak
kelima dari lima bersaudara sudah terbiasa bekerja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Kalau pulang sekolah itu selalu
ditanya, “kapan liburnya, kok sekolah terus?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tuntutan untuk bekerja dan membantu
perekonomian keluarga lebih besar, sehingga Mama memutuskan untuk berhenti
sekolah dan bekerja saja. Ia pernah bekerja di pabrik obat, membantu dokter
gigi, merantau ke Bali untuk berjualan baju, dan menjadi kasir di sebuah toko
roti di kota Solo, hingga ia menikah dan pindah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bagi Mama saya bekerja adalah hal
yang mutlak dilakukan, hal itu juga ditekankan pada saya anak perempuannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Ya selama kita bisa bekerja dan
menghasilkan uang, ya pekerjaan lain yang tidak menghasilkan uang bisa
dipasrahkan ke orang lain. Perempuan juga harus bekerja dan harus bisa
mencukupi kebutuhan sendiri dan anak-anak.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pandangan tentang pekerjaan inilah
yang membuat peran pembantu menjadi penting dalam kehidupan keluarga kami.
Bahkan merawat anak-anak, membantu membuat PR, menemani bermain termasuk
sesuatu yang bisa didelegasikan kepada para asisten rumah tangga tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Di sisi lain, walaupun dimanjakan
dengan fasilitas dan pelayanan pembantu, kemandirian adalah sesuatu yang sangat
ditekankan dalam keluarga kami. Mungkin saja dilihat dari kondisi keluarga kami
yang jauh dari sanak saudara, atau mungkin karena alasan lain. Salah satunya
adalah saat masuk SMA aku dan kakakku sudah pergi dari rumah dan tinggal di
Jogjakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sebelum pindah ke Jogja, kedua
orangtuaku sangat menekankan aku untuk bisa mengendarai motor sendiri. Hal ini
dimaksudkan agar aku tidak bergantung pada orang lain. Jadi di usia 15 tahun
aku sudah mahir naik motor dan menjalani masa SMA-ku di sebuah SMA swasta di
Jogjakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dalam hal kehidupan sehari-hari di
rumah semua orang dalam keluarga kami selalu berusaha untuk menyelesaikan semua
urusan dan keperluan kami sendiri-sendiri. Sangat jarang aku melihat Mama
menyiapkan makanan atau keperluan papa yang lain. Lebih sering Papaku yang
pergi untuk membeli lauk untuk kami sekeluarga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pernikahan sampai sekarang masih
menjadi pembicaraan yang asing dalam keluarga kami. Memasukki usianya yang
ke-31, kakak lelakiku belum mendapatkan desakan untuk menikah. Mungkin karena
dia lelaki. Tetapi keadaan yang sama juga menghampiriku. Saat teman-teman
sebayaku yang berusia 25 tahunan ke atas ini mulai beranjak menikah satu per
satu, atau banyak cerita di mana mereka semua mulai dikejar-kejar untuk
menikah, dan hal itu tidak aku rasakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sampai sekarang pendidikan dan
pekerjaan masih menjadi prioritas bagi orangtuaku yang ditekankan dalam
kehidupanku. Masih teringat dengan jelas dalam ingatanku ketika aku
menceritakan ingin melanjutkan sekolah ke jenjang S2, betapa antusiasnya Mamaku
dengan keputusan yang aku ambil. Keputusan yang berarti beliau masih harus
menanggung kehidupanku dua tahun lebih panjang. Bahkan bisa jadi lebih lama
dari itu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Antusiasme yang tidak kurasakan
ketika aku membicarakan tentang relasi dengan lelaki. Bahkan ketika aku
menceritakan teman-temanku yang sudah atau ingin menikah reaksi Mamaku adalah,
“Diselesaikan dulu sekolahnya, buat apa <i>kesusu
</i>nikah? Kalau sudah menikah dan punya anak sudah <i>nggak </i>bisa ngapa-ngapain.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dalam keluarga besarku, tidak
banyak yang menikah di usia muda. Mamaku sendiri menikah di usia 25 tahun. Ada
seorang kakak perempuannya yang tidak menikah dan memilih untuk tinggal sendiri
di Jakarta. Sebagian besar sepupuku baik lelaki dan perempuan sebagian besar
menikah di atas 30 tahun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pemilihan pasangan sendiri pada
umumnya sudah diserahkan kepada masing-masing anak. Namun dalam prakteknya
tetap ada batasan-batasan yang kadang tidak diungkapkan langsung atau hanya
berupa anjuran. Beberapa di antaranya adalah sebaiknya memilih pasangan dari
sesama keturunan Cina karena dianggap masih menjunjung nilai-nilai
kekeluargaan. Selain itu untuk pemilihan pasangan lelaki tetap diharapkan untuk
memilih lelaki yang sudah mapan dalam pekerjaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bagiku sendiri pernyataan bahwa
orang Cina itu lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan hanyalah
pernyataan yang tidak terbukti kebenarannya. Aku yang Cina ini sangat jarang
berkomunikasi dengan saudara di luar keluarga inti, sedangkan temanku yang
pribumi malah sangat erat hubungan kekeluargaannya, bahkan sampai ke sepupu
kedua. Sedangkan dalam pemilihan pasangan sendiri, aku sangat jarang tertarik
dan menjalin hubungan dengan seorang lelaki keturunan Cina. Di satu sisi aku
tidak memiliki jaringan pertemanan yang banyak orang Cinanya, di sisi lain
adanya keengganan untuk menjadi lebih Cina lagi dengan menikah dengan seorang
keturunan Cina. Menjadi Cina masih menjadi sesuatu yang tidak menyenangakan
bagiku. Secara sadar ataupun tidak sadar. Dan aku tidak ingin hal itu dialami
oleh anakku kalau ada nantinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Untuk masalah kemapanan dalam
pekerjaan sendiri tidak hanya diterapkan pada lelaki. Sebagai anak perempuan
akupun diharapkan mapan dan dapat mandiri secara fiansial terlebih dahulu
sebelum menikah. Menikmati hasil setelah bersekolah selama bertahun-tahun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sebagai orang keturunan Cina yang
ada di Indonesia, keadaan dan pergolakan yang terjadi di Indonesia mau tidak
mau menjadi bagian dalam kehidupan kami sehari-hari dan hal itu juga
mempengaruhi apa yang kami jalani dan rasakan. Peraturan-peraturan seperti
adanya larangan pelaksanaan adat dan budaya Cina<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>
serta peraturan untuk penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia. Peraturan
yang mungkin memang muncul hampir 50 tahun yang lalu, tetapi efeknya masih
terasa sampai sekarang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Generasiku sekarang adalah generasi
yang kehilangan akarnya. Di satu sisi tidak ada lagi nama Cina yang aku miliki,
tidak ada satu pun kata bahasa Cina yang aku kenal. Tapi atribut sebagai orang
Cina, penempelan labelnya, kesulitan-kesulitannya, bahkan ketakutan-ketakutannya,
masih aku bawa sampai sekarang. Ketakutan bahwa suatu saat jika Negara ini
kembali memasuki masa krisis maka kamilah yang akan diserang, kamilah yang akan
dimusnahkan. Ketakutan yang belum bisa hilang.
Ketakutan yang tidak aku alami sendiri tapi diturunkan dari generasi ke
generasi.</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtwJ8Lf7vHtRmVvKaZoC5YX8YZcvWwZOYvYDGCtxag1wRCSCjenfRC-jSYE9YimMSnrtTgaM7r-nw_rWHHxR0xBg5d26g_lnLi_BC4Ap9bVAQbYIm0eosnaEcD5saU6NWJ7DFtWc9t1RQ/s1600/IMG_1181.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtwJ8Lf7vHtRmVvKaZoC5YX8YZcvWwZOYvYDGCtxag1wRCSCjenfRC-jSYE9YimMSnrtTgaM7r-nw_rWHHxR0xBg5d26g_lnLi_BC4Ap9bVAQbYIm0eosnaEcD5saU6NWJ7DFtWc9t1RQ/s1600/IMG_1181.JPG" height="240" width="320" /></a></div>
<o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pembahasan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kecinaan bukanlah sesuatu yang bisa
dilepaskan begitu saja dalam kehidupan seorang keturunan Cina di Indonesia,
khususnya di Jawa ini. Bahkan sebelum kesadaran saya sebagai individu muncul
dengan sempurna, lingkungan telah menegaskan bahwa saya seorang keturunan Cina
yang berbeda dari mereka. Saya diliyankan, dan mau tidak mau hal itu saya
internalisasikan dalam diri saya bahwa saya berbeda dari orang-orang di sekitar
saya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tidak hanya sekadar berbeda,
pertanyaan “Masih kecil (sudah) Cina, besok kalau besar mau jadi apa?” Adalah
pertanyaan yang secara langsung maupun tidak langsung menyayangkan kecinaan
yang saya miliki. Sesuatu yang membuat identitas sebagai orang Cina menjadi
lebih inferior dibandingkan dengan mereka yang pribumi. Identitas orang
keturunan Cina sebagai “liyan” ini juga merupakan suatu hal yang sengaja
diciptakan dan dilanggengkan oleh pemerintahan Orde Baru. Warga keturunan Cina
tetap tidak dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dalam bukunya <i>White Skin, Black Masks</i>, Fanon menceritakan pengalaman yang serupa.
Sebagai seorang berkulit hitam yang minoritas di kalangan orang kulit putih.
Kehitamannya menjadi begitu terasa dan membuatnya menjadi begitu berbeda dengan
orang-orang kebanyakan di sekitarnya. Ia juga harus membawa berbagai stereotipe
tentang orang kulit hitam. Bahkan dalam kisahnya ada anak-anak yang sampai
menangis ketakutan ketika melihatnya<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Suatu kondisi yang terjadi terus menerus yang menimbulkan perasaan inferioritas
bagi orang minoritas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
“In
the twentieth century the black man on his home territory is oblivious of the
moment when his inferiority is determined by the Other.” (Fanon, hal. 90)</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Diskriminasi yang diterima oleh
warga keturunan Cina tidak hanya dilakukan oleh masyarakat secara orang per
orang. Sejarah sendiri mencatat bahwa pembantaian dan perlakuan diskriminasi
terhadap warga keturunan Cina sudah terjadi sejak zaman Belanda berkuasa. Salah
satunya adalah adanya politik apherteid yang dibuat Belanda yang menggolongkan
masyarakat Hindia Belanda menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing dan
Pribumi. Belanda juga mengkavlingkan tempat tinggal penduduk Hindia Belanda
berdasarkan ras, seperti Pecinan, Kampung Arab, Kampung Melayu dan lain
sebagainya<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></a>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kebijakan yang diskriminatif ini
juga masih dilakukan oleh pemerintahan Indonesia dengan munculnya kebijakan
yang diskriminatif, seperti pelarangan pelaksanaan adat budaya dan perintah
untuk penggantian nama. Hal ini merupakan suatu diskriminasi institusional yang
dilakukan secara tidak langsung oleh pemerintah. Diskriminasi ini terjadi
dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang membatasi suatu etnis tertentu<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Salah satu akibat dari
dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut adalah menjadi terputusnya generasi
baru keturunan Cina dengan adat dan budayanya. Kami tidak lagi memiliki nama
Cina, tidak lagi menjalankan adat seperti bersembahyang kepada leluhur atau ke
Klenteng. Selain itu kami juga tidak lagi berpegang pada ajaran Konfusius yang
menjadi ideologi dalam kehidupan orang Cina<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dalam ajaran kofusius, perempuan
dituntut untuk mematuhi dan melanggengkan nilai dan norma yang seringkali malah
merugikan perempuan itu sendiri. Ideologi patriaki yang yang mengakar pada
ajaran Konfusius malah menghambat perkembangan perempuan Cina itu sendiri<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dalam kehidupan yang saya jalani,
karena terputusnya generasi warga keturunan Cina ini dengan akar budayanya,
membuat saya tidak lagi menemui aturan atau norma yang mendiskreditkan saya
sebagi perempuan. Perempuan dalam keluarga saya tidak dituntut untuk menjadi
perempuan yang ikut suami, bahkan tidak juga terdapat tuntutan untuk berperan
sebagai ibu. Sebagaimana imaji gender yang ada di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Salah satu imaji wanita ideal yang
banyak dijadikan panutan adalah imaji Kartini. Kartini dikonstruksikan oleh
pemerintahan Orde Baru sebagai sosok ‘ibu ideal’ bagi wanita Indonesia. Sosok
ini mencerminkan kualitas sebagai wanita yang merawat, mau berkorban demi, dan
lebih mengutamakan orang lain.<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Imaji ini juga dilanggengakan negara dengan Dharma Wanita. Dharma Wanita dalam
era Orde Baru memiliki imaji bahwa seorang wanita yang ideal adalah seorang
istri yang tidak bekerja di sektor publik atau hanya menjadi ibu rumah tangga
di rumah, seorang istri yang ikut suami, baik itu dalam jabatan maupun dalam kehidupan
sehari-hari<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Imaji ibu atau istri seperti yang
diwacanakan tersebut terasa sangat jauh dari kehidupan saya. Di satu sisi ibu
saya memang bekerja di rumah, tidak pergi ke mana-mana setiap harinya. Tetapi
ia tidak menjalankan peran tradisionalnya sebagai seorang ibu. Sesuai dengan
pernyataannya di atas, beliau lebih banyak bergerak dalam sektor ekonomi. Pada
beberapa periode dalam kehidupan keluarga kami, bisa dibilang ibu merupakan
tulang punggung keluarga yang menghidupi dan menggerakkan perekonomian
keluarga. Peran-peran ibu tradisional seperti mengurus rumah, memasak, bahkan
mengurus anak-anak, beliau delegasikan kepada orang lain. Dalam hal ini adalah
pembantu atau asisten rumah tangga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Peran wanita sebagai penggerak
sektor ekonomi ini sebenarnya tidak asing di lingkungan Jawa, lingkungan tempat
kami tinggal. Dalam kehidupan masyarakat Jawa sudah sangat umum ditemui wanita
bekerja dalam sektor publik. Seperti dalam pengelolaan sawah, menjual hasil
pertanian, atau dalam sektor perdagangan.<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Posisi lelaki dan perempuan dalam keluarga di Jawa juga relatif seimbang di
mana keduanya sama-sama memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga.
Semakin menjauhnya keluarga kami dari kebudayaan Cina yang cenderung patriakis
ke kebudayaan Jawa yang lebih seimbang menandakan adanya percampuran atau
hibriditas yang memang tidak dapat dihindari dengan tingginya interaksi antar
kedua budaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Keseimbangan antara lelaki dan
perempuan ini juga tercermin dengan hak untuk memperoleh pendidikan dan kewajiban
yang setara antara lelaki dan perempuan dalam keluarga. Tidak ada batasan atau
larangan untuk memilih pekerjaan atau jurusan dalam perkuliahan. Bahkan saya
sebagai perempuan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang S2, sesuatu yang tidak
dilakukan kakak lelaki saya. Praktis pendidikan saya sebagai wanita sudah lebih
tinggi dari semua lelaki dalam keluarga saya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Memberikan pendidikan yang baik
bagi anak-anak dalam sebuah keluarga keturunan Cina tampaknya merupakan suatu
kemutlakan. Kondisi sebagai minoritas yang terpinggirkan dalam masyarakat
membuat mereka berusaha untuk melakukan perubahan posisi dalam kehidupan
bermasyarakat. Salah satu perubahan yang mungkin dilakukan adalah meningkatkan
status ekonomi. Dengan status ekonomi yang baik, ada harapan mereka akan lebih
dihargai dalam masyarakat<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></a>
dan salah satu hal yang dapat membuat terjadinya mobilitas ekonomi adalah
melalui pendidikan. Senada dengan hal itu, Lim Sing Meij juga menunjukkan hal
yang sama dalam penelitiannya. Pendidikan memberikan ruang sosial baru bagi
para wanita keturunan Cina<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></a>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Selain itu, sebagai warga keturunan
Cina, kemandirian adalah salah satu hal yang penting dan begitu ditekankan.
Salah satu alasannya karena di negara Indonesia, terutama di era Orde Baru,
tidak banyak peluang kerja yang terbuka bagi warga keturunan Cina. Kala itu
sangatlah tidak mungkin bagi seorang keturunan Cina untuk menjadi Pegawai
Negeri Sipil atau menjadi aparat negara. Sehingga untuk dapat bertahan hidup
salah satunya adalah dengan berwiraswasta. Dengan berwiraswasta mereka harus
bertahan sendiri dan hidup mandiri.<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dari pengalaman saya di atas,
pengalaman tidak lagi dimaknai sebagai suatu pencapaian atau suatu fase yang
harus dilalui saat seseorang memasukki usia tertentu. Bahkan ketika ada
seseorang dalam keluarga memutuskan untuk tidak menikah atau menikah di usai
yang tidak lagi muda, hal itu tidak menjadi suatu permasalahan. Kemandirian dan
kemapanan secara finansial menjadi suatu hal yang dianggap lebih penting dan
lebih bernilai. Keberhasilan dipandang pada bagaimana seseorang dapat mapan dan
mandiri daripada dalam membangun sebuah keluarga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Penutup<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> Saya setuju dengan Mohanty bahwa menjadi
seorang perempuan keturunan Cina di Indonesia memiliki suatu ruang tersendiri
yang tidak dapat diuniversalkan begitu saja dengan perempuan lain di Indonesia.
Walaupun sudah terjadi percampuran dengan budaya lokal tempat di mana wanita
Cina tersebut tinggal, tetapi tetap ada keadaan dan ideologi khusus yang
mempengaruhi mereka dan peran gender mereka baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Dan menurut saya, hal ini juga berlaku bagi perempuan dari suku
atau latar belakang budaya yang lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Salah satu perbedaan yang muncul
dikarenakan warga keturunan Cina sendiri yang khas di dalam masyarakat
Indonesia. Warga keturunan Cina sudah menjadi masyarakat yang diliyankan selama
masa pemerintahan Orde Baru, bahkan jauh sebelumnya. Pengalaman sebagai liyan
inilah yang mendasari bagaimana para warga keturunan Cina bersikap dan
bertindak termasuk dalam hal privat seperti dalam masalah keluarga dan
pendidikan anak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Salah satu usaha yang dilakukan
agar anak-anak dalam keluarga warga keturunan Cina ini dapat bertahan dalam
masyarakat adalah dengan menerapkan sikap untuk mandiri dan memberikan
pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Pendidikan ini diberikan secara
seimbang bagi anak lelaki dan perempuan. Dengan pendidikan yang baik,
diharapkan masa depan anak-anak mereka juga lebih baik dengan mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik dari orangtuanya yang hanya pedagang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Penekanan dalam peran sebagai
wanita sendiri tidak lagi ditekankan pada peran-peran wanita secara
tradisional. Wanita diharapkan juga dapat bekerja dan mandiri, bahkan bisa
mencukupi kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak-anaknya kelak. Sebagai wanita,
sedapat mungkin tidak menggantungkan kebutuhan ekonomi di tangan suaminya saja.
Peran-peran tradisional sebagai wanita dalam rumah tangga tidak harus dilakukan
oleh istri atau ibu di rumah. Sedapat mungkin urusan rumah tangga didelegasikan
kepada orang lain (pembantu rumah tangga) atau diselesaikan dengan teknologi,
sehingga waktu dan tenaga yang dimiliki bisa digunakan untuk mencari uang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Semua pengalaman dan pengetahuan
yang saya dapatkan selama ini membuat saya terus menerus membentuk ulang diri
saya, baik itu sebagai wanita pada umumnya maupun terkait dengan kecinaan saya.
Saya masih tidak tertarik untuk menikah dengan lelaki Cina karena bagi saya
menjadi Cina itu bukanlah hal yang menyenangkan dan saya tidak ingin anak saya
mengalami hal yang sama. Namun di lain sisi saya juga belajar bahwa menjadi
seorang keturunan Cina juga tidaklah buruk. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Keperempuanan saya juga tidak
pernah menjadi halangan untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, terutama
terkait dengan sektor formal. Saya bisa mendapatkan pendidikan yang saya inginkan,
saya bisa bekerja dan menjadi apa yang saya inginkan. Mungkin karena saya juga
tidak ingin menjadi teknisi atau tentara yang banyak dilakukan lelaki, jadi hal
itu tidak pernah saya rasakan menjadi penghalang. Selain itu saya beruntung
karena saya berada di kelas menengah dan orangtua saya memiliki kesadaran dan
kemampuan untuk membiayai pendidikan saya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Jadi bagi saya, perjuangan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum menjadi suatu hal yang lebih
penting di Jawa ini terutama, daripada memperjuangkan kesetaraan gender. Dengan
peningkatan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat, maka secara langsung
maupun tidak langsung, kesejahteraan wanita juga akan mengalami peningkatan
kualitas. Apalagi saat ini wanita memiliki hak yang besar untuk mengambil
keputusan dalam keluarga, seperti dalam hal pendidikan anak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
</div>
<span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><br clear="all" style="mso-break-type: section-break; page-break-before: always;" />
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Daftar
Pustaka<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Ellis, Carolyn. (2004), <i>Ethnographic I</i>. USA: Altamira Press<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Fanon, Frantz. (2008), <i>Black Skin, White Mask. </i>USA: Grove Press<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman";">Liliweri,
Alo. (2005). <i>Prasangka dan Konflik,
Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. </i>Yogyakarta: LKiS.</span><i><span style="font-size: 12.0pt;"> </span></i><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Meij, Lim Sing. (2009). <i>Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah
Kajian Pascakolonial. </i>Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Mohanty, Chandra Talpade.
(2003). “Under Westren Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses”,
Reina Lewis dan Sara Mills (ed.). <i>Feminist
Postcolonial Theory: A Reader, </i>Edinburgh University Press: Edinburgh, hlm.
49-74<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Onghokham. (2008). <i>Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan
Cina. </i>Jakarta: Komunitas Bambu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Shakka, Anne. (2012). <i>Identitas Warga Keturunan Cina di Jawa
Tengah. </i>Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. (Skripsi, tidak diterbitkan)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Suryakusuma, Julia. (2012).
Agama, Seks, & Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Tiwon, Sylvia. (1996).
“Models and Maniacs: Articulating the Female in Indonesia”, dalam: Laurie J.
Sears (ed.), <i>Fantasizing the Feminine in
Indonesia, </i>Duke University Perss, hal. 47-70 <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br /></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Julia Suryakusuma, 2012, Agama, Seks, & Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu</div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Carolyn Ellis, 2004, Ethnographic I. USA: Altamira Press</div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Kecil-kecil Cina, kalau sudah besar mau jadi apa?</div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Inpres No. 14 tahun 1967</div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Lim Sing Meij, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah Kajian
Pascakolonial, hal. 38</div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Franz Fanon, White Skin, Black Masks, hal. 91</div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Onghokham, Anti Cina, Kapitalsime Cina, dan Gerakan Cina, hal. 3-4</div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur</div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Lim Sing Meij, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah Kajian
Pascakolonial, hal. 63</div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></a>
ibid</div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Sylvia Tiwon, Models and Maniacs, hal. 54-55</div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Julia Suryakusuma, State and Seksuality, hal. 100 </div>
</div>
<div id="ftn13">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa </div>
</div>
<div id="ftn14">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Anne Shakka, Identitas Warga Keturunan Cina di Jawa Tengah, hal. 64</div>
</div>
<div id="ftn15">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Lim Sing Meij, hal. 5</div>
</div>
<div id="ftn16">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Windows/Downloads/Paper%20Gender%201.docx#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Sylfaen","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Anne Shakka, hal. 63</div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-75876199846513386092014-03-25T08:58:00.000+07:002014-03-25T08:59:19.197+07:00DUALISME NARASI SEJARAH PAPUA<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">DUALISME NARASI
SEJARAH PAPUA</span></b><br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> NAMA
MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">NIM :
136322002</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> DOSEN PENGAMPU : 1. Dr. G. Budi
Subanar, S.J.<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> 2. Dr. Katrin Bandel</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipna9OcRXTbbFU76NulqM6-3126vn9k272VHWbp0Xhfe33zFZpEdzGHz6CmlZKFlSxH1TEGb-ekOwwdaPoVS2cNm3Wsau7lhWJ8httCAZr0Tr-nXeOmY3j_eOlB291X-Fm4tBLkreLAzk/s1600/papua.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipna9OcRXTbbFU76NulqM6-3126vn9k272VHWbp0Xhfe33zFZpEdzGHz6CmlZKFlSxH1TEGb-ekOwwdaPoVS2cNm3Wsau7lhWJ8httCAZr0Tr-nXeOmY3j_eOlB291X-Fm4tBLkreLAzk/s1600/papua.jpg" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pengantar<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Pada
tanggal 6 Oktober tahun 2000, aparat kepolisian dan brimob dibantu TNI
melaksanakan operasi penurunan bendera bintang kejora di kabupaten
Jayawijaya-Papua yang saat itu dipimpin langsung oleh kapolres Jayawijaya AKBP
Superintendent D. Suripatty. Penurunan bendera dilakukan secara paksa karena
mendapat perlawanan dari para satgas Papua pada saat itu. Dampak dari operasi
tersebut membuat geram para satgas dan masyarakat pro kemerdekaan Papua yang
akhirnya memicu konflik hebat antara mereka aparat TNI Polri. Dalam peristiwa
ini masyarakat sipil pun menjadi korban. Kurang lebih 30 warga sipil tewas
dalam peristiwa ini. Peristiwa yang sangat di kenal dengan sebutan “wamena
berdarah” ini menimbulkan trauma-trauma mendalam bagi masyarakat yang terlibat
langsung dengan peristiwa tersebut. Ini adalah satu dari sekian banyak
peristiwa tentang masalah pemisahan Papua dari NKRI.</span></div>
<a name='more'></a><o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dalam
situasi ini HAM selalu dikaitkan. Kendati pemimpin Negara dari rezim selalu
berubah, namun pengabaian terhadap Hak Asasi Manusia terus menjadi momok di
berbagai daerah di Papua. Dampak adanya situasi refresif dalam berbagai bentuk
intimidasi : teror, pengejaran, penangkapan, penculikan, penyiksaan, mati di
dalam tahanan bahkan sampai pembunuhan massal mulai dari sejak tahun 60-an
sampai detik ini. Setiap kasus Kejahatan HAM yang terjadi, aparat keamanan
(TNI-Polri) selalu menjadi aktor utamanya. Issu OPM (Organisasi Papua Merdeka)
sangat laris dimanfaatkan sebagai alasan untuk menyederhanakan permasalahan
yang begitu kompleks ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Namun
demikian, semua permasalahan tentang pemisahan Papua dari NKRI serta
akar-akarnya berangkat dari sebuah dinamika poskolonialisme. Orang Papua merasa
mempunyai dua identitas kewarganegaraan; (1) Orang Papua sebagai masyarakat
bangsa Papua dan (2) orang Papua sebagai masyarakat Indonesia. Imbiguitas
inilah yang memicu munculnya polemik pemisahan diri dari NKRI hingga saat ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Keberadaan
kolonialisme Belanda hingga tahun 60 an ternyata menyisahkan identitas
tersendiri bagi orang Papua. Identitas inilah yang terus bertumbuh tanpa adanya
pembenahan baik dari Belanda sendiri maupun dari Indonesia. Orang Papua
menganggap bangsa Indonesia sebagai penjajah, sebaliknya bangsa Indonesia
menganggap Orang Papua kala itu sebagai pemberontak. Mengapa sampai begitu
sulitnya Papua dengan “iklas” menjadi bagian dari NKRI? Jawaban dari pertanyaan
inilah yang akan coba penulis uraikan dalam paper “Dualisme Narasi Sejarah
Papua”</span><span style="font-family: '; font-size: 100%; line-height: 200%; text-indent: 35.45pt;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">BAB I<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Membincangkan
tentang “kemerdekaan” Papua, paling tidak terdapat dua kejadian yang tidak
dapat diabaikan, yaitu pendudukan oleh Belanda dan upaya pengintegrasian oleh
Indonesia. Realitas itu dapat dilihat dari sengketa memperebutkan Papua antara
Belanda dengan Indonesia. Kehadiran Belanda di Papua disertai dengan upaya
untuk melakukan pemaksaan terhadap orang asli Papua untuk memahami, menghayati
dan menyebarkan pandangan (ideologi) mereka ke seluruh pelosok tanah Papua.
Bangsa eropa pada masa itu mempunyai tiga misi untuk menguasai dunia yaitu
penjajahan, ekonomi, mengajarkan ajaran agama (Slemet Mudjiana, 2008). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Berkaitan dengan
tiga misi itu, yang paling populer sepanjang zaman adalah mengajarkan ajaran
Agama (Kristen maupun Katolik). Penyebaran Ideologi (agama) di papua,
menyadarkan masyarakat pribumi. Ini meruapakan tradisi atau kebiasaan orang
Eropa, menyebarkan ke seluruh dunia. Dampak dari penyebaran agama di papua, bisa
mengenal dunia luar. Selain itu, kebiasaan masyarakat setempat menghilangkan ragam
kebudayaan asli Papua. Papua dengan sekian kelebihan dan kekurangannya juga
telah memperkenalkan agama Kristen (Gereja Injili di Indonesia-GIDI) yang
merupakan agama yang baru bagi orang Papua.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Demikian juga
kehadiran Indonesia di Tanah Papua. Bangsa Indonesia menguasai bangsa Papua
Barat melalui berbagai cara antara lain dengan mengirim ribuan transmigran
dengan berbagai tujuan. Para transmigran sebagai orang lain baru bagi orang
Papua juga tidak kalah pengaruhnya dalam menggerus budaya orang Papua.
Kehadiran transmigran bagi Orang Papua bukan hanya membuka ruang isolasi, tapi
juga telah mendistorsi adat istiadat dan kebudayaan orang Papua (<a href="https://www.google.com/search?sa=X&biw=1024&bih=605&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Sri-Edi+Swasono%22&ei=GE7PUrmyHYWHrAfz_oCIDg&ved=0CFQQ9AgwBg">Sri-Edi
Swasono</a></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%; mso-bidi-language: HE;"> dan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><a href="https://www.google.com/search?sa=X&biw=1024&bih=605&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Masri+Singarimbun%22&ei=GE7PUrmyHYWHrAfz_oCIDg&ved=0CFUQ9AgwBg">Masri
Singarimbun</a>,1986).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dampak dari
kehadiran dan aneksasi yang dilakukan sepanjang sejarah Papua yaitu ketegangan-ketegangan
yang mengikutinya. Papua telah menjadi identik dengan kekerasan baik kekerasan
yang dilakukan oleh aparatur negara maupun kekerasan yang dilakukan sipil
bersenjata.<a href="file:///D:/irb/Efraim%20Paper/Poskol.rtf#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a> Adalah
Operasi Koteka yang diinisiasi oleh isteri Presiden Suharto, Ibu Tin yang
diawali pada tanggal 19 Mei tahun 1972 telah menjadi pangkal dari kebijakan
kekerasan yang ditempuh oleh militer Indonesia. Kebanyakan militer
selaku penguasa pelaksana kebijakan tersebut menganggap suku Dani
sebagai orang yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Bangkitnya
masyarakat Papua pada tahun 1977, suku Dani melakukan pemberontakan dibawah
pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada waktu itu suku Dani dengan busur
panah sebagai senjatanya berperang melawan tentara Indonesia yang
dipersenjatai lengkap termasuk roket, pesawat pemburu jet dan helikopter
sehingga banyak desa Dani akhirnya diratakan dengan tanah. Peperangan yang
sebagian besarnya dipusatkan sekitar wilayah pemukiman Pyramid dan
Bokondini di dalam lembah dan di bagian utaranya memakan korban 3000 jiwa dari
suku Dani. “Operasi Koteka” berakhir sebagai suatu kegagalan total.
Selama periode 1975-1977, 1984-1985, 1996, 2000, 2003 dan Desember 2004
konflik-konflik terulang kembali sebagai akibat dari aksi-aksi perjuangan
kemerdekaan. Pada tahun 1975 dan 1984 penduduk Beliem berbondong-bondong
melarikan diri ke Papua New-Guinea (John RG Djopari, 1993). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dua narasi
sejarah Papua yang diangkat di dalam paper ini akan dikaji melalui pendekatan
kajian poskolonial. Kajian poskolonial hingga kini terus menjadi perdebatan,
yang paling mendasar terkait dengan kata 'poskolonial‘. Kata ini bermakna
"setelah penjajahan“ yang berarti berhubungan dengan periode ketika
penjajahan berakhir, di mana sebuah negara jajahan secara formal
memproklamasikan dan/atau memperoleh kemerdekaannya. Namun, kajian poskolonial
tidak bisa dilepaskan dari era kolonial (Yusri Fajar, 2011). Sementara Leela
Gandhi menjelaskan dampak-dampak kolonialisme dalam berbagai cakupan aspek yang
luas, seperti aspek psikologis, gender, nasionalisme, hibriditas, kemanusiaan, power,
dan lain-lain yang di alami oleh Negara yang terjajah oleh kolonialisme.
(1998:9)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 200%; margin-left: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kajian
poskolonial pada dasarnya mempelajari berbagai akibat yang timbulkan oleh
penjajahan baik pada saat periode pendudukan penjajah di koloni maupun ketika
penjajah sudah meninggalkan koloni namun masih meninggalkan budaya dan pengaruh
mereka. Penjajahan pada hakekatnya bukan semata praktek yang dilakukan sebuah
negara untuk menguasai wilayah sebuah negara terhadap negara lain melalui jalan
perang dan kekerasan, tetapi juga penguasaan melalui hegemoni politik, budaya
dan ekonomi sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh Afrika asal Ghana, Kwamme
Nkrumah, pada tahun 1961 dengan istilah "neokololialisme". Dengan
meminjam perspektif ini, maka Papua dapat ditempatkan sebagai negara wilayah.
Keterjajahan Papua ini dimulai sejak era Belanda hingga saat ini. Di masa
penjajahan Belanda, berbagai sektor kehidupan dikendalikan dan dimanfaatkan
oleh Belanda. Demikian juga, di saat terjadi aneksasi oleh pemerintah Indonesia
dari tangan Belanda, Papua yang memiliki identitas unik dibandingkankan pada
bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya, saat ini telah melebur dan
dipaksa untuk mengidentifikasi diri menjadi “Indonesia”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<br /></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">BAB II<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">PEMBAHASAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: .25in; mso-list: l1 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">A.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kehadiran
Belanda dan dampaknya terhadap Orang Papua<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Papua
merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah
pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai
Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan
akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini
adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni
Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan
etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Papua
memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi
penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan
hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari
lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan
tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini
ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke
selatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Seperti
juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua
berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut.
Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan
mengakibatkan mereka berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Setelah
kedatangan bangsa Eropa, yaitu pada tahun 1660, sebuah perjanjian disepakati
antara Tidore dan Ternate di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda
yang menyatakan bahwa semua wilayah Papua berada di wilayah kekuasaan
Kesultanan Tidore. Perjanjian ini menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah
Belanda sebenarnya mengakui Papua sebagai bagian dari penduduk di kepulauan
Nusantara.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Jika
dirunut dalam sejarah penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari
Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia
Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai
selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda
Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara
Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda,
yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sejarah
menunjukkan bahwa Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan
Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.
Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari
Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan
penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina
(Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Berbeda
dengan waktu Indonesia, Papua mulai dijajah oleh Belanda hanya dalam kurun
waktu 64 tahun (1898-1962), sementara Indonesia dijajah selama tiga setengah
abad. Penjajahan atas Papua Barat dideklarasikans ejak 24 Agustus 1828 melalui
keputusan Ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat
merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai
penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di
Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan
Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana
daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sama
halnya dengan modus-modus penjajahan di belahan dunia lainnya, Belanda yang
datang ke tanah Papua juga dengan dalih untuk membebaskan rakyat. Penjajahan
atas tanah, ekonomi, politik dan sosial budaya. Belanda mengganggap Orang Papua
sebagai orang yang terkungkung atas kebudayaan mereka. Akibatnya, mereka
menganggap perlu dibebaskan. Tidak ada penjajahan yang murni berorientasi pada
kepentingan terjajah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: .25in; mso-list: l1 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">B.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Papua
Setelah di-“Indonesia”-kan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Perjuangan kemerdekaan pada dasarnya lekat sekali dengan
kemerdekaan melawan penjajahan. Sepanjang penjajahan merujud di dalam kehidupan
masyarakat, maka perjuangan itu akan selalu ada. Pada masa kolonial, perjuangna
itu nyata dalam bentuk fisik. Namun setelah itu kekuatan negara nasion menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dan merepresi populasi di dalam
teritorinya. Negara-negara pasca kolonial di Asia, Afrika, Amerika tengah dan
selatan, termasuk juga di Indonesia, hampir semuanya berkembang menjadi kepanjangan
dan mata rantai dari penindasan gaya baru. Pada kenyataannya, cita- cita menciptakan
kebebasan dan masyarakat egaliter di wilayah-wilayah pasca kolonial hingga saat
ini masih absurd untuk tidak dikatakan tidak mewujud sama sekali. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dalam konteks relasi kuasa kapitalisme global yang ada para
era kolonialisme, relasi dominan dan subordinat tetap berlanjut (Ania Loomba,
2000). Negara-negara bekas teritori kolonial tetap berperan sebagai
wilayah-wilayah subordinat vis a vis negara-negara dominan. Terbentuknya
negara-negara pasca kolonial merupakan perluasan modernisasi kapitalis, setelah
sebelumnya kolonialisme mengintegrasikan wilayah-wilayah kolonial dalam
jaringan kapitalisme global – dengan menundukan rezim-rezim feodal dan
membangun wilayah-wilayah tersebut sebagai penyangga sektor-sektor industri
ekstraktif dan agrikultur.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Relasi dominan-subordinat yang eksis selama era kolonial
dalam perkembangan era Post kolonial kembali pada titik keseimbangnnya (</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><a href="https://www.google.com/search?sa=X&biw=1024&bih=605&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Edward+W+Said%22&ei=9E7PUuf2FsamrAenqYHoBA&ved=0CD0Q9AgwAQ">Edward
W Said</a>, 2008<span style="background: white;">). Di era post-kolonial institusi
dan aparatus negara nasion pasca kolonial menjadi fasilitator bagi aktor-aktor
kapital dari negara-negara dominan untuk mengakses teritori, sumber daya dan
populasi di wilayah-wilayah tersebut. Negara nasion pasca kolonial menjalankan
fungsinya sebagai fasilitator modernisasi kapital, khususnya dalam era
developmentalisme, dimana terjadi perluasan infrastruktur untuk
kegiatan-kegiatan industrial, intensifikasi ekstraksi sumber daya alam,
pendisiplinan populasi menjadi sumber daya manusia dan perkembangan pasar bagi
komoditi. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Tak ayal lagi kondisi tersebut nyata terjadi pada konteks
relasi antara Indonesia-Papua. Sejak naiknya rezim Negara nasion Indonesia,
melalui represi fisik dan mental terhadap populasi di dalam teritorinya,
menjalankan perannya dalam menciptakan iklim investasi bagi kapital
multinasional, terutama sejak naiknya rezim militieristik Orde Baru. Penciptaan
iklim investasi yang diawali dengan pengorbanan jutaan jiwa, selanjutnya
dimapankan dengan berkuasanya rezim Orde Baru. UU Penanaman Modal Asing
diberlakukan dua tahun setelah pembantaian September 1965, sebagi kerangka
legal yang menjamin keamanan investasi dan pemberian konsesi-konsesi pada
kapital multinasional. Negara nasion ini menjalankan peran subordinatnya, untuk
memfasilitasi kapital multinasinal, sebagai penjaga kapital dan mediasi antara
kapital dan populasi lokal (I Ngurah Suryawan, 2011).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Indonesia bersama dengan perusahaan-perusahaan multinasional
(MNCs) membangun jalinan ekplotasi brutal terhadap populasi dan lingkungan di
wilayah Papua. Kapital multinasional yang melakukan investasinya di wilayah
yang begitu kaya akan sumber daya alam ini, menempatkan negara Indonesia pada
peran pendisplin populasi yang bergejolak. Terhitung sejak tahun tahun
1963, Indonesia secara permanen menempatkan Papua sebagai wilayah yang penuh
dengan ketegangan melalui kebijakan operasi militer di Tanah Papua pada tahun
1978. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kekerasan negara atau yang difasilitasi oleh negara dan yang
melibatkan kapital multinasional, juga meliputi salah satu sektor industri
terbesar di Papua, yaitu, industri kayu dan kertas. Pengambil alihan lahan
masyarakat kerap terjadi di Papua oleh investasi-investasi di sektor tersebut.
Pada tahun 1982, beberapa koran melaporakan kerja dengan upah rendah yang
diterapkan pada masyarakat Asmat oleh industri kayu dengan melibatkan aparat
desa. Militer Indonesia di Tiga Danau juga dilaporakan terlibat dalam
skema-skema kerja paksa dalam ektraksi kayu. Menurut aktivis dari TELAPAK,
militer di Papua dinilai sebagai salah satu pihak kunci yang terlibat dalam
ektraksi kayu ilegal di wilayah itu (Environment News Service, Febuari 2005).</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">BAB III<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">KESIMPULAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: .25in; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Papua sebagai suatu bangsa pada dasarnya
merupakan entitas yang unik yang berbeda dengan Belanda maupun bangsa Indonesia
pada umumnya. Bagi Orang Papua, baik Belanda maupun Indonesia memiliki
persamaan prinsipil yaitu sama-sama pendatang dan ingin menguasai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: .25in; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Era Postkolonial sebagai kelanjutan dari
era kolonial nyata terjadi dalam <i>real</i>
relasi kuasa yang terbentuk pasca terbebasnya Papua dari cengkeraman Belanda. Penempatan
Papua di bawah bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik Indonesia hanya
tetap melanggengkan era kolonial.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: .25in; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Ambiguitas yang terjadi dari perspektif
orang Papua beserta seluruh perangkat definisi dualisme identitas tersebutlah
yang hingga saat ini menjadi alasan Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">DAFTAR
PUSTAKA</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> <b><o:p></o:p></b></span></div>
<br />
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<em><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; font-style: normal;">Djopari</span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;">, </span></span><em><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; font-style: normal;">John RG, 1993, </span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;"> <i>Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka,</i>
Jakarta: Grasindo.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><a href="https://www.google.com/search?sa=X&biw=1024&bih=605&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Edward+W+Said%22&ei=9E7PUuf2FsamrAenqYHoBA&ved=0CD0Q9AgwAQ">Edward
W Said</a>, 2008, <span class="MsoHyperlink"><i>Covering Islam: How
the Media and the Experts Determine How </i></span><i>We See the Rest of the World</i> (Fully Revised Edition).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="background: white; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">I Ngurah Suryawan, 2011, <i>Narasi
Sejarah Sosial Papua: Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri, </i>Malang, Intrans
Publishing.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<em><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Loomba</span></em><span class="st"><i><span style="font-size: 12.0pt;">, </span></i></span><em><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Ania</span></em><span class="st"><i><span style="font-size: 12.0pt;">,</span></i></span><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;"> 2000, <i>Kolonialisme
atau Pascakolonialisme,</i> Bentang Budaya, Yogyakarta<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Yusri
Fajar, Negosiasi Identitas ‘Pribumi’ dan Belanda dalam Sastra Poskolonial
Indonesia Kontemporer. Artikel
dipresentasikan dalam Seminar Internasional “Indonesian Studies” yang diselenggarakan
oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 18-19 Juli 2011<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;">Slamet Muljana, </span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kesadaran
nasional: dari kolonialisme sampai kemerdekaan, Makalah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><a href="https://www.google.com/search?sa=X&biw=1024&bih=605&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Sri-Edi+Swasono%22&ei=GE7PUrmyHYWHrAfz_oCIDg&ved=0CFQQ9AgwBg">Sri-Edi
Swasono</a> dan </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: HE;"></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><a href="https://www.google.com/search?sa=X&biw=1024&bih=605&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Masri+Singarimbun%22&ei=GE7PUrmyHYWHrAfz_oCIDg&ved=0CFUQ9AgwBg">Masri
Singarimbun</a> (Ed), 1986, <em><span style="font-style: normal;">Transmigrasi di
Indonesia 1905-1985</span></em><span class="st"> Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia [UI-Press].<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/irb/Efraim%20Paper/Poskol.rtf#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Istilah yang lekat dengan OPM.</div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-45777195720650561422014-03-20T10:31:00.002+07:002014-03-20T10:31:33.765+07:00Hindhuisme di Indonesia Modern<div align="center" class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><b>Hindhuisme
di Indonesia Modern<o:p></o:p></b></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><b>Martin
Ramstedt (ed.)<o:p></o:p></b></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><b> Di </b></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Menegosiasi
Identitas - Orang-orang Hindu Indonesia<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">antara
lokal, nasional, dan kepentingan global<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dipresentasikan Oleh </span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times New Roman, serif;"><b>Yohanes Padmo Adi </b></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<span style="font-family: Times New Roman, serif;"><b>Thomas Cahyo Susmawanto</b></span></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihHfzazpLeslijahDjYz-RdNSfS4hI7SqeTHIaOTiFbdXWGeRsY_QMeA9mxVX3n7ofv9cT8uB5uBjvt4-bw4Jx_4Cx6MYtP2G5fYA3eE6LUdIAxwOY6_ZvygBaS54eSKKQdEF0ThoEoUY/s1600/Sejarah+singkat+masuknya+agama+hindu+di+indonesia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihHfzazpLeslijahDjYz-RdNSfS4hI7SqeTHIaOTiFbdXWGeRsY_QMeA9mxVX3n7ofv9cT8uB5uBjvt4-bw4Jx_4Cx6MYtP2G5fYA3eE6LUdIAxwOY6_ZvygBaS54eSKKQdEF0ThoEoUY/s1600/Sejarah+singkat+masuknya+agama+hindu+di+indonesia.jpg" height="320" width="239" /></a></div>
<br />
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">bhinneki rakwa ring apan kena
parwanosen,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa
tunggal,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">bhinneka tunggal ika tan hana dharmma
mangrwa.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Berbeda-beda
tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.<o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: right;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">(Kakawin
Sutasoma, Canto CXXXIX, 5 -</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kutipan ini
berasal dari pupuh 139, bait 5)<o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: right;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Bhinneka
tunggal ika adalah motto dari Republik Indonesia. Diambil oleh Bapa Bangsa dari
warisan Hindu-Jawa, sama seperti lambang negara, Garuda (kendaraan Dewa Wisnu),
untuk menginspirasi persatuan nasional. Motto itu diambil dari <i>Kakawin Sutasoma</i>, sebuah epos Buddhis
dari abad keempat belas, yang dikarang oleh seorang penyair Hindu-Jawa
terkenal, Mpu Tantular, di sebuah Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) yang pusatnya
terletak di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Timur.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Meskipun
imaji kebesaran Majapahit menjadi inspirasi para nasionalis Jawa pada saat itu
ketika membangun konsep Indonesia merdeka, dan meskipun imaji itu berpengaruh
pada perkembangan Hinduisme Indonesia modern, intensi Martin Ramstedt (editor
buku ini) lebih kepada menunjukkan isu “beraneka ragam tetapi tetap satu jua”
yang tak pernah selesai tersebut, yaitu sebuah situasi yang sedang dan terus
berlangsung di mana pluralisme agama dan budaya (penekanan pada
“keanekaragaman”) dikontraskan dengan keseragaman agama dan budaya (penekanan
pada “kesatuan”), sebagai penentu yang paling penting bagi masa lalu dan masa
depan perkembangan Hindu Dharma di negara-bangsa Indonesia modern.</span></div>
<a name='more'></a><o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Bhinneka tunggal
ika </span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">tersebut
hingga kini masih menjadi perkara yang belum selesai, juga di dalam proses
universalisasi Hindu Dharma India sebagai ‘agama dunia’ (abad XIX), di mana
kemunculan dan perkembangan Hindu Dharma Indonesia menjadi bagian yang tak
dapat dipisahkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sebelum
membahas perkembangan Hindu Dharma Indonesia, terlebih dahulu Martin Ramstedt
membahas tentang latar belakang sosio-politiko-historisnya: proses
Indonesianisasi (<i>persatuan dan kesatuan</i>)
yang sering kali sulit dan menyakitkan. Latar belakang itulah yang memacu perkembangan
Hinduisme Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Keanekaragaman
bahasa, kosmologi lokal, sistem kepercayaan, ideologi, budaya, dan gaya hidup
di seluruh penjuru kepulauan Nusantara menjadi kendala besar bagi persatuan pergerakan
kemerdekaan Indonesia pada awal abad XX. Hingga pada 27-28 Oktober 1928
diselenggarakan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi dasar bagi nasionalisme
Indonesia. Akhirnya konsep Indonesia merdeka tidak lagi hendak kembali kepada
identitas primordial, tetapi justru melanjutkan sejarah muktakhir. Para pemuda
bersumpah untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu
Indonesia. Konsepnya adalah menyatukan seluruh keberagaman yang ada di
Nusantara tersebut di dalam Bangsa Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
tanggal 29 April 1945 BPUPKI membentuk suatu komite yang bertugas menyusun
konstitusi Negara Indonesia Merdeka. Dipilih oleh Soekarno, serta disetujui
oleh Jepang, 62 orang di dalam komite tersebut merepresentasikan semua faksi
politik dan ideologis mayoritas dari pergerakan kemerdekaan. Komite tersebut
diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat, salah satu pemimpin Budi Utomo dan
anggota Komunitas Teosofi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Budi
Utomo (didirikan pada 1908) adalah organisasi priyayi Jawa nasionalis yang
bergaya Eropa. Anggotanya adalah para intelektual Jawa dari golongan priyayi.
Mereka mencoba memadukan <i>local wisdom</i>
dan <i>modern European thinking</i>, sembari
meninggalkan feodalisme Jawa. Sebenarnya Budi Utomo lebih kepada ‘Javanist’
dari pada pan-Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Terminologi
‘Javanist’ sendiri diciptakan oleh Robert W. Hefner. Terminologi ini menunjuk
kepada orang-orang Jawa yang ‘meskipun memeluk Islam seseorang harus memaknai
kembali atau bahkan menolak aturan-aturan formalnya demi tradisi High-Javanese
(Jawa yang Unggul)’. Tradisi Jawa-Unggul tersebut berdasar pada etika, ritual,
bahasa, estetika Jawa yang berakar pada mistisisme (kebatinan).
Kebatinan/mistisisme Jawa tersebut merupakan percampuran Hindu-Buddha,
Islam-Sufi, dan sifat-sifat animisme. Dalam konteks inilah Budi Utomo dan
Komunitas Teosofi berhubungan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Gerakan
Teosofi sendiri memiliki kaitan dengan gerakan Hindu-Reformasi atau Neo-Hindu
di India dan Buddhisme. Penghargaan filsafat India oleh para Teosofis Eropa
tersebut menginspirasi orang-orang Hindu atau Singhalese dan orang-orang
Buddhis Burma untuk kembali kepada tradisi agama mereka; juga menginspirasi
para elit Jawa tersebut di atas untuk merevitalisasi dan merekonstruksi masa
lalu Hindu-Jawa mereka. Hal tersebut dikenal sebagai gerakan nasionalis Jawa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kita
bisa membayangkan bahwa pluralisme akan menjadi topik yang akan diangkat karena
latar belakang Teosofi yang percaya bahwa keberagaman di seluruh semesta ini
sebenarnya hanyalah pancaran dari yang satu. Akan tetapi, Budi Utomo dan
seluruh gerakan nasionalisme Jawa sangat bias terhadap politik Islam.
Pemerintah kolonial Belandalah yang menyebabkan hal ini. Pemerintah kolonial
Belanda mendorong keretakan antara Javanis dengan Muslim orthodox (santri).
Pemerintah kolonial Belanda hendak mencegah gerakan pan-Islamis (juga
Komunisme) dengan memperkokoh posisi priyayi dan mendorong kajian serta
rekonstruksi budaya tradisional Jawa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Komite
yang diketuai oleh Dr. Radjiman mengadakan sidang pada 28 Mei hingga 1 Juni
1945. Pada hari terakhir itulah Soekarno menjawab pertanyaan Dr. Radjiman
tentang apa dasar negara Indonesia merdeka kelak, yaitu ‘Pancasila’. Soekarno
mengaku bahwa dia menggali Pancasila dari kedalaman tradisi Indonesia.
Pancasila: Nasionalisme (Kebangsaan), Perikemanusiaan/internasionalisme (<i>Humanity</i>), Permusyawaratan-Perwakilan
(Demokrasi) yang mengambil contoh dari ‘republik desa’ tradisional,
Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan (<i>believe
in God</i>). Intinya adalah ‘gotong-royong’. Pidato kelahiran Pancasila
tersebut disambut dengan tepuk tangan meriah hadirin.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Meskipun
demikian, ada ketidakpuasan dari pihak Islam. Akhirnya lahirlah Piagam Jakarta
di mana pada sila ‘Ketuhanan’ tersebut diberi tambahan tujuh kata, menjadi “Ketoehanan,
dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja”. Hal itu
diputuskan dengan segala konsekuensinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
17 Agustus 1945 sore hari, Mohammad Hatta dikunjungi oleh Mr. Nisyijima, ajudan
Admiral Mayeda, menanyakan apakah Hatta bersedia menerima opsir Kaigun (AL
Jepang). Opsir tersebut menyampaikan keberatan para wakil Protestan dan Katolik
dari daerah-daerah yang masih dibawah kontrol Jepang (Kepulauan Maluku,
Sulawesi Utara dan Tengah, dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara)). Mereka
mengancam tidak akan bergabung dengan Negara Republik Indonesia jika tujuh kata
tersebut tidak dihapus, sebab tujuh kata itu merupakan sebuah diskriminasi bagi
Protestan dan Katolik. Pada 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengubah rumusan
Piagam Jakarta tersebut. Sila pertama Pancasila sekarang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” (<i>belief in the great unity
of God</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang dipegang oleh seorang Islam
modernis berpendidikan Kairo, yaitu H.M. Rasjidi, seorang Muhammadiyah.
Sedangkan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan masih di bawah pengaruh
nasionalis sekuler Jawa, yang sangat terpengaruh oleh moral dan etika Budi
Utomo, universalisme Komunitas Teosofi, dan konsep pendidikan Taman Siswa (yang
didirikan oleh R.M. Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro). Taman
Siswanya Ki Hadjar Dewantoro sangat terpengaruh oleh konsep pendidikan
Rabindranath Tagore, yang direalisasikan pada Shantiniketan Vishva Bharaty
University. Rabindranath Tagore adalah seorang penyair Bengali yang memiliki
hubungan dekat dengan Komunitas Teosofi. Ki Hadjar Dewantoro ini diangkat
sebagai menteri pendidikan pada 1945 oleh Soekarno. Ki Hadjar Dewantoro
mempromosikan nilai-nilai budaya Jawa sebagai bagian dari pendidikan moral
pemuda. Kita bisa melihat kutub-kutub yang saling bertegangan di sini. Di satu
sisi ada Islam Muhammadiyah yang bahkan beranggapan bahwa kebatinan itu
‘not-Islamic’ (tidak Islam), di sisi lain ada gerakan Javanis yang sangat kuat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Masalah
menjadi semakin rumit ketika Belanda mengadakan agresi militer. Dengan cepat
Belanda berhasil menguasai Kalimantan, Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan
Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara). Demi perkembangan Hinduisme di Indonesia
merdeka, para elit tradisional Bali (sebagaimana daerah-daerah lain) menyambut
dan mendukung kedatangan Belanda ini sebagai pelindung terhadap gerakan
hegemonis ‘Muslim Jawa’. Di sisi lain, Sultan-sultan Muslim Jawa telah selama
berabad-abad menjadi musuh bagi raja-raja Bali, yang mengaku sebagai keturunan
dan pewaris Majapahit. Nah, kita bisa melihat tegangan lain di sini. Para
sultan Jawa itu mengaku sebagai keturunan dan penerus Majapahit, bahkan hal itu
diwarisi oleh gerakan Javanis tersebut di atas. Para raja Bali pun mengaku
sebagai keturunan dan pewaris Majapahit.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
tahun 1949 Belanda, atas desakan dunia internasional, akhirnya mengakui
kedaulatan Republik Indonesia. Namun, Belanda memastikan bahwa Republik
Indonesia berbentuk serikat. Dan juga, Belanda mencampuri Undang-undang Dasar
(Konstitusi) Indonesia 1949; Belanda memastikan Piagam Jakarta tidak dimasukkan
ke dalam Konstitusi, dan mengubah artikel 18, bunyinya “Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, keinsjafan batin, dan agama; hak ini meliputi pula
kebebasan bertukar agama atau kejakinan”. Para politisi Islam tidak suka dengan
hal itu. Mereka menganggap Republik Indonesia Serikat itu hanya setengah merdeka
saja. Pemerintah pun menyingkirkan para elit tradisional lokal dari kekuasaan
karena dianggap pro-Belanda. Kata ‘tradisi’ (<i>adat</i>) kini mendapatkan makna negatif. Kata itu kini berkonotasi
feodal, imperialis, dan antirepublik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lalu
terbitlah Undang-undang Dasar 1950 di mana frase ‘hak ini meliputi pula
kebebasan bertukar agama atau kejakinan’ pada artikel 18 dihapuskan. Pada UUD
1950, artikel 18 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan
batin dan pikiran”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lalu
datanglah pemberontakan S.M. Kartosuwirjo bersama gerakan Darul Islamnya. Pada
7 Agustus 1949 dia memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Gerakan ini segera menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Maluku,
Kepulauan Sunda Kecil, dan Sulawesi Selatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Walaupun
terdapat pemberontakan yang bernama Darul Islam, para politikus Islam yang
setia kepada Republik masih dapat berpolitik melalui Departemen Agama.
Sedangkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih terus didominasi
orang-orang nasionalis sekular Jawa yang mendapatkan pengaruh kuat dari Budi
Utomo dan Taman Siswa. Selain itu, PNI, partai di mana para Javanis sangat
mencolok, memiliki hubungan dengan beberapa aliran kebatinan yang mempraktekkan
semacam mistisisme yang berdasar pada sebuah interpretasi kaum Javanis terhadap
Pancasila.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
saat itu yang menjadi menteri agama adalah K.H. Wahid Hasyim, salah seorang
pemimpin NU dan anggota Masyumi yang sebelumnya turut serta mendukung syariat
sebagai dasar dari UUD 1945. Dialah yang membedakan antara ‘agama’ (<i>religion</i>) dan ‘aliran kepercayaan’ (<i>current of belief</i>). Agama tidak lain
adalah segala sesuatu yang menyangkut konsep Judeo-Christian-Muslim tentang
agama. Sedangkan, berdasarkan Peraturan Menteri No. 9/1952/Artikel VI, “Aliran
kepercayaan ... ialah suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup
dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih
terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya
sepanjang masa.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Beragama
berarti sudah menyatakan suatu kredo (syahadat) monoteistik dan dikenal secara
internasional, sebagaimana yang diwartakan oleh seorang nabi di dalam sebuah
kitab suci.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kata
‘agama’ sendiri secara etimologis berasal dari Bahasa Sansekerta. Dalam Bahasa
Sansekerta kata agama dipahami sebagai: (1) ajaran tradisional yang suci,
koleksi dari ajaran-ajaran suci tersebut, atau karya-karya suci pada umumnya;
(2) nama umum dari kitab-kitab suci tertentu yang berhubungan dengan
penyembahan dewa-dewa Hindu seperti Wisnu, Sakti, dan Siwa. Kata itu masuk ke
dalam Bahasa Jawa Kuna ketika ada proses Indianisasi Jawa yang berlangsung
sejak abad pertama masehi. Ketika Islam mengambil alih kekuasaan di Jawa pada
abad XIV, kata itu mulai kehilangan konotasi Hindunya. Bahkan, di dalam
pengertian dalam Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, kata agama dipahami sebagai
sebuah sumber tekstual yang menjadi dasar bagi ritual dan penyembahan.
Apropriasi Islam atas terminologi ini pada akhirnya membuat kata ‘agama’
menjadi searti dengan kata ‘<i>din</i>’
dalam Bahasa Arab sebagaimana dipakai di Al-Quran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Akhirnya
hanya Islam, Protestan, dan Katolik sajalah yang dapat disebut agama, karena
nabi (pewarta) dan kitab sucinya jelas. Segala bentuk tradisi suci di seluruh
penjuru Nusantara, termasuk kebatinan Jawa (<i>Kejawen</i>)
--meskipun mengambil unsur-unsur Islam juga--, dikategorikan sebagai aliran
kepercayaan. Bahkan, memiliki kepercayaan monoteistik pun tidak cukup untuk
membuat aliran kepercayaan mendapatkan status “agama”. Maka, para penganut
aliran kepercayaan tersebut dipandang belum beragama! Menteri Agama mendorong
dakwah Islam dan misionaris Kristiani untuk membawa (kembali) para penganut
aliran kepercayaan ini kepada agama. Dakwah Islam dan misionaris Kristiani itu
pun bersaing.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Menurut
Menteri Agama, para penganut aliran kepercayaan itu tidak bisa dipandang
sebagai Warga Negara Indonesia yang penuh. Ada 3 alasan: (1) karena Indonesia
percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap penduduknya harus beragama, (2) karena
aliran kepercayaan itu dipandang terkait erat dengan adat kebiasaan hidup
turun-temurun yang dianggap terbelakang, sehingga akan menghambat kemajuan masyarakat
Indonesia, (3) karena Belanda menggunakan hukum adat sebagai bentuk resistensi
terhadap Indonesianisasi, mereka yang mengidentifikasi diri dengan tradisi etnis
dianggap membangkang dari Negara Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Logika
berpikir semacam itu telah terlebih dahulu diaplikasikan di Bali ketika pada 20
November 1946 para gerilyawan republik di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai
secara efektif didesak oleh Belanda dan orang-orang Bali antirepublik dalam
perang Puputan Margarana. Pada saat itu Belanda menghidupkan kembali budaya,
seni, dan agama Bali, sembari memperkuat otoritas politik para aristokrat Bali
yang setia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
tahun 1952 Menteri Agama menghendaki orang-orang yang belum beragama memeluk
salah satu agama yang diakui. Menteri Agama berkesimpulan bahwa agama Bali
memiliki konsep-konsep Hindu dan Buddha yang lemah. Agama Bali tidak lain
adalah sebuah ‘animisme’ lokal yang heterogen dan praktek politeistik. Maka,
orang-orang Bali dianggap belum beragama, sehingga menjadi target dakwah Islam
dan misi Kristiani.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Terkejut
dan ketakutan akan hal tersebut, pemerintahan lokal Bali pada 1953 mendirikan
dinas agama otonom. Mereka ingin agar agama tradisi mereka dikenal sebagai
Agama Hindu Bali. Beberapa pemuda Bali pun dikirim ke India untuk mempelajari
agama Hindu, terutama untuk belajar di Shantiniketan Vishva Bharaty University
(Rabindranath Tagore), di the Banaras Hindu University (yayasan yang
diinspirasi Annie Besant, Presiden Komunitas Teosofi), dan di the International
Academy of Indian Culture (didirikan oleh Raghu Vira, intelektual India).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Usaha
orang-orang Bali ini tidak bertepuk sebelah tangan, orang-orang India menyambut
baik. Beberapa intelektual India dikirim ke Bali, bahkan ada yang akhirnya
tinggal dan memperistri orang Bali. Pandit Shastri menulis <i>Intisari Hindu Dharma</i> (ajaran Catur Weda dan Upanisad, dasar dari
Hindu Dharma). Meskipun mengesampingkan literatur Purana dan Itihasa, Bagawad
Gita dihargai. Kita bisa melihat hubungan dengan dan pengaruh Teosofi yang
menghargai pula Bagawad Gita dan Rabindranath Tagore, yang juga menghargai Gita
dan pernah mengunjungi Jawa dan Bali pada tahun 1927.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">14
Juni 1958 disusunlah draf petisi bersama. Agama Hindu-Bali tidak bertentangan
dengan Pancasila dan memiliki kredo ‘Om tat sat ekam eva advitiyam’ (Om,
demikianlah esensi dari yang meliputi semua, satu dan tak terbagi). Nama dari
“Yang meliputi semua, satu dan tak terbagi” tak lain adalah Tuhan (dalam Bahasa
Indonesia), atau “Ida Sanghyang Widhi Wasa” (Penguasa Ilahi atas Semesta dan
Hukum Kosmis Absolut Ilahi). Arti yang pertama mencoba mendamaikan dengan
konsep ‘Tuhan Yang Maha Esa’ sebagaimana
yang dipahami oleh agama Judeo-Christian-Muslim, sedangkan arti yang kedua
merujuk pada pengertian ‘Hinduisme’ oleh kaum Hindu-nasionalis, yaitu Sananta
Dharma (Kebenaran/Hukum Kosmis Abadi). Segala dewa-dewi Bali kini hanya
dianggap sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Sanghyang Widhi Wasa,
sebagaimana yang dilakukan oleh para Brahmin India dan para pemimpin gerakan spiritual
Neo-Hindu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Catur
Weda, Upanisad, Bagawad Gita, dan kitab-kitab Jawa Kuna Sarasamuccaya serta
Sanghyang Kamahayanikan menjadi Kitab Suci Agama Hindu Bali. Para resi
(penyusun Weda) dan para empu dari kitab-kitab Jawa Kuna tersebut di atas
adalah para nabi. Doa harian Trisandhya (doa tiga waktu) yang didesain oleh Pandit
Shastri dipandang sama dengan shalat (doa lima waktu) di dalam Islam. Agama
Hindu Bali juga memiliki lima kewajiban: dewa yadnya (menyembah Tuhan), pitra
yadnya (berdevosi kepada leluhur), manusia yadnya (saling mengasihi antarsesama
manusia), bhuta yadnya (mengasihi makhluk hidup lain), dan resi yadnya (berdevosi
kepada/melayani guru/pemimpin spiritual, dengan cara mengkaji kitab-kitab
suci). Sehingga, segala macam bentuk ritual orang-orang Bali kini dianggap
sebagai manifestasi dari lima kewajiban agama ini dari pada sekadar praktek
ritual etnis yang berdasar pada kepercayaan politeis dan animisme.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Didukung
oleh Soekarno, yang ibunya adalah seorang Bali dan ayahnya adalah seorang
Teosofi, pada 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali resmi diakui oleh pemerintah.
Kementrian Agama kini memiliki Bagian Urusan Hindu Bali (‘Urusan’ bukan
‘Agama’!). Komunitas Hindu Bali pun membentuk Parisada Dharma Hindu Bali
(KWI/MUI-nya Hindu Bali).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Soekarno
mendukung Agama Hindu Bali ini oleh karena latar belakangnya. Ibunya seorang
Bali, ayahnya seorang Teosofi. Soekarno mengidolakan Mahatma Gandhi (yang
pandangan politiknya mengakar pada Bagawad Gita). Dia sangat terpengaruh oleh
wayang. Soekarno pernah belajar Teosofi. Pernah pula bergabung dalam Jong Java,
organisasi kepemudaan Budi Utomo. Soekarno tidak pernah bergerak dalam golongan
Islam, tetapi justru mengombinasikan ideologi-ideologi tertentu (etika Jawa
pada wayang, kepercayaan kepada ‘Ratu Adil’ (mesias Jawa); bahkan
mengombinasikan Islam Jawa dengan komunisme menjadi Marhaenisme). Pancasila
lahir dari latar belakang semacam ini pula.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hubungan
Soekarno dengan politik Islam tidak berjalan dengan baik. Puncaknya adalah
pembubaran Masjumi karena dianggap mendalangi pemberontakan PRRI dan secara
prinsip menyetujui pandangan Darul Islam walaupun sama sekali tidak mendukung
aksi politis Darul Islam tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Penggembosan
politik Islam ini menjadi angin segar bagi status Agama Hindu Bali di
Kementrian Agama. Pada 1963 Agama Hindu Bali diakui secara penuh dan bagian
yang mengurusinya di Departemen Agama berganti nama menjadi Biro Urusan Agama
Hindu Bali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Agama
Hindu Bali pun semakin mendekatkan diri kepada Hindu Dharma universal. Parisada
Dharma Hindu Bali berganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma. Hindu Bali kemudian
memproklamasikan lima kepercayaannya (panca sraddha): (1) beriman kepada Sanghyang Widhi Wasa, (2)
percaya kepada atman, (3) percaya karmaphala, (4) percaya samsara/reinkarnasi,
(5) percaya akan moksa. Jika terminologi ‘Sanghyang Widi Wasa’ kita ganti
dengan ‘Brahman’, kita akan mendapatkan lima prinsip ajaran Neo-Hinduisme
India.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Penghapusan
kata ‘Bali’ dari frasa ‘Parisada Hindu Dharma’ disebabkan oleh desakan
Kementrian Agama dan realita di lapangan bahwa komunitas Hindu di Indonesia
tidak hanya Hindu Bali, tetapi juga terdapat Hindu Tamil, Sindhis, lalu juga
Hindu Jawa (beberapa kaum nasionalis Jawa yang secara antusias kembali kepada
apa yang mereka percayai sebagai agama leluhur mereka).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ketika
Soeharto meraih kekuasaan setelah melakukan kudeta merangkak pascaperistiwa
30/S, komunitas Hindu menjadi semakin beragam. Beragama menjadi perkara hidup
dan mati! PKI dikambinghitamkan atas peristiwa 30/S tersebut. Semua (yang
dituduh) anggota atau terlibat PKI ditangkap dan dieksekusi tanpa peradilan di
bawah komando Soeharto melalui KOSTRAD. Organisasi kepemudaan NU, Ansor, pun
turut serta membantai semua (yang dituduh) anggota atau terlibat PKI. Bukan
hanya PKI, bahkan mereka yang menganut aliran kepercayaan (dan dianggap belum
beragama itu), khususnya para anggota kelompok kebatinan Jawa, pun turut serta menjadi
sasaran. Logikanya: komunis itu ateis - ateis itu komunis - penganut aliran
kepercayaan itu tidak beragama - tidak beragama itu ateis - ateis itu komunis.
Logika semacam itu menjadi pembenaran bagi golongan Islam yang ingin membalas
dendam kepada golongan Javanis. Faktanya, banyak orang Jawa abangan (bukan Islam
orthodox) mendukung PKI sekaligus juga menjadi anggota dari kelompok-kelompok
kebatinan yang berbeda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ketika
Soeharto benar-benar menjadi presiden yang sah, Orde Baru lahir. Soeharto
hendak mensukseskan ‘de-ideologisasi’ kepada masyarakat (contoh:
desoekarnoisasi), harmoni sosial yang dijaga oleh dwifungsi ABRI, dan
pembangunan ekonomi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Meskipun
mendukung gerakan antikomunis Soeharto, politik Islam masih belum aman oleh
karena kenangan segar akan pemberontakan Darul Islam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Soeharto
sendiri sebenarnya merupakan pelaku mistisisme Jawa, malah sering bersamadi di
candi-candi Hindu-Jawa dan mengoleksi pusaka (keris) supaya mendapat kesaktian.
Walaupun demikian, dia sangat anti terhadap kelompok-kelompok kebatinan Jawa
karena Soeharto sulit mempercayai mereka. Bagi para anggota kebatinan Jawa
tersebut, Soeharto bukanlah Ratu Adil (mesias) yang dinubuatkan oleh Joyoboyo.
Soeharto bahkan takut akan kebangkitan Ratu Adil tersebut. Bagi para anggota
kebatinan Jawa, Soekarno jauh lebih merepresentasikan Ratu Adil tersebut.
Itulah mengapa kebatinan Jawa pada era Soeharto sama sekali tidak pernah berkesempatan
untuk mendapatkan status ‘agama’.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Karena
takut dicap ateis, lalu dicap komunis, lalu ditangkap dan dieksekusi, banyak
Javanis dan banyak pemeluk agama etnis mencari payung kepada agama yang diakui.
Sebagai hasilnya, pada saat itu terjadi peledakan umat beragama. Mereka
berbondong-bondong memeluk salah satu dari agama yang diakui negara tersebut.
Antara tahun 1960-1980 banyak Orang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
khususnya Orang Tengger, Orang Bugis To Wani To Lotang dan Mamasa dan Sa’dan
Toraja di Sulawesi Selatan, sebagian Karo di Sumatera Utara, Orang Ngaju dan
Luangan di Kalimantan Tengah dan Selatan menyatakan diri sebagai Orang Hindu.
Sekali lagi Parisada Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma
Indonesia pada 1986.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Di
Jawa hal itu tidak berjalan mulus. Kelompok kebatinan Jawa secara tradisional
terhitung Muslim, sehingga perpindahan mereka ke Hindu Dharma --sebuah agama
yang tidak pernah dianggap sebagai “agama yang benar” oleh Orang-orang Islam--
acap kali dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal di daerah yang mayoritas
Muslim. Sering kali petugas yang Muslim di kantor Kelurahan/Kecamatan menolak
mengubah kolom agama pada KTP mereka menjadi ‘Hindu’. Itu belum kekerasan lain
misalnya tarif yang lebih tinggi yang dikenakan oleh petugas catatan sipil
kepada pengantin Hindu, atau dakwah terus-menerus agar mereka mau kembali
kepada Islam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Di
daerah yang mayoritas Kristiani, keadaan tidak lebih baik! Mereka yang mengaku
Hindu acap kali tidak diuntungkan (misalnya tidak mendapatkan perwakilan sama
sekali di DPRD, tidak diterima pengajuan bea-siswanya, dan semacamnya). Hal ini
disebabkan karena Orang-orang Kristiani, khususnya Protestan, tidak menghargai
sama sekali Hinduisme. Maka, jangan heran jika kita bertemu dengan orang-orang
yang mengikuti ritual agama Hindu, tetapi KTP mereka sama sekali tidak
tercantum kata ‘Hindu’. Fenomena itu jamak di Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hindu
Dharma sebenarnya dilindungi pemerintah Orde Baru karena Parisada Hindu Dharma
pada 1968 menyatakan setia pada Soeharto, bahkan sampai masuk Golkar. Hinduisme
Indonesia akhirnya menjadi payung bagi agama-agama minoritas, misalnya: Agama
Budha (agama tradisi Orang Tengger, bedakan dengan Buddhisme!), Aluk To Dolo,
Ada’ Mappurondo, Toani, Pemena, dan Kaharingan. Di Departemen Agama sendiri
akhirnya bagian Hindu Dharma mengakomodasi pula Buddhisme dan Konghucu. Oleh
orang-orang Muslim dan Kristiani, Agama Hindu dicap sebagai agama ardi (agama
bumi), sedangkan Islam-Kristiani dicap sebagai agama wahyu (agama langit).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Revolusi
Iran (1978) mendorong maraknya fundamentalisme Islam di Indonesia. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Semua agama dilarang menerima dana/sponsor dari luar negeri dalam
bentuk apapun. Pada 1983 Pancasila menjadi asas tunggal. Tentu saja hal itu
mendapatkan perlawanan dari Muslim orthodox pada umumnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
akhir tahun 1980-an Soeharto mengubah paradigmanya terkait Islam. Ada
perpecahan antara dirinya dengan faksi kuat di tubuh ABRI. Soeharto butuh basis
massa baru. Pada tahun 1990 dia naik haji ke Mekkah. Soeharto pun menyetujui
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang beranggotakan baik para
pegawai pemerintah maupun oposan pemerintah. ICMI bersama Muhammadiyah (Amien
Rais) dan Yayasan Paramadina (Nurcholish Madjid) menggagas sebuah “masyarakat
Indonesia Islami”, dari pada “negara Indonesia Islami”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pada
Mei 1998 di Indonesia terjadi puncak dari Krisis Asia. Soeharto dilengserkan.
Pemerintahannya dianggap sebagai “kapitalisme kroni”. Beberapa gerakan Islamis
menuduh bahwa kroni-kroni Soeharto terdiri dari teknokrat sekular, orang-orang
Kristiani dan Tionghoa. Tuduhan ini berujung pada kerusuhan. Korbannya tak lain
adalah orang-orang Tionghoa-Indonesia, orang-orang Kristiani, juga orang Hindu,
Javanis, dan Buddha.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pemerintahan
Abdurrahman Wahid menyerukan toleransi beragama. Akan tetapi, hal tersebut
tidak mengurangi konflik agama di Maluku, Kalimantan, Irian Jaya (Papua),
Lombok, dan Sulawesi Selatan. Otonomi daerah yang diwacanakan oleh Gus Dur, dan
yang dijalankan oleh Megawati Soekarnoputri membuat orang-orang Bali merasa
yakin bahwa ‘Bali tetap Hindu’.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Menanggapi
Islamisasi masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
komunitas Hindu Indonesia pun menjadi semakin radikal. Dua tegangan dalam Hindu
Indonesia: atau semakin mendekatkan diri kepada Hindu India, atau memberi ruang
pada kebiasaan dan praktek lokal.<o:p></o:p></span></div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-55006415539229735182014-03-18T10:27:00.001+07:002014-03-18T10:27:07.112+07:00FUNGSI HAND PHONE DI DAERAH TANPA SINYAL<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">FUNGSI
HAND PHONE DI DAERAH TANPA SINYAL<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVQPpXWwcUbaEQc6V70QEKDEkBmtiip2GCLxVLPqni44VTckuOok0bwPypXqgqmfswOI80nFlAINTN8d7VwhntiaQ3TOFxcselOU_OBhZsTR4R_XYzHYYtXbcHScaVS_0pe5sTnbgHgSM/s1600/SINYAL.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVQPpXWwcUbaEQc6V70QEKDEkBmtiip2GCLxVLPqni44VTckuOok0bwPypXqgqmfswOI80nFlAINTN8d7VwhntiaQ3TOFxcselOU_OBhZsTR4R_XYzHYYtXbcHScaVS_0pe5sTnbgHgSM/s1600/SINYAL.JPG" height="320" width="240" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span></b><span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Oleh:</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Yekti Suskandari<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">136322020<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Telepon genggam atau lebih dikenal dengan sebutan hp saat
ini memang sudah merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh anggota masyarakat,
bisa dikatakan masyarakat tak bisa hidup tanpa hand phone. Berbagai merek dan
jenis hand phone yang beredar di masyarakat selalu diminati, bahkan tak jarang
lounching produk hanphone merek terentu selalu dibanjiri oleh masyarakat,
mereka rela antri demi mendapatkan produk seri pertama.</span></div>
<a name='more'></a> <o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, hand phone juga
berfungsi sebagai salah satu bentuk lambang prestise bagi sebagian besar orang.
Merek-merek hp tertentu menjadi icon atau simbol kemapanan bagi sebagian besar
orang, yang kadang mereka mengesampingkan fungsi dari hand phone tersebut,
tetapi lebih mementingkan nilai gengsi dengan memiliki hand phone tersebut, ada
beberapa orang berprinsip “yang penting kelihatan gaya”, mereka tidak
mementingkan fungsi hand phone tersebut. Beberapa orang yang saya temui
mengatakan bahwa hp yang penting keluaran terbaru bisa buat we chat, whats up,
FB, line, tweeter, kakao talk, BB android youtobe sms dan nelpon tentu saya,
sementa fitur-fitur lain yang terdapat dalam
hand phone tidak pernah mereka gunakan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Seperti dalam buku Rudolf Mrazek tentang matinya para
pesolek, para pengguna hand phone saat ini ak ubanya seperti mereka, menggunakan
alat komunikasi hanya untuk sekedar penunjang life style mereka. Berbagai merek
hand phone terbaru langsung diserbu oleh para pembeli, tak peduli harganya selangit,
demi prestise mereka mengusahakan.merek Iphone selalu di buru pembeli, bahkan
ketika louncing produk yang terbaru di seluruh penjuru belahan dunia masyarakat
rela mengantri demi mendapatkan produk terbaru.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Jika orang tergila-gila dengan hand phone karena daerah
mereka merupakan kawasan memiliki sinyal itu wajar, dan dianggap lumrah.
Permasalahan yang menarik untuk kita kaji bersama adalah, bagaimana demam hand
phone ini sampai merasuki ke wilayah tanpa sinyal? Cukup menarik bukan? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Orong Telu sangat asing di telinga kita banyak orang
bertanya-tanya, dimanakah letakknya? Jangankan masyarakat di Pulau Jawa,
Masyarakat Propinsi NTB pada umumnya dan Kabupaten Sumbawa Besar pun banyak
yang tidak mengetahui keberadaan wilayah ini. Masyarakat Kabupaten Sumawa Besar
hanya mengetahui bahwa Orong Telu terletak jauh di atas bukit, tidak ada
sinyal, sulit di jangkau dan merupakan tempat pembuangan para PNS yang
berseberangan politik dengan pemeritah yang berkuasa dan PNS yang berani mengkritisi
kebijaksanaan Pemda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Untuk mengetahui lebih lanjut tentang letak dan kondisi
daerah Orong Telu berikut ini akan saya jabarkan beberapagambaran tentang
wilayah tersebut yang disebut sebagai <i>Nerakanya
PNS. </i>Orong Telu merupakan salah satu dari 24 kecamatan yang ada di
Kabupaten Sumbawa Besar NTB, </span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">dengan
posisi memanjang dari arah utara ke selatan dengan ketinggian berkisar
antara 80 hingga 214 meter diatas permukaan air laut (dpl)</span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kecamatan
Orong Telu terletak antara 08.76937°LS dan
117.17900°BT. Adapun batas-batas kecamatan Orong Telu adalah
sebagai berikut</span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">:</span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">
:<br />
Sebelah Utara : berbatasan dengan
Kecamatan Batulanteh<br />
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan
Lunyuk<br />
Sebelah Timur </span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> </span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">: berbatasan
dengan Kecamatan Lenangguar<br />
Sebelah Barat</span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> </span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> :
berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat</span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">
<span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kecamatan Orong Telu dengan luas
keseluruhan 465,97 km<sup>2</sup> terdiri dari 4 (empat) desa dengan luas
masing-masing desa yaitu Desa Mungkin<br />
159,97 Km<sup>2</sup>
(08.75198°S </span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">-</span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">117.12690°E), Desa
Kelawis 73,00 Km<sup>2</sup>
(08.77590°S 117.17125°E), Desa
Senawang 160,00 Km<sup>2</sup>
(08.78806°S </span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">-</span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">117.21968°E),
dan Desa Sebeok
seluas 73,00 km<sup>2</sup>
(08.75887°S</span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">-</span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">
117.18629°E) Di Kecamatan Orong Telu di jumpai beberapa buah</span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> Brang/ </span><span style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">sungai seperti sungai
Brang Kelawis, Brang Sakal, Brang Ruat, Brang Punik dan </span><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Brang besar
lainnya. <a href="file:///G:/FUNGSI%20HAND%20PHONE%20%20DI%20DAERAH%20TANPA%20SINYAL.docx#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Kecamatan Orong Telu berjarak kurang lebih 79 km dari
ibukota Kabupaten Sumbawa Besar, memang jika dilihat dari jaraknya tidaklah
begitu jauh, etapi krtika kita mengeahui medan yang harus dilalui yang sangat
ekstrim, maka jarak seperti itu harus ditempuh dalam jangka waktu nkurang Lebih
6 jam jika musim kemarau tiba dan 8-10 jam jika musim penghujan tiba. Bahkan
jika jembatan senawang hanyutditerjang banjir(ini trerjadi setiap musip
penghujan tiba) kita harus bermalam di tepi sungai, dan melanjutkan perjalanan
keesokan harinya setelah air surut. Orong Telu bertopografi naik turun, jalanan
berupa jalan diproses melalui
pengerasan, jika musim kemarau para pengndara sepeda motor harus berhati-hati
karena adanya batu kerikil lepas, sedang di musim penghujan sepeda motor harus
dililit dengan rantai di bagian roda depan dan belakang supaya tidak selip
ketika terkena lumpur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Jenis kendaraan yang bisa melewati medan di orong telu
selain sepeda motor( dianjurkan motror jenis tril supaya lebih kuat di
tanjakan) adalah hartop, truk dan ranger. Truk adalah sarana kendaraan umum
paling favori di daerah ini, karena selain bisa mengangkut hasil bumi truk juga
mampu mengangkat waga desa yang hendak berbelanja ke kota ataupun ternak yang
hendak di jual. Sebagian besar penduduk desa berprofesi sebagai petani dan
peternak sapi, kerbau, dan kambing, serta kuda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Fasilitas yang tersedia di Orong Telu Sungai yang berfungsi
untuk MCK warga, listrik yang menyala dari jam 18.00-06.00 WITA. Orong Telu
juga termasuk kawasan tanpa sinyal, tetapi yang menarik setiap warga masyarakat
memiliki HP, hp bagi warga Orong Telu merupakan hal yang wajib dimiliki,
terutama anak mudanya, anak-anak sekolah merasa gengsi jika tidak memiliki hp
dan merasa pamornya turun jika tidak memiliki hp. Tidak sedikit diantara mereka
yang memiliki Black Berry, sempat saya bertanya” <i>No poda sinyal pang ta lamen sia beli black berry</i>?” (disini tidak ada
sinyal disini kenapa anda beli black berry? ) dia menjawab <i>”Kaji beli Black Berry taluk gagah nan gaya, lamen kaji no beli deta no
taluk gagah”.</i> (saya beli ini supaya kelihatan gaya dan gagah kalo tidak
beli ini tidak kelihatan gagah). Saya kemudian bertanya lagi “ <i>pida kali sia lalu ke samawa?”(</i>berapa
kali anda pergi ke kota Sumbawa). Dia menjawab” <i>kaji lalu kesana sebulan sekali</i>”. (saya pergi ke kota sebulan
sekali). Jawaban ini serasa mengherankan
saya karena setahu saya jika Black Berry itu berupa paketan dan masa belakunya
sebulan, ternyta mereka punya hp hanya untuk sekedar gengsi , bahkan saya
sempat dikatakan kuno ketika saya tidak memiliki Black Berry. Idak semua orang
memiliki Black Berry banyak diantara mereka memilih samsung, cross, aau hp merek
Cina.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Anak-anak sekolah dan orang-orang yang idak pernah pergi
ke kota (1 tahun sekali menjelang Idul fitripun) ikut memuja hp sebagai simbol
prestise. Hp berubah fungsi sebagai alat untuk mendengarkan musik MP3 dangdut
dan melihat serial tayangan sandiwara film laga. Saya sebagai guru sekaligus
wali kelas sempa dibikin pusing ujuh keliling ketika ada kasus murid mogok
sekolah karena mina di belikan hp, akhirnya orang tua mengiklaskan kambing di
jual demi memenuhi keinginan anak memiliki hp.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Meskipun kelihatan aneh dan semu bagi orang di luar
daerah tersebut, namun mereka cukup bahagia memiliki hp, sebagai teman
mendengarkan lagu dangdut saat malam
menunggu sawah, supaya hasil panen idak di ganggu oleh babi huan yang sering
meraja lela.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;"> </span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">DAFAR
PUSAKA<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Rudolf Mrazek, <i>Engginer
of Happy Land, </i>Yayasan Obor Jakara 2006.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Leelawadee","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN;">Dokumen Pemkab Kabupaen Sumbawa.<i><o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///G:/FUNGSI%20HAND%20PHONE%20%20DI%20DAERAH%20TANPA%20SINYAL.docx#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a> <span lang="IN">Pemkab Kabupaten Sumbawa <o:p></o:p></span></div>
</div>
</div>
<div>
<div id="ftn3">
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-62134054603882142412014-03-18T08:50:00.001+07:002014-03-18T10:14:58.443+07:00KEBERHASILAN MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">KEBERHASILAN
MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA</span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsOY-ioVIvTFUOpg0jvDxS1JYpRe0EtENQ6-s3I8b_0dnBLUF0hAqPn6dbIO9ohjr0NN6O-LE-Td63CMYxy9frUQbf7_ghhMCdZhlabJFEQHCbqdtL0u4TcnH_o1xWGX9YOv24jRQyXbA/s1600/islamisasi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsOY-ioVIvTFUOpg0jvDxS1JYpRe0EtENQ6-s3I8b_0dnBLUF0hAqPn6dbIO9ohjr0NN6O-LE-Td63CMYxy9frUQbf7_ghhMCdZhlabJFEQHCbqdtL0u4TcnH_o1xWGX9YOv24jRQyXbA/s1600/islamisasi.jpg" height="240" width="320" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> NAMA MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> NIM : 136322002<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> DOSEN
PENGAMPU : 1. Dr. G. Budi Subanar,
S.J.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> 2. A. Bagus Laksana, S.J., Ph.D.<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> <o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PENGANTAR<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebuah
desa kecil yang terletak di wilayah selatan kabupaten Jayawijaya, memiliki
pemandangan yang tidak lazim. Ketika desa-desa yang lain sangat kental dengan
bau kekristenan, maka desa yang satu ini tampak berbeda. Suasana keislaman
begitu tercium ketika orang-orang berkunjung ke desa tersebut, baik yang hanya
sekedar menikmati keindahan alam, bahkan mereka yang memang penasaran dengan
keunikan desa tersebut. Inilah desa Walesi, satu-satunya desa di kabupaten
Jayawijaya bahkan seantero Papua yang memiliki penduduk pribumi beragama
muslim. Ketika berbicara tentang agama di Papua, maka yang terlintas di pikiran
adalah kekristenan. Hampir seratus persen kabupaten yang tersebar di provinsi
Papua, penduduk pribuminya beragama kristen dan katholik. Maka ketika ada
seorang Papua yang menganut agama lain, maka orang tersebut akan tampak berbeda
– ibarat sebuah titik hitam yang tampak jelas terlihat disebuah lembar kertas
putih. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Memang
sangat terlihat aneh ketika melihat penduduk desa tersebut melakukan aktifitas
keagamaannya, kaum pria memakai peci dan yang wanita memakai jilbab,
berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan ibadah. Mungkin bagi sebagian
orang pendatang yang sudah mengetahui keislaman orang-orang kulit hitam di
daerah Afrika, memiliki kesan yang biasa ketika melihat masyarakat di Walesi
yang “islam”. Tetapi bagi orang-orang Papua sendiri, juga termasuk pendatang
yang memang lahir dan besar di Papua pasti memiliki kesan yang aneh melihat
masyarakat Walesi yang “islam” tersebut.</span></div>
<a name='more'></a><o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
tahun 1954 seorang penginjil asal Amerika, menginjakkan kaki untuk pertama kalinya
di Wamena kabupaten Jayawijaya dengan misi utama menginjili orang-orang pribumi yang pada saat itu merupakan penganut
dinamisme. Tidak mudah bagi sang penginjil untuk menaklukan orang-orang pribumi
Jayawijaya, karena selain penolakan, masalah keterbelakangan masyarakat juga
menjadi kendala utama dari misi tersebut. Akan tetapi ditengah-tengah tantangan
yang dihadapi selama proses penginjilan, ada hal positif yang diperoleh oleh
para penginjil tersebut, yaitu semakin dekatnya mereka dengan kebudayaan asli masyarakat
setempat yang secara otomatis semakin memudahkan misi tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam
paper ini penulis mencoba menguraikan dinamika kehidupan keagamaan masyarakat
Wamena, terlebih khusus di distrik Walesi. Jikalau para penginjil mengalami
lebih banyak kemudahan dibandingkan kesulitan selama proses penginjilan, maka
muncul pertanyaan mengapa iman kristiani yang sempat ditanamkan dalam
masyarakat telah luntur bahkan hilang sama sekali – digantikan dengan iman
islam yang tampaknya mustahil di tengah-tengah lingkungan Papua yang
beridentitaskan kekristenan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB I<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Diskursus mengenai
persoalan lebih dulu mana agama yang masuk ke Papua antara Islam dengan Kristen
masih menjadi polemik. Namun demikain mainstrem yang berkembang menunjukkan
bahwa agama Islamlah yang pertama kali masuk ke Papua. Pendapat ini didasarkan
pada hasil penelitian seorang berkebangsaan Belanda Van der Leeder
(1980). Ia mengatakan bahwa Islam masuk di kepulauan Raja Ampat setelah
mendapat pengaruh dari kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut
masuk di Maluku pada abad ke 13 silam. Sementara, J. R. Mansoben (1997)
mengatakan bahwa Agama besar pertama yang masuk ke Irian Jaya (Papua) adalah
Islam. Agama Islam masuk di Irian Jaya (Papua) pertama di daerah
Kepulauan Raja Ampat dan Fak-Fak berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan
melalui hubungan perdagangan yang terjadi diantara kedua daerah tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kendati Islam masuk
pertama ke Papua, namun penginjilan (kristenisasi) di Kabupaten Jayawijaya
(Lembah Beliem) ditengarai pertama kali dilakukan oleh sekelompok penginjil
Amerika di bawah pimpinan Lioyd Van
Stone dari Christian & Missionary Association (CAMA). Pada bulan Januari
1958, seorang pastor dari orde Fransiskan bernama Arie Bokdijk, melakukan
perjalanan orientasi ke lembah Baliem. Dalam historisitas persebaran
agama-agama di wilayah ini menunjukkan bahwa hingga tahun 1969 misionaris
Katolik dan kaum penginjil masih menjadi satu-satunya warga asing yang berdiam
di Lembah Baliem. Baru pada tahun 1978 kedudukan mereka digantikan oleh
suster-suster Indonesia (P. J. Drooglever, 2010).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kemudian
setelah penyerahan Nieuw-Guinea oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia sejumlah
suster mengalihkan kewarganegaraannya dan menjadi guru sekolah dasar sampai
akhir dekade 70-an. Setelah pengintegrasian Papua dengan Indonesia, banyak
penduduk asal Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah sekitar Papua berpindah ke
Papua untuk bekerja sebagai guru, pegawai sipil atau militer. Para pendatang
yang berasal dari berbagai latar belakang profesi ini, umumnya beragama Islam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Baru
setelah proses interaksi yang intensif antara penduduk pendatang dengan
penduduk lokal terjadi, masyarakat lokal mulai mengenal Islam. Dalam waktu yang
lama bahwa pemeluk Islam terbatas dikalangan urban atau pendatang, tanpa usaha menyebarkan
ke penduduk asli. Namun demikian, ada sejumlah masyarakat yang menjadi binaan
sebuah yayasan pendidikan Islam (YAPIS). Hal ini dikemukakan oleh oleh JR.
Mansoben, seorang antropolog utama Papua. Interaksi yang intensif tersebutlah
yang membuka peluang terjadinya perubahan agama para penduduk lokal ini. Di
Distrik Walesi, Agama Islam relatif cepat berkembang ketimbang di daerah lain.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya proses Islamisasi yang berlangsung dengan
pola-pola yang cukup sistematis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Untuk
membedah proses islamisasi yang ada di Distrik Walesi, penulis menggunakan
teori islamisasi yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Noorduyn dalam Ahmad
Sewang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB II<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PEMBAHASAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Proses Islamisasi dalam
suatu wilayah pada dasarnya memiliki pola tersendiri. Pola-pola tersebut
sebagaimana dikemukakan dan dikembangkan oleh Noorduyn dalam mengkaji proses islamisasi
di Sulawesi Selatan. Menurutnya, dalam proses Islamisasi terjadi dalam tiga
tahapan yaitu awal pertama kedatangan Islam, penerimaan Islam oleh masyarakat
lokal dan penyebaran Islam dalam wilayah yang lebih luas (Sewang, 2008:80-81). Teori
proses Islamisasi ini akan digunakan penulis dalam membedah fenomena islamisasi
yang terjadi di Distrik Walesi Kabupaten Jayawijaya-Papua.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; mso-list: l1 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">A.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase
Kedatangan Islam di Distrik Walesi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Menrut Noorduyn fase ini ditandi dengan kedatangan
para mubalig atau dai pertama kali ke daerah sasaran untuk melaksanakan dakwah
Islam (Sewang, 2005:80-81). Dalam konteks kedatangan Islam di Distrik Walesi,
kedatangan Islam tidak diawali oleh datangnya sejumlah da’i, melainkan adanya
interaksi antara para pendatang yang beragama Islam dengan penduduk lokal yaitu
Suku Dani Jayawijaya yang bermukim di wilayah Wamena. Hal ini mulai terjadi
sejak akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an, di kota Wamena Kabupaten
Jayawijaya banyak datang penduduk pindahan dari Jawa (transmigrasi), dan para
perantau asal Indonesia Timur, terutama orang Madura, Bugis, Buton dan Makasar.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal yang mendukung terjadinya intensitas interaksi
antara pendatang dan penduduk juga dipengaruhi oleh pendirian Sekolah Dasar Inpres
Megapura pertama di Wamena. Para guru dari Jawa - Madura dan transmigran yang
pada akhirnya dipindahkan ke daerah Paniai tahun 1970-an, menyisakan pengaruh
bagi Suku Dani terutama anak-anak siswa SD Inpres Megapura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jika diamati dari awal kedatangan Islam
di Distrik Walesi, terlihat bahwa Proses islamisasi tersebut terjadi dalam proses
yang panjang. Pada tahun 1978 dimulai dengan hubungan pribadi antara penduduk
lokal dengan beberapa keluarga muslim pendatang. Selain adanya hubungan
intensif juga adanya peran-peran dari beberapa pihak yang telah lama terjalin
seperti unsur pemerintahan yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Tokoh-tokoh yang
secara langsung terlibat dalam proses Islamisasi ini antara lain: pegawai
misalnya Kolonel Thahir yang berprofesi sebagai tentara; Abu Yamin yang
berprofesi sebagai Polisi; Hasan Panjaitan yang menjabat sebagai Sekretaris
Daerah Kabupaten Jawawijaya; dan Paiyen pejabat Depag RI. Mereka menjadi
katalisator dari proses Islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seiring waktu berjalan, hubungan
kekeluargaan dan intensitas pengenalan Islam oleh para da’i semakin lama
semakin berkesan di masyarakat lokal. Pada akhirnya beberapa masyarakat lokal
tertarik untuk memeluk agama Islam. Keislaman mulai masuk dalam sistem
kehidupan keluarga Aipon. Karena kehidupan toleransi yang di tawarkan para
da’i-da’I muslim tersebut begitu tinggi hal ini mengakibatkan salah seorang
Kepala Suku yang bernama Aipon dan seluruh keluarga besar mengambil keputusan
untuk memeluk agama Islam. Inilah awal penting dimana islam masuk di Distrik
Walesi Kabupaten Jayawijaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain melalui proses akulturasi budaya,
islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi ini juga terjadi melalui hubungan
pernikahan. Dalam hal ini, salah satu anak
kepala suku yaitu Aipon Asso menjalin ikatan pernikahan dengan santri di
pesantren. Dengan adanya ikatan-ikatan dan jalinan tersebut berdampak pada semakin
kuat keislaman dalam diri keluarga Aipon Asso. Bahkan Aipon Asso telah
melaksanakan ibadah haji sebagai salah satu ritual penting yang ada dalam agama
Islam (Charles E. Farhadian (ed.), 2005:82). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jika dilihat dari pola-pola awal dari
proses Islamisasi yang terjadi di Distrik Walesi khususnya, dan di kabupaten
Jayawijaya pada umumnya tidaklah berbeda dengan pola-pola masuknya islamisasi
di tempat lain, bahkan proses Islamisasi secara umum yang terjadi di Nusantara (Marwati
Djoenet Poespoenogoro, 2008:161, M. Shaleh Putuhena, 2007:90).<a href="file:///D:/irb/Efraim%20Paper/Zending.rtf#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a> Berawal
dari interaksi dagang kemudian terjadi proses akulturasi antara masyarakat
pendatang dengan masyarakat lokal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; mso-list: l1 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">B.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase
Penerimaan Islam di Distrik Walesi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase penerimaan Islam dilihat dari
perspektif siapa yang pertama kali menerima dakwah Islam tersebut. Teori yang
berkembang menunjukkan adanya dua pola dalam penerimaan orang lokal terhadap
Islam yaitu: pola <i>pertama</i> yaitu Islam
diterima dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian menyebar dan diterima
oleh lapisan atas masyarakat tersebut (<i>bottom
up</i>);<i> </i>pola <i>kedua,</i> Islam diterima langsung oleh elit penguasa masyarakat,
kemudian disosialisasikan, dan berkembang di masyarakat bawah (<i>top down</i>). Jika cara kedua ini terjadi,
maka kecenderungan proses islamisasi berjalan lebih optimal dan lebih cepat
dibandingkan model pertama. Para elit yang terlebih dahulu masuk Islam pada
umumnya menggunakan institusi kerajaan dalam mensosialisasikan dan
mengembangkan Islam di daerahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam kasus penyebaran Islam di Distrik
Walesi, penerimaan Islam oleh penduduk lokal bukanlah berangkat dari ruang
kosong. Masyarakat Distrik Walesi secara umum telah memeluk agama Kristen,
namun seiring dengan interaksi yang intensif antara para pendatang yang umumnya
beragama Islam berpengaruh pada keputusan penduduk lokal untuk memeluk agama
Islam. Penerimaan penduduk lokal terhadap agama Islam selain melalui hubungan
dagang dan interaksi intensif antara pendatang dan penduduk lokal, juga tidak
terlepas dari peran para pejabat-pejabat yang sekaligus berperan menjadi da’i-da’i
dalam menyebarkan agama Islam di Distrik Walesi.<b> <o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kemudian hubungan secara lebih intensif
sampai dengan sekarang, melalui para urban dari Indonesia; Sulawesi,
Madura, Jawa dan Maluku. Penerimaan Islam oleh penduduk lokal terjadi pada
tahun 1975-1977 dengan beberapa orang seperti Merasugun, Firdaus dan
Muhammad Ali Asso, sebagai generasi pertama yang memeluk agama Islam. Dengan
adanya para kaum-kaum elit lokal yang masuk Islam tersebut, hal ini memudahkan
persebaran agama Islam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam hal ini, beberapa anggota suku banyak
yang memutuskan untuk memeluk agama Islam, misalnya Suku Dani Baliem Tengah dan
Baliem Selatan dari Moiety : Asso-Lokowal Asso-Wetipo, Lani-Wetapo,
Wuka-wetapo, Wuka-Hubi, Lagowan-Matuan dan Walesi, kini banyak yang sudah
memeluk agama Islam. Dari sejumlah sumber saksi penduduk bahwa Esogalib Lokowal
orang paling pertama masuk Islam. Kemudian Harun Asso (dari Hitigima/Wesaput),
Yasa Asso (dari Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (dari
Megapura/Sinata), Donatus Lani (dari Lanitapo). Megapura, Hitigima, Hepuba,
Woma, Pugima dan Walesi (kini di Walesi clan Asso-Yelipele seluruh warganya
100% beragama Islam) adalah daerah pertama yang berinteraksi dengan orang
Muslim dari berbagai daerah Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jika dilihat dari pola penerimaan Islam
oleh penduduk lokal Distrik Walesi, yaitu didahului oleh masuknya para elit
suku yaitu keluarga Merasugun Asso, Firdaus Asso dan Muhammad Ali Asso
yang notabene sebagai pemimpin suku. Dalam pandangan pola penerimaan Islam
dimulai dari atas, maka akan cenderung lebih mudah diterima oleh anggota suku
yang lain. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya pengikut Merasugun yang
memutuskan untuk memeluk agama Islam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal ini pula yang menjadi faktor
kesuksesan penyebaran Islam yang terjadi di Distrik Walesi. Namun demikian,
dalam keberislaman warga masyarakat yang tinggal di Distrik Walesi ini, nampak
berbeda dengan pengikut agama Islam yang lain. Pada keluarga lokal yang telah
memutuskan penganut agama Islam masih ada yang mengkonsumsi daging babi.
Padahal dalam ajaran agama Islam, mengkonsumsi daging babi merupakan hal yang
dilarang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan
bahwa sebenarnya masyarakat lokal yang telah memeluk agama Islam tidak total
dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Mereka seperti tidak tunduk terhadap larangan-larangan
agama yang mereka anut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; mso-list: l1 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">C.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><!--[endif]--><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase Penyebaran Islam di Distrik
Walesi</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase ketiga dalam islamisasi adalah fase penyebaran
Islam di wilayah tersebut. Penyebaran Islam di suatu wilayah dilakukan dengan
strategi dan teknik tertentu (Sewang, 2005:87). Pada umumnya, penyebaran Islam
di Indonesia dilakukan dengan cara-cara perdamaian; diantaranya melalui
perdagangan dan perkawinan. Dalam konteks Islamisasi di Distrik Walesi, penyebaran
Islam di Distrik Walesi tidak terlepas dari peran para pedagang pendatang dan
para pejabat pemerintah, TNI, Polri yang beragama Islam. Mereka ikut membantu
melancarkan proses Islamisasi di distrik Walesi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain itu, sukses dan berkembangnya proses
Islamisasi ini juga tidak terlepas dari kesuksesan pada tahap kedua, dimana
para da’i-da’i ini mampu mempengaruhi dan merubah pandangan kaum elit lokal
mengenai agama. Sebut saja misalnya pemeluk Islam awal dari orang lokal seperti
keluarga Marasugun Asso yang dibantu oleh para muslim pendatang dan da’i-da’I
ikut andil di dalam penyebaran Islam di Distrik Walesi. Para pemeluk Islam
generasi awal inilah yang berperan dalam penyebaran Islam yang dikenal oleh
masyarakat sekitar Distrik Walesi. Saat ini, Walesi menjadi pusat Islam (<i>Islamic
Centre</i>) di Lembah Baliem Wamena. Merasugun dan tokoh-tokoh Tua lainnya yang
didampangi kalangan muda Walesi adalah generasi muslim pertama yang
bersemangat mengorganisasi diri serta sukses mengembangkan agama Islam
dikalangan keluarga di Walesi dan sekitarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Merasugun, Firdaus dan Ali Asso
mengorganir da’wah islam, sehingga diikuti oleh semua masyarakat dari
confederasi Asso-Yelipele Walesi. Orang pertama memeluk agama Islam dari Walesi
diantaranya adalah; Nyasuok Asso, Walekmeke Asso, Nyapalogo Kuan, Wurusugi
Lani, Heletok Yelipele, Aropeimake Yaleget, dan Udin Asso. Keislaman
mereka ini dikemudian hari memiliki pengaruh sangat besar eksistensi Islam
Walesi dan Muslim Jayawijaya hingga kini. Kepala Suku Besar, Aipon Asso dan
Tauluk Asso awalnya menolak islam, karena ajarannya mengharamkan babi (hewan
ternak satu-satunya di Lembah Balim paling utama). Mereka baru masuk Islam
dalam tahun 1978 dan mendapat dukungan seorang militer berpangkat Kolonel
bernama Muhammad Thohir.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain itu, proses percepatan da'wah di
Jayawijaya juga sangat di dukung oleh kehadiran militer yang beragama Islam
yang bertugas dalam tahun 1960-an akhir di Kota Wamena. Penduduk yang lebih
awal masuk Islam menuturkan bahwa Islamisasi sepenuhnya didukung secara
individu dari Muslim yang kebetulan anggota Militert yang bertugas di Sinata
(kini Megapura, 4 km selatan dari Kota Wamena). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tingginya pengaruh Islam terhadap daerah
lain tidak terlepas dari letak geografis distrik Walesi khususnya dan Kabupaten
Jayawijaya yang berada di tengah-tengah Pulau Papua. Secara geografis, letak Kabupaten
Jayawijaya berbatasan langsung dengan enam Kabupaten yaitu Kabupaten Mamberamo
Tengah dan Kabupaten Yalimo di sebelah utara, Kabupaten Yahukimo di selataan,
Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Tolikara di Barat, dan Kabupaten Pegunungan
Bintang di Timur.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Letak geografis yang cukup strategis
inilah yang berpengaruh pada persebaran Islam di wilayah Papua pada umumnya.
Persebaran Islam di wilayah ini juga tidak terlepas dari pembangunan
pusat-pusat keislaman <i>“Islamic Center”</i>.<a href="file:///D:/irb/Efraim%20Paper/Zending.rtf#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a> Islamic
Centre adalah organisasi khusus dan fokus untuk memperhatikan kaum muslim
pribumi didirikan pada tahun 1978. Letnan Kolonel Dokter Muhammad Mulya
Tarmidzi dari Angkatan Laut 10, Hamadi Jayapura, pencetus dan pelopor utama
berdirinya Islamic Centre. Pada mulanya dia datang ke Wamena dalam kesempatan
undangan ceramah setelah berjumpa dengan penduduk asli muslim (muallaf) dari
Walesi, tergerak hatinya dan mendirikan organisasi da’wah Islam pertama,
Islamic Centre yang di ketuai Hasan Panjaitan, (Sekda Jayawijaya kala itu).
Islamic Centre dibawah kendali Hasan Panjaitan banyak membantu proses da’wah
selanjutnya. Islam di Walesi berkembang pesat dan dikunjungi berbagai kalangan
pejabat pemerintah muslim dari Kota Wamena dan Ibukota Jayapura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sejarah masuk dan penyebaran Islam di
distrik Walesi khususnya dan Kabupaten Jayawijaya pada umumnya tidak terlepas
dari lemahnya dasar ke-Kristenan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Lemahnya
perserikatan gereja-gereja yang abai terhadap permasalahan umat ikut memberi
andil di dalam keputusan umat di dalam mempertahankan iman Kristen. Keadaan ini
menjadi peluang bagi aktifis muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan Islam
ke wilayah sekitarnya dan menciptakan pusat-pusat keislaman di daerah-daerah
papua yang lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Namun demikian, sebenarnya telah
dilakukan upaya-upaya dari gereja untuk mengembalikan situasi yeng terjadi saat
ini. Dimana Gereja bertekad untuk untuk mengembalikan iman umat Kristiani yang
telah masuk Islam. Tetapi hal tersebut mengalami kesulitan karna islam telah
menguasai semua sendi-sendi kehidupan masyarakat di Walesi. Islam telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari penduduk distrik Walesi. Walaupun dalam
kenyataannya, tidak semua populasi masyarakat yang berada di distrik Walesi memeluk
agama Islam. Di Distrik Walesi juga masih terdapat beberapa gereja yang menjadi
tempat ibadah masyarakat yang kristen.<o:p></o:p></span></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB III<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">KESIMPULAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat penulis simpulkan bahwa proses Islamisasi yang berlangsung di Distrik
Walesi berlangsung dalam tiga fase:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase kedatangan Islam yang ditandai
dengan datangnya guru, pedagang dan lain-lain asal Jawa, Madura dan Sulawesi.
Mereka ini pada umumnya pengikut agama Islam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase Penerimaan Islam yang ditandai
dengan diterimanya Islam oleh masyarakat lokal Distrik Walesi. Pada fase ini,
Islam diterima sebagai agama oleh para elit masyarakat lokal suku Dani. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-left: .25in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fase Penyebaran Islam. Pada fase ini
Islam tidak hanya menjadi kepercayaan kalangan terbatas, melainkan telah
disebarkan ke penduduk dan wilayah lainnya. Kesuksesan penyebaran Islam di
Distrik Walesi ini disebabkan karena para elit suku lokal lebih dulu memeluk
agama Islam. Hal ini berdampak pada para pengikut-pengikut yang ada di
bawahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 35.4pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Keberhasilan misi islamisasi di distrik
Walesi Kabupaten Jayawijaya secara otomatis menunjukkan gagalnya
misi-penginjilan di daerah tersebut. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses
pendampingan yang terabaikan setelah proses penginjilan. Tidak adanya tindak
lanjut yang dilakukan oleh para penginjil, disebabkan oleh proses integrasi
bangsa Indonesia, sehingga implikasinya berdampak pada lunturnya iman kristiani
masyarakat setempat.<o:p></o:p></span></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Referensi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 1;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Charles E.
Farhadian (ed.), Christianity, Islam, and
Nationalism in Indonesia, New York: Routldge, 2005.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<em><span style="font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Marwati
Djoenet Poespoenogoro</span></em><span class="st"><i><span style="font-size: 12.0pt;">,</span></i></span><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;"> Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai
Pustaka, cet. ke-2,. </span></span><em><span style="font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">2008</span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;">.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Putuhena, M.
Shaleh. <i>Historiografi Haji Indonesia. </i>Yogyakarta: LKiS, cet. ke-1, 2007.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><a href="https://www.google.com/search?sa=G&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22P.+J.+Drooglever%22&ei=fKvLUu36F8LarAfUv4DgBA&ved=0CDIQ9AgwAA">P.
J. Drooglever</a> , <a href="http://books.google.com/books?id=XBTRp-cxmtoC&pg=PA289&dq=Penginjilan+di+wamena+tahun+1954&hl=en&sa=X&ei=fKvLUu36F8LarAfUv4DgBA&ved=0CC4Q6AEwAA">Tindakan
pilihan bebas!: orang Papua dan penentuan nasib sendiri</a>, Yogyakarta,
Kanisius, 2010.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sewang, Ahmad M.
<i>Islamisasi di Kerajaan Gowa, (Abad XVI dan Abad XVII).</i> Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, cet. ke-2, 2005.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 49.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-hyphenate: none; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: -.5in;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/irb/Efraim%20Paper/Zending.rtf#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt;"> Berdasarkan bukti-bukti
yang ada, para ahli sejarah menjelaskan bahwa orang-orang Nusantara mulai
mengenal Islam sekitar abad XII hingga XV M ketika berhubungan dengan orang
pendatang yang berasal dari Arab, India dan Cina. Hubungan itu terbentuk
melalui perdagangan dan juga perkawinan. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa
serombongan orang-orang asing Muslim pada suatu masa menempati wilayah kosong,
dan dalam waktu yang cukup lama, mereka kemudian membaur dengan budaya sekitar.</span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/irb/Efraim%20Paper/Zending.rtf#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Tersebarnya agama Islam di
distrik Walesi ini tidak terlepas dari peran penting penduduk lokal yang
pertama memeluk agama Islam yaitu Merasugun. Merasugun inilah yang meminta agar
dibangunkan pusat ibadah kaum Muslim di kampungnya sekaligus Sekolah Islam agar
anak-anaknya dari clan Assolipele Walesi bisa sekolah.</span></div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-89222575270875153692014-03-17T09:28:00.003+07:002014-03-17T09:31:42.932+07:00Jadwal Kuliah Semester Genap TA.2013/2014 <table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="background-color: white; font-family: Tahoma, Arial, Tahoma, Helvetica, sans-serif; width: 100%px;"><tbody>
<tr><td align="center" style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="70%"><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 90%px;"><tbody>
<tr><td align="left" style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="100%"><h3 style="color: black; font-size: 14px; letter-spacing: 1px; margin-left: 0px; margin-top: 0px;">
PENGUMUMAN</h3>
</td></tr>
<tr><td height="15" style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"></td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 100%px;"><tbody>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"><span class="judulberita" style="color: black; font-family: Georgia, 'Times New Roman', Times, serif; font-size: 14pt; line-height: 20px;">Jadwal Kuliah Semester Genap TA.2013/2014</span> <br />
<span class="infokecil" style="color: #a0a0a0; font-family: Tahoma, Verdana, Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 7pt;">27 January 2014</span></td></tr>
<tr><td height="5" style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"></td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"><table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 1191px;"><tbody>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><h1 align="center" style="color: saddlebrown; font-size: 22px; letter-spacing: 1px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-top: 0px;">
<span style="font-size: x-small;">HARI</span></h1>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>WAKTU</strong></div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>KODE MK</strong></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>MATA KULIAH</strong></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>DOSEN</strong></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>KELOMPOK MK</strong></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>SKS</strong></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<strong>RUANG</strong></div>
</td></tr>
<tr><td rowspan="3" style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><h1 align="center" style="color: saddlebrown; font-size: 22px; letter-spacing: 1px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-top: 0px;">
<span style="font-size: x-small;">SENIN</span></h1>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
08.00 – 11.00</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 104</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Metodologi Penelitian Kajian Budaya</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
A. Bagus Laksana, S.J., Ph.D.</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Prof. Dr. A. Supratiknya</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Wajib</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semester 2)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
12.00 – 15.00</div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 306</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Seminar Penulisan Tesis</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. St. Sunardi</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Prof. Dr. A. Supratiknya</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. Katrin Bandel</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Wajib</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semester 4)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
0</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
12.00 – 15.00</div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 701</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Seminar I:</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Pengantar Estetika: Estetika dari Wilayah Konflik</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. G. Budi Subanar, S.J.</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Rachmi Diyah Larasati, Ph.D</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Pilihan</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semua semester)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Lontar</div>
</td></tr>
<tr><td rowspan="2" style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><h1 align="center" style="color: saddlebrown; font-size: 22px; letter-spacing: 1px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-top: 0px;">
<span style="font-size: x-small;">SELASA</span></h1>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
08.00 – 11.00</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 204</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Kajian Budaya II</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. St. Sunardi</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. Katrin Bandel</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Wajib</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semester 2)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
12.00 – 15.00</div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 102</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Filsafat Ilmu Pengetahuan:</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Hermeneutika dan Analisa Wacana Kritis</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. J. Haryatmoko, S.J.</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Pilihan</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semua semester)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><h1 align="center" style="color: saddlebrown; font-size: 22px; letter-spacing: 1px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-top: 0px;">
<span style="font-size: x-small;">RABU</span></h1>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
12.00 – 15.00</div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 702</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Seminar II:</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Kajian Kawasan dan Etnografi Asia Tenggara</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Pilihan</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semua semester)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
<tr><td rowspan="2" style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><h1 align="center" style="color: saddlebrown; font-size: 22px; letter-spacing: 1px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-top: 0px;">
<span style="font-size: x-small;">KAMIS</span></h1>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
08.00 – 11.00</div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 205</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Kajian Religi</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. G. Budi Subanar, S.J.</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. FX. Baskara T.Wardaya, S.J.</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Wajib</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semester 2)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="104"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
12.00 – 15.00</div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
PSIRB 606</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="312"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Sastra dan Politik Identitas</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="284"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Dr. Katrin Bandel</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="151"><div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Pilihan</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
(Semua semester)</div>
<div style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
<br /></div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="57"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
3</div>
</td><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="95"><div align="center" style="letter-spacing: 0px; line-height: 22px; text-align: justify;">
Palma</div>
</td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
<tr><td style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"></td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
<tr><td height="50" style="color: #606060; font-size: 10pt;" width="100%"></td></tr>
</tbody></table>
</td><td align="right" class="kiri" style="border-left-color: rgb(208, 208, 208); border-left-style: dotted; border-left-width: 1px; color: #606060; font-size: 10pt;" valign="top" width="30%"></td></tr>
</tbody></table>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-29325414219035857222014-03-17T08:42:00.000+07:002014-03-17T08:45:41.075+07:00MENGAWINI KORBAN PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">MENGAWINI KORBAN
PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> NAMA MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"> NIM :
136322002</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"> DOSEN PENGAMPU : Dr. KATRIN BANDEL</span></b><br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br /></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZky7C0GZKTgvIarwuunhyXaSomVUjGpDVLqjuA4L-FSWsPnKl00uUl0MzNPfPMfhbYOIwwVgiRE-tHJH3TbR3QazqZG4ruxh4Xf1TwzLaCj7MjiXeRMnvbedvIrwk8jqULTVTW8p8XqE/s1600/perkawinan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZky7C0GZKTgvIarwuunhyXaSomVUjGpDVLqjuA4L-FSWsPnKl00uUl0MzNPfPMfhbYOIwwVgiRE-tHJH3TbR3QazqZG4ruxh4Xf1TwzLaCj7MjiXeRMnvbedvIrwk8jqULTVTW8p8XqE/s1600/perkawinan.jpg" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pengantar<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhir-akhir
ini kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap perempuan semakin marak.
Hampir setiap hari terdapat liputan media tentang liputan pemerkosaan, bahkan
pemerkosaan dengan kekerasan atau dengan tindak pidana lainnya. Permerkosaan
rata-rata dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Jarang sekali
– bukan tidak ada - kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap
laki-laki. Dalam kasus pemerkosaan, yang paling dirugikan sebenarnya adalah
perempuan karena pemerkosaan berdampak dan dirasakan langsung oleh perempuan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dampak
pemerkosaan bagi perempuan adalah dampak fisik, sosial, dan psikologis. Dampak
fisik yang dialami adalah rusaknya alat kemaluan dan hilangnya keperawanan yang
merupakan organ tubuh yang paling dilindungi oleh perempuan. Sedangkan dampak
sosial yang dirasakan langsung oleh perempuan korban pemerkosaan adalah <i>stereotype </i>yang melekat di benak
masyarakat adalah adanya anggapan bahwa perempuan korban pemerkosaan tidak
berharga dan murahan. Dampak yang tidak kalah hebat yang dirasakan oleh
perempuan korban pemerkosaan adalah dampak psikologis dan trauma pasca
pemerkosaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
beberapa kasus pelaku korban pemerkosaan akan menempuh jalur perdamaian dengan
jalan menikahi korbannya. Korban dan keluarganya dalam keadaan keterpaksaan
tidak jarang akan menerima dalam keputusan pelaku untuk menikahi. Dalam
kacamata gender, hal tersebut sangatlah tidak adil karena mendistorsi
–terutama- nilai-nilai kebebasan yang melekat pada perepuan “korban perkosaan-
sebagai manusia yang merdeka.</span></div>
<a name='more'></a><br />
<o:p></o:p>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB I<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="Default" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif";">Kaum perempuan
merupakan golongan yang dipandang rentan mengalami kekerasan seksual. Laporan
Komnas Perempuan (2011) menunjukkan selama tahun 2010 di seluruh Indonesia
sebanyak 91.311 perempuan mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan hasil
pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan ada 15 jenis kekerasan seksual yang
dialami oleh perempuan di Indonesia, yaitu (1) perkosaan, (2) intimidasi/
serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, (3)
pelecehan seksual, (4) eksploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual, (6) prostitusi paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan
perkawinan, (9) pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, (11)
kontrasepsi/sterilisasi paksa, (12) penyiksaan seksual, (13) penghukuman tidak
manusiawi dan bernuansa seksual, (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan (15) kontrol seksual termasuk
aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama (Press Release Kampanye Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, 2013).<o:p></o:p></span></div>
<div class="Default" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif";">Perkosaan merupakan
suatu bentuk kekerasan seksual. Menurutnya, pandangan perempuan dijadikan
sebagai objek seksualitas terkait erat hubungannya antara seks dan kekerasan.
Dimana terdapat seks maka kekerasan hampir selalu dilahirkan. Berbagai tindakan
seperti perkosaan, pelecehan seksual (penghinaan dan perendahan terhadap lawan
jenis), penjualan anak perempuan untuk prostitusi, dan kekerasan oleh pasangan
merupakan bentuk dari kekerasan seksual yang kerap menimpa kaum perempuan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam paper ini, penulis akan membahas tentang jenis
kekerasan seksual berupa perkosaan. Menurut Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: <i>barangsiapa
dengan kekerasan</i> <i>atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar</i> <i>perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama</i> <i>dua belas tahun. <o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa
korban perkosaan adalah perempuan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada
KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat
laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan
rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Menurut Sri Nurherwati (Ketua Sub Komisi Pemulihan
Komnas Perempuan), tingginya kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak
terlepas dari menguatnya budaya patriarki di masyarakat. (<a href="http://wolipop.detik.com/"><span style="color: black; mso-themecolor: text1;">http://wolipop.detik.com</span></a>,
diakses pada 5 Januari 2013) Budaya patriarki merupakan istilah dimana
laki-laki lebih berkuasa daripada wanita (Edi Kristiyanto, 2005:88), bahkan
Simone De Beauvoir, seorang eksistensialis Marxis dalam buku Sylvia Tiwon
mengatakan bahwa perempuan selalu menjadi “the other” dalam masyarakat
patriarkal (1996:67). Dalam budaya patriarki, kekuasaan perempuan subordinat di
bawah kekuasaan laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, perempuan memiliki peluang
lebih kecil terhadap pembuatan keputusan (<i>decision
making</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain karena faktor bercokolnya budaya patriarki
yang terjadi dalam masyarakat, kekerasan seksual menurut Sri Nurherawati juga terjadi
karena masih banyak wanita yang percaya kalau semua pria memiliki sifat
perlindungan dan kasih sayang. Akibatnya, apagila terjadi kasus kekerasan dalam
hubungan pacaran, wanita sering berharap kalau setelah menikah pasangannya akan
berubah. Kungkungan budaya patriarkhi telah menempatkan perempuan pada situasi
yang tidak berdaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam kasus pemerkosaan yang pelakunya menempuh
jalur damai dengan menikahi korbannya, seringkali korban dan keluarga
dihadapkan pada satu pilihan yaitu
menerima pelaku sebagai pasangan keluarga. Hal tersebut diperparah dengan
stigma negatif dari masyarakat terhadap korban pemerkosaan. Akibatnya menerima
pelaku pemerkosa merupakan satu-satunya pilihan yang seringkali ditempuh oleh
korban dan keluarga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam situasi seperti ini, sebenarnya yang paling
dirugikan adalah pihak perempuan. Perempuan yang harus menanggung beban dan
dampak dari perkosaan, demikian juga jalan pernikahan yang seringkali diterima
dengan keterpaksaan malah akan menjadi malapetaka terhadap anak. Oleh karena
itu, menurut Psikolog Anna Surti Ariani (<a href="http://female.kompas.com/">http://female.kompas.com</a>,
diakses pada 5 Januari 2013), keputusan untuk menikahkan terlebih lagi korban
perkosaan dan pelakunya bukanlah pilihan yang tepat. Bahkan dalam kasus
pernikahan yang terjadi karena hamil pranikah, Anna berpendapat pernikahanlah
bukanlah satu-satunya solusi, terlebih lagi dalam kasus pemerkosaan. Padahal,
pernikahan terpaksa ini dapat membuat anak jauh lebih depresi lagi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Guna membedah masalah di atas, dalam paper ini akan
digunakan perspektif gender. Istilah “gender” pertama kali dikembangkan oleh
Ann Oakley pada tahun 1972 sebagai alat analisis ilmu-ilmu social. Sejak saat
itu konsep gender menjadi konsep yang dianggap baik untuk memahami persoalan
diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum (Narwoko dan Suyanto (ed.),
2007:333).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Konsep gender muncul sebagai pembeda dengan kata sex.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender merupakan
perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi
masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astuti (2000)
mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara
sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup
sehari-hari, dibentuk dan dirubah oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu,
sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dapat pula
berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan
kebudayaan masyarakat masing-masing (Fakih, 2006:8).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dengan demikian, konsep gender adalah sebuah
konstruksi sosial budaya yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin.
Gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir, namun gender dapat
diusahakan. Jika saja determinasi kepentingan kelompok tertentu tidak dominan,
maka relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan tidak akan terjadi
berlangsung lama. Hal tersebut terjadi di seluruh kebudayaan masyarakat dunia.
Ada kalanya kaum laki-laki yang mendominasi perempuan dan ada juga perempuan
yang mendominasi laki-laki. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB II</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PEMBAHASAN<o:p></o:p></span></b><br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perkosaan (<i>rape</i>) berasal dari bahasa latin <i>rapere
</i>yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto,
1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang
istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai
melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sementara itu, menurut Rifka Annisa Women’s Crisis
Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan
seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan
atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan
alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat
terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan
hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual
tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan
seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan
tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi
pidana yang cukup berat. Perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat
kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara
itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah
satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan
kerugian serta kecemasan dalam masyarakat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kekerasan seksual tidak hanya nampak dalam suatu
tindakan nyata. Seperti yang diuraikan Komnas Perempuan poin 15, perlakuan
diskriminasi terhadap perempuan yang beralaskan moralistas, agama dan adat pun
bisa di kategorikan merupakan tindakan kekerasan. Pada tahun 1990 seorang aktifis gender Jane
Monning Atkinson, menuliskan buku yang mendeskripsikan sebuah desa sangat
terpencil yaitu desa Wana di Sulawesi Tengah. Uraian Atkinson membongkar
dinamika kehidupan seksual masyarakat Wana yang sangat memprihatinkan, dimana
alasan untuk memiliki keturunan adalah supaya pasangannya tidak mati sia-sia
bahkan ada kecenderungan bagi para duda di desa tersebut untuk menikah
perempuan yang lebih muda, bahkan sangat jauh lebih muda. Disana duda lebih
cenderung menikah lagi dari pada janda (1996:171).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kekerasan seksual dapat berdampak yang cukup besar
terhadap korbannya, perempuan. Dampak perkosaan bagi korban antara lain dampak
sosial, dampak fisik dan dampak psikologis. Secara sosial, korban perkosaan dan
keluarganya akan mendapat cibiran dari masyarakat. Dalam masyarakat
perkosaan dianggap suatu aib bagi korban
dan keluarga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oleh karena itu, seringkali korban dan keluarga
tidak berani untuk mengungkapkan kejadian perkosaan yang dialami oleh korban.
Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan
adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam
sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban
perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos
yang salah mengenai perkosaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Persepsi masyarakat soal pemerkosaan dan stigma
negatif terhadap korban pemerkusaan berakar pada asumsi yang keliru yang selalu
menempatkan perempuan pada pihak yang bersalah. Ada asumsi yang menganggap
bahwa perempuan korban perkosaan memang menggoda laki-laki dengan memakai
pakaian mini, rok ketat, berdandan <i>menor</i> ataupun berbusana seksi, bahkan
sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Asumsi ini turut
berkontribusi pada pembentukan persepsi miring masyarakat terhadap perempuan
korban pemerkosaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain dampak sosial, korban perkosaan berpotensi
untuk mengalami trauma fisik. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan
jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini
akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan
tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai
persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya.
Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan
akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Korban perkosaan juga berpotensi untuk mengalami guncangan
psikologis. Korban bisa mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa
perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat <i>shock </i>bagi korban.
Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.
Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995).
Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun
jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang
mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi
murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan
sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara
satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh
bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang
berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan
antara pelaku dengan korban.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres
paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung
terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi
paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas,
malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala
psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari
pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat
berlebihan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebagai suatu kejahatan, perkosaan sebenarnya adalah
suatu masalah yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Namun banyak
kejadian perkosaan yang tidak terungkap ke publik atau tidak diselesaikan
melalui jalur hukum. menurut data yang dilansir oleh Komnas Perempuan
menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012 ada 4.336 kasus kekerasan seksual dari total 211.822 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus
kekerasan seksual paling banyak terjadi
di ranah publik, dengan 2.920
kasus. Bentuk kekerasan seksual yang terjadi adalah pencabulan dan
perkosaan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan
trafikking (403). Sebanyak 1.416 kasus
kasus kekerasan seksual terjadi di ranah
personal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BerdasArkan jenis-jenis kekerasan seksual tersebut,
perkosaan menempati peringkat tertinggi yang dialami oleh perempuan. Namun
demikian tingginya angka kejadian perkosaan tersebut tidak dibarengi dengan
kesadaran korban atau keluarga untuk menyelesaikan secara hukum. Banyak
keluarga korban yang menyelesaikan dengan cara menikahkan anaknya demi untuk
menutupi aib keluarganya. Demikian juga pelaku, menempuh jalur damai dengan
cara bersedia menikahi korbannya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal tersebut terkait erat dengan stigma negatif yang
akan dialami oleh salah satu mahasiswa UI bernama RW. Dalam kasus tersebut
Sitok yang diadukan oleh RW telah melakukan kekerasan seksual akhirnya
menyatakan keinginannya untuk berdamai dengan jalan bersedia menikahi
korbannya, namun keinginan Sitok tersebut ditolak oleh RW dan keluarga. Kasus
pernikahan yang berujung pada pernikahan yaitu terjadi pada seorang pria
penderita tunarungu dan tunawicara ditetapkan sebagai tersangka kasus
pemerkosaan. Korbannya juga penderita tunarungu dan tunawicara berusia 17
tahun. Namun dalam kasus ini, pelaku tetap harus menjalani proses hukum. Karena
pernikahan tersebut terjadi setelah pelaku telah dinyatakan bersalah dan sedang
menjalani proses hukum.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari dua kasus tersebut, Menikahkan korban perkosaan
dengan pelaku atau pemerkosa merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Dalam banyak kepercayaan agama, bahwa pernikahan merupakan lembaga suci. Pasal
1 UU Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk <strong><span style="font-weight: normal; mso-bidi-font-weight: bold;">keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa</span></strong><b>.<o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan
bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan
kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti
Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang
perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu
diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup
semati. Namun ddapat juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian
antara pasangan suami dan istri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari pengertian-pengertian perkawinan tersebut,
jelaslah bahwa perkawinan merupakan medium untuk mewujudkan keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk mencapai bahagia dan kekal tersebut perkawinan harus
atas kesadaran dari lubuk hati dari yang paling dalam dari kedua belah pihak.
Perempuan sebagai manusia yang seutuhnya memiliki pilihan untuk tidak bersedia
dan bersedia untuk dinikahi atau dinikahkan. Perempuan sama halnya dengan
laki-laki memiliki hak yang sama untuk memutuskan nasibnya sendiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam kasus pernikahan yang dilakukan sebagai jalan
perdamaian bagi korban perkosaan sebenarnya telah mendistorsi kedudukan dan
harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang bebas dalam menentukan
pilihan-pilihannya. Demikian juga orang tua harus menyadari bahwa anak dalam
keadaan apapun bukanlah objek dari keputusan yang diambil oleh orang tua. Bagi
anak, orang tua memang memiliki hak untuk memberikan saran, nasihat dan
masukan. Namun mengenai keputusan soal nasib anak apalagi dalam kasus
pernikahan, anak haruslah ditempatkan pada pelaku utama. Pernikahan yang dilakukan dalam keadaan
terpaksa (pernikahan korban perkosaan dan pelaku) hanya akan melanjutkan mata
rantai kekerasan kelak di dalam keluarga yang akan dibangun si anak. <o:p></o:p></span></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">BAB
III<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">KESIMPULAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Berdasarkan pembahasan di
atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-layout-grid-align: none; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Pada masyarakat yang menganut budaya patriarkhi,
perempuan sangat rentan mendapat perlakuan kekerasan seksual dari laki-laki. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-layout-grid-align: none; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Perkosaan merupakan tindakan yang tercela dan
melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Pelaku pemerkosaan pantas mendapatkan
hukuman yang berat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; mso-layout-grid-align: none; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Keputusan untuk menikahkan korban dengan pelaku
pemerkosaan merupakan keputusan yang tidak tepat, karena bagaimapun pernikahan
harus dilaksanakan dengan kesiapan dan kesadaran kedua belah pihak. Orang tua
dari anak korban kekerasan memiliki peran vital di dalam melindungi anak dari
tekanan-tekanan dari luar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span></b>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">REFERENSI<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<em><span style="font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Astuti</span></em><span class="st"><i><span style="font-size: 12.0pt;">,</span></i></span><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;"> Mary. <i>Teknik
Participatory Rural Appraisal Berdemensi </i> </span></span><em><span style="font-size: 12.0pt;">Gender</span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;">. Jogyakarta, </span></span><em><span style="font-size: 12.0pt;">200<o:p></o:p></span></em></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;">Bagong, </span></span><em><span style="font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Suyanto</span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;"> J. Dwi </span></span><em><span style="font-size: 12.0pt; font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Narwoko</span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;">, <i>Sosiologi
Teks Pengantar</i> </span></span><em><span style="font-size: 12.0pt;">dan</span></em><span class="st"><span style="font-size: 12.0pt;"> <i>Terapan,
</i>Jakarta: Kencana Media Group. 2004.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><a href="https://www.google.com/search?sa=G&tbm=bks&tbm=bks&q=inauthor:%22Eddy+Kristiyanto,+OFM+%28Editor%29%22&ei=OBbLUoWFE8PqrAet6YDwDA&ved=0CEgQ9AgwAw"><span style="color: windowtext; text-decoration: none; text-underline: none;">Eddy
Kristiyanto, OFM (Editor)</span></a>, <i><a href="http://books.google.com/books?id=UFIDEd31dLwC&pg=PA88&dq=patriarki+adalah&hl=en&sa=X&ei=OBbLUoWFE8PqrAet6YDwDA&ved=0CEQQ6AEwAw"><span style="color: windowtext; text-decoration: none; text-underline: none;">Sinar Sabda
Dalam Prisma, Hermeneutika Kontekstual,</span></a></i> Yogyakarta, Kanisius, 2005.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Fakih,
Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Haryanto,
<i>Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita</i><i>.</i> Yogyakarta: Pusat Studi Wanita
Universitas Gadjah Mada, 1997.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hayati,
E. N. <i>Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling
Berwawasan Gender.</i> Yogyakarta:
Rifka Annisa, 2000.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN;">Jane Monnig Atkinson, “Quizzing the Sphinx Reflections on
Mortality in Central Sulawesi”, Laurie J. Sears
(ed.), <i>Fantasizing the Feminine in
Indonesia</i>, Duke University Press 1996</span><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Prasetyo
dan Suparman Marzuki, ed. <i>Perempuan Dalam Wacana Perkosaan</i><i>, </i>Yogyakarta:
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.<i><o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Taslim,
A. <i>Bila Perkosaan Terjadi</i><i>.</i>
Jakarta: Kalyanamitra, Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1995.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tiwon, Sylvia. “Models and Maniacs:
Articulating the Female in Indonesia”, dalam: Laurie J. Sears (ed.), <i>Fantasizing the Feminine in Indonesia</i>,
Duke University Press 1996</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Press
Release Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2013<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><a href="http://wolipop.detik.com/read/2013/02/01/081829/2158255/852/ini-sebabnya-banyak-wanita-menjadi-korban-kekerasan">http://wolipop.detik.com/read/2013/02/01/081829/2158255/852/ini-sebabnya-banyak-wanita-menjadi-korban-kekerasan</a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-27394302379965082422014-03-14T09:53:00.000+07:002014-03-14T10:02:01.667+07:00PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL<!--[if !mso]>
<style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style>
<![endif]--><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"></a><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:TargetScreenSize>800x600</o:TargetScreenSize>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Oleh.
Andreas udiutomo/136322007</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHHRgDhXxkckT9K9fDe4R9O3TBceSaYzw5_XOYxURvgEgqGz_fwRFqMcUMdtSRBpb_0EMr_3n8MrTQByp8Ito6yp8SEgbeSFDY7pmlbdX_GUOa3AVs8jdB_IB2q389Sd6jGOlhdxxyLvk/s1600/cover+bukuy+st+sunardi.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHHRgDhXxkckT9K9fDe4R9O3TBceSaYzw5_XOYxURvgEgqGz_fwRFqMcUMdtSRBpb_0EMr_3n8MrTQByp8Ito6yp8SEgbeSFDY7pmlbdX_GUOa3AVs8jdB_IB2q389Sd6jGOlhdxxyLvk/s1600/cover+bukuy+st+sunardi.JPG" height="320" width="202" /></a></div>
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Resume:</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tahta Berkaki
Tiga – St. Sunardi</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">PENDAHULUAN</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Buku
karya St.Sunardi setebal kurang lebih 100 halaman ini ditulis dalam paparan
Indonesia dengan paradigma pendidikan terhadap pengaruh yang terjadi belakangan
ini dalam politik Indonesia pada umumnya, tulisan beliau ini banyak mengandung
gagasan-gagasan dari para pemikir-pemikir tua, sebab dan akibat pertentangan
antara komsumerisme pendidikan dalam melahirkan pemimpin masa depan dengan
banyak masalah didalamnya termasuk politik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pendidikan dan
politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap
Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat
sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lainnya tidak memiliki hubungan
apa-apa, padahal saling bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik
masyarakat disuatu Negara, lebih dari itu juga saling menunjang dan saling
mengisi.</span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lembaga-lembaga
dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses
politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya.
Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis.
Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal
perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan. Perkembangan
kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para
penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan
untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">BAGIAN
I</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pemimpin Sejati Dilahirkan Tidak
Dikaderkan</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Peran pendidikan
di persiapkan untuk melahirkan tokoh-tokoh muda pemikir, beda dengan partai
politik yang secara ke-lembaga-an berbeda karena pendidikan tidak dilahirkan
dalam pengkaderan. Lembaga pendidikan diartikan sebgai bagian dari proses
terjadinya komunikasi kepada perserta didik, ini terlihat dari contoh-contoh
yang terjadi di Indonesia bahwa para peserta didik dilatih untuk mengembangkan
bakatnya menjadi pemimpin yang memberikan arah motivasi kepada orang-orang
sekitarnya untuk mencapai tujuan tertentu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Prinsisp-prinsip
dalam kepemimpinan sering kali menjadi masalah ketika kerangka hubungan
dialektis antara pemimpin dan yang dipimpin, salah satu alas an berasal dari
mana pemimpin-pemimpin hebat tersebut dilahirkan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">sebut</i> Lembaga Pendidikan). Dalam hal ini disebutkan ada 2 hal yang
masuk dalam makna Haus Kekuasaan para pemimpin:</span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tidak
Intelektual</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Yang serius
dengan ke-ilmuannya=>apolitis</span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Bagian tersebut menjadi dilema ketika
usaha-usaha banyak pihak menjadikan kekuasaan adalah hasil tidak inteletualnya
para pemimpin yang dipaksa dilahitkan, disisi lain yang benar-benar menggunakan
keilmuannya malah tidak bisa memimpin karena terbiasa dipimpin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Pendidikan
adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi
fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan
dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan.selanjutnya</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Landasan
Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita
Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai
pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak
sama.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;"> Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang
aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. </span><span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Bisa juga
dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan.</span>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Dari definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa
masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu
studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila
memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Budaya
politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat
pendidikan seseorang atau masyarakat. </span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Hal itu
bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat
mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki
kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang
idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat
sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Saya
setuju dengan pendapat St. Sunardi bahwa setiap zaman melahirkan pemimpin
sendiri, contoh yang bisa kita liat adalh tokoh besar bangsa Indonesia, Sukarno
dan Suharto mengapa?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Sukarno=> Rasa percaya diri tehadap Nasionalisme yang
berani bersikap dengan bangsa lain, Ideologinya yang tanpa tawar menawar sampai
Reklamator yang disebut berkharismatik, akan kah Indonesia mendspatkan sosok
seperti dia atau mendapatkan seperti beliau?</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-left: 54.0pt; text-align: justify;">
<span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu
nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain
karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang
mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang
sekuler dengan agamis.</span><span lang="FI" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"> </span><span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Implikasi dari kebijakan
politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa
nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya
berupaya menjadi ”</span><i><span lang="FI" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI;">win-win solution”</span></i><span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;"> dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini
terjadi pengakuan terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada
dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil,
hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut
bernegara selalu ada di masa tersebut.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 54.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Suharto=> Mampu membawa Indonesia keluar dalam
keterpurukan Ekonomi lewat REPELITANYA, infrastruktur ekonomi yang bangkit
menjadi pertaruhan bahwa Suharto dibalik itu semua ( walau kontroversi),
intinya beliau menegaskan bahawa zaman Suharto lebih baik secara ekonomi
daripada zaman Sukarno, lantas apakah kita akan mendapatkan pemimpin seperti
Suharto atau Sukarno lagi?</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-left: 54.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan
ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde
baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi.</span><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"> </span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan
tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa
sehingga menjadi kader-kader yang </span><i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">‘yes man’</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">, selalu patuh buta terhadap kepentingan pusat. Akibat
yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan
daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang</span><i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">“sendikho dhawuh”</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">. Bahkan sistem pada masa
ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis,
kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.</span><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"> </span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Disadari bahwa sistem pendidikan nasional pada masa itu
sebab kuatnya intervensi kekuasaan sangat mewarnai di setiap aspek pendidikan.
Dalam sistem pendidikan nasional pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat
dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa
pelatihan di sekolah-sekolah atau instusi-institusi pendidikan pada umumnya
lebih mengenalkan indoktrinasi ideologi penguasa. Praktek penataran P4
merupakan salah satu bukti riil dari indoktrinasi ideologi penguasa pada waktu
itu. Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah,
seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang
telah mati. </span><span lang="FI" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: FI; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya
mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna
berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang
seragam, ya serba seragam.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Juga pada kenyataanya , pasca orde baru
tumbang muncul partai-partai baru berbasis Ideologi atau misi lain yang bisa
kita lihat bahwa partai-partai politik tersebut jauh dari kepedulian masyarakat
pada kenyataanya karena partai tersebut melahirkan para pemimpin-pemimpin
Istant (karbitan) yang mengumbar janji dan lupa akan janjinya dikemudian hari.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 18.0pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Intelektual
dan moralitas , adalah dua hal yang sangat penting bagi pendidikan dalam sebuah
tatanan negara, negara mempunyai peran penting untuk membawa pemikiran Intelektual
atas dasar moral bagi kelangsungan pendidikan yang dicita-citakan pendahulu
kita. Sebaliknya, negara dan masyarakat menggugat perguruan tinggi saat lembaga
tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan. Seperti apa yang dipahami oleh
Bung Hatta,” Tanggung Jawab Moral Kaum cendekiawan”. Dalam tulisannya tersebut
Hatta mengingatkan bahwa padaakhirnya hasil pendidikan tinggi harus diukur dari
lebih dan kurangnya kedewasaan dan kesusilaan. Artinya keunggulan bidang
akademik dan kemanusiaan lebih diutamakan sehingga dalam kebersamaan kita akan
membentuk perguruan tinggi sebagai lembaga publik. Seperti ungkapan kata
Kebijaksanaan dan Kemanusiaan (Sapientia et Vurtus).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn1" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: SV; mso-bidi-language: AR-SA; mso-border-alt: none windowtext 0cm; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; padding: 0cm;">[1]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 18.0pt;">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn2" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: SV; mso-bidi-language: AR-SA; mso-border-alt: none windowtext 0cm; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; padding: 0cm;">[2]</span></span></span></span></span></a><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Rumusan intelektual dan moral ini muncul dari seorang
tokoh komunis Itali yakni Antonio Gramci, dimana ada unsur pemaksaan untuk
mewujudkannya. Bagi Gramci kepemimpinan Sang Pemimpin itu merupakan titik nadir
dari moralitas dan intelektulitas bagi kaum pemikir. Contoh lain mengenai
Ecellentia, yaitu proses yang harus dijalani kaum intelektual, akar budaya
seseorang menjadi dasar pijakan moralitas yang terbangun untuk memjadikan
seorang itu menjadi intelektual publik. Budaya menjadi tolak ukur bagi
kekeuasaan dalam politik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 18.0pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Intelektual
publik adalah sebuah nama bagi jenis intelektuallitas untuk menggairakna
kehidupan publik yang demokratis, jadi jika perguruan tinggi yang semula
merupakan pendidikan publik tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membela
kepentingan publik pada akhirnya dan mungkin menjadi tidak peduli.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify; text-indent: 18.0pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Pemerintah Indonesia juga telah berupaya terus-menerus
memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka
mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam realitasnya, kita
menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang
dari api.</span><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">
</span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih
dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify; text-indent: 18.0pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Etika publik pada dasarnya merupakan etika sosial yakni
tanggung jawab untuk menciptakan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>suasana
yang saling menguntungkan, masyarakat kita yang berasal dari berbagai suku, dan
adt budaya seakan-akan mendapatkan jaminan hidup sampai tujuh turunan, ini
sifat-sifat kolusi yang sangat kuat dai ranah intelektual publik bangsa ini,
apa yang sebenernya yang hilang dalam masyarakat kita, apakah kebersamaan dan
solidaritas publik juga ikut hilang? Namun yang diharapkan tidak hanya sebatas
solidaritas pribadi melainkan kebersamaan publik yang menjamin hak-hak hidup
warganya.Ruang publik adalah ruang dimana orang orang mengalami yang
namnya<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Being for, pembatasan secara
hukum yang secara halus konsep-konsep sosialitas publik digunakan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify; text-indent: 18.0pt;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Ketika etika sosial digunakan dfan tidak bertentangan
dengan pengembangan ke ilmuan justru sebaliknya pendidikan berbasis pendidikan
etika sosial yang paling mendesak dan wajib dikembangkan dalam akademisi untuk
memupuk moral dan sosial publik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Bagian II</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Kepemimpinan
Gaya Jaran Teji</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dalam
ranah pendidikan semua aspek sangat mempengaruhi kinerja pendidikan, termasuk
cita-cita yang diharapkan perguruan tinggi yang menuntut untuk melahirkan sosok
kepemimpinan melalui seleksi keilmuan, yang tidak dikaderkan. Proses menuju
harapan yang dicita-citakan itulah pada masa ored baru pengaruh kepemimpinan
juga sangat berperan aktif secara nasional.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Semangat
pertentanganpun berlanjut dengan para suara lantang seniman yang merasa tidak
terwakili dalam kepemimpinan masa orde baru, seperti puisi Renda 1985 yang
hanya membatasi tampil di salah satu tempat saja, karerna dianggap puisinya
menyesatkan bagi penguasa-penguasa paga masa tersebut, selain itu suara
marjinal juga di dapat dari nasib Teater Koma yang sama perlakuannya terhadap
para seniman contohnya ijin pentas teare dengan judul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Suksesi</i> ditarik lagi oleh pemerintah, karena dinilai pemerintah
masa itu ceritanya tidak mengandung unsure pendidikan atau mendidik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn3" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lebih
lanjut praktek-praktek kepemimpinan yang dinilai kurang baik oleh pemerintah
masa itu yakni menghenai struktur kisah kempemimpinan Jaran Teji dalam tembang
karya Tjokrowarsito yang dianggap punya runutan akan tumbangnya orde baru.
Dalam struktur kisah Jaran Teji memeiliki unsure pembentuk empat cirri, yakni: </span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kepemimpinan
Jaran Teji memperlakukan kekuasan sebagai objek kenikmatan.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kepemimpinannya
sebagai hedonism kekuasaan, terjadi pembusukan kekuasaan karena tidak
dilakukan reproduksi bentuk kekuasaan sesuai dengan zamannya.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sebagian
masyarakat mendidik para calon pemimpin seturut caranya sendiri yang
berbeda dari cara yang dilakukann oleh pemimpin Jara Teji.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Masyarakat
memiliki keberanian untuk menentukan corak kempemimpinanya.</span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Keterasingan
masyarakat sangat jelas terlihat dari kepemimpinan Jaran Teji, orede baru
memberikan ruang bagi seniman untuk melawan itu semua, namun kekuatan atas nama
kekuasan yang ter-legitimasi menjadikan kekuatan baru bagi orede baru
menanamkan ideologinya, seperti diawal sudah dibahas memenag orde baru
membangun ekonomi menjadi tumbuh dan stabilitas ekonomi tercapai.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sejak
orde baru lahir, tidak banyak perguruan tinggi yang mampu melawan dengan rezim
ini sebagai sumber kekuasaan. Kemandirian perguruan tinggi dianggap taruhan
atau bahas lain “ pilihan semu”<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn4" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kemadirian-kemandirian
personal inilah yang mampu menjadikan teknologi dan bakat keterampilan generasi
muda menjadi tuntutan. Tanggung jawab utama mahasiswa adalah membangkitkan
kekuatan penalaran individu sebagai dasar analisis berpikir yang sintesis,
ataujuga disebut sebgai tenanga ahli siap pakai.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Selain
itu, ada beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa
depan politik pendidikan, diantaranya adalah, </span><i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">Pertama</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">, menghapus dikotomi dualisme penyelenggaraan
pendidikan. </span><span lang="IT" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IT; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. </span><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus berjalan seimbang dalam hal
mutu, kualitas, moral dan kemajuannya.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">Kedua</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">, peningkatan anggaran
pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan
nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD
adalah menjadi keniscayaan. Ini menjadi persoalan mendesak, jika kita
betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945 Pasal 31
ayat (4) telah mengamanahkannya.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">Ketiga</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">, pembebasan biaya
pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya kemauan kuat
untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat
sekolah dasar. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">Keempat,</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;"> perbaikan
kurikulum. Pendidikan mesti diarahkan pada sistem terbuka dan multimakna serta
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Karena itu,
kurikulum pendidikan harus mampu membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, dan memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan
juga mesti diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajarannya.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<i><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV;">Kelima</span></i><span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">, penghargaan pada
pendidik. Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualifikasi, profesionalisme
dan kesejahteraan pendidik. Sebab, pendidik merupakan pilar utama pendidikan
dan pembangunan bangsa. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Harapannya
agar proses pendidikan dalam urutan yang paling dasar hingga perguruan tinggi
menjadi ukuran baku standar intelektul dam moral yang bisa diandalkan bagi
kelahiran pemimpin-pemimpin baru seperti yang tertera diatas tentang struktur
Jaran Teji.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Penutup</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Keberanian
kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah
barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan
mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong
pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia
meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="border: none windowtext 1.0pt; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: SV; mso-border-alt: none windowtext 0cm; padding: 0cm;">Semoga
kita secara bersama mampu memerdekakan politik pendidikan yang prospektif dan
menjanjikan kemajuan masa depan bangsa. Sehingga, cita-cita untuk menjadi
bangsa besar yang berperadaban tinggi mampu kita raih.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sumber
Resume: </span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tantan Berkaki Tiga – St. Sunardi</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Penerbit bukubaik 2005</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 18.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="mso-element: footnote-list;">
<br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref1" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Tahta
Berkaki Tiga, halm 25</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn2" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref2" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>, halm 26</span></div>
</div>
<div id="ftn3" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref3" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid,</i>
halm 49-50</span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn4" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref4" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> Ibid, halm 54</span></div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-77831378834563940592014-03-13T15:21:00.002+07:002014-03-13T15:28:17.380+07:00RETORIKA KOLONIAL DIBALIK KILAUAN SAWIT <div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-ansi-language:EN-US;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">RETORIKA KOLONIAL
DIBALIK KILAUAN SAWIT</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ervina. P. R (136322010)</span></b></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> </span></b> </span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj08CpR2XM1UiY8TwC7VZlgMyO0PNFtlKsO2OKI7eFkDA2MZdK-KjxAAFh_EqYIQe57PMrmJDVEr1cxEod4JUkR4I-Lc2SQ5MLHOlrcQmFaZMb0BgrW7v86JhctZA-Jn797Xxq4ab74J4s/s1600/sawit.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj08CpR2XM1UiY8TwC7VZlgMyO0PNFtlKsO2OKI7eFkDA2MZdK-KjxAAFh_EqYIQe57PMrmJDVEr1cxEod4JUkR4I-Lc2SQ5MLHOlrcQmFaZMb0BgrW7v86JhctZA-Jn797Xxq4ab74J4s/s1600/sawit.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Monotype Corsiva"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman";">Orang bilang tanah kita tanah surga <br />
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Indonesia kaya sumber daya alamnya. Begitulah
kira-kira maksud lirik dari lagu Koes Plus tersebut. Memanglah demikian adanya,
karena kayaaan sumber daya alamnya maka Indonesia dari zaman ke zaman selalu
menjadi <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>perebutan</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> asing dan sejarah
telah membuktikan itu. Sumber daya alam yang kaya dan sumber tenaga kerja yang
murah merupakan kunci utama untuk memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang melatarbelakangi kemunculan retorika dalam
hal ini kolonial. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Adapun penulis memilih
membahas <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>perkebunan sawit bukanlah tanpa
alasan. Salah satunya,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>fakta ekonomi
yang paling mencolok saat ini bahwa Indonesia sebagai produsen kelapa sawit
terbesar di dunia atau dengan kata lain menyandang gelar Negeri Si Raja Sawit. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Beberapa tahun terakhir ini sawit menjadi primadona
dibandingkan komoditas lain seperti karet, kopi, gula dan sebagainya. Pesona
sawit yang mampu mengalahkan komoditas lain disebabkan karena kebutuhan akan
konsumsi sawit meningkat di pasar internasional. Hal ini dikarenakan, kegunaaan
sawit yang sudah bervariasi mulai dari minyak goreng, bahan bakar, pelumas
mesin, bahan campuran untuk makanan hingga bahan kosmetika. Beragamnya kegunaan
tersebut telah mengundang para konglomerasi kelas berat dunia. Sebut saja,
Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson, Protecter&Gambler <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>untuk ikut <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>menjadi konsumen minyak sawit<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn1" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></span></a>. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"></span></div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Fakta lain juga mengungkapkan kalau kebutuhan akan
minyak sawit kedepanya <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>semakin
meningkat. Mengingat, Uni Eropa yang bertekad mengganti 10 persen kebutuhan
bahan bakar menggunakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">biofuels</i> (bahan
bakar biologi) pada <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tahun 2020. India
juga melaporkan mulai tahun 2012 satu dari lima liter minyak solar harus
berasal dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">biofuels</i>. Bahkan Amerika
Serikat tak mau kalah dengan menetapkan UU Energi yang mewajibkan pasokan energi
sedikitnya 36 miliar galon <i style="mso-bidi-font-style: normal;">biofuels</i>
pada 2022. Perlu diterangkan pula, bahwa bahan bakar biologi dikenal dalam dua
bentuk yakni Biothanol sebagai pengganti bensin dan Biodiesel untuk
menggantikan minyak solar. Biothanol dapat berasal dari tanaman seperti tebu
dan singkong sementara Biodiesel berasal dari sawit, kedelai, biji matahari, dan
buah jarak<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn2" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span></span></span></a>.
Namun, bila dilihat dari biaya produksinya maka sawit lebih terjangkau <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dibandingkan yang lain. </div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Maka dari itu tak heran bila Indonesia semakin
gencar membuka hutan dan meluaskan lahan perkebunan sawit. Komersialisasi sawit
secara mengglobal telah menuai rangkaian fakta-fakta kontroversial dilapangan
sehingga menemukan dua kubu yang saling bersebrangan <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>antara LSM dengan pemerintah dan pengusaha. Mengingat
sawit tidak hanya meliputi isu ekonomi saja namun sudah merambah menjadi isu
sosial, politik dan ekosistem bahkan isu pemanasan global maka penulis menyadari
betapa pentingnya pengkajian terhadap sawit. Agar tidak terlampau luas, dalam
penulisan ini hanya akan memfokuskan pada retorika kolonial dalam dunia
persawitan saat ini. Bertolak dari fenomena tersebutlah maka paper ini ditulis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seratus tahun lebih perkebunan kelapa sawit menjadi
komoditas komersil. Suatu perjalanan yang patut di perhitungkan. Apalagi saat
ini posisi sawit semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak?
Indonesia sebagai negara pemasok 43 persen dari kebutuhan sawit dunia diikuti oleh
Malaysia. Seiring dengan perkembangan tersebut maka pembabatan hutan demi
memperluas areal perkebunan bukanlah lagi menjadi suatu yang tidak wajar bagi
pemerintah dan pengusaha. Apalagi <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>posisinya sebagai komoditas penting bagi
perekonomian Indonesia dan, sekaligus menjadi komoditas yang paling
kontroversial saat ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Posisi sentral yang dimiliki sawit dalam dunia
perkebunan saat ini berawal dari ekspansi ekonomi gaya Kolonial.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Proses tersebut telah mengakibatkan
masyarakat, pengusaha maupun pemerintah berlomba-lomba menanam dan meningkatkan
hasil produksi sawit. Proses inilah yang dimaksud penulis sebagai bias dari
retorika kolonial. Adapun hal ini disebut retorika kolonial karena sebagai
tanda adanya eksploitasi ekonomi baik sumber daya alam maupun tenaga kerjanya seperti
yang dilakukan oleh penjajah terhadap jajahannya. Retorika kerapkali diasosiasikan
dengan teknik persuasi atau bisa juga disebut seni berkomunikasi untuk
meyakinkan orang lain. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn3" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Roland
Barthes adalah tokoh penting dalam perkembangan retorika. Jasanya ialah
menteorisasikan retorika dari sudut semiotika sehingga membagi retorika ke
dalam tiga wacana yaitu, pertama, Forensik dalam hal ini, retorika digunakan
dalam forum pengadilan untuk meyakinkan hakim bahwa apa yang dikatakan oleh
jaksa itu benar, sementara yang kedua, Deliberatif, jika wacana forensik untuk
meyakinkan sesuatu yang sudah terjadi maka deliberatif sebaliknya, yakni untuk
sesuatu yang belum terjadi. Umumnya menggunakan kata demi menjaga “keamanan”
dan “kehormatan” sedangkan yang terakhir ialah Epideiktik yakni retorika yang
dibuat untuk menghormati seseorang. Semacam memberi award dengan tujuannya
untuk mengangkat nilai pantas dipuji (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">laudabilis</i>)
umumnya dipakai ketika mengenang orang yang meninggal</span><span lang="EN-US" style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sementara
itu aspek-aspek keutamaan yang harus diperhatikan dalam retorika ialah,(1),
harus jelas, yang bermaksud bila <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ngomong</i>
maka harus mengikuti kaidah bahasa atau baku, (2), harus diberi keindahan atau
kenikmatan, (3), penggunaan hiasan kata harus terukur dan pas pada tempatnya.</span><span lang="EN-US" style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam
kerangka teori di atas maka dapat diketahui secara jelas yang dimaksud dengan
retorika umumnya dan retorika kolonial pada khususnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ekspansi Kolonialisme merupakan gerakan yang paling
berpengaruh terhadap situasi dan kondisi Indonesia. Penetrasi kekuasaan Kolonialisme
telah membawa perubahan pada politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan terhadap negeri
jajahannya. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa
nenek moyang sawit yang kini masih berdiri di kebun Raya Bogor didatangkan oleh
Kolonial langsung dari Afrika dan Belanda, tepatnya tahun 1869. Bermula dari
empat batang di Kebun Raya Bogor kini sawit menjamur hampir diseluruh kepulauan
di Indonesia. Ironisnya lagi, komersialisasi perkebunan kelapa sawit justru
dimulai dari Indonesia dan Malaysia dan bukan dari negeri asalnya. </span><span lang="EN-US" style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fenomena retorika memasuki abad 21 semakin berkembang
yakni tak hanya meliputi isu sosial maupun ekonomi saja namun merambah pada isu
pemanasan global hingga ekosistem. Hal ini, telah menambah daftar panjang
retorika kolonial yang terbukti tetap eksis dalam perkebunan umumnya, kelapa
sawit pada khususnya. Meskipun, sebagaian orang dengan mengatasnamakan LSM yang
secara terang-terangan mengkampanyekan anti perkebunan kelapa sawit namun, pemerintah
sebagai penguasa negeri pulau kelapa ini tak sependapat dengan itu. Dengan
menggandeng pengusaha,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>pemerintah
berbalik menuding LSM-LSM tersebut telah dipengaruhi situasi global untuk
menyebarkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Black Campaign </i>karena
adanya persaingan minyak sawit dunia, mengingat posisi Indonesia sebagai
produsen terbesar. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Black Campaign</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
yang dimaksud bahwa sawit dari Indonesia tidak ramah lingkungan, merusak hutan,
dan mengabaikan hak-hak petani<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn4" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></a>.
Adapun alasan yang dipaparkan oleh pemerintah dan pengusaha bahwa adanya
persaingan global, di beberapa negara Eropa dan Amerika yang mengembangkan
produk perkebunan (jagung, kanola, bunga matahari) untuk diolah sebagai minyak
nabati seperti fungsi sawit. Akan tetapi, bila ditinjau dari keunggulan minyak
sawit baik dari segi efisiensi dan kegunaan maka komoditas sawit masih jauh
melampaui komoditas perkebunan lainya<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn5" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span></span></span></a>. Bahkan
dalam akun resmi Ditjen Perkebunan menyatakan bahwa kontribusi perkebunan
adalah meningkatnya produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja dan
meningkatnya kesejahteraan. Hal ini disampaikan dalam konteks kelapa sawit
sebagai komoditas ekspor terbesar untuk perkebunan. Di akun resmi itu,
dipaparkan bahwa betapa pentingnya komoditas sawit ini bagi perekonomian
Indonesia dan berbagai upaya yang juga dilakukan oleh pemerintah untuk semakin
meningkatkan hasil produksi sawit. Tahun 2013 misalnya dicanangkan pengembangan
kelapa sawit pada yang diperkirakan mencapai 9,15 juta ha dengan produksi 24,43
juta ton. Tentu melalui program andalanya yakni sistem PIR maupun Petani
Plasma. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seiring sejalan dengan pemerintah, para pengusaha
sawit juga berlomba-lomba meluncurkan buku teknik-teknik dan keuntungan
membudidayakan Kelapa sawit. Bahkan untuk menepis isu-isu yang dilemparkan
LSM-LSM terhadap dampak sosial maupun ekosistem. Para pengusaha sawit yang
tergabung dalam GAPKI atau Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
mengeluarkan buku Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan
Global. Hal ini semakin memperuncing perseteruan diantara dua kubu tersebut.
Ada yang menarik dari buku tersebut, mengapa? karena dinarasikan berdasarkan
hasil penelitian pihak asing yang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah
penyumbang emisi terbesar. Buku ini menguraikan data kalau sumbangan terbesar
emisi berasal dari<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>GHG (Green House Gas)
yang memproduksi karbondiaksoda sebesar 92 persen.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sementara sektor yang terbesar pengemesi
karbondiaksoda ialah bahan bakar fosil atau BBF<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>sebesar 52 persen kemudian disusul industri (14,7%), pertanian (13,8%), <i>Land
Use Change </i>(12,2%) dan limbah (3,2%)<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn6" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></a>. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Indonesia bukan termasuk negara terbesar pengemisi
GHG global baik dari emisi konsumsi energi BBF, pertanian, maupun dari lahan
gambut. Dilihat dari segi berbagai indikator kehutanan, bahwa hutan di
Indonesia masih termasuk 10 negara terbaik dunia.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Deforestasi
global terbesar terjadi di negara-negara yang memiliki hutan non tropis.
Sedangkan di negara-negara yang memiliki hutan tropis secara netto terjadi
reforestasi. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut potensial menurunkan emisi
GHG dibandingkan dengan sawah gambut maupun hutan gambut sekunder. Perkebunan
kelapa sawit merupakan bagian solusi dari permasalahan pangan, energi,
lingkungan dan ekonomi global<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn7" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="Default" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Mengingat perkebunan
kelapa sawit memiliki fungsi ekologis yang menyerupai fungsi ekologis hutan,
maka perkebunan kelapa sawit perlu dikategorikan sebagai hutan.
Setidak-tidaknya dikategorikan sebagai salah satu bentuk
afforestasi/reforestasi. Jika Indonesia ingin berpartisipasi menjadi bagian
solusi masalah lingkungan global, maka langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah mempercepat substitusi BBF dengan energi terbarukan khususnya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">biofuels</i> dari minyak sawit, yang jauh
lebih ramah lingkungan dibandingkan energi BBF<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn8" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span></span></span></a>
. Garis besar dari buku tersebut sangat jelas menunjukan bahwa industriliasasi
sawit harus ditingkatkan mengingat sawit termasuk tanaman ramah lingkungan.
Paling tidak itulah kesimpulan yang mau disampaikan dari buku tersebut. Suatu
teknik persuasi yang terkini dengan melampirkan data-data yang didasarkan atas
penelitian-penelitian. Lantas, jika demikian bukankah hampir serupa dengan yang
dilakukan pada masa kolonial walau dalam kemasan yang berbeda. </span></div>
<div class="Default" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Kembali pada rekam sejarah persawitan. Pemerintah
Kolonial sudah mencoba menanam kelapa sawit dan kegiatan promosi kepada
masyarakat agar ikut menanam juga. Menurut Hunger<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn9" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span></span></span></a>,
pada tahun 1869 pemerintah kolonial Belanda mencoba menanam di Muara Enim, 1870
di Musi Hulu dan tahun 1890 dibuka juga di Belitung namun, hal tersebut tidak
berhasil karena rakyat belum tertarik membudidayakan kelapa sawit. Menurut
Rutjer<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn10" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span></span></span></a>,
hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan aparat pemerintah terhadap usaha
pemerintah Kolonial dan adanya keragu-raguan masyarakat pada keuntungan serta
pengolahan sawit menjadi minyak yang masih asing sehingga periode ini sawit
hanyalah hiasan dipekarangan rumah atau tepi jalan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akan tetapi, setelah ditetapkan Undang-Undang Agaria
tahun 1870, perkembangan kelapa sawit mulai tampak. UU tersebut merupakan tanda
berakhirnya Sistem Tanam Paksa. Hal yang mencolok dari UU tersebut ialah
kedudukan pemerintah digantikan oleh pengusaha perkebunan, kerja paksa diganti
dengan kerja upah dan serah wajib tanah diganti dengan sewa tanah<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn11" name="_ftnref11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span></span></span></a>.
Jadi dalam hal ini, telah terjadi revolusi dalam perkebunan yakni mempertemukan
antara pemilik modal dengan tempat penanaman modal yang dahulu melalui
perantara (pemerintahan Kolonial). Sementara itu, tidak semua jenis tanaman
dijinkan untuk dikelola pihak swasta sehingga hanya tanaman-tanaman tertentu
yang diperbolehkan salah satunya kelapa sawit. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Penetapan UU Agraria 1870<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>ini membawa dampak pada pengenalan teknologi
maupun komoditi baru demi meningkatnya hasil produksi. Mengapa demikian?
dikarenakan dalam prinsip-prinsip ekonomi liberal secara formal memberi
kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan menyediakan tenaganya
bagi penyelenggaraan produksi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn12" name="_ftnref12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span></span></span></a>
Selain itu, dampak lain ialah pesatnya pembangunan infrastruktur dari masa
sebelumnya. Hal ini merujuk keampuhan retorika yang digunakan oleh pihak swasta
dengan menjanjikan pembangunan dan teknologi yang mana kedua hal tersebut
kurang mendapat perhatian oleh pemerintah kolonial sebelumnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hallet seorang warganegara Belgia sebagai bapak dari
industriliasasi sawit di Indonesia. Pada tahun 1911 kelapa sawit untuk pertama
kali dikomersialisasikannya dalam bentuk perkebunan. Ia membuka perkebunan di
Sungai Liput Aceh dan Pulu Radja (Asahan). Jejaknya diikuti oleh seorang Jerman
bernama K.Schadt yang mendirikan perkebunan di daerah Itan Ulu di Deli.
Walaupun, pada masa itu sawit belum mampu menyaingi komoditas mainstream
seperti Gula, Karet, Kopi, Teh, Tembakau dan belum termasuk 10 komoditas utama
dari Hindia Belanda. Namun, mulai dari tahun 1915-1940 jumlah perkebunan
semakin bertambah dari 10 hingga 66 titik perkebunan. Selain itu produksi sawit
menanjak tajam 576 (minyak sawit dalam ton) hingga 250.000 sementara produksi
inti sawit dari 850 hingga 47.489 ton walau tiap tahun mengalami pasang surutnya<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn13" name="_ftnref13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span></span></span></a>.
Berdasarkan fakta-fakta itu tampak bahwa keberhasilan dari retorika kolonial
yang membujuk masyarakat baik untuk menyewakan tanahnya maupun bersedia menjadi
buruh kontrak. Identifikasi bahwa hal tersebut retorika kolonial ialah
tujuannya hanya untuk mengeksploitasi baik itu SDA maupun SDM nya demi
keuntungan pemilik modal.</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody></tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzULt97DH2T7vi66ZL6ZwnLCwP_BwBc7H2kuxYdXm9dWlubawdZwxWmxOlIr1j6xKEwsM9MtFLP6RMO2KhZDrg3lQ6zJA3qHjDWeadQ3GYyKaLX0_sekMt7kI5UYJ2JhWPA2pbPN51yfY/s1600/kerusakan+lingkungan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzULt97DH2T7vi66ZL6ZwnLCwP_BwBc7H2kuxYdXm9dWlubawdZwxWmxOlIr1j6xKEwsM9MtFLP6RMO2KhZDrg3lQ6zJA3qHjDWeadQ3GYyKaLX0_sekMt7kI5UYJ2JhWPA2pbPN51yfY/s1600/kerusakan+lingkungan.jpg" height="320" width="320" /></a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: left;"><tbody>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Perambahan Hutan untuk dijadikan Perkebunan Sawit</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody></tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Berbeda bila
masa Kolonial, sawit mendapat perhatian khusus terutama oleh pihak-pihak swasta
yang memang membudidayakan sawit secara komersil, dibandingkankan masa Jepang.
Pada masa ini, sawit tidak menjadi fokus pemerintahan Jepang karena mereka
lebih mengutamakan tanaman pangan sebagai pemasok logistik untuk para
militernya. Sejalan pula, ketika masuk zaman Soekarno tak ada yang mencolok
dari perkembangan perkebunan sawit. Akan tetapi, sangat kontras ketika masuknya
periode Soeharto, dalam masa ini perkebunan sawit digenjot produksinya. Apalagi
semakin didukung dengan adanya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Ledakan
produksi persawitan pun mulai tampak lagi di tahun 1980an dengan menerapkan
sistem PIR<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>terkenal dengan PIR BUN dan PIR NES. Tak
heran saat ini begitu banyak pemain dalam perkebunan sawit adalah pihak swasta
(asing). Memasuki pasca reformasi, produksi sawit semakin menduduki posisi
puncak sebagai produsen terbesar. Bahkan SBY pada tahun 2005 pernah meluncurkan
megaproyek Kalimantan Border Oil Palm, yaitu pembangunan kebun kelapa sawit
raksasa seluas 1.8 juta hektare yang akan memagari perbatasan Indonesia dengan
Malaysia dan Brunei<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn14" name="_ftnref14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span></span></span></a>.
Hal ini, tentu akan melewati kampung halaman penulis yang memang berasal dari
wilayah perbatasan Malaysia dan Indonesia. Namun, hingga hari ini proyek
tersebut belum terlaksana dan belum ada kejelasan juga akan dicabut. Tak perlu
menunggu pemerintah, saat ini di wilayah perbatasan sudah di penuhi wajah-wajah
perkebunan kelapa sawit swasta. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sekilas sejarah itu membuktikan bahwa retorika
kolonial tiada henti-hentinya membujuk masyarakat bahkan tak jarang pula
memaksa rakyat untuk menyewakan tanah dan mau bekeja di perkebunan milik
mereka. Suatu fenomena yang masih kita temui dalam persawitan saat ini. Begitu
banyaknya kasus-kasus pahit diantara manisnya kilauan sawit ini telah
membuktikan bahwa retorika-retorika itu masih terus dihidupi demi keuntungan
yang dimiliki oleh kalangan terbatas. Kisah pilu itu tak jarang juga sengaja
ditutupi/ direkayasa oleh oknum-oknum tertentu hingga seolah-olah hal tersebut
wajar jika terjadi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Memasuki dunia pascakolonial, lantas tidak
mengakhiri kisah-kisah pahit dari perkebunan itu. Mengapa demikian? Karena<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>situasi yang dihadapkan pada mereka kurang
lebih serupa yang terjadi saat kolonial walau dalam format yang berbeda. Sebut
saja kasus yang sempat santer diperbincangkan yakni Mesuji. Akhir tahun 2011,
wilayah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, dimana para petani berupaya
meminta keadilan terhadap hak atas tanah mereka. Akan tetapi, oleh perusahaan yang
bertanggungjawab lantas mengerahkan pasukan keamanan termasuk TNI dan POLRI
hingga peristiwa ini memakan korban<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn15" name="_ftnref15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span></span></span></a>. Bukankah
ini salah satu praktik kolonial? Memaksa rakyat bahkan mengancam sampai menelan
korban jiwa. Sebagai bangsa yang terkenal dengan semboyan “musyawarah dan
mufakat” ini merupakan salah satu contoh dari banyak kasus yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>menampar wajah Pancasila sebagai ideologi
bangsa. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain itu, juga kasus-kasus yang serupa terjadi di
kepulauan Kalimantan Barat, seperti paman dari penulis (saya) harus mendekam
tiga bulan dalam penjara akibat mempertahankan tanah perkuburan nenek moyang
yang akan digusur oleh perusahaan swasta milik asing. Kasus yang tak kalah
memilukan, datang dari Kalimantan Timur dengan adanya pembunuhan massal
terhadap orang hutan. Sayembara untuk membunuh orang hutan dan monyet yang
dianggap hama bagi perkebunan sawit<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>dengan membayar kepada masyarakat<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>1 juta per orang hutan dan 200 ribu monyet per ekornya<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn16" name="_ftnref16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span></span></span></a>
bukankah binatang tersebut termasuk yang dilindungi pemerintah. Dengan demikian
maka retorika kolonial kian marak bahkan semakin kuat pengaruhnya. Misalnya
seperti yang diungkapkan oleh Jinan<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn17" name="_ftnref17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[17]</span></span></span></span></a>,
dari suku Daya Muluy, Passer, Kalimantan Timut. Ia menyatakan bahwa saat ini
lembaga adat telah berkejasama dengan pengusaha untuk mempengaruhi warga agar
penguasaan tanah lebih mudah. Adapun bujukannya berupa memberikan hadiah dan
janji, ada yang menawarkan sepeda motor, janji pembangunan jalan namun kami tak
mau karena hutan itu hidup kami. <table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMC-mctV76I_sNPGyJC06Q2kmvb4-jYPMD7FYnV0-XT9_zX5KKrUJOF74acZHXpegPLAa3_r3xSGBOBhF0WFtHl7_qBhllW55ELSivuzYkRhIhZHw29ed9HufO6yJ9tlFK2J61_jX_ZC4/s1600/korban+kerusakan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMC-mctV76I_sNPGyJC06Q2kmvb4-jYPMD7FYnV0-XT9_zX5KKrUJOF74acZHXpegPLAa3_r3xSGBOBhF0WFtHl7_qBhllW55ELSivuzYkRhIhZHw29ed9HufO6yJ9tlFK2J61_jX_ZC4/s1600/korban+kerusakan.jpg" height="320" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Korban Tidak Berdosa dari Kilauan Sawit</td></tr>
</tbody></table>
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hal<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>serupa
juga terjadi didaerah penulis (saya) yang mana para pengusaha
mengiming-imingkan perkejaan dikebun kelapa sawit, dengan menukarkan 1 hektar tanah
dan biaya sewa 300 ribu. Walau penduduk lokal yang diangkat hanya sebagai
mandor, tapi bagi warga sudah merupakan posisi yang bergengsi. Perlu diterangkan
juga bahwa penulis berasal dari Kalimantan Barat, Kabupaten Bengkayang,
Kecamatan Seluas yang termasuk daerah perbatasan antara Malaysia dengan
Indonesia. Selain itu, para pengusaha, juga menjanjikan bantuan listrik seperti
yang dilakukan oleh Malaysia terhadap beberapa wilayah perbatasan. Betapa
hebatnya drama kolonial yang dimainkan para pemilik modal dalam mencari
perhatian masyarakat. Berbagai janji-janji dilontarkan demi terpuaskan hasrat
kolonialnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Retorika yang berkembang dalam perkebunan kelapa
sawit saat ini<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>merupakan kolonial model
baru atau neokolonial. Seperti yang tertulis dari buku <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Empire</i> karya Hardt dan Negri<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn18" name="_ftnref18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[18]</span></span></span></span></a> yang
menyatakan bahwa, “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">in contrast to
Imperialism, Empire establishes no territorial center of power and does not
rely on fixed boundaries or barriers</i>” lebih lanjut lagi diterangkan,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>“<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Empire
manages hybrid identities, flexible hierarchies and plural exchanges through
modulating networks of command.</i> Berdasarkan pernyataan di atas maka
diketahui dapat kalau wajah global saat ini sudah berbeda dengan masa
kolonialisme. Penjajahan model baru ini, sudah tidak dapat dirumuskan secara
pasti para pelakunya dibandingkan masa kolonial hal ini dikarenakan kepentingan
yang didalamnya telah mencair dan mempengaruhi semua aspek yang terlibat
didalamnya. Apalagi tragisnya, bentuk yang baru ini telah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>merampas kedaulatan negara. Jadi, dari
nasional menjadi organisasi supranasional yang tunduk pada suatu peraturan. Oleh
sebab itu, maka <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tidak dapat lagi merumuskan
oposisi biner diantara penjajah dan terjajah. Jika demikian bagaimana nasib
petani-petani sawit? yang hidupnya akan semakin terjepit diantara raksasa-raksasa
global.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebagai catatan penutup disini, bahwa tampak jelas
retorika kolonial masih terus hidup bahkan semakin digalakan. Dalam hal ini,
penulis juga mengakui pentingnya komoditas sawit. Namun bagaimana dengan pemandangan
sosial maupun ekosistem yang disebabkan perkebunan kelapa sawit tersebut. Bak
seorang predator yang kelaparan, perkebunan sawit terus memakan lahan-lahan
demi meningkatkan hasil produksi. Hutan dalam sekejap mata disulap menjadi
hutan sawit (bila tidak ingin disebut perkebunan versi pengusaha). Dengan
berbagai retorika yang dilancarkan baik pemerintah maupun pengusaha yang
ditujukan pada petani sawit untuk mengenjot hasil produksinya. Tampak jelas
bagaimana petani terjepit dalam dua kubu yang berseteru yakni retorika yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan pengusaha dengan LSM-LSM yang katanya memihak
petani sawit. Jika pihak yang satu justru menganjurkan maka pihak yang lain
menolaknya. Dalam situasi tersebut pantaslah kita harus kembali ke masa
kolonial sebagai titik awalnya komersialisasi sawit. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 18pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sudah seperti yang disinggungkan sebelumnya bahwa
cirikhas dari munculnya retorika kolonial ialah motivasi mendapatkan keuntungan
besar namun biaya produksi rendah termasuk tenaga kerja yang murah. Hal inilah
yang terus menerus menyemangati retorika-retorika kolonial hingga bisa kita
kategorikan yang mana retorika kolonial. Tanpa bermaksud memihak salah satu
kubu tersebut. Bila sawit memang mendatangkan<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>keuntungan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kesejahteraan bagi rakyat seperti yang
disebutkan dalam akun resmi Ditjen Perkebunan tersebut, lantas mengapa dari
beberapa kasus-kasus yang sudah sempat disinggung di atas justru para petani-petani
yang kerapkali dirugikan? <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Seolah-olah berlaku prinsip <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sadhumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan
pati</i> (sejari kepala, sejengkal tanah, dibela sampai mati)<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn19" name="_ftnref19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[19]</span></span></span></span></a>.
Prinsip yang terkenal dari Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda. Perang
yang pecah tahun 1825 hingga 1830 dikarenakan Belanda merampas tanah makam
leluhurnya. Zaman memang berubah namun masalah sengketa tanah antara petani-petani
dengan pengusaha dan pemerintah belum berakhir. Mengingat, betapa kompleksnya
persoalan retorika kolonial dalam persawitan maka paper ini tak dapat
menuliskan keseluruhannya dan masih jauh dari sempurna. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 18pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">DAFTAR
PUSTAKA</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 18pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 4cm; text-align: justify; text-indent: -99.2pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ditjenbun. 2013. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kelapa
Sawit Sumbang Ekspor Terbesar Untuk Komoditas Perkebunan</i>. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 4cm; text-align: justify; text-indent: -99.2pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Hardt, Michael dan Negri, Antonio. 2000. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">EMPIRE</i>. United States of America:
President and Fellows of Harvard College</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 115%; margin-left: 78pt; text-align: justify; text-indent: -63.8pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">GAPKI.2013. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam
Isu Lingkungan Global</i>.Jakarta. Ebook PDF</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 115%; margin-left: 78pt; text-align: justify; text-indent: -63.8pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 3cm; text-align: justify; text-indent: -70.85pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kelapa Sawit: Kajian Sosial-Ekonomi</i>.
Yogyakarta: Aditya Media</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 3cm; text-align: justify; text-indent: -70.85pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mardiyah Chamin, dkk. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Raja Limbung: Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia</i>. Jakarta: SAWIT
WATCH dan TEMPO INSTITUTE</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 3cm; text-align: justify; text-indent: -70.85pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sejarah Perkebunan Indonesia</i>. Yogyakarta:
Aditya Media</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 3cm; text-align: justify; text-indent: -70.85pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Soemartojo dkk. 1984. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perkebunan Indonesia di Masa Depan</i>. Jakarta: Penebar Swadaya</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 16.0pt;">Tempe Goreng Berdarah</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">Setiap
kali aku makan tempe goreng</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">setiap
kali pula aku harus meminta maaf</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">kepada
suku anak dalam</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">kepada
orang-orang dayak</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">bahkan
juga kepada orangutan</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">Sebab...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">tempeku
digoreng dengan minyak</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">yang
perkebunannya disuburkan</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">dengan
darah mereka semua!</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">Para
manusia sederhana</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">serta
hewan tak berdosa</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">Pada
setiap gigit renyah tempe goreng itu</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">menetes
darah</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">melumuri
ini wajah</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt;">merah</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Surakarta,
21 Desember 2013</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">@KalongGedhe
(Padmo Adi)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br clear="all" />
<hr size="1" style="margin-left: 0px; margin-right: 0px;" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref1" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Mardiyah
Chamin, dkk. 2012. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Raja Limbung: Seabad
Perjalanan Sawit di Indonesia</i>. Jakarta: Sawit Wacth dan Tempo Institut,
hlm, 14</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref2" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span></span></span></span></a><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">
Ibid</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">,
hlm 52</span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref4" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ibid</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">, hlm viii</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref5" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Idem</i></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref6" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">GAPKI.2013.
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit
Dalam Isu Lingkungan Global</i>.Jakarta, hlm, 45</span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref7" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">idem</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref8" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid, </i>hlm 46</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref9" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Loekman
Soetrisno dan Retno Winahyu. 1991. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kelapa
sawit: Kajian Ekonomi-Sosial</i>. Yogyakarta: Aditya Media, hlm 13</span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref10" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"> I<i style="mso-bidi-font-style: normal;">dem</i></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref11" name="_ftn11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Sartono Kartodirjo
dan Djoko Suryo. 1991. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sejarah Perkebunan
di Indonesia: kajian sosial-ekonom</i>i,. Yogyakarta: Aditya Media, hlm:83</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref12" name="_ftn12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ibid</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">, hlm 84</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn13">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref13" name="_ftn13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Loekman
Soetrisno dan Retno Winahyu</span><span lang="EN-US"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">op.cit</i>. hlm, 14-15</span></div>
</div>
<div id="ftn14">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref14" name="_ftn14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Mardiyah
Chamin, dkk, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">op.cit</i> hlm; 64</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn15">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref15" name="_ftn15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Mardiyah
Chamin</span><span lang="EN-US">, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">lo.cit</i>,
</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">hlm viii</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn16">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref16" name="_ftn16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ibid</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">, hlm 185</span></div>
</div>
<div id="ftn17">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref17" name="_ftn17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[17]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i> ,hlm, 202</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
<div id="ftn18">
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1cm; text-indent: -14.15pt;">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref18" name="_ftn18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[18]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Hardt,
Michael dan Negri, Antonio. 2000. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">EMPIRE</i>.
United States of America: President and Fellows of Harvard College, hlm:
xii-xiii</span></div>
</div>
<div id="ftn19">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref19" name="_ftn19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[19]</span></span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Mardiyah
Chamin<i style="mso-bidi-font-style: normal;">, op.cit,</i> hlm 95</span><span lang="EN-US"></span></div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-19458534600144369912014-03-13T11:00:00.002+07:002014-03-13T11:14:42.180+07:00Mengapa Islam Tidak Disebut Sebagai “Agama Dunia”? Catatan atas tulisan Tomoko Masuzawa Islam, A Semitic Religion <div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><i>Oleh : </i></span></b><b style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Umi Lestari -
136322-017</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Imaji tentang
Islam sebagai agama orang Semit, orang-orang Arab, sendiri dimulai sejak akhir
abad 19 M. Tomoko Masuzawa melihat bagaimana imaji yang dibuat peneliti-peneliti
Eropa tentang Islam pada abad 19 dalam bab
6 di bukunya <i>The Invention of
World Religions: Or, How European Universalism Was Preserved in the Language of
Pluralism</i> (2005). Pada sesi pertama ia melihat perubahan relasi antar Eropa
dan dunia Muslim dan sesi ke dua ia melihat infiltrasi ide baru orang-orang
Eropa sendiri mengenai Bangsa Arab. Pada
sesi 3 dan 4, Masuzawa menekankan pada penelitian Abraham Kuenen dan Otto
Pfeiderer yang melihat bahwa Islam adalah agama orang Arab dan tidak termasuk
dalam kelas agama-agama dunia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC3DmX9EUAgAxPNlf_-Q3obp81BljLlW8ZkicgLw72hyphenhyphen-3FVhU1jH5z4bFwoGrfg97U93d3eagQE51sGuhXi2yZuiZIsdrEDigMz-ZPcwlP7H9PsMzddyyZ9JkZ4DBRC_ytlSky1SoAsM/s1600/tomoko+masu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC3DmX9EUAgAxPNlf_-Q3obp81BljLlW8ZkicgLw72hyphenhyphen-3FVhU1jH5z4bFwoGrfg97U93d3eagQE51sGuhXi2yZuiZIsdrEDigMz-ZPcwlP7H9PsMzddyyZ9JkZ4DBRC_ytlSky1SoAsM/s1600/tomoko+masu.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada Mulanya adalah Perdagangan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tentu saya masih
ingat dengan Vasco Da Gama yang sering keluar dalam buku sejarah Ilmu
Pengetahuan Sosial sewaktu SD. Dalam buku tersebut, Vasco Da Gama tercatat
sebagai penjelajah Portugis yang menemukan jalur pelayaran ke India melalui
Benua Afrika. </span><br />
<a name='more'></a><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Berkat catatan dari Vasco Da Gama, Afonso de Albuquerque, pelaut
Portugis, dapat mencapai gugusan pulau yang sekarang bernama Indonesia untuk
mencari rempah-rempah. Dalam <i>sesi The
Problem of Islam for Premodern and Early Modern Europe</i>, Masuzawa menuliskan
adanya pergeseran geopolitik yang monumental. <a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Masuzawa memulai sesi ini dengan kisah Vasco da Gama atau lebih dikenal sebagai
“masa penjelajahan”, cara Eropa mengeksplorasi dunia “luar”nya dan dianggap
sukses dalam membangun tatanan dunia baru menurut versi mereka sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Superioritas
kuasa Bangsa Muslim pada akhir abad ke 15 tampaknya membekas di benak
orang-orang Eropa. Menurut Masuzawa, kekuasaan bangsa Eropa dengan kejayaan
masa lalunya hanya bersifat regional. Hal itu tak dapat dibandingkan dengan
kekuasaan Islam yang meluaskan daerahnya hingga ke Afrika Utara dan yang
sekarang disebut Indonesia. Tetapi ada memori kolektif yang tersimpan dalam diri Bangsa Eropa, India
sebagai “a Land of Desire”. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Bangsa Eropa
juga ingin menggapai “Tanah Impian” yang pada saat itu berada di tangan Islam.
Selain memori kolektif, perdagangan juga menjadi alasan penjelajahan Eropa. Perebutan
kekuasaan yang dilakukan oleh bangsa Muslim dianggap telah merusak tatanan
tersebut, termasuk tatanan perdagangan global. Persaingan dimulai dari sini.
Sejak akhir abad 15 hingga Perang Dunia ke II, penguasa-penguasa Eropa berusaha
sampai ke Asia dengan mengembangkan
transportasi dan strategi. Masuzawa menuliskan bahwa pada abad 15 semakin Eropa
menginginkan rempah-rempah, maka akan semakin meningkat pula bisnis orang
Muslim. Pada masa itu, Islam menjadi penjaga “gerbang” dari Eropa ke Asia yang
menyediakan banyak rempah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dominasi dan
monopoli Islam akan rempah-rempah membawa benih-benih permusuhan. Eropa
berusaha dengan berbagai cara untuk dapat pergi ke Asia. Dalam momen ini,
Portugal yang menjadi pionirnya. Portugal sebagai perwakilan dari Gereja
Katholik Rhoma memiliki ambisi untuk melawan agama Muhammad. Melalui
pemerintahan Pangeran Henry, era penjelajahan pun dimulai. Alasannya tidak lain
adalah <i>“to cut the root of Islam by
attacking it from behind”. </i>Selanjutnya seperti yang juga dikisahkan oleh
buku-buku sejarah yang saya baca sewaktu SD, keberhasilan Portugal diikuti oleh
perdagangan ala Belanda yang menguasai perdagangan di daerah koloni sejak abad
18. Benih-benih permusuhan dari sudut pandang inilah yang akhirnya berkembang
hingga akhir abad 19. Ide-ide mengenai Islam sebagai “musuh”, sebagai “liyan”,
menghantui pemikir-pemikir dan peneliti Barat pula.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dikotomi Bangsa Semit dan Bangsa Aryan pada abad 19
Masehi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada sesi ini
Masuzawa mengajak kita untuk melihat konteks sejarah kondisi Eropa dalam
memahami adanya sudut pandang “agama-agama lain”. Eropa mencoba merekonstruksi
Budhisme Bangsa Arya dan “mengenyampingkan” Islam. Penggunaan istilah “agama
dunia” mulai berkembang pada pertengahan abad 19. Peneliti-peneliti mulai
menerima Budha sebagai bagian dari agama dunia karena ia memiliki karaktestik
yang universal dan mampu diterima oleh masyarakat lintas negara. Nilai-nilai
universal inilah yang tidak dapat dilihat dalam Islam. Peneliti dari Barat
melihat Islam itu adalah agama yang membangkang dari ajaran Judaisme yang juga
melahirkan Kristen. Ajaran Budha yang dianggap universal pun selaras dengan
pemikiran filsafat Barat ala Kantian<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa ajaran Budha berasal dari Bangsa Arya.
Inilah yang menjadi legitimasi dalam pencarian nenek moyang yang sama atas
Budha dan Kristianitas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Semangat
intelektual dan elit-elit budaya di Eropa pada abad 19 berpengaruh pula pada
berkembangnya ilmu-ilmu humaniora. Temuan kisah-kisah Yunani juga menjadi
faktor yang digunakan Eropa untuk melegitimasi Kristen. Mitologi Yunani yang
sarat dengan kisah dewa-dewi yang tampan dan cantik, jenius dan memiliki sistem
teratur merupakan beberapa poin-poin legitimasi. Karakteristik Yunani kuno ini
juga dijadikan wacana untuk membedakan Eropa dan Kristen dengan “saudara” Arya
mereka di Asia, terutama di India. Walaupun Yunani kuno dan India memiliki
kepercayaan yang sama terhadap dewa-dewi, namun dewa-dewi di India disebut aneh
dan tidak indah. Selanjutnya, Masuzawa menulis bahwa Kristianitas tidak dapat
diendus jejaknya hingga ke Palestina, permulaan nabi Yahudi – Kristianitas
muncul dan berkembang di tanah yang subur bekas Helenisme<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Bisa dikatakan bahwa Kristianitas itu lebih Yunani, lebih Helenisme dan Aryan
daripada Ibrani dan Arab. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tentang Abraham Kuenen yang mengatakan bahwa Islam
adalah Agama Bangsa Arab<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bila merujuk
pada penelitian filolog mengenai agama yang universal, terlihat ada dua
perkembangan agama dunia. Pertama adalah Budhisme sebagai universalisme bangsa
Arya – ketika ia diadopsi oleh non-Arya ia berubah menjadi stagnan. Kedua
adalah universalime dari agama Israel yang dianggap telah dibebaskan dan
berkembang menjadi <i>Gentile Christians</i>,
Kristen yang bukan Yahudi. Lalu bagaimana dengan Islam? Menurut versi Kuenen,
Islam malah menurunkan “universalisme” dan mengungkungnya sebagai agama untuk
orang Arab saja<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Mengenai perkembangan Islam hingga ke tanah Jawa, Kuenen menganggapnya itu
hanya sebagai jubah. Islam tidak menjadi agama yang utama di Jawa, ia hanya
menjadi jubah dari penggabungan antara Budhisme, Hinduisme dan Islam yang malah
menjadi Jawanisme (abangan?). Kuenen dengan tegas mengatakan bahwa dalam Islam
tidak ada bukti mengenai supremasi spritual. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Masuzawa
mengaskan adanya anti-Semit dalam penelitian yang muncul pada akhir abad 19.
Penelitian-penelitian anti-Semit tersebut memang halus, tapi bila diendus lebih
dalam ada bau anyir yang menghembuskan ideologi anti-Islam. Misalnya, Masuzawa
mengutip John Arnott MacCulloh sebagai contoh adanya anti-Semit ini. Dalam pembukaan
Religion, Its <i>Origin and Forms</i>
(1904), MacCulloh menulis bahwa Islam adalah agama ketakutan, bukan cinta.
Islam digambarkan sebagai agama yang tidak toleran, fanatik dan tidak dapat
berkembang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penelitian Otto Pfeiderer: Sufisme, Islamnya Bangsa
Arya<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Selaras dengan
Kuenen, Otto Pfeiderer, teolog dari Jerman, tidak menganggap bahwa Islam adalah
agama dunia. Pfeiderer berpendapat bahwa Islam itu tidak memiliki nilai-nilai
spiritual dan bermusuhan dengan nilai-nilai “mobilitas”, “kemajuan” dan “kebebasan”<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Selanjutnya, Masuzawa memunculkan penelitian Pfeiderer tentang Sufisme. Menurut Pfeiderer, Sufisme adalah ajaran Islam
yang berasal dari Persia, masih bagian dari Bangsa Arya – Islamnya Arya, lebih
ringkasnya. Ajaran Sufi dianggap lebih spiritual, ia mampu keluar dari
dogma-dogma yang ada dalam Islam (Arab).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">--<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Masuzawa
memperlihatkan kepandaiannya dalam meramu penelitian-penelitian tentang Islam
ini. Dari penelitian Pfeiderer ini, Masuzawa mengajak pembacanya kembali
melihat apa kaitannya legitimasi Eropa dengan bangsa Aryan. Semua agama dan
ajaran yang masih keturunan Arya dianggap “bersahabat” dan “familiar” oleh
peneliti-peneliti Eropa. Islam tidak disebut sebagai Agama Dunia karena ia
tidak berasal dari ras Arya dan ia tidak membawa nilai-nilai universal dalam
standar peneliti Eropa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kajian tentang
Islam yang ditulis oleh peneliti-peneliti abad 19 ini tentu saja menyesatkan -
seolah-olah ia tidak keluar dari pencarian legitimasi dengan mengandalkan
keunggulan ras. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoNormal">
<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="IN"> Call it colonial expansion or the progress of modernity, this amounted
to a monumental geopolitical shift, a large-scale change in the power relation
between the Islamic domain and European Christendom. (Masuzawa, 2005: 180) </span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="IN"> Perhaps it was almost as though they could not imagine that something
like Kantian idea of God – what Kant called the ideal of pure reason, qua
postulate of reason, that is, as necessary guarantor of the knowledge and
therefore of the possibility of science (Masuzawa, 2005: 188).</span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="IN"> Christianity in its essential being (as opposed to its historical
beginning) is not to be traced back to Palestine as one of the many Jewish
messianing seets; rather, Christianity emerged from the far richer soil of the
late Hellenic world. (Masuzawa, 2005: 191)</span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="IN"> It was precisely Islam’s disregard for the universal that caused it to
be succesfully imposed upon other nations</span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///H:/draft_paper1_Tomoko_Islam%20a%20semitic%20Religion.doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="IN"> It was Pfeiderer’s opinion that Islam was disqualified from
designation as a world religion because of its abject poverty of spiritual
substance and, again, its essential nature inimical to “mobility”,
“development”, and “freedom”. (Masuzawa,
2005: 200)</span></div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-36733653431885714312014-03-13T10:47:00.003+07:002014-04-01T08:57:09.657+07:00MANUSIA ‘BERMULUT KECIL’ (Kajian Poskolonial tentang Perempuan Indonesia Masa Penjajahan Belanda) <div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 28.35pt;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">MANUSIA ‘BERMULUT KECIL’<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 28.35pt;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">(Kajian Poskolonial tentang
Perempuan Indonesia Masa Penjajahan Belanda)</span></b><br />
<br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"></span></b><br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"></span></b><br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 28.35pt;">
<b>Ditulis Oleh Alfons No Embu</b><br />
<b>Nim 136322011</b><br />
<b><br /></b></div>
<b>
</b>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-XeNoKnhMxgvFv53ztEm_pubojNgrAQa5AT6EoXam4taHJM6qn1cSzAiG9-S71urbzEJIeUuLYGOmJjbl9fmfzRR8wFyJkixSoho2v7wK5nPLYWxNL34B1zoa44POKVGsTBh0QQFQAjY/s1600/wanita+zaman+kolonial.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-XeNoKnhMxgvFv53ztEm_pubojNgrAQa5AT6EoXam4taHJM6qn1cSzAiG9-S71urbzEJIeUuLYGOmJjbl9fmfzRR8wFyJkixSoho2v7wK5nPLYWxNL34B1zoa44POKVGsTBh0QQFQAjY/s1600/wanita+zaman+kolonial.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambaran Perempuan Pada Masa Penjajahan Belanda</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: 0in; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PENGANTAR<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Can
the subaltern speak?” merupakan pertanyaan mendasar yang diajukan Gayatry
Spivak ketika ia mengecam kebutaan kelas dan rasial yang terjadi di dunia
akademi Barat pada tahun 1985. Spivak memaksudkan subaltern dalam pengertian
Antonio Gramsci, yakni sebagai subyek yang tertindas, tertekan dan inferior.
(Ania Lomba, 2005: 192-193) Dalam konteks kajian poskolonial, subaltern
dipakainya untuk menyebut kelompok bangsa terjajah atau subyek terjajah. Dengan
demikian, pertanyaannya menjadi “Dapatkah subyek terjajah berbicara?”
Pertanyaan ini kemudian ia elaborasikan juga tentang bagaimana subyek terjajah
berbicara dan soal representasi subyek terjajah itu dalam berbicara melalui
kaum intelektualnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, Spivak mengangkat tradisi Sati di India sebagai
ilustrasinya. Sati merupakan ritual pengorbanan diri sendiri seorang janda di
atas api pembakaran mayat suaminya, sebagai tanda cinta dan kesetiaan. Tindakan
ini dalam tradisi India dianggap sebagai tindakan yang suci, heroik dan mulia
bagi setiap perempuan. Dan tradisi ini sekian lama dilaksanakan dan diterima
begitu saja oleh orang India, sampai pada masa penjajahan Inggris. Dalam
konteks India, menurut kaca mata Spivak, jelas para perempuan India merupakan
subaltern yang tidak dapat berbicara dan terbungkam. Penjajah Inggris berusaha
untuk meniadakan praktek itu dan hal itu menimbulkan perdebatan. (Ania Lomba,
2005: 194-195) Hal ini kemudian menjadi legitimasi oleh orang Inggris untuk
melakukan kolonialisasi terhadap India, dengan alasan untuk menyelamatkan
“perempuan coklat” dari kebiadaban pria-pria coklat pribumi India.</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> </span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Bertolak
dari hipotesa ini, saya mencoba untuk menempatkan diskusi Spivak dengan
pertanyaannya “Can the subaltern speak?” di dalam konteks penjajahan Belanda di
wilayah Nusantara. Saya hendak menguji apakah tesis Spivak bahwa “Subaltern can
not speak” juga relevan dalam konteks penjajahan di Hindia Belanda? Hal ini
menjadi penting menurut saya, karena kajian poskolonial tidak boleh
menggeneralisasi dan menyamakan begitu saja kondisi poskolonial subyek-subyek
terjajah. (Ania Loomba, 2005: p. 17) Sebagaimana Spivak coba mengangkat
ilustrasi dari realitas marginalisasi perempuan India, saya juga coba
meneropong marginalitas perempuan pribumi Nusantara pada masa Hindia-Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ketika
saya menelusuri cerita tentang penjajahan Belanda di Nusantara, saya menemukan
satu istilah yang biasa dipakai oleh para tentara Belanda untuk menyebut
perempuan pribumi yang menjadi gundiknya, yakni <i>Moentji</i> (<i>munci</i>). Regie
Baay menulis bahwa <i>moentji</i> merupakan
plesetan dari kosa kata bahasa Belanda, yakni <i>Mondje</i> (berarti mulut kecil). Istilah tersebut merujuk pada
kenyataan para perempuan gundik dalam barak-barak tentara Belanda adalah
perempuan penurut, tidak banyak bicara atau protes dengan keadaan dan status
mereka. Mereka juga tidak memberontak ketika mendapat perlakuan kasar oleh para
serdadu dan pegawai Belanda. (2010: p. 58.)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Menurut
saya, pengertian istilah <i>moentji</i> itu
tidak terbatas pada arti harafiahnya, yakni mulut kecil. <i>Moentji</i> atau mulut kecil sekaligus merupakan metafora dari kondisi
marginalitas perempuan pribumi di Hindia Belanda oleh penjajah Belanda dan juga
oleh kaum lelaki pribumi dalam sistem budaya patriarkat. Sebutan <i>Moentji</i> menunjukkan dengan jelas bahwa
kaum perempuan gundik itu dan juga perempuan pribumi umumnya tidak dapat
berbicara. Dalam pemahaman seperti ini, realitas marginalisasi perempuan
pribumi di Hindia Belanda tidak hanya terbatas pada persoalan pergundikan,
tetapi juga berkaitan dengan perbudakan dan pelacuran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Untuk
mengkaji tesis tentang perempuan Indonesia masa Hindia Belanda ‘bermulut’
kecil, saya mengemukakan tiga pokok permasalahan dengan tiga pertanyaan
mendasar, yakni: Bagaimana kondisi dan posisi perempuan pribumi di masa
penjajahan Belanda? Can Indoneisa women speak? dan Can Indonesian women be
heard? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya akan ditempatkan dalam
konteks masa penjajahan Belanda di Nusantara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Fakta Sejarah Marginalisasi Perempuan
Pribumi di Hindia Belanda<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 28.35pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Praktek
perbudakan, pergundikan, dan pelacuran memang sudah ada dalam sejarah
kerajaan-kerajaan di Nusantara, Kerajaan Mataram di Jawa tengah misalnya. Namun praktek tersebut hanya terjadi dalam
skala kecil dan berlaku untuk sebagian kecil orang, yakni para bangsawan. (Hull,
1997: p. 1, p. 13) Pada masa Hindia Belanda tiga realitas tersebut di atas
menjadi terorganisir dan terlembagakan. (Baay, 2010: p. 104) Terjadi ekploitasi
besar-besaran terhadap perempuan pribumi menjadi budak rumah tangga dan
perkebunan, gundik (<i>nyai</i>) dan juga
pelacur bagi para tentara, pekerja dan pegawai Hindia Belanda.</span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level2 lfo1; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perbudakan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
masa Hindia Belanda, orang Belanda yang datang ke Nusantara pada umumnya
laki-laki, baik yang sudah kawin di negeri asalnya dan paling banyak adalah
bujangan, baik sebagai pegawai maupun sebagai tentara. Hal ini kemudian
menimbulkan persoalan seputar seksualitas orang-orang ini. Banyak terjadi kasus
sodomi di barak-barak tentara dan pegawai. Gejala lainnya adalah ada tentara
dan pegawai lainnya yang mengambil
wanita pribumi untuk menjadi obyek dan partner seksualnya. Untuk mengatasi hal
itu, VOC membuat kebijakan untuk mendatangkan perempuan-perempuan dari negeri
Belanda ke Nusantara untuk menjadi obyek seksual para tentara dan pegawainya.
Jan Pieterzoen Coen (Gubernur Jendral VOC tahun 1618-1623 dan tahun 1627-1629)
merupakan salah satu yang menentang hubungan di luar perkawinan dan mendukung
kaum perempuan pendatang dari Negeri Belanda ke Nusantara. (Baay, 2010: p. 55)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Namun
pada tahun 1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi
perempuan-perempuan Belanda yang hendak ke daerah jajahan di Nusantara karena
akan membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, VOC membuat kebijakan bahwa
lelaki Belanda diijinkan beristri penduduk Asia. Bahkan untuk mendukung hal
tersebut VOC membeli budak perempuan untuk dijadikan istri para bujangannya.
(Hull, 1997: p. 4) Sejak itu perbudakan perempuan mulai dipraktekkan sebagai
solusi untuk mengurus rumah tangga para pria Eropa, baik yang bujangan maupun
yang berkeluarga, sekaligus menjadi solusi pelampiasan hasrat seksual mereka. Praktek
perbudakan ini terus terjadi juga pada masa penjajahan Hindia Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Para
budak perempuan ini biasanya berasal dari keluarga rakyat jelata yang miskin.
Mereka menjadi budak karena diserahkan oleh keluarganya atau juga kerena dibeli
di pasar-pasar budak. Tugas para budak ini adalah mengurusi rumah tangga lelaki
kolonial. Di samping itu, para budak perempuan ini juga sekaligus menjadi
pelayan birahi seksual tentara dan pegawai Belanda. Tidak jarang mereka juga
menjadi ibu bagi anak-anaknya. (Baay, 2010: p. 1; Gouda, 2007: p. 198)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dengan
statusnya sebagai budak, para perempuan ini kerap diperlakukan sewenang-wenang
oleh majikan Eropanya. Lelaki Eropa dapat melakukan apa saja atas diri mereka,
sebagaimana memperlakukan harta bendanya yang lain. Para budak ini tergantung
sepenuhnya kepada para majikannya, tanpa ada negosiasi apapun, termasuk tentang
upah. Mereka pun tidak punya hak suara untuk mengajukan keluhan dan tuntutan
kepada para majikannya. (Helwig, 2007:
p. 36) Banyak dilukiskan bahwa seorang lelaki Eropa dapat memiliki satu
atau lebih pembantu di rumahnya, sekaligus menjadi pelayan seksnya. Ada unsur
keterpaksaan karena upahnya tergantung pada majikannya selain itu sudah pasti
ada hubungan kekuasaan antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi dan relasi
antara majikan dan pekerja. (Baay, 2010: p. 51)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kondisi
lebih memprihatinkan terjadi pada perempuan di dalam barak-barak tentara
Belanda. Gouda mengutip Kousbroek dalam “<i>de
mems in de koloniale semenlevig</i>” sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 28.35pt; margin-right: 30.8pt; margin-top: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">‘ratusan
prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur,
yang bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan yang lainnya. Tanpa
mengindahkan kesopanan mereka bercinta, di hadapan para penghuni lainnya, tidak
ubahnya seperti sapi jantan, kuda jantan, anjing, kucing jantan,….dan berbagai
macam binatang dan makhluk lainnya.”(Gouda, 2007: p. 198)<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain
sebagai pembantu rumah tangga, banyak perempuan dari berbagai wilayah Nusantara
dideportasi ke berbagai area perkebunan tembakau, kopi, tebu, teh di Sumatera
dan Jawa. Mereka dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah. Bahkan upah itu
sengaja diberikan serendah mungkin supaya tidak mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Dengan demikian supaya berkecukupan, para perempuan ini mesti kerja
rangkap sebagai pelacur di area perkebunan itu bagi banyak pekerja pria, baik
Eropa maupun pribumi. Pekebun Eropa juga boleh memilih di antara wanita pekerja
itu (biasanya orang Jawa) untuk menjadi pembantu rumah tangganya dan menjadi partner
seksnya. (Gouda, 2007: p. 197; Baay, 2010: p. 140-142)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kondisi
ketidakadilan gender dalam hal upah kerja bahkan terus terjadi hingga masa
menjelang kemerdekaan. Pada tahun 1930, u</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">pah buruh yang diterima oleh buruh laki-laki dan perempuan
di perkebunan masih menunjukkan perbedaan. Jumlah gaji yang telah ditetapkan
bagi kuli-kuli kontrak di Sumatera Timur paling rendah 42 sen bagi buruh
laki-laki dan 30 sen bagi buruh perempuan. Pada tahun 1930 perkebunan tembakau
di Jawa sudah membayar 57.5 sen kepada buruh laki-laki dan 44 sen bagi buruh
perempuan, dan pabrik-pabrik gula membayar 46 sen kepada laki-laki dan 37 sen
kepada perempuan. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">(</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Furnivall, 1983: 478) Selain dari itu Anthony Reid juga
menulis bahwa pada tahun 1935-1937 upah terendah di Sumatera Timur bagi buruh
laki-laki diberikan 30 sen sehari dan bagi buruh perempuan diberikan 24 sen
sehari. Sementara upah terendah yang diterima oleh pekerja pabrik di Sumatera
Timur masa itu 53.5 sen, sedangkan buruh yang tidak mempu<i>nyai</i> kepakaran menerima upah 80 sen. </span><a href="http://royandihts.wordpress.com/TUGAS/Historisme/Dewi.doc#_ftn9"><span style="color: blue; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; text-decoration: none; text-underline: none;">(</span><span style="color: windowtext; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; text-decoration: none; text-underline: none;">Reid, 1987: p. 82</span><span style="color: blue; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; text-decoration: none; text-underline: none;">)</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
awal abad ke-19 ada petisi Penghapusan Perbudakan Internasional. Pemerintah
Hindia Belanda menindaklanjuti dengan peraturan pemerintah pada 1818 yang
melarang perdagangan budak di Hindia Belanda. Dengan itu sebenarnya perdagangan
budak rumah tangga di Hindia Belanda sudah semestinya berhenti. Namun
perbudakan di Hindia Belanda baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1860.
(Baay, 2010: p. 21) Dengan itu, banyak pria Belanda beralih ke praktek
pergundikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level2 lfo1; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pergundikan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Banyak istilah untuk menamakan seorang
gundik, yang paling umum adalah <i>nyai</i>.
Kata <i>nyai</i> didapati dalam bahasa Bali,
bahasa Sunda dan bahasa Jawa dengan pengertian ‘perempuan (muda), adik
perempuan’, dan juga dipakai sebagai istilah panggilan. (Hellwig 2007. P. 36)
Para gundik juga biasa dipanggil <i>moentji/munci</i>,
yang merupakan plesetan dari kata <i>mondje</i>,
yang berarti mulut kecil. Selain itu gundik sering dipanggil dengan istilah <i>Snaar/Snoer (senar/dawai).</i> Sapaan Snaar,
di Belanda, biasa dipakai untuk para pelacur, wanita panggilan dan penjaja seks
komersial. Para gundik juga disebut <i>meubel
(perabot)</i> atau <i>inventarisstuk (barang
investasi).</i> Dengan dua istilah itu, para gundik diidentikkan dengan
barang-barang, harta benda orang Belanda. Perlakuan terhadap mereka juga sama
dengan perlakuak terhadap barang-barang. Para gundik dapat dijual, dilelang seperti
barang lainnya ketika para serdadu pergi ke Belanda, atau ketika sudah tidak
dikehendaki. Berkaitan dengan peran para gundik yang biasa membantu
menerjemahkan dalam komunikasi tuan Belandanya, mereka sering disebut dan
disamakan dengan <i>boek (buku) atau
woordenboek (kamus).</i> (Baay, 2010: p.58-59)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Moentji</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
berperan sebagai pembantu, teman tidur, istri dan semua peran yang ada. Soal
status, seorang <i>moentji</i> hanyalah
primus interpares di antara para budak dan pembantu perempuan itu. (Baay, 2010:
p. 100) Sebagai primus interpares, <i>moentji</i>
bertanggung jawab mengatur seluruh urusan rumah tangga tuan Eropanya. Ia
menjadi pemimpin para pembantu rumah tangga. Ketika tuan Eropa meninggalkan
rumah, <i>moentji</i> bertanggung jawab
sepenuhnya atas rumah dan semua pembantu tuannya. Ia berhak mengaturnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Latarbelakang perempuan pribumi
Indonesia yang menjadi gundik laki-laki Eropa umumnya diketahui berasal dari
keluarga-keluarga petani miskin di Jawa. (Baay, 2010: p. 51) Saat itu ada gerak
urbanisasi yang intens dengan motifnya untuk memperbaiki taraf hidup di kota.
Menjadi <i>nyai</i> atau gundik merupakan
pilihan untuk memperbaiki taraf hidup. Ada juga yang diambil alih dari rekan
pribumi, ada perempuan yang menawarkan diri, atas permintaan para serdadu, atau
ditawarkan sebagai <i>nyai</i> oleh keluarga
perempuan. (Baay, 2010: p. 100) Hal ini sangat erat berkaitan budaya patriarkhi
di Nusantara yang memungkinkan para perempuan dialihkan, diserahkan bahkan
dijual oleh kaum lelaki.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada masa Hindia Belanda para bujangan
diberikan gundik-gundik pribumi. Para gundik ini hanya dipakai sebagai ‘manusia
percobaan’ bagi para bujangan yang akan menikahi seorang perempuan Eropa.
Bersama para gundik ini mereka bereksplorasi tentang kehidupan seksual dan
memperoleh pemahaman tentang hidup berkeluarga. Dengan demikian, hidup bersama
perempuan pribumi dianggap dan dimanfaatkan sebagai jembatan menuju hubungan
ideal dengan calon istri dari Eropa. (Baay, 2010: p. 55) Seorang <i>nyai</i> boleh dikatakan tidak punya hak
apa-apa, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak punya hak atas posisinya
sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan oleh majikannya tanpa bantuan dalam
bentuk apapun. Di kalangan ketentaraan, <i>nyai</i>
kadang diserahkan begitu saja dari seorang tentara kepada lainnya. (Hellwig,
2007: p. 37; Gouda, 2007: p. 205).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Status <i>nyai</i>/gundik bagi seorang pria Eropa dan juga dalam masyarakat
pribumi di Hindia Belanda hampir sama dengan pelacur. (Baay, 2010: p. 52) Dalam
lingkungan Belanda, hal itu sangat tergambar dengan sebutan <i>snaar/snoer</i> yang di Belanda dipakai untuk
para pelacur. Bagi kaum pribumi, menjadi <i>nyai</i>
juga sama dengan menjadi pelacur, karena kehidupan bersama dengan lelaki
Belanda adalah tidak sah. Lebih dari itu, bagi kaum pribumi, mereka dianggap
mengkhianati saudaranya sendiri karena mereka menunjang kebutuhan kolonial.
Mereka juga diaggap mengkianati agama dengan hidup bersama orang kafir, seorang
Kristen. Islam adalah agama kebanyakan pribumi sebelum kedatangan Belanda.
Hidup bersama dengan lelaki Belanda, yang <i>de
facto</i> Kristen tanpa ikatan yang sah menurut agama Islam adalah tindakan
yang haram. Dan mereka dikucilkan dari masyarakatnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level2 lfo1; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">2.3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pelacuran<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain perbudakan dan pergundikan,
pelacuran dalam lingkungan tentara kolonial Belanda, merupakan bagian dari
realitas yang tidak dapat terpisahkan. (Hellwig, 2007: p. 42) Di mana ada
barak-barak tentara atau pegawai Hindia Belanda pasti di situ terdapat
rumah-rumah bordil atau barak penyedia pelacur. (Baay, 2010: p. 104) Menurut
Terrence Hull, pelacuran menjadi melembaga dan juga menjadi komoditas ketika penjajah
Belanda datang ke Nusantara. Seks menjadi sebuah industri yang dibutuhkan dan
menjadi lebih terorganisir. (Hull, 1997) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selama pembangunan jalan-jalan kereta
api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur,
Bandung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya tahun 1884, dunia pelacuran telah
menjadi bagian penting penyedia jasa layanan seksual bagi para pekerja jalan
kereta api. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika tempat pelacuran di
beberapa kota tersebut terletak dekat stasiun kereta api. (Syam, 2010: p.
83-84) Beberapa tempat pelacuran yang dekat dengan stasiun kereta api dan punya
keterkaitan sejarah dengan Hindia Belanda, misalnya: di Yogyakarta (Sarkem,
Mbalokan, dan Sosrowijan), di Surabaya ada pelacuran di seputar Stasiun Semut.
(Hull, 1997: p. 7)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain berkaitan dengan proyek
pembangunan jalan kereta api, pelacuran zaman Hindia Belanda juga banyak
terdapat di kota-kota pelabuhan dan dekat dengan pelabuhan. Setiap daerah
pelabuhan besar zaman Hindia Belanda, seperti Batavia (Tanjung Priok), Surabaya
(Tanjung Perak), dan beberapa lainnya selalu ada tempat pelacuran, untuk
melayani para pekerja di kapal-kapal milik orang Cina ataupun Belanda. (Hull,
1997: p. 8)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kebanyakan pelacur itu adalah perempuan
Jawa. Ada juga perempuan yang didatangkan dari luar Jawa, seperti dari
Minahasa, Ambon, Bali dan Makasar. Selain itu, ada juga perempuan yang didatangkan
dari Jepang untuk dijadikan gundik dan juga dipekerjakan di rumah-rumah bordil
milik Hindia Belanda. (Baay, 2010: p.
52). Pelacur dari Jepang atau dari Cina itu biasanya diperuntukkan bagi para
pegawai tinggi dalam pemerintahan Belanda. Sehingga sebenarnya, ada sistem
kelas dalam pelacuran di Hindia Belanda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Beberapa
tempat pelacuran yang kini masih ada di kota-kota tersebut di atas menempati
area-area dan situs-situs pelacuran Hindia Belanda. Bahkan beberapa lokalisasi
pelacuran bersejarah kolonial hingga kini menjadi begitu terkenal. Beberapa di
antaranya, yakni kompleks pelacuran Dolly, Jarak, Bangun Rejo, Bangun Sari,
Kremil, dan lainnya menjadikan Surabaya pernah tercatat sebagai kota dengan
lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara. (Purnomo, 1985: p. 23; Syam,
2010: p. 71 dan p. 102) Dan lebih mengagetkan kini lokalisasi itu sudah menjadi
salah satu tujuan wisata, domestik maupun luar negeri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Praktek
pergundikan, pelacuran dan perbudakan ini sebenarnya juga mendapat protes keras
di Hindia Belanda dan juga di Belanda. Di Belanda, protes-protes tersebut
dilancarkan oleh politikus-politikus Katolik, misalnya B.R. van Vlijmen. Dengan
publikasi protes-protesnya orang-orang Belanda mulai banyak membicarakan
tentang tiga hal tersebut di Hindia Belanda. (Baay, 2010: p. 120-121) Inggris
juga pernah coba menghentikan praktek perbudakan dan pergundikan. Namun karena
pergundikan telah menjadi tradisi sepenuhnya di Hindia Belanda pada awal abad
ke-19, maka sekeras apapun usaha orang-orang Inggris untuk menghentikannya dari
kehidupan masyarakat Hindia Belanda, hal itu tidak berhasil. (Baay, 2010: p.19)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kajian Poskolonial Kondisi Perempuan
Pribumi Masa Penjajahan Belanda<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 28.35pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Berdasarkan
tiga persoalan tersebut di atas, yakni perbudakan, pergundikan dan pelacuran,
jelas kelihatan bahwa perempuan pribumi sungguh telah diposisikan terlebih
dahulu berdasarkan gendernya. <i>Posisionalitas</i>
seperti ini telah berlaku umum dan diterima sebagai sesuatu yang mutlak benar.
(bdk. Katrin Bandel, 2013) Posisionalitas perempuan pribumi itu telah dilakukan
pertama oleh para lelaki pribumi sendiri di dalam sturktur budaya patriarkhi.
Perempuan telah lama diposisikan sebagai milik kepunyaan pria, lebih rendah
dari pria dan berada di bawah kekuasaan pria. Ketika berada di dalam keluarga
ia menjadi milik dan dalam penguasaan ayah atau saudara laki-lakinya; setelah
berkeluarga ia menjadi milik kepunyaan dan dalam penguasaan suaminya. Pada masa
kolonial Belanda pemosisian perempuan pribumi berdasarkan gendernya itu semakin
menegaskan perlakuan yang telah ada dalam budaya patriarkhi di Nusantara
umumnya. Lebih dari itu, kolonial Belanda semakin memarginalkan posisi
perempuan pribumi, ketika pada masa itu terjadi eksploitasi perempuan pribumi
menjadi budak rumah tangga, budak perkebunan, gundik dan juga pelacur bagi para
pria Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;"> Dalam praktek perbudakan, pergundikan dan
pelacuran pada masa Hindia Belanda nampak dengan sangat kasat mata bahwa <i>perempuan pribumi direduksi hanya sebagai
tubuh dan obyek seksual</i> para lelaki Belanda. Para perempuan pembantu rumah
tangga juga mesti merangkap juga tugas untuk menjadi partner seks tuan
Belandanya. Ketika itu tuan Belanda bisa memiliki lebih dari satu pembantu
rumah tangga, dia juga memiliki lebih dari satu alternatif untuk melampiaskan
nafsu seksualnya. Para pekerja perempuan dimobilisasi ke berbagai perkebunan
milik Belanda, dan diberikan upah yang serendah mungkin agar tidak memenuhi
kebutuhan dasarnya. Situasi itu dikondisikan agar para pekerja perempuan ini
mesti melacurkan diri demi memperoleh pendapatan tambahan untuk mencukupi
kehidupannya. Demikian halnya terjadi dengan praktek pergundikan, motif
dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan seksual para lelaki Belanda, baik pekerja,
tentara dan pegawainya. Hal yang sama tentu terjadi di dalam praktek pelacuran,
yang sengaja disediakan untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat seksual para lelaki
Belanda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam konteks pelacuran khususnya
terdapat tiga isu utama (Truong, 1992: p.31) yang nampak dalam kata dan
tindakan para lelaki Belanda. Pertama, hubungan sosial dan biologis yang
kompleks antara pria Belanda dan wanita pribumi direduksi hanya menjadi sekedar
untuk pemenuhan gairah seksual pria Belanda. Kedua, para perempuan pribumi
hanya dipahami sebagai tubuh, tidak lebh dari itu. Perempuan pribumi dianggap
ada karena mereka mempu<i>nyai</i> tubuh
yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek seksual. Dengan kata lain, satu-satunya
yang bernilai dari perempuan adalah tubuhnya. Ketiga, dalam banyak keterangan
dilukiskan perempuan pribumi sebagai penggoda, liar dan penuh nafsu birahi
terhadap lelaki Belanda. Dalam hal itu perempuan pribumi dianggap melakukan
eksploitasi terhadap pria Belanda, bukan sebaliknya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain pereduksian perempuan pribumi
hanya sebagai obyek seksual, mereka juga memperoleh penindasan rasial. Perempuan
pribumi menderita <i>penindasan rasial dan
gender sekaligus</i>. Penderitaan kaum perempuan pribumi ditambahkan lagi
dengan dominasi lelaki (suami). Mereka dikucilkan dari dalam dunia publik dan
dipenjara di rumah. Sehingga, dalam relasi kekuasaan perempuan pribumi
mengalami double penindasan gender oleh dua subyek yang berbeda, yakni oleh
pria pribumi dan oleh pria Belanda. Dan mereka mengalami penindasan rasial dari
pria Belanda. Hal inilah yang oleh Regie Baay (2007: p.51) disebut sebagai <i>Double
marginalisasi</i>. Leela
Gandhi menyebutnya sebagai <i>‘double
colonisation’</i> seperti yang dialami oleh perempuan-perempuan di dunia
ke-tiga umumnya, bahwa perempuan pribumi sekaligus menjadi korban ideologi
imperialisme dan ideologi patriarkhi Belanda. (Leela Gandhi, 1998: p. 83) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Bertolak dari
realitas tersebut di atas, dalam benak saya muncul pertanyaan yang senada
dengan Spivak, atau saya mengelaborasikan pertanyaan Spivak “Can the subaltern
speak?” dalam konteks penjajahan Belanda di Nusantara. “Can Indonesian women
speak?” “Dapatkah perempuan Indonesia berbicara?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Saya
menempatkan pertanyaan ini dalam konteks <i>double
marginalisasi</i> dan <i>double
kolonialisasi</i>. Dalam konteks budaya patriarkhi di Nusantara tidak ada ruang
dan tempat bagi kaum perempuan untuk bernegosiasi dan bersuara, hingga akhir masa
Hindia Belanda. Seluruh aspek kehidupan perempuan pribumi ditentukan oleh
laki-laki pribumi (oleh ayah atau saudara laki-lakinya). Urusan perempuan hanya
seputar ‘dapur, sumur dan kasur’, tidak ada tempat di ruang publik bagi suara
mereka. Dalam konteks kolonialisme Belanda, kaum perempuan semakin dibungkam,
terjadi kekerasan gender dan rasial. Belanda mengkonstruksikan perempuan
pribumi sebagai pelacur, gundik dan budak. Dan setiap perempuan pribumi saat
itu secara potensial dapat dijadikan pelacur, budak dan gundik. Dalam posisi
seperti itu tentunya sangat jelas ketidakberdayaan perempuan pribumi. Jadi,
perempuan pribumi yang tidak sempat mendapatkan dampak perlakuan oleh kolonial
Belanda tetap saja mengalami marjinalisasi oleh lelaki pribumi dalam budaya
patriarkhi yang sudah ada. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Spivak,
berdasarkan analisisnya terhadap kondisi subaltern India, menyimpulkan bahwa <i>‘the subaltern can not speak’</i>.
Berdasarkan uraian di atas, meminjam esai Spivak, saya sampai pada suatu kesimpulan
bahwa ‘<i>Indonesia Women Can not speak’</i>.
Hal ini terjadi selama masa Hindia Belanda hingga awal abad ke-20. Kaum
perempuan pribumi pertama dibungkam oleh budaya patriarkhi sendiri.
Selanjutnya, mereka dibungkam oleh ideologi patriarkhi Belanda dan oleh
kekuasaan kolonial Belanda. Kondisi ini sungguh membuat perempuan pribumi
Nusantara tidak punya suara dan tidak dapat berbicara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Persoalan
selanjutnya yang diungkapkan Spivak ketika <i>‘the
subaltern can not speak’</i> adalah representasi. Di sini, Spivak menegaskan
posisi kaum intelektual pribumi yang semestinya menjadi representasi suara
subaltern terjajah. Sejak awal tahun 1900-an mulailah ada upaya untuk mendidik
gadis-gadis Bali dan Jawa dengan maksud meningkatkan kedudukan perempuan
pribumi. Hal inilah yang menjadi dasar
dan inspirasi pendirian lembaga-lembaga pendidikan swasta yang dirancang khusus
untuk para gadis. Namun, pendidikan itu hanya mempersiapkan mereka untuk
menghadapi tugas sebagai ibu rumah tangga dan takdir sebagai seorang ibu di
masa depan. Tidak lebih dari itu. (Baay, 2007: p. 137, p. 180) Pendidikan itu
hanya diperuntukkan bagi para perempuan anak priyai Jawa dan Bali, tidak begitu
saja terbuka untuk semua gadis, termasuk yang miskin di pedesaan. Sistem
pendidikannya juga bersifat feodalistik dan bertujuan melanggengkan feodalisme
di Jawa dan Bali. (Baay, 2007: p. 138-139) Meneropong hal tersebut, meminjam
term yang dipakai Katrin Bandel (2013) ‘the subaltern should not speak”, pada
masa Hindia Belanda, <i>Indonesia women
should not speak</i>. Perempuan Indonesia tetap saja dikonstruksikan untuk <i>tidak boleh berbicara dan sudah seharusnya
tidak boleh berbicara</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Kartini
(1879-1904) memulai gerakan emansipasi perempuan pribumi pada masa menjelang
akhir kolonialisme Belanda. (</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kartodirdjo</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">. 1975: p. 243-245; </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Baay, 2007: p. 150) Ia coba menarik simpati kaum
perempuan feminis Belanda dalam pergerakannya. Dalam catatan sejarah, Kartini
sering ditampilkan sebagai representasi suara-suara kaum perempuan pribumi di
Hindia Belanda. Kartini mulai keluar dari kungkungan budaya patriarkhi dengan
mengenyam pendidikan yang sampai pada masanya hanya diperuntukkan kepada
laki-laki, mengingat bias jender hingga saat itu bahwa perempuan tidak layak
untuk dunia akademis. Sesudah mengenyam pendidikan itu, dan dapat menggunakan
bahasa Belanda secara fasih, Kartini mulai berkomunikasi via surat-suratnya
dengan motor-motor gerakan feminisme di Belanda, Stella Zeehandelaar (Baay,
2007: 148), Rosa Manuella Abendanon-Mandri (Baay, 2007: p. 152). Dengan itu
Kartini coba menjadi representasi perempuan pribumi yang terbungkam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">J. Maggio
merumuskan secara baru pertanyaan Spivak <i>“Can
the subaltern speak?”</i> menjadi <i>“Can
the subaltern be heard?”</i> Menurut J. Maggio setiap tindakan mempu<i>nyai</i> peran komunikatif, tidak terbatas
pada tindakan berbicara atau mengungkapkan pendapat. Ia mengkritik juga Spivak
yang melihat representasi subaltern itu hanya dapat dilakukan oleh subaltern
lainnya. Menurutnya, yang terpenting adalah ada yang merepresentasikan
subaltern. Dalam hal ini, Maggio sependapat dengan Edward Said (2010) yang
tidak setuju dengan pernyataan bahwa hanya subaltern yang dapat menulis tentang
subaltern atau merepresentasikan subaltern. Maka, lebih tepat menurutnya bahwa
pertanyaan Spivak itu diubah menjadi <i>“Can
the subaltern be heard?”</i> Inti persoalan menurutnya adalah bahwa subaltern
tidak didengarkan, tidak dipedulikan atau diabaikan. (Maggio, 2007) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Gerakan
melawan perbudakan, pergundikan dan pelacuran telah dilakukan juga di Belanda
oleh para politisi Katolik. Namun, mengingat orang Katolik di Belanda hanya
merupakan komponen yang minoritas di Belanda, maka suara mereka juga tidak
membawa dampak yang berarti bagi perbaikan dan penghapusan perbudakan,
pelacuran dan pergundikan di Hindia Belanda. Para politisi Katolik di Belanda sebenarnya,
suka atau tidak suka, telah coba menjadi representasi suara perempuan pribumi
yang terbungkam dan tertindas, serta tidak dapat bersuara. Tetapi, suara mereka
tidak mempengaruhi apapun kebijakan pemerintah Belanda dalam tiga hal itu. Berkaitan
dengan hal ini, dalam persepektif Maggio, saya menyimpulkan bahwa <i>subaltern, perempuan pribumi, can not be
heard and would not be heard.</i> Membaca perempuan pribumi di Hindia Belanda,
representasi baru mulai dilakukan oleh Kartini dan mendapat sedikit dukungan dari
kaum feminis di Belanda. Ketika representasi suara perempuan pribumi tidak
membawa perubahan apa-apa pada perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada
para perempuan pribumi, maka, menurut analisis saya, <i>Indonesian Women should not be heard</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Hal-hal tersebut
di atas, bahwa perempuan Indonesia tidak dapat berbicara, tidak boleh
berbicara, tidak didengarkan, dan seharusnya tidak didengarkan, paling tidak
terjadi hingga awal abad ke-20. Hingga saat itu, perempuan pribumi Indonesia
sungguh ‘bermulut kecil”. Semantara praktek pergundikan, pelacuran dan
perbudakan terus saja terjadi hingga masa akhir penjajahan Belanda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Pada awal
tahun 1900 upaya representasi suara subaltern perempuan pribumi mengalami
kemajuan. Hal ini sebenarnya merupakan buah dari program pendidikan dari Politik
Etis, yang mulai juga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menimba
pengetahuan. Beberapa tokoh intelektual perempuan mulai mengadakan pergerakan
bersama memperjuangkan emansipasi perempuan pribumi. Pada tahun 1912 muncul pertama
kali organisasi perempuan, yang kemudian disusul oleh berbagai organisasi
perempuan lainnya. P</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">ada
tahun 1916 muncul perkumpulan <i>Putri
Mardika</i>. Selain itu muncul juga berbagai perkumpulan perempuan Indonesia di
samping berbagai perkumpulan umum pemuda, seperti: <i>Wanito Tomo</i> dari <i>Budi Oetomo</i>,
<i>Poetri Indonesia</i> dari <i>Poetra Indonesia</i>, <i>Wanita Taman Siswa</i> dari <i>Taman
Siswa</i>. Selanjutnya muncul juga perkumpulan-perkumpulan seperti; <i>Aisjiah, Wanita Katolik, Ina Tuni dari
Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi
Sedjati</i>, dan lainya. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">(</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kartodirdjo</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">. 1975: p. 245-250; Tita Marlita dan
E.K. Poerwandari, 1998: p. 63)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Perkumpulan-perkumpulan
perempuan ini berhasil mengadakan Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25
Desember 1928 yang diselenggarakan di Mataram (Yogyakarta sekarang). Beberapa
tokoh perempuan yang memelopori kongres tersebut, yakni: Nona Soejatin dari
Poetri Indonesia, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua
Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua. Kongres pertama
itu menghasilkan beberapa keputusan yang sungguh merepresentasikan suara
perempuan pribumi Indonesia. Beberapa keputusan itu, sebagai berikut: </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">Mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial Belanda
untuk menambah sekolah bagi anak perempuan, Pemerintah wajib memberikan surat
keterangan pada waktu nikah (undang-undang perkawinan); dan segeranya mengadkan
peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri
Indonesia, Mendirikan satu wadah musyawarah perempuan yakni Perikatan
Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">PPPI ini
kemudian mengadakan beberapa kongres menjelang kemerdekaan dan masa akhir
kolonialisme Belanda. Tanggal 28-31 Desember 1929 PPPI mengadakan kongres di
Gedung Thamrin, Gang Kenari, Jakarta, yang diketuai oleh Ny. Mustadjab. Salah
satu keputusan penting dalam kongres tersebut adalah mosi kepada pemerintah
kolonial untuk menghapuskan pergundikan. Pada 13-18 Desember 1930 Perikatan
Perkumpulan Istri Indonesia mengadakan kongres di Surabaya yang diketuai oleh
Ny. Siti Soedari Soedirman. Salah satu keputusan pentingnya: mendirikan Badan
Pemberantas Perdagangan Perempuan dan Anak-Anak (BPPPA), yang bertugas untuk
mengangkat isu-isu buruh perempuan dan sistem penebusan hutang dengan anak
gadis. Lalu perkumpulan-perkumpulan perempuan itu melebur menjadi satu di dalam
Perempuan Indonesia yang kemudian melaksanakan beberapa kongres, yakni pada
Juli 1935, Juli 1938, Juli 1941. Kongres Perempuan Indonesia ini juga
mengangkat berbagai isu dan persoalan perempuan di masa itu, termasuk
pergundikan, perbudakan/perburuhan dan pelacuran. (</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kartodirdjo</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">. 1975: p. 245-250</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;">)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;"> Dengan kemunculan
berbagai perkumpulan perempuan, isu-isu dan kepentingan untuk memajukan
kesetaraan derajat perempuan dan laki-laki mulai disuarakan. Dalam hal ini,
perempuan Indonesia sebagai subaltern sudah mulai berbicara, bersuara.
Organisasi-organisasi perempuan ini bagi saya adalah representasi kaum
perempuan pribumi. Namun, suara kaum perempuan Indonesia ini tidak membawa
dampak yang besar terhadap perubahan praktek-praktek marginalisasi terhadap
perempuan hingga hengkangnya kolonial Belanda. Persoalan yang tersisa menurut
saya, sebagaimana diungkapkan oleh J. Maggio, adalah bahwa <i>“the subaltern did not be heard”.</i> Perempuan pribumi sebagai
subaltern tidak didengarkan, tidak dihiraukan suaranya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-weight: bold;"> Ketika Belanda
ditaklukkan oleh Jepang, banyak orang Belanda di Hindia Belanda ditawan dan
selanjutnya pulang ke negeri Belanda. Dalam banyak kisah, para perempuan
pribumi yang menjadi gundiknya hingga saat itu, ditinggalkan begitu saja di
Indonesia, sementara anak-anaknya dibawa serta ke negeri Belanda. Hanya
sebagian kecil saja <i>nyai</i>-<i>nyai</i> yang kemudian dibawa serta dan
tetap menjadi istri para lelaki Belanda di negeri Belanda. Jelas dalam hal ini,
perempuan pribumi hingga pada titik akhir kolonialisme Belanda secara praktis
dan ideologis menjadi subaltern yang tidak banyak berbicara dan tidak
didengarkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Penutup <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 28.35pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perbudakan, pelacuran dan pergundikan
merupakan tiga realitas marginalisasi perempuan pribumi pada masa Hindia
Belanda. Perempuan jelas telah direduksikan hanya sebatas tubuh dan obyek
seksual kaum lelaki Belanda dan juga oleh lelaki pribumi. Jadi, selama masa
Hindia Belanda perempuan pribumi mengalami double marginalisasi dan double
kolonialisasi. Dalam kondisi itu, perempuan pribumi tidak dapat berbicara,
seharusnya tidak boleh berbicara, seharusnya tidak perlu didengarkan. Kondisi
ini paling tidak terjadi hingga awal abad ke-20. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ada satu titik terang ketika para tokoh
perempuan mulai membentuk berbagi organisasi perempuan untuk menyuarakan
kepentingan perempuan pribumi. Tetapi persoalannya adalah ideologi bias gender
itu sudah terlalu mengakar dalam budaya pribumi sendiri dan juga kolonial
Belanda. Dan suara mereka tidak membawa perubahan yang luar biasa. Maka,
perempuan pribumi di masa penjajahan Belanda memang telah diposisikan dan
dikonstruksikan untuk ‘bermulut kecil’ dan tidak bersuara. <o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 28.35pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 28.35pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">DAFTAR PUSTAKA<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center; text-indent: 28.35pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">=========================<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Baay,
Reggie. 2007. <i>Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda</i>. Jakarta: Komunitas Bambu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Bandel,
Katrin. 2013. Handout makalah <i>“Gender dan
Posisioanlitas: Merumuskan Kerja Akademis yang Sadar Gender”</i> dalam Studium
Generale Program Pascasarjana USD. Yogyakarta, 10 Desember 2013.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-indent: 28.35pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Furnivall,
J.S. 1983. <i>Hindia Belanda Satu Pengkajian Ekonomi Majemuk.</i> Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-autospace: none; text-indent: 28.35pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Gandhi,
Leela. 1998. <i>Postcolonial Theory: A
critical introduction.</i> Australia: Allen & Unwin.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Gouda,
Frances. 2007. <i>Dutch Culture Overseas:
Praktek Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942</i>. Jakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hellwig,
Tineke. 2007. <i>Citra Kaum Perempuan Di
Hindia Belanda.</i> Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hull,
Terence H. (Et al.). 1997. <i>PELACURAN DI
INDONESIA: Sejarah dan Perkembangnnya.</i> Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kartodirdjo, Sartono. (Et
al.) 1975. <i>SEJARAH NASIONAL INDONESIA V.</i>
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Loomba, Ania. 2005. <i>Colonialism/Postcolonialism. Second Edition.</i>
London and New York: Routledge. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Maggio, J. 2007. <i>“Can the Subaltern Be Heard?”: Political
Theory, Translation, Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak.</i> </span><a href="http://www.jstor.org/action/showPublication?journalCode=alternatives" title="Alternatives: Global, Local, Political"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Alternatives: Global,
Local, Political</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> > Vol. 32, No. 4,
Oct.-Dec. 2007 "Can the Subaltern Be Heard?”. </span><a href="http://www.jstor.org/discover/10.2307/40645229?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21103119882257"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">http://www.jstor.org/discover/10.2307/40645229?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21103119882257</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-indent: 28.35pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Marlita,
Tita dan E.K. Poerwandari.1998. <i>Isu Perempuan Di Balik Perjuangan Bangsa
1928-1965; Suatu Telaah Wacana.</i> Universitas Indonesia, Jakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Purnomo,
Tjahjo dan Ashadi Siregar. 1985. <i>Dolly
(Membedah Dunia Pelacuran di Indonesia).</i> Jakarta: Grafiti Press.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-indent: 28.35pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Reid,
Anthony. 1987.<i> Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra</i>.
Jakarta: Sinar Harapan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Said,
Edward. 1978. <i>Orientalism</i>. New York: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Syam,
Nur. 2010. <i>Agama Pelacur, Dramaturgi
Transendental.</i> Yogyakarta: LKiS.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: 28.35pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Truong,
Thanh-Dam. 1992. <i>SEKS, UANG DAN
KEKUASAAN: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. </i>Jakarta: LP3S. <o:p></o:p></span></div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-29181410635238222882014-03-12T21:58:00.001+07:002014-03-14T09:33:07.036+07:00Membaca Burung-burung Manyar Mangunwijaya dalam Perspektif Pascakolonial<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Membaca
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar </i>Mangunwijaya
dalam Perspektif Pascakolonial</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibHcPq8cVO949oLnI5_npr5pYlWpZf0SfBBEHTnMVEkZZ2du017cA06212UhUMMT8D9766SbHXxpfKi6ZDTxvOZdW12toujwH3OYhGC3TagqmXbWmGqWHNe1a4dJUK1jt_I5HglhXrEsw/s1600/romo+mangun.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibHcPq8cVO949oLnI5_npr5pYlWpZf0SfBBEHTnMVEkZZ2du017cA06212UhUMMT8D9766SbHXxpfKi6ZDTxvOZdW12toujwH3OYhGC3TagqmXbWmGqWHNe1a4dJUK1jt_I5HglhXrEsw/s1600/romo+mangun.jpg" height="200" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dalam
artikel <i style="mso-bidi-font-style: normal;">In Search of the Postcolonial in
Indonesian Literature</i> (1995), Keith Foulcher mencoba mencari jejak-jejak
nafas sastra pascakolonial Indonesia. Sastra Indonesia, sebagai bangsa yang
pernah dijajah, sangat unik jika dibandingkan dengan sastra-sastra bangsa yang
pernah dijajah lainnya. India, sebagai negara bekas jajahan Inggris,
menunjukkan salah satu ciri bangsa pascakolonial, yaitu digunakannya bahasa
penjajah, Bahasa Inggris, di dalam menulis sastra. Demikian pula dengan
bangsa-bangsa di Afrika yang, sebagai bekas jajahan Inggris atau Prancis,
menggunakan bahasa Inggris atau Prancis dalam menulis sastra. Bangsa Indonesia
bisa dikatakan sebagai satu-satunya anomali jika dibandingkan dengan
bangsa-bangsa pascakolonial lainnya. Apa yang terjadi dalam perkembangan sastra
bangsa-bangsa pascakolonial tersebut (seakan-akan) tidak memiliki paralelnya di
dalam perkembangan sastra Indonesia. Secara sederhana, Bangsa Indonesia sama
sekali tidak menggunakan bahasa penjajah sebagai bahasa nasional; tidak Bahasa
Belanda, apa lagi Bahasa Jepang.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></span></a> Jadi,
ketika Bangsa India dan Bangsa-bangsa Afrika turut serta “meramaikan” dunia
Sastra Inggris dan Prancis karena mereka menulis sastra dengan dua bahasa
tersebut, Indonesia (seakan-akan<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span></span></span></a>) tidak
pernah masuk ke dalam Sastra Belanda. Dan, ketika bangsa-bangsa pascakolonial
lainnya mengambil dua bahasa itu sedemikian rupa dan menggunakannya dengan
logat mereka sendiri, Bangsa Indonesia membuang jauh-jauh pengaruh kolonial supaya
dapat lahir sebagai bangsa yang nonkolonial.</span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Fenomena
pascakolonial yang unik tersebut terjadi oleh karena perkembangan sejarah yang
ternyata masih terdapat campur tangan si penjajah itu sendiri. H.M.J. Maier
menelusuri “penciptaan” Bahasa Indonesia ini. Bahasa Indonesia adalah hasil
dari politik bahasa Orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda itu merasa perlu
untuk berkomunikasi dengan pribumi, tetapi mereka kewalahan karena Orang-orang
Nusantara berbicara dengan bahasa yang sangat beragam. Sebenarnya para elit
Nusantara yang mendapatkan pendidikan Belanda telah mahir berbahasa Belanda,
bahkan tidak jarang para elit Nusantara itu justru lebih mahir berbahasa
Belanda dari pada keturunan Belanda itu sendiri. Akan tetapi, oleh karena
arogansi mereka, yang menganggap penduduk pribumi jauh lebih rendah dari pada
mereka, dan untuk menjaga jarak perbedaan antara yang Belanda dengan yang bukan
Belanda, Orang-orang Belanda itu melarang penduduk pribumi berbicara dengan
mereka dalam Bahasa Belanda. Untuk dapat menjembatani perjumpaan tersebut,
Belanda kemudian “menciptakan” Bahasa Indonesia, sebuah modernisasi dari Bahasa
Melayu Tinggi (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">High Malay</i>), yaitu
Melayu Riau dan Malaka. Walaupun sebenarnya etnis-etnis di Nusantara saling
berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan Bahasa Melayu, yaitu Melayu
pasar, Belanda yang pada saat itu dilandasi positivisme Eropa berkeyakian bahwa
bahasa yang benar adalah yang tertulis. Padahal, Bahasa Melayu yang tertulis
itu, yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">High Malay</i> itu, justru
tidak dipahami oleh etnis-etnis di Nusantara. Namun demikian, berkembanglah hal
tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Para
elit Indonesia yang mendapat pendidikan Belanda sebenarnya mahir berbahasa
Belanda. Kartono, kakak Kartini itu, bahkan turut berpidato menggunakan Bahasa
Belanda dalam kongres Bahasa Belanda dan Sastra XXV pada Oktober 1899 di
Belanda sana. Para tokoh nasionalis Indonesia itu pun mematangkan pikiran dan
ide nasionalisme mereka dengan Bahasa Belanda. Tidak mudah bagi para pemuda
ketika pada 1928 mereka bersumpah berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu,
Indonesia. Meskipun secara resmi mereka telah bersumpah pada 1928, baru pada
tahun 1930 para pemuda (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jong Java, Jong
Batak, </i>dan sebagainya) itu memakai nama yang berbahasa Indonesia, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pemoeda Indonesia</i>.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Soebandrio,
salah satu elite Nasional -- menteri pada era Soekarno, ketika masa aksi
polisionil<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></a>
Belanda (1945-1949) pernah menulis dengan kesadaran suatu keadaan yang oleh
Homi Bhabha disebut sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">inauthenticity</i>.
Pada September 1947 kala itu dia menulis dengan Bahasa Belanda<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span></span></span></a>,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 2.0cm; text-align: justify;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">I do not want to see my children
suffer in the same way their parents have done. The feeling of a double
consciousness, to see yourself through the eyes of a white person, with all the
inner conflicts bound up with that experience. Two souls, two ways of thinking,
in the one person... .</span></i><a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Foulcher
pun sebenarnya menemukan beberapa karya Sastra Indonesia pada tahun 1928-1949
(era Sumpah Pemuda hingga tahun di mana akhirnya Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia) yang memperlihatkan keadaan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">inauthenticity a la</i> Homi Bhabha, karena para tokohnya lahir dalam
dua budaya yang berbeda, sehingga karya-karya tersebut memenuhi kerangka
berpikir pascakolonial, meskipun tidak ditulis dengan menggunakan bahasa
penjajah. Foulcher menyebutkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Salah
Asuhan</i> (Abdul Muis, 1928), <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Belenggu</i>
(Armijn Pane, 1940), dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Atheis</i>
(Achdiat K. Mihardja, 1949). Namun, seakan-akan karya-karya semacam itu lenyap
dari dunia Sastra Indonesia pascamerdeka (atau pasca-1965 kalau ingin lebih
tajam).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ternyata
karya-karya sastra bernafaskan pandangan pascakolonial tidaklah lenyap.
Sebenarnya para seniman Lekra sejak 1950 mengharuskan wacana “antikolonial”
menjadi agenda kebudayaan. Foulcher pun menemukan Pramoedya Ananta Toer, yang
setelah bertobat dari humanisme universal ke marxisme, berbicara dengan
demikian cerewet tentang tema-tema pascakolonial. Akan tetapi, kemudian dia
dibungkam oleh penguasa (Orde Baru) selama 14 tahun di Pulau Buru. Walaupun
demikian, justru dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">camp</i>
pengasingannya itulah lahir tetralogi bernafaskan pandangan pascakolonial yang
melegenda, Tetralogi Pulau Buru.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Empat
tahun kemudian setelah Foulcher menelusuri jejak-jejak sastra pascakolonial
Indonesia, Ward Keeler dalam makalah berjudul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga Umayi dan Dilema Pascakolonialis<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[7]</span></b></span></span></span></a></i>
(1999) bertanya, “[A]pakah yang membuat Pramoedya begitu menarik bagi kami
(Akademisi Barat) dan begitu kurang menarik bagi banyak --tentu saja tidak
semua-- pembaca Indonesia?”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span></span></span></a>
Keeler pun bertanya lebih lanjut, “[S]iapa penulis Indonesia sekarang yang
ide-idenya serupa dengan yang menggugah Pramoedya?”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span></span></span></a>
Keeler menemukan sosok Mangunwijaya. Di dalam makalahnya tersebut dia membahas
sejauh apa nafas pandangan pascakolonial Mangunwijaya tersebut dengan mengikuti
dan sekaligus mengkritik kritik Michael Bodden tentang novel terakhir
Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga Umayi</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Saya
pribadi sebenarnya belum pernah membaca <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga
Umayi</i>, tetapi saya sudah membaca beberapa buku Y.B. Mangunwijaya yang lain
baik yang fiksi (sastra) maupun bukan. Pada masa saya membaca buku-buku
Mangunwijaya tersebut, saya belum memiliki kaca mata pascakolonial, sehingga
saya hanya membacanya semata bahwa itu adalah pemikiran-pemikiran seorang
pastor katolik yang humanis antifasis. Kini, setelah memiliki pisau analisa
pascakolonial, dan setelah membaca makalah Keeler tersebut di atas, saya merasa
bahwa ke-pascakolonialitas-an Y.B. Mangunwijaya dapat ditelusuri jauh sebelum
novelnya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga Umayi</i><a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span></span></span></a>,
yaitu pada novelnya yang dicetak kali pertama pada Agustus 1981, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Burung-burung Manyar</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">
adalah kisah perjalanan hidup yang ambivalen dari seorang bernama Setadewa.
Bahkan, sejak lahirnya dia telah menjadi seorang ambivalen: papinya masih
ningrat Jawa dari Pura Mangkunegaran Sala, berpendidikan Tentara Belanda,
bahkan seorang Kapten KNIL; sedangkan maminya adalah seorang (blasteran<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span></span></span></a>)
Belanda. Namun, sebelum jauh Mangunwijaya bercerita panjang lebar tentang
Setadewa ini, terlebih dahulu dia melakukan semacam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">suluk Dalang</i>, yaitu pada bagian singkat yang disebutnya
‘prawayang’. Mangunwijaya bercerita tentang suatu keadaan ambivalen <i style="mso-bidi-font-style: normal;">a la </i>Wayang dalam Lakon Baratayudha. Dia
mengingatkan kita akan tokoh bernama Baladewa, yang ketika muda bernama
Kakrasana, yang tak lain merupakan titisan dari Bathara Basuki (dewa naga
penopang bumi raya). Dalam perang Baratayudha, Baladewa yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">seta</i> (putih) ini memihak kepada Kurawa
(yang jahat), berbeda dengan saudaranya, Kresna (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">kresna</i> = hitam) yang membela Pandawa (yang baik). Walaupun
demikian, jauh di lubuk hati Baladewa “kecintaan kepada para Pandawa tidaklah
pernah berhenti berpijar”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Nama-nama
tokoh yang dipakai Mangunwijaya di dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung
Manyar</i> secara sekilas akan membuat kita ingat akan nama-nama wayang yang
dia sebutkan di dalam bagian prawayang itu: Setadewa (Baladewa yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">seta</i>), Kapten Brajabasuki -- papi
Setadewa (Bathara Basuki, dewa yang menitis kepada Baladewa), Raden Rara
Larasati (Rarasati/Larasati, putri Antapoga, kelak menjadi istri Arjuna alias
Janaka), dan Janakatamsi -- suami Dr. Rr. Larasati (Janaka/Arjuna). Seakan-akan
Mangunwijaya hendak mendalang tentang ambivalensi pascakolonialitas, hendak
menarasikan kembali cerita sejarah Indonesia dari sudut pandang seorang KNIL,
dengan “mengambil alih” bangunan mitos wayang yang telah mengakar kuat dalam
benak Orang Indonesia (setidaknya Orang Sunda-Jawa-Bali).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sudah
sejak pada halaman pertama, bagian I (1934-1944), bab 1 (Anak Kolong),
Mangunwijaya menggarisbawahi ambivalensi Setadewa ini. Teto, demikian Setadewa
dipanggil sewaktu masih kecil, malah sudah mengkritisi --untuk tidak mengatakan
mengolok-olok-- keadaan yang melingkunginya tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 2.0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Pernah
dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok.
Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan
aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL. Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku <i style="mso-bidi-font-style: normal;">loitenant</i> keluaran akademi Breda
Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegara. Tetapi
Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Neerlandia</i> saja; Ratu Wilhelmina kala
itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja
Inlander, walaupun konon salah seorang nenek <i style="mso-bidi-font-style: normal;">canggah</i> atau <i style="mso-bidi-font-style: normal;">gantung-siwur</i>
berkedudukan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">selir</i> Keraton
Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah
sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu pengasuhku,
totok Belanda <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Vaderland</i> sana. Tetapi
sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan
di garnisun, ya anak-anak kolong yang tersohor kasar dan tak tahu adat itu;
yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak Jawa Inlander
belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan kulit
Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab
orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">genjik</i> anak babi. Keterangan kawan-kawan brandal itu bahkan
membuatku bangga, sebab untuk anak yang normal, kehidupan brandal anak kolong
Inlander jauh lebih haibat daripada menjadi sinyo <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Londo</i> yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih
dan segala macam basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan.”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Teto bukan seorang
Belanda totok karena papinya yang seorang ningrat Jawa Mangkunegaran, tetapi
pada tahap awal hidupnya, yaitu ketika dia masih anak-anak, dia begitu bangga
ketika diidentifikasikan oleh teman-temannya sebagai sesama Inlander, walaupun
dia masih dipanggil ‘sinyo’ (panggilan untuk anak lelaki Belanda totok) dan
maminya masih berdarah Belanda. ‘Setadewa’ memang adalah nama yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">njawani</i>, tetapi panggilan ‘Teto’, apa
lagi dia juga dipanggil dengan sebutan ‘Raden Mas Sinyo’, adalah sisa-sisa dari
kebelandaan maminya tersebut. Maminya sendiri bernama ‘Marice’, sama sekali tidak
ada unsur Jawa. Dan, Teto memanggil orang tuanya dengan sebutan ‘papi’ dan
‘mami’, berbeda dengan Rr. Larasati (Atik) yang memanggil orang tuanya masih
dengan ‘ayah’ dan ‘ibu’. Meskipun hampir tidak keberatan dipanggil ‘Raden Mas
Sinyo’, Teto kecil sangat senang dengan identifikasi Inlandernya itu. Dia
bahkan mencari-cari bukti bahwa maminya bukanlah Belanda totok. Teto menemukan
empat bukti ketidaktotokan maminya tersebut, yang berarti juga bukti bahwa dia
sah mengidentifikasi diri sebagai anak kolong Inlander: (1) kulit maminya
kuning langsat mulus, tidak merah blentong-blentong; (2)<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>maminya tidak punya sistem pendidikan yang
disiplin <i style="mso-bidi-font-style: normal;">a la </i>Belanda; (3) maminya
suka pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik; dan (4) maminya
cantik, sebab biasanya nyonya totok tidak cantik. “Barangkali cantik juga,
tetapi untuk ukuran sana, negeri kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri
pohon kelapa, di mana lalat-<i style="mso-bidi-font-style: normal;">wilis</i> pun
biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak.”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span></span></span></a>
Setidaknya sudah ada empat hal yang dilihat oleh Mangunwijaya, lewat mata Teto,
dalam hubungan Belanda totok dan Inlander ini, mulai dari tubuh (warna kulit),
sistem pendidikan, rasa religiusitas, dan imaji kecantikan. Dua kutub dari
keempat hal tersebut bertemu dan bertabrakan dalam diri Teto kecil. Berbeda
dengan Orang Indonesia pada umumnya yang akan lebih memprioritaskan imaji
Eropa, Teto justru mencemoohnya habis-habisan dan justru lebih bangga menjadi
anak kolong Inlander saja.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ada
mekanisme yang sedikit berbeda yang terjadi pada diri Teto dengan konsep Homi
Bhabha tentang mimikri. Bhabha menjelaskan tentang mimikri sebagai berikut, “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">The menace of mimicry is its double vision
which in disclosing the ambivalence of colonial discourse also disrupts its
authority.</i>”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span></span></span></a>
Teto memang setengah (atau mungkin malah sepertiga) Belanda. Dia sama sekali
tidak ingin meniru atau bahkan seperti sinyo-sinyo totok Belanda yang necis.
Kalaupun ‘meniru’, yang ditiru Teto adalah anak-anak kolong Inlander, yang
bahkan berhasil mengidentifikasikan Teto sebagai sesama Inlander Jawa. Akan
tetapi, proses tarik ulur antara kutub kebelandaan dan kutub keinlanderan Teto
tidak berhenti sampai di situ saja. Mangunwijaya tengah menyiapkan kondisi
psikologis Setadewa kecil sehingga sampai dewasa nanti dia tetap merindukan
Indonesia, bahkan merindukannya sebagai pengganti maminya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Akan
tetapi, proses mimikri yang jelas justru ada pada diri ayah Teto, Kapten
Brajabasuki. Meskipun Legiun Mangkunegaran itu di dalam sejarahnya pernah
langsung berhubungan dengan kekuatan militer Napoleon Bonaparte<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span></span></span></a>,
sehingga sudah sejak awal bercita-rasa Eropa, Kapten Brajabasuki tidak mau
menjadi tentara di bawah seorang Raja Jawa. Dia memohon untuk menjadi tentara
di bawah Ratu Belanda. Akhirnya dia menjadi kapten di KNIL, bukan KL, sebab dia
Inlander Jawa, walaupun ningrat. Gaya berpakaian Kapten Brajabasuki sangat
Eropa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 2.0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Gagah
memang, beliau itu. Apalagi kalau pada tanggal 31 Agustus, HUT Ratu Wilhelmina,
diadakan parade besar di lapangan Tidar. Papi berpakaian gala, jas tutup putih
dengan kancing-kancing perak berukiran huruf W dan dua bintang perak di kerah.
Bertopi model panci doyong beledu hitam berpelesir kencana serta berjambul bulu-bulu
kasuari yang melambai di angin. Bayangkan! Bangga memang punya Papi begitu.
Lagi pedangnya perak panjang melengkung luwes dengan tali-talinya kuning kilau
bergombyok. Dan tegak dia di samping para perwira Belanda yang menjulang
tinggi, menjawab salut dari pasukan-pasukan berkuda yang berparade membawa
mitrayir di bawah iringan lagu-lagu mars <i style="mso-bidi-font-style: normal;">fanfare</i>
peleton musik tentara. Sempurna dah! Asal Anda jangan melihat wajah beliau.
Benar-benar <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jowu</i> deh.”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[17]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tidak ada <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mockery</i> yang ditunjukkan (secara
langsung<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[18]</span></span></span></span></a>)
oleh Kapten Brajabasuki, berbeda dengan Teto kecil yang selalu enggan dengan
kebelandaan. Yang ada adalah sebuah fenomena hibrid, tentara Kerajaan Belanda
dari golongan Inlander yang berpakaian <i style="mso-bidi-font-style: normal;">a
la</i> tentara Eropa, tetapi dengan wajah yang, saya meminjam istilah
Mangunwijaya, sangat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jowu</i><a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[19]</span></span></span></span></a><i style="mso-bidi-font-style: normal;">.</i> Sedangkan Marice, mami Teto yang
(blasteran) Belanda itu, justru digambarkan Mangunwijaya dengan tak kalah
campur-aduknya (hibrid). Meskipun ada sisa-sisa kebelandaan dalam diri Marice
--digambarkan pula Marice menulis surat kepada Teto dengan Bahasa Belanda--,
perempuan itu gemar masuk ke <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Petanen</i><a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref20" style="mso-footnote-id: ftn20;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[20]</span></span></span></span></a>
yang gelap dan bau kemenyan untuk “mengatupkan mata dan diam merenung seperti
melawat sebentar ke dunia “sana”.”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref21" style="mso-footnote-id: ftn21;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[21]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Akan
tetapi, keadaan tersebut di atas berubah ketika Jepang menyerang Hindia Belanda
hingga masa-masa tahun 1945-1950 (bagian II dari buku). Ketika Jepang menyerang
Hindia Belanda, KNIL dibubarkan, Kapten Brajabasuki akhirnya mengidentifikasi
diri sebagai seorang nasionalis yang tidak pro-kooperasi dengan Jepang. Kapten
Brajabasuki itu pun ditangkap oleh Jepang, sedangkan Marice dijadikan gundik
oleh Kepala Kenpetai yang berwenang atas nasib suaminya tersebut.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref22" style="mso-footnote-id: ftn22;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[22]</span></span></span></span></a>
Sedangkan Setadewa, yang kini lebih suka dipanggil Leo, karena nama ‘Teto’ itu
terdengar infantil, mengetahui nasib orang tuanya yang demikian, akhirnya
menaruh kebenciannya kepada Jepang dan orang-orang nasionalis (Soekarno, Hatta,
dan Sjahrir) yang dianggapnya sebagai pengkhianat bangsa dan kolaborator
Jepang. Jika sewaktu anak-anak Setadewa lebih senang diidentifikasi sebagai
salah satu dari anak-anak kolong Inlander, sejak pendudukan Jepang tersebut dia
dengan mudah mengidentifikasi diri dengan NICA (Belanda).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mulai
dari sinilah Mangunwijaya menarasikan sudut pandang lain tentang kemerdekaan
Indonesia, yaitu melalui sudut pandang KNIL, sudut pandang orang yang kalah.
Leo, demikian kini dia dipanggil, mendapati dirinya sebagai bukan seorang
Inlander, tetapi juga bukan seorang Belanda totok macam Jendral Simon Hendrik
Spoor. Setadewa, yang sewaktu kecil begitu dekat dengan kutub Jawa, kini
semakin dekat dengan kutub Belanda (Barat). Namun, perjumpaannya dengan Mayor
Verbruggen seperti memberinya semacam rekonsiliasi atas kedua kutub tersebut,
sebab Verbruggen, lelaki yang dulu pernah menjadi rekan seangkatan Kapten
Brajabasuki dan sempat naksir Marice itu, bertingkah tidak seperti Belanda
totok, tetapi lebih seperti bandit dan berbicara tidak selalu dengan Bahasa
Belanda. Verbruggen menganggap enteng perihal pembedaan ras dan kelas semacam
itu. Memang dia pernah berkata bahwa tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda,
sedangkan KNIL cuma segerombolan bandit<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref23" style="mso-footnote-id: ftn23;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[23]</span></span></span></span></a>,
sehingga dia bisa enteng saja menghadapi yang Belanda dengan yang Inlander,
sebab dengan menjadi seorang mayor KNIL dia bisa memuaskan hasrat
berpetualangnya dan menjadi bandit. Setelah Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia dan KNIL dibubarkan, Verbruggen sebenarnya memiliki kesempatan untuk
bergabung bersama KL, tetapi akhirnya dia memilih untuk bergabung bersama
pasukan Prancis menggempur Vietnam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bagi
Leo yang kini berpangkat letnan, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah suatu
kekeliruan, bahkan pengkhianatan karena para elit pemimpinnya pernah menjadi
kolaborator Jepang. Dia menilai bahwa kaum nasionalis itu keliru. Orang-orang
Indonesia belum matang untuk merdeka. Letnan Leo sebagai seorang yang ambivalen<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref24" style="mso-footnote-id: ftn24;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[24]</span></span></span></span></a>
memandang Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang infantil. Di sini posisi Leo
menarik. Dia bukan saja mengambil posisi ambivalensi, tetapi juga mengambil
alih pandangan Belanda totok yang menganggap bahwa Inlander itu masih infantil.
Akan tetapi, masih tersimpan cinta yang berubah menjadi sedikit rasa kagum pada
Bangsa Inlander yang baru merdeka itu. Ketika dia berhadapan muka dengan
tentara-tentara Indonesia itu, dia terkejut dengan penampilan mereka yang
bahkan jauh lebih baik dari pada prajurit KNIL-nya. Seragam tentara Indonesia
itu bergaya Barat. Hanya satu yang tersisa dari Jepang, yaitu disiplinnya.
Berbeda dengan prajurit KNIL-nya. KNIL tak lebih dari pada kuli Inlander yang
santai dan gontai bergentayangan. Mangunwijaya mulai memberi makna ulang pada
kata “inlander” ini. Kalau pada awalnya kata “inlander” bermakna “pribumi”,
maka kini, lewat mulut Leo, Mangunwijaya memaknainya sebagai bangsa jongos dan
kuli yang memalukan. Sedangkan Jendral Sudirman itu, yang jelas-jelas seorang
pribumi Indonesia, tidak disebut seorang Inlander, sebab dia dan pasukannya itu
tegap dan penuh harga diri.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref25" style="mso-footnote-id: ftn25;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[25]</span></span></span></span></a>
Di sini Mangunwijaya mengkritik mentalitas Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka. Meminjam sudut pandang Leo, seorang KNIL yang kalah perang,
Mangunwijaya seakan hendak berkata bahwa kemerdekaan itu bukan akhir, mengusir
penjajah kolonial itu bukan akhir, itu semua tidak membuatmu tidak lagi menjadi
seorang ‘inlander’ selama kamu tidak ‘tegap’ dan ‘penuh harga diri’ seperti
Sudirman dan pasukannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada
bagian III (1968-1978), masa di mana revolusi Indonesia telah “selesai”,
Mangunwijaya mulai menarasikan keadaan Indonesia pascamerdeka, suatu keadaan
Indonesia yang benar-benar pascakolonial. Kita tidak perlu repot-repot bertanya
mengapa masa di antara tahun 1950-1968 tidak diceritakan. Mungkin saja
Mangunwijaya hendak langsung menarasikan keadaan Indonesia ketika Orde
pembangunan itu berlangsung, atau bisa jadi dia tidak ingin terjebak di dalam
polemik peristiwa 1965 yang bisa jadi tidak efisien bagi romannya ini. Yang
jelas, tiba-tiba saja Dr. Setadewa, seorang ahli komputer, kini sudah menjadi
manager di sebuah perusahaan tambang minyak multinasional yang berbasis di
Amerika, Pacific Oil Wells Company. Dia pun menjadi semakin ambivalen: seorang
warga negara Amerika Serikat, blesteran Belanda-Jawa, masih ningrat Jawa,
mantan prajurit KNIL yang begitu membenci kaum nasionalis, bekerja untuk
perusahaan tambang minyak multinasional, tetapi menaruh kerinduan dan cinta
kepada Indonesia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mangunwijaya
juga menggambarkan keadaan penduduk Indonesia (di sekitar Gunung Merapi)
pascakolonial tersebut. Benar bahwa Indonesia telah mengalami revolusi, tetapi
revolusi politik, dan bukan revolusi sosial. Struktur masyarakatnya masih sama
seperti dulu, hanya elitnya saja yang berubah. Hal tersebut membuat masyarakat
menjadi apatis, yang penting cari aman.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 2.0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Negara
ini boleh PKI, silakan, asal sanggup menyediakan empat itu: Tembakau Kedu
ampeg, kelembak, kemenyan, dan kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Dan,
terserah Bupati Setankopor atau Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu
ampeg, kelembak, kemenyan, dan kertas sigaret merk... Admiral Kumpeni. Tahu?”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref26" style="mso-footnote-id: ftn26;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[26]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dikatakan pula di sana
bahwa yang menjabat sebagai birokrat pemerintahan setempat tak lain adalah
kepala perampok daerah setempat. Jadi, mudah saja kepala perampok itu
mencalonkan diri; kalau ingin daerah di situ aman, pilih dirinya, tetapi kalau
dia tidak terpilih, daerah itu akan lebih kacau dari sebelumnya. Mental yang
seperti itu bertemu dengan mental rakyat yang apatis, yang penting aman,
menghasilkan keadaan Indonesia pascakolonial yang seperti sekarang ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Apa
yang diulas mengenai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga Umayi</i> oleh
Keeler tersebut di atas sebenarnya dapat dirunut sampai pada <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, terutama pada
bagian III ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 2.0cm; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Pemerintahan
pascakolonial tetap merupakan pemerintahan, dan ketika para pejabatnya
bergabung dengan modal internasional serta militer berperlengkapan canggih
dalam mengejar kepentingan mereka, hasilnya mungkin sekali akan jauh lebih
eksploitatif dan lebih membelenggu... .”<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftnref27" style="mso-footnote-id: ftn27;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[27]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dr. Seta, manager
perusahaan tambang minyak multinasional tersebut, menemukan kejanggalan di
dalam sistem perhitungan komputer perusahaannya yang membuat Bangsa Indonesia
rugi besar. Dia bisa saja menaruh rasa tidak peduli terhadap bangsa kuli
tersebut --beberapa kali dia masih memaki Orang-orang Indonesia sebagai bangsa
kuli yang tidak tahu bagaimana hidup merdeka dalam negara merdeka-- oleh karena
luka sejarah, tetapi sepertinya Warga Negara Amerika tersebut masih memiliki
rasa cinta terhadap Indonesia yang kini dianggapnya sebagai pengganti Marice,
maminya, yang jadi gila dan akhirnya meninggal dunia. Dia hendak membongkar
“penindasan” dan “penjajahan” halus ini dengan resiko kehilangan posisi dan
pekerjaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Janakatamsi,
suami Dr. Larasati (Atik), bersedia membantu Dr. Seta membongkar masalah ini
dan melaporkannya ke pemerintah. Apa yang terjadi? Sepertinya memang sudah ada
kongkalikong antara pemerintah dengan Pacific Oil Wells Company. Janakatamsi
dipecat oleh karena mencoba membantu Dr. Seta melaporkan temuan Warga Negara
Amerika tersebut kepada pemerintah, sedangkan Dr. Seta sendiri pun juga dipecat
dari perusahaan karena membongkar kekeliruan yang disengaja ini. Mereka gagal
membongkar penjajahan model baru ini, yaitu menjajah bangsa-bangsa
pascakolonial melalui ekonomi, bukan fisik. Kalau perlu, pemerintahnya diajak
untuk berkolaborasi melanggengkan keadaan yang ada.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 2.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dengan
kaca mata pascakolonial tersebut saya dapat membaca kembali <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i> secara baru. Dengan
percaya diri saya dapat berkata bahwa roman ini adalah sastra pascakolonial.
Akan tetapi, berbeda dengan karya Pramoedya, sudut pandang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i> adalah sudut pandang seorang mantan prajurit
KNIL kalah perang yang sangat membenci kaum nasionalis. Mangunwijaya seakan
hendak berkata bahwa ambivalensi itu tidak statis di tengah-tengah, tetapi
selalu dinamis dari kutub ekstrim yang satu kepada kutub ekstrim yang lain.
Mungkin akan beda ceritanya ketika Setadewa tidak ambil pusing dengan keadaan
Indonesia pascamerdeka sebab dia toh sudah makmur sebagai manager perusahaan
multinasional dan sebagai Warga Negara Amerika Serikat. Namun, di sinilah letak
menariknya, si orang ambivalen ini, yang pada awalnya me-<i style="mso-bidi-font-style: normal;">mockery</i> (unsur) penjajah (dalam dirinya) tetapi yang akhirnya me-<i style="mso-bidi-font-style: normal;">mockery</i> (unsur) terjajah (dalam
dirinya), mengambil langkah berani berpihak kepada mereka yang disebutnya
“bangsa kuli yang tidak tahu bagaimana hidup merdeka dalam negara merdeka”,
karena dia merasakan kerinduan akan maminya yang kini dia temukan di dalam
wajah Bangsa Indonesia, yang sama seperti maminya, dikangkangi oleh kekuatan
asing.</span></div>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><br clear="all" style="mso-special-character: line-break; page-break-before: always;" />
</span>
<br />
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-align: justify; text-indent: -70.9pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bibliografi</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">A. Ferry T. Indratno (ed.), <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Peziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya</i>,
Jakarta: Kompas, 2009</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">H.M.J. Maier, “From Heteroglossia
to Polylossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies”, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Indonesia</i> Vol. 56 (Oktober 1933)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and
Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The Location of Culture</i>, London: Routledge, 1994</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Keith Foulcher, “In Search of the
Postcolonial in Indonesian Literature”, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sojourn</i>
Vol. 10, No. 2 (1995)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, Sindhunata (ed.), <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Menjadi
Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya</i>, Yogyakarta: Kanisius,
1999</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, Jakarta:
Djambatan, 2004</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-indent: -70.9pt;">
<a href="http://phesolo.wordpress.com/2012/03/17/kisah-usang-legiun-mangkunegaran/"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">http://phesolo.wordpress.com/2012/03/17/kisah-usang-legiun-mangkunegaran/</span></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 70.9pt; text-align: justify; text-indent: -70.9pt;">
</div>
<br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Walaupun demikian, beberapa
kosakata Bahasa Belanda tersebut diserap ke dalam bahasa daerah, misalnya
Bahasa Jawa. Contoh: pit (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">fiets</i>, sepeda),
prek (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">preek</i>, khotbah), verboden (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">verboden</i>,<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i>rambu larangan masuk), bal (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">bal</i>,
bola), loji (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">loge</i>, rumah orang Belanda),
asbak (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">asbakje</i>, asbak), drei (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">schroevedraaier</i>, obeng), sedel (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">zadel</i>, sadel), dsb.</span></div>
</div>
<div id="ftn2" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Keith Foulcher memberi catatan,
“<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Indonesians of mixed race did indeed contribute
to the substantial tradition of “Dutch Indies” literature, but this represented
a branch of the literature of the Dutch metropole, which came to an end in
Indonesia itself with the transition to independence</i>.” -- Keith Foulcher,
“In Search of the Postcolonial in Indonesian Literature”, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Sojourn</i> Vol. 10, No. 2 (1995), 149-150</span></div>
</div>
<div id="ftn3" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Keith Foulcher, “In Search of
the Postcolonial in Indonesian Literature”, 163</span></div>
</div>
<div id="ftn4" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Saya memakai istilah yang
dipakai oleh Y.B. Mangunwijaya dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung
Manyar</i> lewat mulut Setadewa.</span></div>
</div>
<div id="ftn5" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Saya hanya memiliki salinan
Bahasa Inggrisnya.</span></div>
</div>
<div id="ftn6" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Keith Foulcher, “In Search of
the Postcolonial in Indonesian Literature”, 147</span></div>
</div>
<div id="ftn7" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, Sindhunata (ed.), <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Menjadi
Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya</i>, Yogyakarta:
Kanisius, 1999</span></div>
</div>
<div id="ftn8" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, 268</span></div>
</div>
<div id="ftn9" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, 268</span></div>
</div>
<div id="ftn10" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Penelusuran saya terhadap novel <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga Umayi</i> dan kedudukan Y.B.
Mangunwijaya di tengah dunia Sastra Indonesia mengantarkan saya pada sebuah
artikel yang membuat saya tersenyum geli oleh karena konteks jagat Sastra
Indonesia yang tengah digegerkan oleh 33 Sastrawan paling berpengaruh tersebut.
Di dalam artikel tersebut, memang ada beberapa informasi yang saya dapatkan
mengenai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Durga Umayi</i>, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, dan posisi
Mangunwijaya itu sendiri. Yang membikin saya tersenyum geli adalah (semacam)
epilog yang mengharapkan ada Kanon Sastra Keindonesiaan dalam arti
“kesusastraan yang wajib dibaca orang-orang sekolahan untuk memahami
keindonesiaan kita”. Si penulis segera mengusulkan tiga nama sastrawan, yaitu
Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, dan tentu saja Y.B.
Mangunwijaya. “Ini saya tuliskan dan impikan, agar jangan lagi generasi berikut
mengalami keterputusan dari khasanah pendahulunya seperti yang saya alami
dulu,” kata si penulis itu, yang lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 2014,
menjadi sastrawan paling berpengaruh ke-32 dari 33 sastrawan tersebut. Jika dia
ingat akan kata-katanya ini, lalu kira-kira apa yang mungkin menjadi
komentarnya? <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>-- A. Ferry T. Indratno
(ed.), <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Peziarahan Panjang Humanisme
Mangunwijaya</i>, Jakarta: Kompas, 2009</span></div>
</div>
<div id="ftn11" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ada masa di mana Teto, demikian
Setadewa kecil dipanggil, meragukan ketotokan maminya.</span></div>
</div>
<div id="ftn12" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, Jakarta:
Djambatan, 2004, VIII</span></div>
</div>
<div id="ftn13" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 3-4</span></div>
</div>
<div id="ftn14" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 5</span></div>
</div>
<div id="ftn15" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and
Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The Location of Culture</i>, London: Routledge, 1994, 88</span></div>
</div>
<div id="ftn16" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> </span><a href="http://phesolo.wordpress.com/2012/03/17/kisah-usang-legiun-mangkunegaran/"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">http://phesolo.wordpress.com/2012/03/17/kisah-usang-legiun-mangkunegaran/</span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"></span></div>
</div>
<div id="ftn17" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[17]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 5-6</span></div>
</div>
<div id="ftn18" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[18]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Katrin Bandel memberi catatan, “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Mockery</i> tidak harus terjadi dalam bentuk
yang disengaja/disadari.”</span></div>
</div>
<div id="ftn19" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[19]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Sangat bersifat Jawa.</span></div>
</div>
<div id="ftn20" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn20" style="mso-footnote-id: ftn20;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[20]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Secara harafiah berarti ‘Tempat
Tani’ atau ‘Ruang Sang Tani’. Letaknya di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">dalem</i>
(ruang dalam) istana Mangkunegara. Di sanalah dipercaya tinggal Dewi Sri, Dewi
Padi itu.</span></div>
</div>
<div id="ftn21" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn21" style="mso-footnote-id: ftn21;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[21]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 7</span></div>
</div>
<div id="ftn22" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn22" style="mso-footnote-id: ftn22;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[22]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 41</span></div>
</div>
<div id="ftn23" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn23" style="mso-footnote-id: ftn23;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[23]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 75</span></div>
</div>
<div id="ftn24" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn24" style="mso-footnote-id: ftn24;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[24]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Jawa wurung, Landa durung</i>. (Sudah bukan Jawa, tetapi belum juga
jadi Belanda).</span></div>
</div>
<div id="ftn25" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn25" style="mso-footnote-id: ftn25;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[25]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 101</span></div>
</div>
<div id="ftn26" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn26" style="mso-footnote-id: ftn26;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[26]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Y.B. Mangunwijaya, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Burung-burung Manyar</i>, 190</span></div>
</div>
<a href="https://www.blogger.com/null" name="_ftn27" style="mso-footnote-id: ftn27;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[27]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, 281</span>#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-63358490811477172222014-03-12T13:16:00.000+07:002015-06-03T10:11:40.300+07:00Pengaruh Tontonan Eksotis dalam Imaji Budaya Sebuah Kajian Pasca Kolonial<div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
<w:UseFELayout/>
</w:Compatibility>
<w:DoNotOptimizeForBrowser/>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Times","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-font-family:Cambria;
mso-bidi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt;">Pengaruh Tontonan Eksotis dalam
Imaji Budaya</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN">Sebuah Kajian Pasca Kolonial</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span lang="IN">Oleh:
Alexander Koko Siswijayanto</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Pengantar</span></b><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Lahir dan besar di tanah Jawa adalah suatu keberuntungan.
Saya mampu menikmati keindahan alam yang tak bisa digantikan oleh harta apapun
juga. Setiap sore, di lereng Gunung Ungaran, masih terekam warna emas matahari
yang malu-malu tenggelam di ufuk barat. Redupnya sang mentari dibarengi suasana
mistis setiap kali saya duduk di salah satu bangunan Candi Gedong Songo. Hamparan
Danau Rawa Pening menambah kekaguman seseorang yang sedang menikmati suasana di
sana. Konon, Candi Gedong Songo itu didirikan pada abad ke-9 pada masa Wangsa
Syailendra menguasi tanah Jawa ini. Dan kembali ditemukan oleh Raffles, Jendral
terkenal dari Inggris yang menilik Jawa hanya selama lima tahun. Demikianlah
seorang Jawa menikmati eksotisme alam, eksotistem peninggalan nenek moyang, dan
sekaligus menikmati imaji sejarah masa lalu. <table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXv38siD2ArnLyXmBgctKsOgH2H2M9IpZhWB3_nRBHstLOBQHgdC1Gig31bSOgIF58VvsjWThq8aCv_Txl2uqy6muX7zyrSaiw0HAxkhXO_UKzLgpphXpV6vtrvGnfNuIjdducn3fLM54/s1600/foto+dari+alexander+koko.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXv38siD2ArnLyXmBgctKsOgH2H2M9IpZhWB3_nRBHstLOBQHgdC1Gig31bSOgIF58VvsjWThq8aCv_Txl2uqy6muX7zyrSaiw0HAxkhXO_UKzLgpphXpV6vtrvGnfNuIjdducn3fLM54/s1600/foto+dari+alexander+koko.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Candi Sari</td></tr>
</tbody></table>
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pengalaman menikmati eksotisme alam dan keindahan
bangunan masa lalu ternyata tidak berhenti. Di Yogyakarta dan sekitarnya,
banyak sekali candi-candi yang berserakan menjadi bangunan yang mistis tetapi
sekaligus terlalu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">touris. </i>Orang
datang ke candi dengan berbagai intensi, masih ada yang berdoa di sana, masih
ada yang menikmati sebagai kekaguman masa lalu, tetapi banyak yang hanya ingin
sekadar ber-rekreasi. </span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Eksotisme
mungkin memang dicari sekaligus diburu. Perburuan eksotisme ini bukan hanya
saat ini, tetapi sejak puluhan tahun yang lalu. Sejak Kolonial Belanda
menjejakkan kaki di tanah Jawa ini. Kesadaran tentang perburuan eksotisme tanah
jajahan semakin mendorong untuk menelusurinya lebih dalamketika saya membaca
salah satu tulisan Marieke Bloembergen yang berjudul <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Colonial Spectacles</i>.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn1" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[1]</span></span></span></span></a>Ternyata ada
replika Candi Sari dibangun di Paris. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ada
kisah sejarah yang terlalu diperdengarkan di Jawa ini. Mentalitas perburuan
eksotisme tidak hanya terjadi saat ini oleh orang orang Jawa. Mentalitas
perburuan eksotisme sudah terjadi jauh-jauh tahun sebelum diri ini ada. Pada
jaman kolonial, mentalitas perburuan eksotisme telah ada dan mungkin setiap
orang yang seperti saya ini hanyalah mewarisinya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Bukan hanya
candi, tetapi juga tari, patung, religi, dan kehidupan masyarakat di nusantara
ini bisa menjadi objek buruan dari kolonial, karena memang eksotis di mata
mereka. Tetapi, yang menarik adalah pertanyaan-pertanyaan: benarkah kaum
kolonial Belanda yang mengangkat budaya-budaya di tanah air ini? Bagaimana
relasi imaji eksotisme kolonial bertemu dengan realita budaya di nusantara? Dan
tentu pertanyaan yang bagi saya lebih rumit tetapi menarik adalah apakah relasi
antara mentalitas kolonial dan mentalitas kepribumian dalam budaya hanya satu
arah, dari yang kolonial ke yang pribumi? Sketsa ini, tentu tidak akan lengkap
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, sketsa ini ingin menguraikan
apa yang terjadi ketika eksotisme budaya menjadi tontonan dan bagaimana kini
kita mencoba untuk merefleksikannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Orientalisme dan
Perdebatannya</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Adalah sesuatu
yang tidak mungkin melupakan seorang ilmuwan Palestina dalam pembahasan
mengenai imaji eksotisme kolonial. Tak salah lagi, dia adalah Edward Said. Dalam
bukunya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Orientalism, </i>Edward Said
merekonstruksi ulang istilah Orientalisme. Ada tiga definisi yang ia sebutkan
dalam pengantar bukunya. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>,
Orientalisme adalah suatu cara untuk memberi nama bagi dunia timur, berdasarkan
tempat-tempat khusus di timur menurut pengalaman manusia Barat Eropa.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn2" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[2]</span></span></span></span></a> Di sini,
dipahami bahwa orientalisme dilihat oleh para akademisi barat yang melihat
dunia timur. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, Orientalisme
adalah suatu gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan ontologi dan
epistemologi antara ‘timur’ dan (hampir selalu) ‘barat’.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn3" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[3]</span></span></span></span></a> Istilah ini
khusus dipakai oleh para akademisi di level universitet. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ketiga</i>, </span><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Times; mso-no-proof: no;">Orientalisme dipahami sebagai sesuatu
yang didefinisikan secara historis dan material dari pada kedua arti yang telah
diterangkan sebelumnya. Dengan mengambil akhir abad kedelapan belas sebagai
suatu batasan titik tolak yang nyata, Orientalisme dapat dibahas dan dianalisa
sebagai lembaga hukumyang berurusan dengan dunia Timur – berurusan dengannya
berarti juga membuat istilah-istilah tentangnya, mempunyai kuasa atas cara
pandangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menempatinya, mengaturnya.
Singkatnya, Orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata kembali
dan menguasai dunia timur.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn4" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></a></span><span lang="IN">Tujuan
dari penulisan buku orientalisme adalah untuk menunjukkan bahwa budaya Eropa
mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan menempatkan diri berhadapan dengan
dunia Timur sebagai semacam pelindung.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn5" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[5]</span></span></span></span></a> Hal ini dapat
dipahami bahwa buku ini ingin menunjukkan bahwa upaya “barat” dalam menjelaskan
“timur” adalah upaya untuk menerangkan diri mereka sendiri.</span><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Times; mso-no-proof: no;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Times; mso-no-proof: no;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Orientalisme Said memang selalu diperbincangkan. Mungkin,
karena istilah itu adalah suatu polemik yang ditembakkan ketika
kekuasaan-kekuasaan penulis-penulis besar mulai dibongkar: sebuah serangan
terhadap sejumlah besar karya para ilmuwan, pemikir, dan penulis di Eropa.
Mereka ini adalah bagian dari usaha kolonialisme, begitu istilah dari Said.
Mereka menghadapi hamparan yang hidup danada di luar lingkup mereka. Tetapi,
karya-karya itu berusaha mengkerdilkan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka
mencoba membentuk sebuah sejarah sendiri, yaitu sejarah kemenangan kolonial.
Upaya ini kemudian dibungkus dengan istilah “Timur” dan “Barat”.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn6" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: Times; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Ada tiga catatan yang perlu untuk disadari bagi orang
yang merekonstruksi kembali Orientalisme a’la Said ini: </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Times; mso-no-proof: no;">Pertama-tama</span></i><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Times; mso-no-proof: no;">, perlu<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dipahami bahwa
sangatlah salah jika menarik kesimpulan bahwa dunia timur pada dasarnya adalah
sebuah ide, atau suatu ciptaan tanpa bertautan dengan realita. Pada tahap <i style="mso-bidi-font-style: normal;">kedua</i> adalah bahwa ide-ide,
budaya-budaya, sejarah-sejarah tak mungkin mampu dengan jeli ditangkap atau
dipelajari tanpa kekuatan, atau lebih tepatnya pembentukan dari kekuasaan itu.
Hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuasaan, dominasi, hubungan
berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Dan yang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ketiga</i>, </span><span lang="IN">seseorang tak bisa menganggap bahwa
struktur orientalisme tidak lebih daripada struktur kebohongan atau mitos-mitos
belaka yang, seandainya kebenaran tentangnya diungkapkan, dengan mudah akan
lenyap tertiup angin. Ada keyakinan bahwa orientalisme ini khususnya lebih
bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan Eropa atas dunia Timur daripada
sebagai wacana murni mengenai Timur (sebagaimana yang didakwakannya dalam
bentuk akademis dan ilmiah).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn7" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[7]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dengan ungkapan yang lebih sederhana dapat dikatakan
begini: Said menunjukkan bahwa “Eropa” memang butuh satu sosok yang berbeda
agar ia bisa memperjelas identitasnya sendiri. Maka “Eropa” membentuk sebuah
Sejarah dan peta yang secara esensial lain dan berlawanan. Orientalisme Said
adalah sebuah kritik tetapi sekaligus sebuah polemik. Orientalisme terlalu
bersemangat dalam “menggonggong” dan seringkali “gonggongannya” menunjuk ke
arah yang salah dan meleset. Ia lupa bahwa hubungan antara yang terjadi antara
barat dan timur tidak hanya hubungan kekuasaan semata yang satu arah. Ia tidak
memberi kemungkinan sesuatu yang berbeda, bahwa di Eropa, “Timur” tak selamanya
dilukiskan sebagai sesuatu yang harus diperadabkan. Tak selamanya yang eksotis
itu harus diubah. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kritik Said tentu mengagumkan dan menjadi acuan banyak
ilmuwan sekaligus peringatan untuk selalu berhati-hati dalam melihat barat dan
timur. Bloembergen melihat adanya celah bukan dalam ide atau gagasan
orientalisme tetapi dari sisi metodenya yang ahistoris.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn8" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[8]</span></span></span></span></a> Dia
mengungkapkan bahwa teori-teori Said menciptakan permasalahan dalam kajian
sejarah. Dua alasan yang saling berkaitan, dia sebutkan: pertama, Said tak lagi
memberi ruang perubahan dalam imaji mengenai yang lain (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">other</i>) yang sebenarnya berasal dari tempat, waktu dan individu
khusus. Kedua, Said terlalu cepat meletakkan yang lain dalam kerangka relasi
hubungan kekuasaan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">hegemony</i>).
Padahal imaji barat atas dunia yang dikoloni tidak selalu dipandang dari sisi
kekuasaan tetapi juga karena apa yang mereka perlihatkan berkaitan dengan cara
pandang yang berlaku saat itu. Imaji sederhana atas yang lain pada abad
sembilan belas memunculkan pertanyaan mengenai kealamian dan keaslian atas umat
manusia, memunculkan pula pertanyaan berkaitan dengan relasi dan perbedaan
antara masyarakat, ras, dan kelas sosial.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn9" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[9]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Berawal dari gagasan Said dan kritik dari Bloembergen
inilah kemudian sejarah mengenai perburuan eksotisme akan diperlihatkan dalam
kurun waktu sejarah sebagai suatu tontonan di Eropa. Bloembergen sadar bahwa
untuk menelusuri relasi imaji eksotis begitu kompleks. Dia memberikan catatan
awal yang penting untuk dipahami. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>,
ada perubahan gagasan mengenai peradaban manusia di Eropa. Jika demikian imaji
eksotis yang akan kita lihat bisa juga mempunyai perubahan dalam cara
pandangnya. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, terdapat relasi
antara pemerintah kolonial dan budaya atau peradaban populasi pribumi di tanah
koloni. Hal ini kemudian memunculkan kebijakan yang diperdebatkan mengenai
asimilasi dan asosiasi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn10" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[10]</span></span></span></span></a> Gagasan ini
sangat erat tentunya dengan istilah “Budaya Eropa.”<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ketiga</i>. Ada relasi timbal balik antara imaji kolonial dan pemahaman
orang Belanda atas dirinya sendiri. Ini menarik karena relasi yang dibangun
adalah timbal balik. Bagaimana orang Belanda memandang budaya nusantara
mempengaruhi bagaimana orang Belanda memahami diri sendiri.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn11" name="_ftnref11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[11]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dari gagasan-gagasan di atas, kita akan memasuki ranah
yang lebih konkret. Sebuah ranah sejarah dimana relasi imaji eksotis dari
kolonial bertemu dengan realita eksotisme nusantara dan kemudian dijadikan
tontonan di Eropa. Bagaimana hal ini kait mengkait secara lebih nyata akan
diperlihatkan di bawah ini. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Imaji Eksotis dalam Tontonan Kolonial</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 23.55pt 0in 28.35pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Sebuah tontonan yang
luar biasa, meliputi arsitektur yang mengagumkan, kehidupan eksotis dengan
aneka warna pemandangan alam, seni, budaya, dan kerajinan, serta flora dan
fauna dari seluruh penjuru dunia ... Segala macam pesona seperti pesta malam
dengan lampu terang-benderang, festival menunggang kuda, parade militer dan
kelautan penuh dengan pertunjukkan teater, konser, film, kereta keliling,
restoran, kare, kabaret, tempat minum teh, tempat menari, dan lain sebagainya,
serta tentu sajakebun binatang modern. Pameran yang tiada bandingnya secara
ekonomi, intelektual, dan sosial: seubah pameran yang akan menampilkan gambaran
tentang dunia yang membangkitkan rasa hormat dan, pada saat yang sama,
menyajikan panorama seluruh sejarah kolonialisme kita.”<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn12" name="_ftnref12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[12]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN">Kutipan di atas diambil dari
salah satu iklan Surat Kabar “L’Echo de Paris” pada 6 April 1931. Iklan itu
sekaligus adalah pengumuman bahwa saat pameran pengunjung akan memasuki
petualangan indah di seluruh dunia. Poster-poster dan iklan-iklan pameran
kolonial pada akhir abad sembilan belas dan awal paroh pertama abad dua puluh
ingin menunjukkan suatu wisata/petualangan keliling dunia dalam sehari.
Tontonan kolonial inilah yang terus menerus membangunkan imaji eksotis
kolonial. Tontonan itu tidak hanya berlangsung sekali tetapi berkali-kali dalam
rentang waktu antara tahun 1880an hingga tahun 1930an. Bloembergen
menelusuri<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>lima tontonan kolonial dari
tahun 1883 hingga tahun 1931. Tetapi, saya hanya memperlihatkan empat
diantaranya sebagai tontonan yang penting untuk memperlihatkan perubahan imaji
eksotisme. Secara sangat ringkas kita akan melihatnya satu persatu. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Pada 1 Mei
1883 di Amsterdam, tontonan kolonial internasional yang dibarengi dengan
tontonan hasil perdagangan kolonial dibuka disuatu tempat dekat dengan
Rijksmuseum. Selama lebih dari enam bulan, tempat itu, yang sekarang menjadi
Museumplein, diubah menjadi pameran oriental. Pameran ini memberikan ilusi
memasuki dunia lain yang kontras antara yang kolonial dan modern pada saat
bersamaan.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn13" name="_ftnref13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[13]</span></span></span></span></a>
Di sana ditampilkan tipe-tipe rumah-rumah penduduk asli yang dibuat dari bambu
dan kayu. Bukan hanya itu, lukisan-lukisanpun ditampilkan. Boneka-boneka dari
Suku Dayak antara pria dan wanita dijadikan replika kenyataan orang pribumi
sebenarnya. Benda-benda antik dipajang, seperti: kain dari Hindia Belanda,
logam-logam penemuan dari jaman kerajaan, pusaka-pusaka, dll. Lain dari itu,
ada pula replika dari kemajuan yang dibuat oleh Kolonial Belanda terhadap
Hindia Belanda. Di sana ada replika rel dan stasiun kereta api. Dibangun pula
patung Jan Pieterszoon Coen sebagai perintis Kerajaan Kolonial Belanda. Ada pula
monumen/tugu peringatan atas Perang Aceh.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn14" name="_ftnref14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[14]</span></span></span></span></a> Bloembergen
menuliskan bahwa tontonan pada tahun ini mempunyai konsekuensi semakin
menguatnya ikatan antara pusat dan daerah.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn15" name="_ftnref15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[15]</span></span></span></span></a> Artinya,
ikatan antara Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda dirasakan oleh orang-orang
Belanda baik di Kerajaan Belanda maupun di daerah koloni menjadi semakin kuat.
Ada suatu relasi yang timbal balik. Kebanggaan orang Belanda menjadi semakin
besar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Jika pada
tahun 1883, pameran kolonial itu diadakan di Amsterdam dan memiliki efek intern
dalam diri orang-orang Belanda sendiri. Pada tahun 1889 diadakan pula pameran
kolonial di Paris. Di Paris ini, Kolonial Belanda memamerkan replika
kampung-kampung Sumatera dan Jawa (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">village
javanais</i>). Bukan hanya rumah-rumah yang dipamerkan di sana, tetapi juga
kesenian, musik dan tari.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn16" name="_ftnref16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[16]</span></span></span></span></a> Arti penting
dari pameran ini menunjukkan bahwa sistem penjajahan belanda mementingkan nilai
pendidikan yang dibarengi penelusuran dalam ranah antropologi dan didukung
dengan administrasi kolonial yang baik. Orang-orang Belanda menganggap bahwa
kampung adalah kunci bagi kehidupan orang-orang Jawa dan Sumatera. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Tahun 1900,
kembali tontonan kolonial diadakan di Paris. Belanda memamerkan rekonstruksi
Candi Sari, sebuah Candi Budha yang dibangun abad ke-9 di Jawa Tengah. Di
dalamnya ada fragment Borobudur, Candi Sewu dan juga berbagai candi yang ada di
Jawa. Candi Sari adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">piece de
resistance</i> dari Kolonial Belanda, dan sekali lagi menarik perhatian utama,
seperti halnya kampung-kampung Jawa yang dipamerkan tahun 1889.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn17" name="_ftnref17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[17]</span></span></span></span></a>Pada pameran
kali ini yang ingin dibanggakan oleh orang Belanda adalah penemuan-penemuan
arkeologi di tanah jajahan mereka. Pada pameran ini sepertinya ada kompetisi
kajian arkeologi. Belanda ingin menunjukan, sekali lagi, superioritasannya
dalam hal arkeologi. Yang menarik diperlihatkan oleh Bloembergen bahwa
rekonstruksi Candi Sari di paris ini tidak hanya dokumentasi perubahan perilaku
negara kolonial dan individu-individu pribadi berhadapan dengan warisan budaya
Hindu-Jawa, tetapi ini juga dokumen atas elemen-elemen yang berubah atas
perilaku ini. Dua hal dipandang sebagai suatu penghormatan. Di satu sisi,
adanya penghormatan terhadap nilai artistik dan historis secara intrinsik
terhadap sesuatu yang antik. Di sisi yang lain, pentingnya warisan budaya bagi
Belanda dan bagi koloninya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn18" name="_ftnref18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[18]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 2.15pt 0in 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Mulai
6 April hingga 6 November 1931 di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Bois de
Vincennes</i>, sebelah Timur Paris, diadakan sebuah pertunjukan besar-besaran
yang diberi judul: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Exposition Coloniale
Internationale</i>. Mungkin, inilah pameran kolonial yang terbesar di Eropa.
Bloembergen mengutip tanggapan pada saat itu dengan jelas: </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 30.6pt 0in 28.35pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Estetika timur dan
teknologi barat menyatu untuk menunjukkan kepada kita suatu negeri dongeng yang
sedemikian kaya, beragam, dan begitu halus<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>yang sebenarnya tak pernah secuilpun <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mampir</i>
di pikiran kita.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn19" name="_ftnref19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[19]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN">Kali ini, Belanda benar-benar
memperlihatkan kekuatan manajerial dan juga kekuatan eksplorasi mereka atas
negara terjajah. Bangunan Belanda di Paris pada tahun ini memperlihatkan
sintesis yang sungguh kreatif. Seluruh konstruksi dibangun untuk melambangkan
konsep gabungan antara kebudayan Timur dan Barat, bangunan ini penuh dengan
hiasan dan sarat daya cipta.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn20" name="_ftnref20" style="mso-footnote-id: ftn20;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[20]</span></span></span></span></a> Bangunan itu
dibuka dengan gerbang a’la <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pura Dalem</i>,
Sukasada, Bali. Di dalamnya ada gaya-gaya arsitektural Batak, Minangkabau.
Tetapi ada juga patung-patung dari candi-candi yang ada di Jawa. Tetapi, yang
menarik para pengunjung adalah perpaduan kreatif dengan gaya arsitektural
Belanda sendiri yang ingin menciptakan gabungan antara yang otentik dan yang
modern.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn21" name="_ftnref21" style="mso-footnote-id: ftn21;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[21]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Itulah secara
amat sangat ringkas gambaran bagaimana orang Belanda melihat eksotisme budaya
nusantara dan membawanya dalam Tontonan Kolonial Dunia. Tujuan utama Pameran
Kolonial tersebut tentu adalah untuk mengungkapkan dan merayakan kekuatan
politik dan kebudayaan Eropa yang mungkin telah menyentuh hingga ke sudut
tergelap dan paling terbelakang bumi ini. Pameran itu berfungsi secara lebih
eksplisit sebagai “alat propaganda pemerintah” daripada Pameran Dunia atau
Pameran Internasional sebelumnya, seperti Pameran Industri yang mengagumkan di
Crystal Palace, London pada 1851. Pameran seperti itu juga sangat menarik untuk
memperlihatkan keberhasilan nasional secara berkala dan dengan tampilan yang
mewah.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn22" name="_ftnref22" style="mso-footnote-id: ftn22;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[22]</span></span></span></span></a>Dengan kata
lain, tujuan Festival Kolonial ini adalah untuk memberikan kesadaran kepada
khalayak akan kekuatan bangsa-bangsa penjajah dalam mendominasi penduduk asli,
yang secara ironis merupakan peragaan nyata dari bentuk-bentuk kekuatan tak
terkendali yang terpahat dalam bangunan, barang-barang maupun pertunjukkan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Yang menarik kemudian, orang-orang nusantara sendiri
mulai sadar bahwa mereka menjadi objek pertunjukkan dan kemunculan perlawanan
terhadap seluruh gagasan ini muncul. Gouda memberi gambaran dari sebuah kutipan
novel berkaitan dengan antipati terhadap festival ini:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 6pt 23.55pt 0in 28.35pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 11.0pt;">“Saya adalah seorang
dari Timur, salah satu dari yang sedang dipamerkan sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">un peuple Indonesien</i> (orang indonesia)... Jiwa dan raga saya serta
yang terhormat rekan-rekan saya yang berkulit berwarna telah diinjak-injak dan
telah dinodai: mereka telah ditelanjangi di hadapan orang-orang beradab kulit
putih. Saudara-saudara, andaikan orang-orang kulit putih dipajang di pameran
seperti ini pada sebuah Pameran di Timur (Indonesia), jika Anda diminta untuk
bertelanjang, memasak ular dan dipaksa makan-makanan yang sudah berbau busuk,
tidakkah jiwa Anda akan terasa sakit dan seakan-akan disayat-sayat” Andaikan
saja Pameran ini berlangsung di Timur, tentu saja akan menjadi abu dan asap
sebelum mulai dibuka, karena kita orang-orang Timur tidak akan menunggu lama
sebelum kita melakukan tindakan. Bukankah Francois (seorang petualang dari
Sosialis Prancis) sendiri yang mengatakan: lakukanlah apa yang dapat kalian
lakukan hari ini, jangan menunggu sampai besok? Apakah Anda, kamerad-kamerad,
menggunakan nama Sosialis hanya sebagai topeng, sementara perbuatan Anda tidak
jauh berbeda dari orang-orang borjuis itu?”<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn23" name="_ftnref23" style="mso-footnote-id: ftn23;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[23]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN">pameran-pameran itu sedikit
banyak memang kemudian membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan
orang-orang Indonesia pada saat itu. Gouda mencatat bahwa setelah itu muncul
perlawanan yang sedemikian nyata oleh orang-orang Indonesia dalam
tulisan-tulisan majalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Timboel</i>
antara tahun 1920an.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn24" name="_ftnref24" style="mso-footnote-id: ftn24;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[24]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Pengaruh Eksotisme dan Kesadaran yang Terbangun</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jelajah tontonan kolonial ini memberikan kesadaran bahwa
ada yang membekas dari mentalitas perburuan eksotis dan antik dari Belanda.
Jejak-jejak tontonan itu kemudian diadopsi di Indonesia menjadi Taman Mini di
Jakarta.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn25" name="_ftnref25" style="mso-footnote-id: ftn25;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[25]</span></span></span></span></a>
Kisah pembentukan Taman Mini Indonesia Indah sebenarnya terjadi secara
sederhana. Dalam perjalanan mengunjungi Disneyland di California pada 1971, Ny.
Soeharto (Ibu Tien) tersentak bagaikan petir, oleh sebuah inspriasi untuk
membangun sebuah taman yang dapat melambangkan “Indonesia Indah” dalam bentuk
mini. “Impian Disneyland” Ibu Soeharto itu kemudian terwujud menjadi kenyataan
pada Hari Perempuan Internasional tahun 1975. Ditemani sahabatnya, Imelda
Marcos dari Filipina dan dipublikasikan secara luas, Ibu Soeharto meresmikan
Taman Mini dengan meriah.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn26" name="_ftnref26" style="mso-footnote-id: ftn26;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[26]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Analisis terhadap perburuan dan pertunjukan eksotisme ini
memperlihatkan imaji kolonial; bukan hanya memperlihatkan gambaran segala
sesuatu yang ada di koloni tetapi juga menggambarkan bagaimana pembuat imaji
itu sendiri membentuk dirinya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn27" name="_ftnref27" style="mso-footnote-id: ftn27;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[27]</span></span></span></span></a> Kajian pasca
kolonial tidak hanya memperlihatkan pengaruh relasi represif tunggal antara
penjajah dan yang dijajah. Tetapi, ternyata ada juga pengaruh relasi timbal
balik antara yang menguasai dan yang dikuasai. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Apa yang saya sadari dari pembahasan mengenai perburuan
dan tontonan eksotisme ini? <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>,
sangat mungkin bahwa kegemaran orang untuk melihat yang spektakuler dan
menciptakan yang spektakuler merupakan konstruksi dan warisan dari penjajahan
Belanda. Sesuatu yang spektakuler itulah yang dicari oleh orang. Jika tidak
spektakuler tidaklah menarik. Ini pula yang menghiasi media-media saat ini.
Spektakuler adalah yang dicari dan diburu oleh media, karena dalam kandungan
hasrat manusia terkonstruksi hasrat meraih yang spektakuler. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, yang spektakuler itu terkait
dengan sesuatu yang lain (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">other</i>). Terkait
sesuatu yang belum pernah atau jarang didengar. Hal-hal yang eksotis adalah
sesuatu yang lain dari kehidupan yang biasa. Seringkali, orang mencari yang
eksotis bukan karena hal itu otentik atau asli tetapi hanya karena itu berbeda
dengan kehidupan biasa.<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> Ketiga</i>,
perburuan eksotisme dan yang dimunculkan dalam tontonan juga berkaitan dengan
otentisitas. Belanda menampilkan sesuatu yang eksotis tetapi sekaligus otentik.
Ada perang politik kolonial memang di sana, dimana Belanda bersaing dengan para
penjajah lain di Eropa guna memperlihatkan siapa yang mampu menguasai tempat
atau hal yang paling otentik. Persaingan Candi Sari (Kolonial Belanda) dan
Angkor Wat (Kolonial Perancis) memperlihatkan hal ini. Perburuan otentisitas
ingin menunjukan mengenai identitas diri. Bagi saya sendiri, penelusuran yang
otentik seringkali disalah mengerti. Cara berpikir Kaum Kolonial menunjukkan
bahwa yang otentik adalah yang paling tua umurnya, yang paling awal. Sepertinya
yang awal itu bisa diraih. Bukankah dalam Kajian Pasca Kolonial, Homi Bhabha
sudah mengkritisi hal ini bahwa budaya itu hibrid.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn28" name="_ftnref28" style="mso-footnote-id: ftn28;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[28]</span></span></span></span></a> Ada
percampuran dari sana sini dalam kurun waktu sejarah. Benar-benar menelusuri
untuk mencari yang asli adalah sesuatu yang mustahil. Jika demikian, saya
memahami bahwa identitas diri, baik individu maupun kelompok tertentu, tak bisa ditunjuk
dengan jari tetapi dalam proses itu sendiri. Dalam proses itulah kemudian orang
mengenal identitas dirinya. Belanda mengenal diri dalam proses perburuan imaji
eksotis budaya. Demikianpun Indonesia menemukan jati dirinya dalam prosesnya
menelusuri sejarahnya termasuk sejarah bersama kaum Kolonial. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Penutup</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN">Akhirnya, dalam
memori historis indonesia, kebenaran tentang keabsahan penjajahan Belanda
mungkin tidak menyenangkan dan gelap, tetapi tidak sekadar berfungsi sebagai
tempat berkembangnya dendam kesumat. Makna mutakhir tentang masa lalu kolonial
mungkin ada di wilayah tengah yang remang-remang dan abu-abu. Masa pemerintahan
kolonial Belanda yang panjang masih tetap berdampak pada Budaya Indonesia masa
kini, masa kolonial itu dihayati dengan perasaan campur aduk, bervariasi antara
dendam sampai tak peduli, tergantung kebutuhannya. Sementara dalam
historiografi nasionalis resmi, kolonialisme Belanda sering digambarkan sebagai
“inkarnasi setan”, dalam bayangan warga Indonesia kebanyakan, Belanda mungkin
sedikit lebih menyerupai singa “ompong” daripada singa yang mengaum keras.
Tetapi, bagaimanapun juga penelusuran terhadap sejarah kolonial merupakan
faktor penting dalam pencarian identitas kebangsaan. Bagaimanapun, membangun
bangsa baru yang mandiri merupakan tugas yang sangat besar. Imaji-imaji
eksotis, otentik, hibrid baik yang ada dibenak orang-orang Belanda ataupun
dalam benak orang-orang Indonesia memberi jejak-jejak berkaitan dengan
bagaimana identitas itu dirumuskan. Di sini saya hanya ingin memperlihatkan
salah satu imaji eksotis yang mempengaruhi orang-orang Belanda. Saya sadar
bahwa masih terbuka “situs-situs” imaji yang lain yang mampu memperkaya
bagaimana peneluran jejak bangsa ini bisa terjadi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 16.0pt;">Daftar Pustaka</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0in 0in 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="mso-ansi-language: EN-US;">Aschroft,
Bill, dkk. 1998. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Key Concepts in
Post-Colonial Studies</i>. London: Routledge</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0in 0in 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="mso-ansi-language: EN-US;">Bhabha,
Homi K.. 1994. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The Location of Culture</i>.
London: Routledge</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0in 0in 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="mso-ansi-language: EN-US;">Edward
Said. 1978. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Orientalism.</i> London:
Penguin Books.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0in 0in 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span lang="IN">Frances Gouda. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di
Hindia Belanda, 1900-1942</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>terj:</u></i>
J. Soegiarto dan S.R. Rusdiarti. Jakarta: Serambi.</span><span style="mso-ansi-language: EN-US;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0in 0in 28.35pt; text-align: justify; text-indent: -28.35pt;">
<span style="mso-ansi-language: EN-US;">Marieke
Bloembergen. 2006.<i> Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East
Indies at World Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-top: 6pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br clear="all" />
<hr size="1" style="margin-left: 0px; margin-right: 0px;" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: black;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref1" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[1]</span></span></span></span></span></a><span style="color: #444444;"><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Buku ini akan menjadi
bahan utama dalam tulisan ini. </span></span></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><br /></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref2" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[2]</span></span></span></span></span></a><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">“Orientalism,
a way of coming to terms with the Orient that is based on the Orient’s special
place in European Western experience.”</span></i><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> Lihat: </span><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Edward Said. 1978. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Orientalism.</i>
London: Penguin Books. Hlm. 1</span></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref3" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[3]</span></span></span></span></span></a><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">“Orientalism,
is a style of thought based upon an ontological and epistemological distinction
made between ‘the orient’ and (most of the time) ‘the occident’”.</span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid. hlm. 2</span></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref4" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[4]</span></span></span></span></span></a><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">“</span></i><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Times; mso-no-proof: no;">I come to the third
meaning of Orientalism, which is something more historically and materially
defined than either of the other two. Taking the late eighteenth century as a
very roughly defined starting point Orientalism can be discussed and analyzed
as the corporate institution for dealing with the Orient-dealing with it by
making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching
it, settling it, ruling over it: in short, Orientalism as a Western style for
dominating, restructuring, and having authority over the Orient.”</span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid. hlm. 3</span></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref5" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[5]</span></span></span></span></span></a><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;">“...
to show that European culture gained in strength and identity by setting itself
off againts the orient as a sort of surrogate and even underground self.”</span></i><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid. hlm. 3</span></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref6" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[6]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Goenawan Mohamad menuliskan
gagasan Orientalisme dari Said secara cukup indah dalam Catatan Pinggirnya.<a href="https://www.blogger.com/null" name="_GoBack"></a></span></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref7" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[7]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid. hlm. 5-6</span></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref8" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[8]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">“One key problem with Said’s
research is his ahistorical method.” Lihat: Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 5</span></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref9" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[9]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid hlm. 6</span></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref10" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[10]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">asimilasi adalah pembaruan dua
kebudayaan atau sudut pandang untuk memunculkan kebudayaan baru. Asosiasi lebih
pada kerjasama antar dua sudut pandang atau kebudayaan tanpa menghilangkan
identitas dari kebudayaan masing-masing. Saya tidak akan membahasnya lebih
dalam karena fokusnya bukan di sana. </span></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref11" name="_ftn11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[11]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 7</span></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref12" name="_ftn12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[12]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> Frances Gouda. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942</i>.
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>terj:</u></i> J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 351</span></span></div>
</div>
<div id="ftn13">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref13" name="_ftn13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[13]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 51</span></span></div>
</div>
<div id="ftn14">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref14" name="_ftn14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[14]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> Perang Aceh sudah dimulai sejak tahun 1873
walaupun baru berakhir pada tahun 1914.</span></span></div>
</div>
<div id="ftn15">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref15" name="_ftn15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[15]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Ibid. hlm. 101</span></span></div>
</div>
<div id="ftn16">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref16" name="_ftn16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[16]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid. hlm. 107-108. “a gamelan
with dancing girls … on a larger scale than had been seen at exhibitions thus
far.” Ibid hlm. 124</span></span></div>
</div>
<div id="ftn17">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref17" name="_ftn17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[17]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">ibid. hlm. 164</span></span></div>
</div>
<div id="ftn18">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref18" name="_ftn18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[18]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">“The reconstruction of the
Candi Sari in Paris not only documents the changing attitudes of the colonial
state and private individuals to the cultural heritage of Hindu-Javanese
antiquity, but it also documents the whimsical elements of these attitudes. The
growing appreciation had two distinct side to it – an ppreciation of the
special intrinsic historical and artistic value of the antiquities on the one
hand, and an interest in the significance of this cultural heritage to the
Netherlands and its colony on the other.” Ibid. hlm 197.</span></span></div>
</div>
<div id="ftn19">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref19" name="_ftn19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[19]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Ibid. hlm. 269</span></span></div>
</div>
<div id="ftn20">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref20" name="_ftn20" style="mso-footnote-id: ftn20;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[20]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> Frances Gouda. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942</i>.
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>terj:</u></i> J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 345</span></span></div>
</div>
<div id="ftn21">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref21" name="_ftn21" style="mso-footnote-id: ftn21;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[21]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 296</span></span></div>
</div>
<div id="ftn22">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref22" name="_ftn22" style="mso-footnote-id: ftn22;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[22]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> ibid. Hlm. 15</span></span></div>
</div>
<div id="ftn23">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref23" name="_ftn23" style="mso-footnote-id: ftn23;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[23]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> Frances Gouda. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942</i>.
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>terj:</u></i> J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 395-396</span></span></div>
</div>
<div id="ftn24">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref24" name="_ftn24" style="mso-footnote-id: ftn24;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[24]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> ibid. Hlm. 365</span></span></div>
</div>
<div id="ftn25">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref25" name="_ftn25" style="mso-footnote-id: ftn25;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[25]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 7</span></span></div>
</div>
<div id="ftn26">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref26" name="_ftn26" style="mso-footnote-id: ftn26;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[26]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"> Frances Gouda. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942</i>.
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>terj:</u></i> J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 407</span></span></div>
</div>
<div id="ftn27">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref27" name="_ftn27" style="mso-footnote-id: ftn27;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[27]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">Marieke Bloembergen. 2006.<i>
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>trans</u></i>:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 318</span></span></div>
</div>
<div id="ftn28">
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref28" name="_ftn28" style="mso-footnote-id: ftn28;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 10.0pt;"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "MS 明朝"; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-no-proof: yes;">[28]</span></span></span></span></span></a><span style="font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US;">gagasan hibriditas Homi Bhabha
ditemukan dalam: Homi K. Bhabha. 1994. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The
Location of Culture</i>. London: Routledge dan Bill Aschroft , dkk. 1998. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Key Concepts in Post-Colonial Studies</i>.
London: Routledge</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 6pt 0in 0in 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<span style="color: #444444;"><br /></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 7.1pt; text-indent: -7.1pt;">
<br /></div>
</div>
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-30896101633610521112014-03-12T12:55:00.000+07:002014-03-14T09:36:02.582+07:00Pendahuluan: Menentukan Letak Penelitian Budaya dan Buku<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"@Arial Unicode MS","sans-serif";}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Pendahuluan: Menentukan Letak Penelitian Budaya dan Buku</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Arus silang di dalam Penelitian<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>budaya<span style="mso-tab-count: 5;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Rekonsiliasi<span style="mso-tab-count: 9;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Garis Besar Buku<span style="mso-tab-count: 8;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Salah satu dari argumen-argumen buku ini adalah bahwa penelitian atau
metodologi penelitian tidak pernah ‘objektif’ tetapi selalu ditentukan,
ditunjukkan oleh posisi-posisi sosial tertentu dan momen-momen historis serta
agenda penelitian. Jadi, untuk menentukan legak buku ini, buku ini memiliki
asal-usul awal di dalam penelitian saya tentang wacana-wacana dan
pengalaman-pengalaman yang telah dijalani tentang gangguan makan, terutama
penyakit mental perempuan, yang dicirikan oleh upaya berbahaya untuk
mendapatkan tubuh langsing. Pada awalnya saya terdorong untuk meneliti
kondisi-kondisi ini, karena saya sendiri telah mengalami anoreksia, saya telah
dibuat bingung, atau bahkan dibuat marah, oleh cara di mana kondisi-kondisi ini
diteliti di dalam dua hal. Pertama, saya terganggu oleh cara di mana
penelitian-penelitian ini mengubah perempuan penderita anoreksia (kehilangan
selera makan) menjadi perempuan ‘berpenyakit’, atau tidak mampu mengukur
pemikiran dan tindakan mereka. Di dalam banyak penelitian, tuturan penderita
anoreksia dipahami hanya sebagai ‘simtom’, dari mana makna ‘yang sesungguhnya’
seperti patologi psikologis atau sosial, bisa dibaca oleh ahli, seperti psikiatris
atau bahkan seorang kritikus budaya fiminis. Kedua, saya patah semangat,
frustrasi, dengan proyek-proyek sosial dan politis dan argumen-argumen bahwa
penderita anoreksia –jelas tidak mengetahui ‘makna’ atau akar-akar penyebab
kondisinya—dibuat mampu menghadapinya. Penafsiran-penafsiran anoreksia telah
memberi perhatian penting pada sifat-sifat seksis tubuh dan struktur keluarga
ideal dan tidak berfungsinya kontrol diri posmodern. Penafsiran-penafsiran
tentang anoreksia juga sering kali menegaskan sifat-sifat patologis penderita
anoreksia, atau perempuan pada umumnya, sebagai gagal, sangat tergantung pada
orang lain dan opini orang lain, dan rentan terhadap keluhan sosial dan
konservatisme.</span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jadi, didorong oleh kedua
keprihatinan saya ini, saya memulai sebuah proyek<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>penelitian yang bertujuan mengembangkan
cara-cara menilai pengalaman anoreksia yang telah dialami dan secara kritis
menganalisis wacana-wacana yang telah membentuknya. Namun demikian, meskipun
wawancara-wawancara saya sendiri dengan para perempuan penderita anoreksia
mengandung banyak pemahaman yang menantang dan sangat menarik,
pemahaman-pemahaman itu juga ditopoang oleh pemahaman medis tentang anoreksia
yang bermasalah, yang ingin saya kritik. Ini mengarahkan saya pada dilema
metodologis pertama saya: Bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang adil
terhadap pengalaman yang telah dialami oleh orang, sementara pada saat yang
sama secara kritis menganalisis wacana-wacana, yang membentuk bahan-bahan
pengalaman kita?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Lebih jauh, analisis saya
tentang wacana-wacana tentang gangguan makan mengarahkan saya pada<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tempat-tempat yang tidak dieprkirakan.
Meneliti sejarah kriteria diagnostik kontemporer untuk anoreksia, mengarahkan
saya meneliti kebijakan imigrasi Amerika tahun 1920an, dan konteks politik,
kultural dan intelektual Amerika pasca perant atau Perang Dingin. Analisis saya
tentang tokoh populer yang telah menjadikan gangguan makan terkenal, Karen
Carpenter dan Putri Diana, lebih lanjut mengarahkan saya pada pertempuran di
antara radikalisme tahun 1960an dan neo-konservatisme era Nixon dan
selanjutnya, lebih dekat ke rumah baru saya sendiri, politik Burun Baru yang
kontradiktif dan suasana Inggris Raya tahun 1990an. Namun demikian, memetakan
hubungan-hubungan sosial anoreksia dan definisi-definisinya, mengarahkan saya
pada dilema metodologis lain: Bagaimana kita bisa mengkritik wacana-wacana,
yang membentuk ‘realitas’, seeprti anoreksia, sementara pada saat yang sama,
membuat pernyataan-pernyataan tentang realitas historis dan politis?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Akhirnya, apa yang telah
dimulai sebagai sebuah eksplorasi kejengkelan pribadi, telah membawa saya pada
usaha untuk meneliti proses-proses sosial dan politik penting, perkembangan dan
struktur Amerika Utara dan Eropa abad kedua puluh, dengan cara yang belum saya
persiapkan. Saat penelitian berjalan, saya sampai pada kerangka kerja untuk
meneliti dimensi-dimensi historis dan sosial anoreksia yang dijalani dan
terpisah, dan bergeser di antara perspektif-perspektif metodologis dan
jenis-jenis tulisan yang berbeda. Meskipun pendekatan-pendekatan metodologis
yang berbeda sering kali saling melengkapi satu sama lain, mereka juga bermuara
pada kesulitan-kesulitan praktis dan juga kontradiksi-kontradiksi teoretis.
Didasarkan pada penelitian saya dan banyak sekali penelitian para peneliti
lain, buku ini bertujuan menyediakan peta pemandu tentang bagaimana meneliti
sifat-sifat realitas kontemporer yang bersifat historis dan politis dan telah
dijalani serta berbeda. Maksud saya adalah menulis sebuah buku yang ingin saya
baca sebelum saya memulai penelitian saya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Arus Silang di dalam Penelitian Budaya</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Namun demikian, komitmen intelektual saya tidak dibentuk oleh penelitian
saya sendiri, melainkan komitmen itu juga dipandu oleh sejarah
penelitian-penelitian budaya, dan cara di mana sejarah ini dimainkan di
tempat-tempat saya pernah bekerja atau meneliti. Penelitian-penelitian budaya
sebagai sebuah disiplin ditempa pada tahun 1970an pada apa yang sekarang
menjadi legenda Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies. Saya telah
diperkenalkan pada penelitian-penelitian budaya pada tahap selanjutnya, pada
tahun 1980an, ketika saya mengerjakan tugas kesarjanaan pertama saya di
Universitas Tampere, Finlandia. Ini adalah saat ketika penelitian-penelitian
budaya tidak lagi menjadi pekerjaan pinggiran, tetapi menjadi arus utama dan
mengambil alih jurusan-jurusan akademik di Skandinavia. Jadi, bahkan jika saya
meneliti sebuah pokok bahasan yang barangkali ‘objektivis’, seperti jurnalisme,
atau kurikulum yang terfokus pada ideologi, hegemoni, resistensi,
posmodernitas, representasi dan narasi. Proyek-proyek penelitian pertama saya
tentang pers alternatif Costa Rika dan gerakan penduduk liar muda Finlandia,
yang sangat melekat pada jenis penelitian—penelitian Inggris, dan khususnya ketertarikannya
pada ‘penolakan’. Baik saya mapun teman-teman sebaya saya pada tahun 1980a, dan
juga para siswa abad kedua puluh satu saya sendiri, menyukai aura kritis dan
‘pukulan ringan’ penolakan, yang melihat sedikit ‘harapan’ di dalam budaya,
tidak seperti beberapa dari analisis-analisis kritis pesimistis, yang melihat
budaya terutama berfungsi menenteramkan. Penolakan menggarisbawahi potensi
kreatif bentuk-bentuk kultural populer, seperti budaya dan gerakan pemuda,
menantang ideologi dan masyarakat dominan, bahkan jika potensi ini tidak selalu
ditafsirkan mengarah pada perubahan sosial radikal.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian saya tentang
anoreksia pada tahapnya yang masih sangat awal mungkin hanya menawarkan
beberapa gagasan yang belum begitu jelas tentang penderita anoreksia yang
menolak wacana tentang anoreksia, tetapi pemahaman-pemahaman ini tidak lama
akan dikeluarkan dari agenda. Ini sebagian karena fakta bahwa
wawancara-wawancara yang saya lakukan dengan para perempuan yang telah
menderita anoreksia adalah sangat rumit dan tidak bisa dijelaskan di dalam
pengertian di bawah tekanan ideologi-ideologi dominan atau meolak
ideologi-ideologi dominan itu. Lebih jauh, penelitian-penelitian tentang
penolakan semakin banyak mendapatkan serangan sebagai contoh karena lebih
banyak bercerita tentang khayalan-khayalan politis para sarjana, seperti
khayalan-khayalan tentang kelas pemuda, feminis atau kelas kerja,
pemberongakan, daripada tentang fenomena yang sedang diteliti (Morris, 1990;
Nightingale, 1992; Stabile, 1995). Namun demikian, saya berpikir analisis
ideologi terus menghasilkan pemahaman tentang penelitian empiris tentang
pengalaman-pengalaman yang telah dialami, teks dan konteks. Saya juga berpikir
bahwa arus-arus metodologis belakangan di dalam penelitian-penelitian budaya tidak
bisa dipahami tanpa mengetahui pendekatan-pendekatan klasik ini, yang sering
kali terus menopang penelitian-penelitian yang dilakukan di dalam paradigma
itu, bahkan jika mereka tidak lagi menggunakan kosa-kata ini. Untuk
alasan-alasan inilah, saya menggunakan beberapa bab di dalam buku ini untuk
menjelaskan secara garis besar pendekatan-pendekatan ideologis dan penilakan
untuk penelitian tentang budaya tekstual yang telah dialami dan membicarakan
kekurangan-kekurangan mereka serta melanjutkan relevansi mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Keputusan saya untuk
meninggalkan paradigma penolakan juga sesuai dengan perpindahan saya pada tahun
1990an dari Finlandia ke Urbana-Champaign untuk menyelesaikan studi doktoral
saya di Universitas Illinois. Pada saat itu Urbana-Champaign adalah Mekah versi
Amerika untuk penelitian-penelitian budaya, yang didukung oleh kesaksian komite
disertasi saya yang beranggotakan para ilmuwan terkenal seperti Clifford
Christians, C. L. Cole, Norman Denzin, Lawrence Grossberg dan Paula Treicher.
Penasehat utama saya, Denzin, sedang mengembangkan cara-cara baru melakukan
penelitian interpretatif merespons serangan poskolonial dan feminis, yang
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan sosial belum memahami kelompok-kelompok
merjinal, seperti perempuan, kelas pekerja atau masyarakat non-Barat, tetapi
menggunakan mereka untuk membenarkan proyek-proyek politis dan teoretis para
sarjana, dari kolonilaisme hingga Marxisme (lihat Clifford dan Marcus, 1986).
Program penelitian interpretatif atau etnografis baru bertujuan menemukan
cara-cara yang lebih kolaboratif di dalam meneliti dan menulis tentang
masyarakat yang akan menjadi lebih sensitif terhadap dunia dan kesadaran yang
berbeda tentang batas-batas dan komitmen pemahaman kami sendiri (Denzin,
1997a). Pada saat yang sama, anggota komita saya yang lain, Grossberg, sedang
memulai kritik ‘peralihan budaya’ di dalam penelitian sosial dan mengemukakan
bahwa kita harus mulai memberi perhatian pada perkembangan-perkembangan ekonomi
dan material yang semakin eksplitatif, yang telah dilupakan sebagai akibat dari
ketertarikan pada budaya dan pengalaman (sebagai contoh, Grossberg, 1998). Di
dalam situasi ini, saya merasa sedikit tersentak dan ditarik di antara dua arus
di dalam penelitian empiris pada bidang studi budaya yang tertarik pada
mikrokosmos pengalaman individual atau makrokosmos struktur kekuatan ekonomi
global (Saukko, 1998).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Rekonsiliasi</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Namun demikian, perkembangan-perkembangan belakangan di dalam penelitian
empiris dan pembahasan-pembahasan metodologis di dalam peneltiian budaya telah
sedikit mengaburkan arus-arus silang ini. Tanda-tanda kritik etnograis baru dan
orisinil, Clifford (1997) dan Marcus (1998a), bersama dengan para peneliti lain
(Appadurai, 1997; Haraway, 1997), telah mulai berbicara tentang cara bagaimana
penelitian kita telah melampaui batas-batas paradigmatik dan geografis
tradisional. Ini telah mengaburkan perbedaan di antara sebagai contoh budaya
dan ekonomi, dan juga telah menghancurkan gagasan tentang objek penelitian yang
dengan mudah bisa didefinisikan, seperti sebuah subbudaya atau sebuah desa.
Jadi, subbudaya pemuda bagi sosiolog atau desa bagi apra antropolog tidak lagi
menjadi lokasi yang bisa diisolasi melainkan lebih sebagai titik di dalam
jaringan-jaringan yang dipotong dan dibentuk oleh arus-arus media transisional,
uang, masyarakat, benda-benda dan citra. Dengan cara yang sama, mengikuti topik
penelitian saya, anoreksia yang sering kali dipahami sebagai masalah
psikologis, melampaui bidang-bidang kehidupan dan level-level analisis yang
berbeda. Jadi, saat penelitian saya berlanjut, anoreksia mulai tampak bersifat
sangat personal dan interpersonal dan pada saat yang sama, sangat dimungkinkan
oleh wacana medis dan populer dan sulit dikenali namun saling berhubunngan erat
dengan rezim sosial, politis dan bahkan militer global.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Di dalam skenario
batas-batas yang kabur ini, yang kadang-kadang dijelaskan oleh slogan millenial
‘globalisasi’,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>pembagian-pembagian
metodologis lama di antara pengalaman, budaya dan ‘realitas’—atau ‘audiens’,
‘teks’ dan ‘produksi’ di dalam penelitian-penelitian media –telah menjadi
kurang jelas. Situasi baru ini di dalam pengertian tertentu telah membawa saya
pada bidang-bidang yang menarik perhatian para anggota komite saya yang lain,
yakni penelitian tentang ilmu pengetahuan (Cole, 1998; Treichler, 1999) dan
teori dialogis (Christians, 1988, 2000). Penelitian-peneltiian budaya tentang
ilmu pengetahuan telah berada pada garis depan di dalam mengembangkan sebuah
metodologi hibrida (cangkokan) yang membawa kita keluar dari debat apakah
realitas material menentukan atau lebih penting daripada bahasa dan budaya atau
apakah bahasa dan budaya menentukan, atau lebih penting dariapda realitas.
Meminjam gagasan, wacana Haraway (1997) wacana semacam itu tentang anoreksia,
paling bagus dipandang sebagai kekuatan-kekuatan ‘material-semiotis’, yang
muncul dari konteks historis spesifik dan memunculkan perubahan yang bersifat
simbolis dan sangat nyata. Jadi, wacana tentang anoreksia<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>membentuk pemahaman paling mendasar kita
tentang diri kita, bagaimana kita mendefinisikan jenis diri seperti apa yang
‘sehat’ dan jenis diri seperti apa yang ‘sakit’. Pada saat yang sama, ini
memunculkan rezim khusus perlakuan dan gaya hidup, menjadi bagian dan potongan
dari gambaran media populer, dan dimobilisasi untuk mempatologikan atau
mendukung berbagai macam rezim sosial dan politis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Wacana tentang anoreksia
menyusun jalinan fase-fase simbolis, kongret, lokal dan global; setiap fase
juga memiliki kekhususannya sendiri. Sejarah kehidupan seseorang sejarah Perang
Dingin bisa saling dihubungkan, tetapi kita memerlukan pendekatan yang berbeda
untuk menangkap sejarah yang telah dialami dan bersifat umum. Dari sudut
pandang metodologis ini memunculkan dua tantangan. Pertama, untuk memahami fase
khusus pengalaman, kita harus menerapkan sebuah metodologi yang tepat. Sebagai
contoh, jika kita ingin menangkap dan menyampaikan keunikan dan kuansa kisah
hidup seorang perempuan penderita anoreksia, kita harus secara hati-hati
memperhitungkan dan menerapkan banyak karya etnografi baru tentang cara-cara
meneliti dan menulis dunia-dunia berbeda yang telah dialami. Kedua, kita harus
sadar bahwa keunigkan ini bukanlah satu-satunya hal untuk pengalaman yang telah
dialami. Pengalaman juga dibentuk oleh wacana-wacana sosial, seperti
definisi-definisi medis, dan oleh konteks historis dan sosial, di mana
pengalaman itu berada. Namun demikian, untuk menangkap dimensi-dimensi lain
dari pengalaman tentang anoreksia ini kita memerlukan pendekatan-pendekatan
metodologis dan metode-metode yang berbeda, seperti analisis wacana atau
penelitian historis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pemikiran tentang
penguasaan sejumlah pendekatan penelitian yang berbeda, dan penggabungan
pendekatan-pendekatan itu, mungkin terdengar sangat berani bagi para peneliti
pemula maupun sarjana yang telah berpengalaman, dan butuh perjuangan menghadapi
berbagai tekanan di masa sekarang ini. Keberhasilan proyek penelitian
tergantung pada tindakan penyeimbangan yang sulit dilakukan di antara ambisi
dan apa yang bisa dilakukan. Tujuan dari bab-bab yang berbeda dari buku ini
adalah menjelaskan secara garis besar cara-cara berbeda untuk melakukan
penelitian dan untuk mengembangkan cara melakukan penelitian itu dengan cara
terbaik yang mungkin dilakukan, dengan menyoroti kekhususan, kekuatan, dan masalah
serta penghilangan bagian tertentu yang mungkin terjadi. Sebagai contoh, saya
akan melihat lebih pada etnografi baru yang paling baik dan paling indah yang
menunjukkan tekstur pengalaman unik atau ‘tunggal’ yang telah dialami dan sulit
dikenali dan pada saat yang sama menyampaikan sesuatu yang bersifat
‘universal’, maksudnya menunjuk pada beberapa dilema penting dunia sosial
kontemporer kita. Pada saat yang sama, saya ingin mempermasalahkan kebiasaan
menawarkan kisah-kisah yang telah dikenal dari intrik-intrik pribadi dan
skandal hidup, seperti gambaran detil tentang horor bertubuh gemuk (Kiesinger,
1998), sebagai pengalaman ‘otnetik’, dengan cara seperti yang dilakukan
oleh<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>beberapa jenis penelitian
eksperimental dan juga pertunjukan perbincangan (talkshow) siang hari. Namun
demikian, di alam pembahasan tentang pendekatan-pendekatan penelitian yang
berbeda. Saya tidak hanya ingin menyoroti ciri-ciri khusus, tetapi juga
cara-cara di mana semua itu berhubungan satu sama lain. Menempatkan letak
perbedaan di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda, seperti meneliti
realitas-realitas global yang telah dialami, bertujuan untuk menunjukkan cara
bagaimana menggabungkan pendekatan-pendekatan itu, untuk menyatukan
analisis<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tentang fenomena yang sedang
kita teliti yang mungkin saja lebih kompleks dan banyak memiliki nuansa atau
bahkan tidak pernah lengkap. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Keharusan untuk membangun
dialog di antara pandangan-pandangan yang berbeda, akhirnya membawa saya pada
rumah akademis saya sekarang ini, Centre for Mass Communication Research di
Universitas Leicester. Pada tahun 1970an, Leicester Centre dibentuk oleh
masyarakat akademik Inggris yang lebih luas, sebagai kutup ilmiah, sosial,
ekonomi dan politis tandingan untuk kulturalisme Birmingham Centre. Namun
demikian, masa itu telah lama berlalu, dan saat ini Leicester barangkali paling
dikenal karena penelitiannya tentang komunikasi internasional, yang kemudian
disebut dengan istilah globalisasi. Wacana tentang ‘segala sesuatu yang
bersifat global’ bisa memunculkan pukulan seperti mode musim semi populer dan
intelektual. Namun demikian, globalisasi memerlukan analisis interaksi di
antara dimensi-dimensi yang dialami, dimungkinkan, religius, etnis, jender,
ekonomi dan politik dari dunia kontemporer. Dengan demikian, globalisasi telah
menciptakan sebuah ruang interdisipliner, di mana berbagai pendekatan teoretis
dan juga metodologis telah bisa hidup berdampingan secara damai,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>memunculkan dialog, debat, peminjaman dan
perkembangbiakan silang secara terus-menerus.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sepanjang buku ini saya
menggarisbawahi keharusan memberi perhatian pada bagaimana fenomena kultural
atau intelektual, situasi-situasi material dan rezim poligis saling berhubungan
satu sama lain. Saat saya melakukan editing teknis akhir pada buku ini, sekali
lagi saya teringat akan arti penting interaksi ini. Saya mengoreksi
halaman-halaman tertentu, karena tahu bahwa tempat kelahiran awal
penelitian-penelitian budaya di Birmingham telah mengalami ‘restrukturisasi’,
dan kondisi-kondisi kerja saya sendiri di Leicester telah mengalami perubahan
tanpa saya sadari karena ‘reorganisasi’ yang sedang berlangsung. Bahkan, jika
tampak bahwa pemotongan anggaran telah memukul bidang interdisipliner
penelitian-penelitian budaya dan komunikasi Inggris, bagian akhir sesuatu selalu
menjadi bagian awal sesuatu yang lain. Saya sedang menuju Universitas Exeter,
menjadi bagian dari tim penelitian interdisipliner yang meneliti
implikasi-implikasi sosial genomika (sebuah penelitian tentang semua rangakian
nukleutide, termasuk gen-gen struktural, rangkaian pengatur, dan bagian-bagian
DNA yang tidak melakukan coding, pada kromosom sebuah organisme). Barangkali
lebih dari perkembangan sosial baru yang lain, genomika mendorong cara-cara
baru untuk memahami dan meneliti hubungan-hubungan di antara sesuatu yang
bersifat material dan kultural baik di dalam kehidupan personal maupun sosial.
Ini membutuhkan lebih banyak analisis kultural, kritis dan secara logis cerdas
tentang fenomena sosial baru yang menantang pemahaman mendasar kita tentang diri
kita sendiri dan tatanan-tatanan sosial kita.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Garis Besar Buku</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Sebelum saya berlanjug dengan garis besar struktur buku ini, saya ingin
menjelaskan bahwa buku ini adalah tentang ‘metodologi’, bukan tentang ‘metode’.
Perbedaan yang dimunculkan oleh istilah Yunani ‘logos’ (pengetahuan) adalah
bahwa, meskipun metode merujuk pada ‘alat’ praktis untuk memhaami realitas
empiris, metodologi merujuk pada paket peralatan yang lebih luas dan juga
komitmen filosofis dan poligis yang muncul bersama sebuah ‘pendekatan’
penelitian tertentu. Metode dan metodologi sering kali berjalan seiring,
sehingga pendekatan metodologis hermeneutis, sering kali berjalan bersama
dengan sebuah metode, seperti pengamatan partisipan, yang memungkinkan sarjana
atau orang yang diteliti mengembangkan kepercayaan satu sama lain. Namun
demikian, metode-metode yang sama juga bisa mendukung komitmen-komitmen
metodologis yang berbeda. Jadi, metode wawancara bisa digunakan untuk mendukung
sebuah pendekatan metodologis realis, yang bertujuan mengumpulkan informasi
‘faktual’ atau mendukung sebuah pencarian metodologis hermeneutis untuk
mendapatkan sebuah pemahaman yang teliti tentang kisah hidup seseorang (lihat
Alasuutari, 1995; Kvale, 1996; Silverman, 2001).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Alasan p ertama saya
memilih memusatkan perhatian pada metodologi adalah bahwa tidak banyak buku
tentang metode<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang sesuai untuk
penelitian budaya (sebagai contoh, Alasuutari, 1995; Flick, 1998; Silverman,
2001). Namun demikian, alasan utama mengapa saya memutuskan tidak menulis
tentang metode adalah bahwa banyak buku tentang metode (tetapi tentu saja tidak
semua buku tentang metode) memandang metode di dalam pengertian positivis
sebagai ‘kaca pembesar’ yang berada di antara peneliti dan ‘realitas’ yang
diteliti. Dipahami bahwa jika metode, atau lensa ini, digunakan secara benar,
atau sesuai dengan petunjuk, lensa ini akan membantu peneliti mendapatkan
pandangan yang ‘akurat’ atau objektif dan tidak bias tentang realitas. Salah
satu dari tujuan mendasar buku ini adalah mengeksplorasi bagaimana realtias
berubah saat kita berganti pendekatan penelitian, atau lensa, melalui lensa
mana kita melihat realitas itu. Jadi, saya tidak akan membicarakan ‘pengamatan
partisipan’ sebagai sebuah metode. Melainkan, saya akan membicarakan
upaya-upaya ‘etnografis baru’ untuk menilai dunia yang telah dijalani oleh
orang lain dan pendekatan-pendekatan ‘pos-strukturalis’ yang secara kritis
menganalisis wacana-wacana sosial dan kelembagaan yang menyatukan pengalaman
atau dunia yang dialami. Baik pendekatan etnografis maupun pos-strukturalis
baru bisa menggunakan pengamatan partisipan, tetapi ‘pengamatan’ mereka
bisa<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>sangat berbeda.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Namun demikian, meskipun
ada fokus yang sedikit lebih luas, saya akan katakan bahwa buku ini adalah
sebuah “buku tentang bagaimana melakukan sesuatu’. Bahkan jika beberapa dari
pembahasan saya bisa jadi lebih abstrakdaripada beberapa pembahasan dari
tulisan tentang metode, pembahasan saya berusaha menyediakan gagasan-gagasan
tentang ‘bagaimana melakukan’ peneltiian di dalam masing-masing dari
paradigma-paradigma penelitian yang dibicarakan. Namun demikian, saya tidak
sedang menawarkan sebuah buku tentang bagaimana ‘secara objektif’ meneliti
realitas sosial, menggunakan sebuah metode ilmiah. Saya sedang menawarkan
sebuah buku yang mendorong peneltiian sosial dan budaya yang bersifat refleksif
tentang realitas sosial dengan menyadari komitmen teoretis dan politis serta
reaksi, kekuatan dan penghilangan reaksi itu. Saya memahami kemunculan
buku-buku empiris maupun teoretis yang memusatkan perhatian pada ‘metodologi’
penelitian kultural (McGUigan, 1997; Couldry, 2000; Lewis, 2002) sebagai tanda
peningkatan pengakutan bahwa kita harus lebih banyak melakukan permenungan
tentang cara di mana peneltiian kita selalu membuka perspektif politis dan parsial
tentang realitas. Namun demikian, bahkan jika buku ini tidak mengikutai gagasan
bahwa kita harus menemukan ‘sebuah’ kebenaran tentang ‘sebuah’ realitas, buku
ini ingin mendukung gagasan relativis bahwa pendekatan-pendekatan metodologis
yang berbeda membuka banyak ‘realitas’ yang tidak bisa dibandingkan.
Sebaliknya, buku ini ingin memunculkan percakapan atau dialog di antara
pendekatan-pendekatan metodologis yang berbeda terhadap dunia, untuk menanamkan
tipe penelitian budaya yang peka terhadap kompleksitas dan multidimensionalitas
realitas global, sosial dan personal kontemporer.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Memulai penjelasan garis
besar buku ini, buku ini disusun mengikuti ‘rumus <i>X-Files</i>’ (Lavery dkk.,
1996), di mana setiap bab bisa dibaca secara independen, sama seperti setiap episode
<i>X-Files</i> bisa dilihat secara independen. Pembaca yang membaca seluruh
buku masih bisa mendapatkan lebih banyak hal dari pada yang ia dapatkan dari
membaca setiap bab secara individual, membaca bab tertentu yang menarik, sama
seeprti penonton teratur <i>X-files</i> ‘mengetahui’ lebih banyak hal tentang
setiap episode daripada penonton tidak teratur, yang hanya kadang-kadang saja
menonton filem itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Buku ini dibagi menjadi
empat bagian. Bagian pertama, di mana bagian pendahuluan dan Bab 1 menjadi satu
bagian, membicarakan sejarah metodologi penelitian budaya, menjelaskan apa yang
dimaksud dengan istilah ini dan menjelaskan secara garis besar sebuah cara
‘dialogis’ untuk menggabungkan pendekatan-pendekatan metodologis yang akan
dibicarakan di dalam bab-bab selanjutnya. Bagian kedua membicarakan
pendekatan-pendekatan penelitian yang berusaha memahami pengalaman yang telah
dialami. Bagian kedua ini menjelaskan secara garis besar cara-cara meneliti
kehidupan yang dialami di dalam pengertian ‘penolakan’, dari sudut pandang
etnografis hermeneutis atau fenomenologis baru di dalam memahami Yang Lain dan
dari perspektif penelitian tentang cara di mana wacana-wacana sosial dan
kelembagaan menyatukan satu sama lain pengalaman yang telah dialami dan
identitas. Bagian ketiga menjelaskan cara-cara bagaimana meneliti teks atau
wacana. Bagian ini membicarakan cara-cara analisis yang menguji teks di dalam
pengertian ‘ideologi’ dan pendekatan-pendekatan genealogis yang menguraikan
sifat-sifat historis fenomena yang diterima begitu saja. Bagian ini juga
menjelaskan secara garis besar analisis dekonstruktif Derridean, yang
menguraikan norma-norma dikotomis tersembunyi yang melekat di dalam teks-teks
atau wacana, dan juga pokok-pokok persoalan yang berhubungan dengan cara
menjadikan dekonstruksi lebih konstruktif dan tidak hanya mampu mengkritik
budaya tetapi juga menawarkan alternatif-alternatif sosial. Bagian terakhir
atau keempat merupakan kesimpulan buku ini. Bab pertama dari bagian ini, Bab 8,
membicarakan karya-karya geografis penting tentang ‘ruang’ dan bagaimana
karya-karya itu bisa digunakan untuk memahami proses-proses makro globalisasi
dan beberapa dari implikasi-implikasi keseharian mereka. Bab 9 memperkenalkan
beberapa cara untuk melakukan penelitian di beberapa tempat dan beberapa
lingkup (‘multi-sited’ dan ‘multi-scape’), yang menggabungkan
pendekatan-pendekatan diskursif dan material/spasial yang dijalani untuk
meneliti realtias sosial kontemporer, untuk menangkap beberapa dari
pendekatan-pendekatan untuk meneliti realitas sosial komtemporer, untuk
menangkap beberapa dari dimensi-dimensi global dan lokal, emosional dan
ekonomis, puitis dan politisnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Meskipun <i>Melakukan
Penelitian di Bidang Budaya</i> memperkenalkan pendekatan-pendekatan empiris di
dalam penelitian budaya, analisis resistensi dan ideologi, penelitian ini
cenderung ke arah pendekatan-pendekatan baru, seperti etnografi baru, geologi
dan analisis yang meliputi beberapa tempat (multi-sited). Alasan untuk fokus
ini adalah bahwa meskipun banyak orang di bidang ini ‘melakukan’ jenis
penelitian ini, belum banyak buku yang bercermin pada apa yang telah mereka
lakukan, dan jarang sekali ada buku tentang bagaimana pendekatan-pendekatan itu
digabungkan untuk memunculkan dialog di antara posisi-posisi teoretis,
metodologis, empiris dan politis yang berbeda di dalam penelitian budaya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">1 Menggabungkan Metodologi-metodologi di dalam
Penelitian Budaya</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Pertanyaan-pertanyaan Penting<span style="mso-tab-count: 6;"> </span>11</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Sejarah Penelitian Budaya<span style="mso-tab-count: 7;"> </span>13
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Tentang Validitas <span style="mso-tab-count: 8;"> </span>15</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Validitas-validitas Alternatif<span style="mso-tab-count: 7;"> </span>19</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Mengabungkan Metodologi-metodologi<span style="mso-tab-count: 5;"> </span>23</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kesimpulan <span style="mso-tab-count: 9;"> </span>33</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Latihan 1<span style="mso-tab-count: 9;"> </span>35</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Pertanyaan-pertanyaan Penting</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 12.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list 12.0pt .5in; text-align: justify; text-indent: -12.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian empiris di dalam
bidang studi budaya tersusun sesuai dengan ketertarikan pada saling pengaruh di
antara pengalaman yang telah dialami, teks atau wacana dan konteks sosial.
Bvagaimana perkembangan-perkembangan historis dan intelektual belakangan ini
memperumit ketiga bidang penelitian ini?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 12.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list 12.0pt .5in; text-align: justify; text-indent: -12.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Mengapa pemahaman klasik
tentang penelitian ‘valid’ menjadi masalah objektif? Adakah pemahaman-pemahaman
alternatif tentang validitas? Apa sajakah kriteria untuk penelitian yang valid
dan bagus?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 12.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list 12.0pt .5in; text-align: justify; text-indent: -12.0pt;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Apa sajakan
kekurangan-kekurangan dari pemahaman tentang ‘triangulasi’, menurut pemahaman
mana kita menggabungkan metodologi-metodologi yang berbeda untuk mendekati
sebuah ‘kebenaran’? Apa sajakah kekurangan-kekurangan dari pemahaman bahwa
metodologi-metodologi yang berbeda menciptakan ‘kebenaran-kebenaran’ yang
berbeda dan mungkin tidak bisa dibandingkan? Bagaimana sebuah pemahaman tentang
usaha membandingkan<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>metodologi-metodologi di dalam pengertian mengembangkan dialog di antara
pendekatan-pendekatan yang berbeda membantu bergerak melampaui pemahaman
positivis tentang sebuah kebenaran dan pemahaman relativis tentang banyak
kebenaran?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kekhasan
</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">pendekatan penelitian budaya </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">terhadap</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> penelitian empiris telah menajdi ketertarikan tersendiri di dalam
saling hubungan di antara pengalaman yang dialami, teks atau wacana dan konteks
sosial. Salah satu dari penelitian-penelitian kelasik yang membahas tiga
dimensi realitas sosial ini, adalah peneltiian David Morley tentang
respons-response audiens terhadap program berita hangat (<i>affairs</i>)<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><i>Nationwide</i> dan liputannya tentang
British Miners’ Strike, pemogokan kerja para pekerja tambang Inggris, pada tahun
1970an (Morley dan Brunsdon, 1999 [1980, 1987]). Menggabungkan tiga pandangan
ini memungkinkan Morley sampai pada pemahaman baru tentang sifat-sifat ‘aktif’
audiens media dan dinamika sosial dan politis yang dimungkinkan dari sebuah
titik balik historis. Tugas buku ini adalah menjelaskan secara garis besar
cara-cara berpikir, bekerja dan menulis penelitian pada bidang studi budaya,
dan menggunakan ketertarikan tiga fase pada realitas yang dialami, mediasi
diskursif, dan bentang lahan sosial dan politis sebagai titik berangkat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Namun demikian, ketika
penelitian budaya menjadi matang, dan beberapa perkembangan historis menjadikan
realitas sosial kita sangat berbeda dari realitas tahun 1970an, beberapa
pertanyaan menantang telah diangkat tentang kelayakan proyek-proyeknya. Tiga
pertanyaan mendasar berhubungan erat dengan metodologi peenlitian. Pertanyaan
pertama adalah: Adakah kepastian ketertarikan kita pada budaya yang secara
radikal berbeda dari budaya kita sendiri, seperti kelas kerja atau budaya non-Barat,
dan bisakah kita memahami dan menilai secara adil budaya-budaya ini? Pertanyaan
kedua, dan berhubungan erat dengan pertanyaan metodologis adalah: Bagaimana
kita bisa secara kritis menganalisis budaya di dalam sebuah situasi di mana
kita sebagai peenliti, dan penelitian sebagai sebuah lembaga, merupakan bagian
integral dari budaya ini dan perjuangan-perjuangannya? Pertanyaan ketiga
mengangkat hal yang sedikit berbeda: Apakah budaya merupakan topik paling
penting yang harus diteliti di dalam menghadapi ketidakadilan dan eksploitasi
ekonomi global yang sangat melelahkan?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Untuk mengilustrasikan
apa yang dimaksud dengan ketiga pertanyaan ini, kita bisa mengajukan ketiga
pertanyaan dari penelitian Morley. Pertma, kita bisa bertanya, sejauh mana
Morley telah memberi perhatian pada nuansa dan kontradiksi-kontradiksi
kehidupan kelas pekerja, dan sejauh mana ia membaca hipotesisnya bahwa kelas
pekerja akan ‘menolak’ liputan media konservatif dari kelompok-kelompok
fokusnya. Kedua, kita bisa bertanya sejauh mana hipotesis Morley didasarkan
pada gagasan Marxis bahwa ada hubungan di antara posisi sosioekonomi dan posisi
ideologis, dan apakah ini membuatnya memalingkan mata pada permasalahan lain
yang tidak sesuai dengan kerangka kerja teoretis itu. Ketiga, kita bisa
bertanya sejauh mana ketertarikan pada perjuangan kultural –seperti kandungan
dan interpretasi media—telah mengarahkan perhatian menjauh dari analisis
proses-proses kebijakan dan dkonomi yang bersigat kompleks dan global dan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>membentuk pertikaian industrial dan industri
seperti pertambangan. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak menjadikan
penelitian penting Morley kehilangan relevansi. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya
menunjukkan bahwa ada cara-cara alternatif untuk meneliti pengalaman yang telah
dialami, wacana dan konteks sosial, dan bahwa pendekatan-pendekatan alterantif
menjadi semakin penting di dalam penelitian-penelitian kultural.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Buku ini tersusun di
seputar ketertarikan penelitian tiga fase pada bidang studi budaya di dalam
dimensi-dimensi yang dijalani, diskursif dan sosial/global dari realtias
kontemporer. Namun demikian, di samping membicarakan cara-cara kelasik meneliti
ketiga bidang kehidupan ini, buku ini memberikan perhatian khusus pada
pendekatan-pendekatan penelitian baru, seperti etnografi baru, penelitian
genealogis dan analisis globalisasi, yang secara serius menggunakan dan
bertujuan merespons tiga pertanyaan yang telah diajukan di dalam
penelitian-penelitian budaya. Namun demikian, sebelum saya mulai membicarakan
program-program metodologis ini, saya akan mengambil jalan memutar menuju
sejarah penelitian-penelitian kultural yang membantu menjelaskan akar-akar
pendekatan metodologis khususnya dan juga akar-akar pertanyaan atau tantangan
metodologis kontemporernya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Sejarah Penelitian Budaya</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian budaya muncul dari iklim politis dan intelektual dan situasi
Inggris Raya tahun 1970an, ketika bidang penelitian sosial disusun dengan
penelitian empiris positivis kaku, sering kali berjenis fungsionalis dan
perekonomian politis Marxis tradisional (Hall, 1982). Penelitian yang lebih
condong ke sayap kanan atau ‘administratif’, yang melakukan survei dan
penelitian kelompok kecil, bertujuan untuk membuktikan bahwa pluralisme dan
demokrasi telah menjadi sebuah realitas di Amerika Utara dan Eropa Barat
setelah perang. Sebaliknya, kaum terpelajar kiri, seeprti Aliran Frankfurt,
melakukan serangkaian kritik tajam terhadap budaya dan opini-opini populer
untuk membuktikan bahwa budaya konsumen pasca perang dan media telah membunuh
semua kritik sosial dan menolak dan menciptakan ‘masyarakat masal’ yang nyaris
fasis (sebagai contoh, Adorno dkk., 1950; Adorno dan Horkheimer, 1979; Held,
1980).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Di dalam situasi yang
sedikit mengalami polarisasi ini, penelitian-penelitian budaya menciptakan
sendiri sebuah ruang di antara dan di luar dua posisi itu. Dengan demikian, ia
menyatukan filosofi humanistik, strukturalis dan Marxis Kiri Baru (Hall, 1980).
Kecenderungan humanis di dalam penelitian-penelitian budaya bertujuan untuk
memahami dan menangkap potensi kreatif dunia-dunia manusia yang telah dialami,
seperti budaya kelas kerja (Hoggard, 1992 [1957]). Strukturalisme dan metode
strukturalis, seperti semiotika, memusatkan perhatian pada pola-pola linguistik
dan gaya bahasa (tuturan menggunakan kata-kata bukan dalam pengertian harfiah,
seperti sebuah metafora) yang berulang di dalam teks, seeprti budaya populer
dan yang membentuk pemikiran kita. Leftisme Baru memunculkan ketertarikan pada
pengujian hubungan di antara<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>pengalaman
yang telah dialami dan/atau sejumlah teks dan lingkungan sosial, politik dan
ekonomi yang lebih luas. Ketiga arus filsafat ini memungkinkan
penelitian-penelitian budaya untuk mengartikulasikan sebuah ruang perantara di
antara optimisme sayap kanan dan psimisme sayap kiri yang memungkinkan paragima
ini menguji bagaimana kehidupan keseharian masyarakat adalah perselisihan
dengan potensi kreatif dan kritis, sementara kehidupan dan imajinasi mereka
juga dibatasi oleh ideologi-ideologi kultural problematis dan juga
struktur-struktur ketidakadilan sosial. “Posisi tengah” ini mewakili
karya-karya periode Birmingham kelasik tentang audiens media (Ang, 1985; Morley
dan Brusdon, 1999[1980, 1987]), subbudaya (Hall dan Jefferson, 1976; Hebdige,
1976, 1988), dan budaya-budaya anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>(Willis, 1977; McRobbie, 2000) (untuk
tinjauan ulang lihat: Hall dkk., 1980; Gurevitch dkk., 1982).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Namun demikian, seperti
ditunjukkan oleh akar-akar politis dan filosofis dari penelitian-penelitian
budaya, proyek metodologis ini telah dibelit oleh ketegangan sejak dari awal.
Kita tidak bisa menyatukan hasrat fenomenolo</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">g</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">is atau hermeneutis tanpa memasuki kontradiksi untuk ‘memahami’ dunia
orang lain atau sekelompok orang yang dijalani secara kreatif, dan ketertarikan
strukturalis kritis pada ‘analisis’ gaya bahasa linguistik, yang memandu
persepsi dan pemahaman manusia. Lebih jauh, baik ketertarikan pada realitas
yang dialami maupun budaya dan bahasa yang memungkinkan persepsi kita tentang
realitas menandakan kecenderungan untuk membuat pernyataan-pernyataan tentang
situasi sosial dan poltiis, yang hingga pada batas tertentu selalu berhubungan
dengan pencarian realis untuk mengetahui bagaimana dunia atau realitas ‘ada’.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Di dalam masa-masa awal
penelitian budaya kontradiksi-kontradiksi ini masih bisa diperhalus oleh
pemahaman positifis tentang objektivitas ilmiah. Namun demikian, pada awal abad
kedua puluh satu kesenjangan di antara bidang-bidang klasik penelitian di dalam
studi budaya telah diperbesar dan dikaburkan oleh perkembangan-perkembangan
yang sering kali dikelompokkan dengan istilah seperti posmodernitas, modernitas
akhir, posindustrialisme, poskolonialisme, kapitalisme akhir, lebih belakangan,
globalisasi dan neo-liberalisme (sebagai contoh, Harvey, 1989; Jameson, 1991;
Rose, 1999; Tomlinson, 1999). Bahkan jika pembahasna di seputar fenomena ini
kadang-kadang telah menajdi penanda perubahan mode intelektual,
pembahasan-pembahasan itu menunjuk pada proses-proses historis dan intelektual
penting atau pergeseran yang telah mengubah realtias dan penelitian sosial.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pertama, sejak tahun
1960an, perempuan, masyarakat kulit hitam dan berbagai masyarakat poskolonial,
dan gerakan-gerakan mereka telah menuduh lembaga, termasuk negara, pendidikan,
media dan seterusnya, melakukan diskriminasi yang terlembagakan. Mereka juga
telah menuduh bahwa penelitian, yang telah selalu memiliki ketertarikan khusus
pada kelompok-kelompok yang tertindas, belum menggambarkan realitas perempuan,
minoritas etnis atau masyarakat pos kolonial melainkan menggunakan mereka untuk
mendukung proyek-proyek teoretis dan politis para peneliti, dari kolonialisme
hingga Marxisme dan feminisme humanis liberal (Clifford dan Marcus, 1986; Said,
1995 [1978]). Kedua, semakin jenuhnya media di dalam kehidupan sehari-hari
kita, dari jam-jam panjang yang kita guankan untuk menonton televisi hingga
belakangan surfing Internet, telah menjadikan kehdupan sehari-hari dan
pengalaman kita lebih bersifat ‘virtual’ (Baudrillard, 1983). Teknologi dan
pengalaman baru ini telah mengikis kepercayaan kita pada kemampuan media atau
ilmu pengetahuan untuk ‘secara objektif’ menjelaskan realitas untuk kita,
menjadikan kita kritis, atau bahkan ironisnya, sadar akan cara di mana semua
pemahaman tentang dunia dimungkinkan oleh citra-citra dan wacana kultural.
Ketiga, abad kedua puluh akhir merupakan masa di mana serangkaian proses
sosial, politis dan ekonomi terjadi dan merongrong kepercayaan pada tatanan dan
ideologi ekonomi dan politik setelah perang. Runtuhnya sosialisme yang
dijalankan oleh negara pada tahun 1989 di Eropa Timur telah menjadi pukulan dan
penyebab reorientasi berbagai proyek kiri. Mimpi-mimpi pasca perang Barat
tentang ‘perkembangan’ atau ‘modernisasi’, yang seharusnya menyebarkan
kemakmuran demokrasi barat ke seluruh dunia, juga hancur saat mimpi-mimpi ini
tidak pernah menjadi kenyataan. Jadi, kita telah dibangunkan memasuki awal abad
kedua puluh satu, diatur oleh pembagian baru di antara pembicaraan bersemangat
tentang multikulturalisme dan kemungkinan-kemungkinan penciptaan dan penyebaran
pengetahuan dan budaya alternatif yang sebelumnya telah dibungkam, dan
ketidakadilan dan ketidakpercayaan tajam serta perseteruan di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda (Casells, 1996, 1997, 1998).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Penelitian-penelitian
budaya sebagai sebuah proyek intelektual dan politis telah memainkan peran
aktif di dalam dan di luar perkembangan historis dan sosial. Pada saat yang
sama, perkembangan-perkembangan ini telah memunculkan orientasi-orientasi
metodologis dan penelitian baru di dalam dan pada batas-batas penelitian
budaya. Para sarjana yang dikelompokkan di bawah nama etnografi baru telah
mengembangkan cara-cara penelitian kolaboratif baru yang bertujuan untuk lebih
jujur tentang dunia-dunia yang dialami oleh orang lain. Pos-strukturalisme telah
mengarah pada strategi refleksi diri (<i>self-reflective</i>) dan strategi
analitis genealogis, yang secara kritis meneliti komitmen-komitmen historis,
sosial dan politis dari wacana-wacana yang mengarahkan pemahaman manusia
termasuk pemahaman para peneliti tentang diri mereka sendiri dan proyek-proyek
mereka. Analisis tentang globalisasi telah sampai pada cara-cara yang lebih
‘kompleks’ untuk meahami perkembangan-perkembangan ekonomi, politik dan
seterusnya, yang menantang cara-cara analisis dan prediksi linear tradisional
yang lebih sederhana.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jalur-jalur baru
penelitian ini muncul dari situasi historis yang sama, yang ditandai oleh
semakin tingginya pertentangan (ambiguitas). Mereka memasuki ketegangan satu
sama lain sama seperti tiga arus metodologis ini bertentangan satu sama lain di
dalam penelitian-peneltiian budaya awal. Upaya etnografi baru untuk jujur pada
realitas-realitas yang dialami oleh masyarakat lain memasuki sebuah kotradiksi
dengan tujuan pos-strukturalis untuk secara kritis menganalisis wacana yang
membentuk pengalaman kita. Tujuan untuk memahami proses-proses dan
struktur-struktur ekonomi dan politik global kontemporer dan kompleks
‘sesungguhnya’ juga tidak mudah digabungkan dengan penekanan etnogrfis dan
pos-strukturalis baru bahwa ada banyak ‘realitas’. Pertanyaan yang diangkat
oleh kontradiksi-kontradiksi dan tantangan-tantangan ini adalah apakah kita
masih bisa menemukan beberapa alasan umum untuk menentukan apa yang merupakan
penelitian ‘barang’ atau ‘valid’. Di dalam bahasa metodologis tradisional,
‘validitas’ adalah awal dan akhir dari semua penelitian, yang merujuk pada
serangkaian uji lakmus yang menentukan apakah penelitian adalah ‘secara jujur”
atau ‘secara objektif’ menjelaskan bagaimana segala sesuatu ‘sungguh-sungguh’
ada. Pembahasan-pembahasan ini menunjukkan bahwa ada banyak realitas, yang
memunculkan pertanyaan, apakah penelitian adalah masalah opini. Jika demikian,
tidak akan ada untungnya menulis buku metodologi. Saya mengemukakan bahwa masih
ada pedoman tentnag apa yang merupakan penelitian yang valid dan ‘bagus’ jika
bukan penelitian yang jujur.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Tentang Validitas</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Mead dan ‘Kebenaran’ tentang Samoa</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Sebelum menjelaskan apa yang saya dan yang lain maksud dengan penelitian
bagus atau valid, saya akan membawa pembaca saya pada perjalanan singkat pada
waktu dan tempat yang berbeda: untuk penelitian Margaret Mead tentang Samoa
tahun 1920an (Mead, 1929). Alasan untuk melakukan hal ini adalah bahwa
antropologi klasik Mead telah menjadi fokus dari salah satu dari pertikaian
utama atas validitas, tidak lama setelah kematian Mead, Freeman (1983)
mengemukakan bahwa karyanya sepenuhnya tidak valid, salah, atau hanya merupakan
kebohongan kasar. Debat ini, yang telah menjadi bahan baku banyak buku tentang
meneliti-meneliti penelitian (sebagai contoh, Lincoln dan Guba, 1985; Seale,
1999), memberi ilustrasi bermanfaat tentang permasalahan dan masalah-masalah
yang berhubungan dengan bentuk-bentuk tradisional validitas, dan membantu
memuluskan jalan untuk pembahasan tentang validitas baru.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Buku Mead, <i>Coming of
age in Samoa: A psychological study of primitive youth for Western civilization</i>
telah dipublikasikan pada tahun 1929. Di dlaam buku Mead berusaha meneliti
remaja, dengan mengajukan pertanyaan: ‘Apakah gangguan-gangguan yang
menjengkelkan para remaja kami terkait dengan sifat-sifat remaja sendiri atau
peradaban?’ (Mead, 1929: 11). Penelitian ini memusatkan perhatian pada
perempuan-perempuan remaja, dengan mereka Mead sebagai perempuan muda merasakan
daya tarik, dan ia menyimpulkan bahwa tidak seperti di Barat, remaja di Samoa
didak mengalami masa konflik dan perselisihan dan bahwa perkembangan
seksualitas perempuan muda bukanlah sebab kecemasan atau tekanan berat.
Paragraf pembuka buku ini memberi kita gambaran tentang kehidupan seksual masyarakat
Samoa yang ia jelaskan sebagai berikut:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Ketika temaram mululai turun
di antara atap-atap coklat lembut dan pohon-pohon palem langsing berdiri
berhadapan dengan laut tak berwarna dan berkilau, para pecinta masuk rumah dari
janji bertemu di bawah pohon-pohon palem atau di bawah bayang-bayang kano-kano
bocor, cahaya bisa menemukan setiap orang yang tidur di tempatnya yang telah
ditentukan. (1929: 14) </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pada tahun 1983 Derek
Freeman menerbitkan <i>Margaret Mead and Samoa: The making and unmaking of an
anthropological myth</i> yang berusaha untuk menyangkal karya lapangan Mead. Ia
mengemukakan bahwa Samoa bukanlah masyarakat primitif harmonis dan secara
seksual permisif yang telah digambarkan oleh Mead, tetapi bahwa masyarakat
Samoa sangat menghargai keperawanan sebelum menikah dan bahwa kejadian-kejadian
kekerasan dan pemerkosaan umum terjadi di pulau itu. Pemahaman Freeman tentang
adat-istiadat seksual masyarakat Samoa ditangkap di dalam kutipan berikut:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Pada hari Minggu pada bulan
Juni 1959, Tautalafua, yang berusia 17 tahun menemukan saudara perempuan
kaslfikasi usia 18 tahun di bawah pohon sukun pada sekitar pukul 9:00 pada sore
hari itu dengan Vave, seorng pemuda berusia 20 tahun dari keluarga lain. Ia
menampar Vave dengan kekerasan semacam itu untuk mematahkan rahangnya pada dua
tempat.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Untuk serangan ini ia kemudian
dihukum penjara enam minggu. (1983: 237)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sebuah debat publik dan
ilmiah yang memanas terjadi setelah kontroversi itu. Para pemangku kepentingan
yang berbeda memperdebatkan permasalahan ini di dalam <i>New York Times,</i>
dan di dalam terbitan khusus <i>American Anthropologist</i> (Brady, 1983),
sejumlah ahli tentnag masyarakat Samoa menyerang Freeman. Mereka mengkritik
Freeman karena telah membandingkan karya lapangan Mead di sebuah pulau kecil
dan terpencil Manu’a dengan karyanya sendiri di pulau besar Upolu. Juga
dikemukakan bahwa pengaruh misionari Kristen memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap budaya Samoa pada tahun 1940an dan 1960an ketika Freeman melakukan
penelitiannya daripada pengaruh itu pada tahun 1920an ketika Mead mengunjungi
kepulauan itu (Weiner, 1983). Lebih jauh, dicatat bahwa sementara Mead, sebagai
seorang perempuan muda, menggunakan remaja-remaja perempuan sebagai informan, deskripsi
Freeman dihasilkan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dari laki-laki dewasa
terkemuka (Schwarz, 1983).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Namun demikian,
pertikaian terbesar di antara kedua peneliti ini adalah tentang orientasi
paradigmatis mereka. Berhubungan dengan paradigma kulturalis, Mead mengemukakan
bahwa perilaku (seperti remaja atau seksualitas), yang telah dipahami sebagai
sama di antara semua manusia, telah menjadi hasil dari peradaban, ‘yang
ditemukan pada penduduk sebuah negeri, tidak ditemukan di negeri lain, dan ini
tanpa mengubah ras’ (Mead, 1929: 4). Proyek kulturalis Mead, dengan nada rendah
liberalis (secara seksualnya), telah dibingkai oleh, dan bertentangan dengan,
gerakan egenetika rasis tahun 1920an yang menjelaskan perbedaan perilaku
manusia di dalam pengertian perbedaan-perbedaan genetis. Freeman, sebaliknya,
mewakili posisi sosiobiologis ini. Ini dijelaskan di dalam bab terakhirnya di
mana ia merujuk pada kejadian-kejadian kekerasan tertentu di Samoa<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>mengemukakan bahwa di dalam situasi-situasi
semacam itu perilaku konvensional dibuang dan orang diambil alih oleh ‘perilaku
yang sangat emosional dan memperturutkan kata hati yang menjadi mirip binatang
di dalam hal keganasannya’ (1983: 301). Menurut pandangannya, agresi ini adalah
bukti ‘struktur-struktur yang dihasilkan oleh filogneetika yang jauh lebih
lama’ yang mendefinisikan perilaku di samping budaya. Jadi, di mana Mead
menemukan sebuah budaya harmonis, Freeman menemukan agresi ‘primal’ atau
biologis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Perbedaan-perbedaan
paradigmatis di antara dua penulis juga tercermin pada tulisan-tulisan mereka.
Buku Mead bersifat impresionistis di dalam hal gaya, dibaca pada masa-masa
tertentu sebagai ceramah perjalanan romantis, yang bertujuan untuk menangkap
etos kehidupan masyarakat Samoa. Sebaliknya, Freeman mematuhi logika pelaporan
realistis ilmiah kelasih dan ‘penyangkalan’ Mead, pertikaian dengan detil-detil
numerik laporan seperti waktu-waktu yang tepat pada hari itu, yang dibaca
seperti laporan polisi atau kasus pengadilan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Apa yang diceritakan oleh
debat ini kepada kita, bukanlah apakah Mead atau Freeman ‘benar’ atau ‘salah’
tentang Samoa. Debat ini menjelaskan bahwa ‘kebenaran’ tentang Samoa diperumit
paling tidak oleh tiga permasalahan. Pertama, kecairan masyarakat Samoa sendiri
(opini-opini yang berbeda, kelompok, perubahan historis, dan semacamnya), kedua
oleh komitmen-komitmen yang membingkai penelitian dari apra peneliti (investasi
historis, politis dan teoretis) dan ketiga oleh bahasa (jenis impresionistik
atau realis) yang digunakan untuk menjelaskan Samoa. Untuk mengelaborasi ketiga
permasalahan ini, pertama, masyarakat Samoa tidak tidak dipahami sebagai objek
tetap peneltiian melainkan berakhir dengan<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>sesuatu yang bersifat multifase kontradiktif (1983: 943) atau mirip
amuba, yang berubah dari satu sudut ke sudut yang lain. Ada anak-anak gadis
muda, orang-orang tua di desa, mitos, adat-istiadat, aturan-aturan yang
berbeda, kesalahan-kesalahan yang dilembagakan dan informal, divisi-divisi
sosial dan politis yang berbasis pangkat dan jender, perjuangan dan perspektif,
yang semuanya secara terus-menerus muncul dan mengalami perubahan. Kedua, visi
antropolog diwarnai oleh kecenderungan-kecenderungan usia, ras, jender
peribadinya dan kesetiaan paradigmatis dan politis. Seperti dicatat oleh
Clifford (1986) baik Mead maupun Freeman menjadikan Samoa sebuah perumpamaan
atau kiasan untuk Barat, dan bacaan-bacaan yang berlawanan berakhir dengan
pembungkusan penyejajaran klasik yang berdasarkan pada pemahaman Barat tentng
yang ‘primitif’: Surga nafsu Apollonian dan kekerasan dan bahaya Dionnysian. Ketiga,
bahasa ini terbukti bukanlah media komunikasi negral melainkan bagian dari
pesan. Gaya impresionistik kuas-lebar Mead melukis potret samoa yang halus dan
sangat indah. Penggunaan realisme objektivis murni Freeman menyajikan kepad
akita sebuah laporan polisi tentang masyarakat Samoa yang agresif dan kasus
pengadilan terhadap Mead, yang berakhir tidak kurang ideologis dan politis
daripada tulisan Mead.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Ada banyak kasus yang
sama seperti kontroversi Mead, beberapa dari kontroversi paling terkenal telah menantang
karya W. F. Whyte <i>Street corner society </i>(Whyte, 1955 [1943]; <i>Journal
of Contemporary Ethnography,</i> 1992; Whyte, 1993), dan paling akhir
otobiografi Rigoberta Menchu tentang genosida Guatemala (Menchu, 1984; Beverly,
1999; Stoll, 1999; Arias, 2001). Debat terus-menerus menjelaskan cara-cara di
mana kita terus digairahkan dengan perkelahian yang penelitiannya adalah
‘jujur’ dan ‘valid’, dan yang adalah ‘keliru’ atau ‘bias.’</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Dari Validitas ke <i>Validit</i></span></b><b><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">as-Validitas</span></i></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kontroversi Mead didasarkan pada pemahaman positifis tentang ilmu
pengetahuan, yang memahami tujuan penelitian sebagai penciptaan pengetahuan
yang benar dan objektif tentang realitas sosial, mengikuti sebuah metode
ilmiah. Tujuan penelitian positif adalah menghasilkan hasil-hasil valid, yang dipahami
sebagai ‘kebenaran’ (Hammersley dan Atkinson, 1995). Jadi, argumen yang
dikemukakan menjadi apakah Mead atau Freeman sedang menceritakan ‘kebenaran’
dan berdasarkan pada apa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kriteria positivis
kebenaran atau validitas dipahami sebagai universal. Ini berarti bahwa
aturan-aturan kebenaran yang sama berlaku, apakah penelitian ingin menangkap
‘realitas objektif’ (fakta-fakta sosial, seperti perkembangan ekonomi) atau
pengalaman-pengalaman subjektif atau intersubjektif seseorang (makna yang
diberikan orang pada kehidupan dan tindakan mereka) (Anderson dan Skoeldberg,
2000: viiii). Debat Mead-Freeman berhubugnan dengan kebenaran umum tentang
masyarakat Samoa dan etosnya dan juga apa yang dipahami oleh masyarakat Samoa
tentang kehidupan dan aktivitas-aktivitas mereka dan Freeman mengemukakan bahwa
Mead menganggap keduanya ‘salah’.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Tujuan umum kebenaran di
dalam metodologi positivis diterjemahkan menjadi serangkaian prosedur dan
pengecekan detil. Saya tidak akan meneliti pengecekan ini panjang lebar (untuk
mendapatkan tinjauan ulang yang bagus lihat: Lincoln dan Guba, 1985; Seale,
1999). Sekarang, kontroversi Mead-Freeman menunjukkan masalah mereka. Salah
satu dari kriteria penting untuk validitas di dalam penelitian adalah
‘reliabilitas’, yang merujuk pada gagasan bahwa jika peneliti berbeda melakukan
penelitian yang sama, ia akan sampai pada hasil-hasil yang sama. Namun
demikian, kita bisa membayangkan bahwa jika kita akan mengirip Mead dan Freeman
ke Samoa, mereka tidak akan pernah sepakat dan sampai pada kesesuaian ‘antar
penilai’. Komitmen-komitmen teoretis dan politis sedemikian berbeda sehingga
secara praktis mereka melihat pada masyarakat Samoa yang berbeda. Kriteria lain
untuk validitas di dalam penelitian adalah netralitas, yang merujuk pada keharusan
untuk memastian penelitian tidak bias oleh komitmen personal atau politis
peneliti. Kontroversi Mead-Freeman mengilustrasikan bahwa penelitian seperti
aktivitas sosial lain menjadi bagian dari sebuah lingkungan historis, sosial,
politis dan teoretis dan komitmennya. Lebih jauh, melihat jenis-jenis berbeda
tulisan Mead dan Freeman, menyoroti fakta bahwa bahasa yang kita gunakan untuk
melaporkan temuan</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">-</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">temuan kita tidak memungkinkan
netralitas, karena semua bahasa bersifat sosial dan kultural dan tidak pernah
menjadi media transparan yang bisa menjelaskan realitas ‘seperti apa adanya’
(MacCabe, 1973).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Meskipun ada fakta bahwa
kita tidak bisa sampai pada sebuah ‘kebenaran’ tentang masyarakat Samoa, masih
ada cara-cara lain untuk melakukan penelitian pada latar-latar seperti Samoa
atau tempat lain. Berusaha untuk membayangkan seperti apakah pedoman dan
kriteria apa setelah validitas tradisional tidak lagi layak, para peneliti
mulai mengemukakan pemahaman-pemahaman alternatif tentang validitas (sebagai
contoh, Lincoln dan Guba, 1985, 1994) dan validitas ganda (Lather, 1993).
Berbicara tentang validitas, sebagai pengganti validitas, memiliki dua
kelebihan. Pertama, pembicaraan ini memberi perhatian pada fakta bahwa teori,
metode dan cara penulisan yang menopang peneltiian kita membuka
pandangan-pandangan yang berbeda dan selalu bersifat parsial dan politis
tentang realitas. Bukan mempertimbangkan hal ini, para peneliti yang
mengemukakan validitas ganda meminta kita lebih kritis memahami apa yang
mendorong penelitian kita. Kedua, mengetahui bahwa ada lebih dari satu cara
untuk memahami fenomena sosial, meminta kita sampai pada cara yang lebih
bersifat multidimensional, bernuansa dan sementara untuk memahami objek
penelitian seseorang. Perselisihan tentang validitas penelitian Mead tentang
Samoa berakhir pada pertandingan teriak tentang apakah Samoa adalah Surga
Apollonian atau Neraka Dionysian. Validitas ganda menunjukkan bahwa kita harus
mendekati realitas di dalam pengertian yang tidak secara sederhana bersifat dikotomis
(‘asli’ atau ‘palsu’; ‘benar’ atau ‘salah’; ‘surga’ atau ‘neraka’) dan lebih
kompleks.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pemahaman tentang
validitas ganda tidak</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">berarti bahwa tidak ada aturan
untuk melakukan penelitian. Ini berarti bahwa bukan satu aturan universal yang
berlaku di mana pun ada aturan-aturan yang berbeda dan kita harus tahu
bagaimana mereka membuat kita berhubungan dengan realitas secara berbeda.
Berdasarkan pada kontroversi Mead, fokus metodologis penelitian-penelitian
kultural dan juga beberapa karya lain tentang validitas alterantif (Lincoln dan
Guba, 1985; Lather, 1993), kita bisa menjelaskan tiga pendekatan metodologis
yang secara luas berbeda di mana masing-masing mengikuti pemahaman yang berbeda
tentang validitas. Pendekatan pertama, pendekatan metodologis hermeneutis
mematuhi apa yang akan saya sebut validitas ‘dialogis’, yang berarti bahwa
validitas ini mengevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa bagus
penelitian menangkap realitas yang dialami oleh orang lain. Jadi, validitas ini
akan mengukur nilai penelitian tentang Samoa di dalam pengertian seberapa bagus
penelitian ini bisa jujur terhadap realitas yang dijalani oleh masyarakat
Samoa. Pendekatan kedua, pendekatan metodologis pos-strukturalis mengikuti apa
yang akan saya sebut validitas ‘dekonstruktif’, dan validitas ini mengukur
nilai penelitian di dalam pengertian seberapa bagus penelitian menguraikan
wacana-wacana sosial problematis yang memungkinkan cara di mana kita memahami
realitas dan masyarakat lain. Jadi, penelitian pos-strukturalis akan mengukur
nilai penelitian tentang Samoa di dalam pengertian seberapa teliti penelitian
ini mengungkap gaya bahasa kolonialis yang menjelaskan Samoa di dalam
pengertian sensualitas dan bahaya ‘primitif’. Ketiga, pendekatan metodologis
realis atau kontekstualis yang mengikuti validitas kontekstual, yang
mengevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa bagus penelitian itu
memahami konteks sosial, ekonomis dan poltiis dan hubungan-hubungan fenomena
yang sedang diteliti. Jadi, validitas ini akan mengukur nilai penelitian
tentang Samoa di dalam pengertian seberapa teliti dan kritis penelitian ini
memetakan struktur internal dan eksternal kekuasaan dan ketidakadilan, seeprti
hierarkhi pangkat, bentuk-bentuk mata pencaharian, politik kolonialis,
perdagangan dan budaya, yang membentuk kehidupan orang-orang dewasa desa Samoa
dan anak-anak gadis remaja.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Ketiga pendekatan
metodologis ini, dan validitas masing-masing, secara kasar berhubungan dengan
Kiri Baru, ‘humanistik’, ‘strukturalis’ dari kecenderungan ‘kontekstualis’ di
dalam penelitian-penelitian budaya awal. Ada juga kesejajaran di antara ketiga
pendekatan metodologis ‘baru’ dan validitas serta<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan pemahaman-pemahaman sebelumnya tentang
validitas. Namun demikian, meskipun terjadi diskontinuitas, ketiba metodologi/validitas
ini mendorong penelitian di dalam bidang budaya dan ilmu pengetahuan sosial
secara lebih umum pada arah-arah baru. Pada bagian selanjutnya, saya akan
membicarakan bagaimana pendekatan-pendekatan/validitas baru ini melanjutkan dan
terputus dari cara-cara lama melakukan penelitian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 18.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Validitas Alternatif</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Validitas Dialogis</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Untuk memulai pembahasan, secara lebih detil, pendekatan hermeneutis dan
validitas ‘dialogis’ yang menyertainya, bisa dikatakan bahwa pendekatan ini
menbevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa benar ia menangkap
dunia-dunia yang telah dialami oleh masyarakat yang diteliti (Lincoln dan Guba,
1985, 1994; Lincoln, 1995). Prinsip luas ini bisa dirinci lebih jauh menjadi
tiga kriteria khusus untuk penelitian yang ‘bagus’ atau valid: </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l4 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kebenaran.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> Penelitian harus berlaku adil
pada perspektif-perspektif masyarakat yang sedang diteliti, sehingga bisa
menyetujui penelitian. Penelitian ini memerlukan bentuk-bentuk kolaboratif
penelitian, seperti tindakan-tindakan untuk memungkinkan orang yang diteliti,
seperti masyarakat Samoa, untuk memiliki hak bersuara dengan cara di mana
mereka diteliti dan terwakili (did alam bahasa penelitian tradisional keterwakilan
itu disebut ‘pengecekan anggota’ (sebagai contoh, Seale, 1999)).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l4 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Refleksivitas diri. </span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Para peneliti harus refleksif
tentang wacana personal, sosial dan paradigmatis yang memandu cara bagaimana
mereka memahami realitas dan masyarakat lain. Pendekatan ini mengharuskan para
peneliti berusaha memahami bagasi kultural, seperti pamahaman-pemahaman tentang
‘yang primitif’, yang memungkinkan pemahaman mereka tentang dunia-dunia yang
berbeda.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l4 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Polivokalitas. </span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Para peneliti harus
berhati-hati sehingga mereka tidak meneliti <i>satu </i>realitas yagn telah
dialami melainkan <i>banyak</i> realitas. Ini berarti bahwa mereka harus
memastikan bahwa mereka memasukkan pandangan-pandangan atau suara-suara ‘para
pemangku kepentingan’ utama seperti para gadis muda dan juga orang-orang desa
yang sudah tua (Lincoln dan Guba, 1985), dengan berusaha untuk jujur tentang
keragamaan mereka dan juga relasi-relasi dan ketegangan-ketegangan di antara
mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Validitas dialogis
mengingatkan tentang tujuan etnografis lama menangkap ‘sudut pandang masyarakat
setempat’. Di mana valdiitas ini berangkat dari proyek etnografis lama adalah
bahwa validitas ini tidak mengklaim memiliki akses terhadap beberapa posisi
‘objektif’ istimewa untuk menjelaskan kehidupan orang lain. Dialogisme tidak
memandang penelitian di dalam pengertian menjelaskan dunia-dunia lain dari
luar, melainkan di dalam pengertian perjumpaan atau interaksi di antara
dunia-dunia yang berbeda. Kriteria utama validitas pendekatan ini kemudian
adalah seberapa bagus peneliti memenuhi tuntutan etis jujur dan menghormati
dunia dan realitas yang dialami orang lain.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Validitas Dekonstruktif</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian pos-strukturalis dan validitas dekonstruktifnya mengevaluasi
penelitian di dalam pengertian seberapa bagus peneltian berhasil menguraikan gaya
bahasa sosial dan wacana yang selama waktu tertentu diturunkan sebagai sebuah
‘kebenaran’ tentang dunia. Ada tiga strategi pos-strukturalis untuk menguraikan
wacana-wacana yang memungkinkan pemahaman kita tentang dunia yang merupakan
kriteria yang berbeda untuk penelitian yang bagus di dalam tradisi:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l0 level1 lfo3; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Ekses posmodern.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> Pemahaman posmodern atau
Baudrillardian (1980; atau lather, 1993) tentang ‘ekses’ wacana mengemukakan
bahwa ada jumlah tidak terhingga ‘kebenaran’ atau cara mendekati realitas.
Jadi, penelitian diukur di dalam pengertian bagaimana penelitian ini berhasil
menyoroti berbagai cara di mana fenomena khusus bisa dipahami, untuk
menggoyahkan pemahaman ‘tetap’ tentang fenomena khusus itu. Kontroversi-Mead adalah
sebuah ilustrasi tentang permasalahan posmodern, karena kontroversi ini
menyoroti bahwa ada banyak ‘kebenaran’ yang berbeda tentang Samoa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l0 level1 lfo3; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Historisitas genealogis.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> Genealogi, yang berhubungan
dengan karya Foucault (1984), menantang kebenaran dengan memaparkan
historisitas mereka. Jadi, penelitian dievaluasi didalam pengertian seberapa
bagus ia menguraikan cara di mana kebenaran-kebenaran yang diterima begitu saja
tidak bersifat universal atau tidak tergantung pada dimensi waktu melainkan
produk dari agenda-agenda historis dan politis khusus. Sebuah contoh penelitian
genealogis adalah analisis tentang komitmen-komitmen historis, politis dan
teoretis karya Mead dan Freeman, yang membuat mereka menjadikan Samoa sangat
berbeda.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l0 level1 lfo3; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kritik dekonstruktif.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> Dekonstruksi, yang
berhubungan dengan karya Derrida (1976), bertujuan untuk mempertanyakan
pasangan yang menata pemikiran kita, untuk memaparkan politik tersembunyi
mereka. Jadi, penelitian dievaluasi di dalam pengertian bagaimana ia berhasil
membongkar hambatan-hambatan konstruktif yang menopang pemahaman kita tentang
sebuah fenomena khusus. Salah satu contoh adalah analisis pasangan di antara
sifat sensual atau agresif masyarakat ‘primitif’ dan ‘pembatasan-pembatasan
beradab” dunia Barat yang menghubungkan karya Mead dan Freeman.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kritik pos-strukturalis
kadang-kadang bisa dipahami sebagai upaya penelitian untuk menemukan ‘bias’ di
dalam penelitian, atau sebagai contoh, di dalam liputan-liputan berita. Namun
demikian, bagian-bagian pos-strukturalisme dari jalur penelitian ini berada
pada fakta bahwa dikemukakan bahwa tidak ada cara memahami dunia yang ‘tidak
berbias’. Oleh karena itu, pemahaman-pemahaman tentang penelitian yang baik ada
dua. Pertama, penelitian yang baik atau valid dipahami memaparkan historisitas,
investasi politis, penghilangan dan titik-titik buta ‘kebenaran’ sosial. Kedua,
penelitian yang bagus atau valid juga dipahami sebagai menyadari investasi
historis, politis dan sosialnya sendiri, dengan secara terus-menerus bercermin
kembali pada komitmen-komitmennya sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Validitas Kontekstual</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian tentang konteks sosial dan validitas kontekstualisnya merujuk
pada kemampuan penelitian untuk menentukan letak fenomena yang sedang diteliti
di dalam konteks sosial, politis dan bahkan global yang lebih luas. Di dalam
pengertian ini, kontekstualisme bertujuan membentuk realisme, yang akan membuat
pernyataan-pernyataan tentang bagaimana dunia ‘sungguh-sungguh ada’. Penopang
realis bertolak belakang dengan metodologi dan validitas hermeneutis dan
pos-strukturalis, yang mendasari fakta bahwa ada banyak ‘realitas’ dan bahwa
dunia tampak berbeda saat diamati dari tempat atau titik waktu historis yang
berbeda. Baik dialogisme maupun pos-strukturalisme didorong oleh dorongan
demokratis dan egalitarian untuk mendengar suara-suara yang berbeda dan untuk
menantang wacana-wacana otoritatif. Ketika pendekatan-pendekatan ini
mengemukakan bahwa mereka mendengar suara-suara yang dibungkap atau menantang
wacana-wacana otoritatif, mereka mengklaim bahwa beberapa orang menjadi lebih
kuat atau lebih lemah dan bisa membuat suara mereka didengar, dan beberapa
wacana menjadi lebih kuat atau lebih ororitatif daripada wacana-wacana lain.
Untuk membuat klaim-klaim seperti itu, para peneliti harus menggunakan beberapa
pemahaman tentang konteks sosial dan historis dan struktur ketidakadilan dan
memerlukan beberapa kriteria tentang bagaimana harus menganalisa semua itu.
Namun demikian, validitas kontekstual tidak hanya merujuk pada persyaratan
untuk memahami konteks sosial tetapi juga juga cara bagaimana penelitian ini
ditempatkan di dalam dan membentuk konteks ini. Dua sifat tugas untuk menangkap
konteks sosial di dalam penelitian bisa dilakukan menggunakan dua kriteria
penelitian kontekstualis:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l3 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Sensitivitas terhadap konteks
sosial.</span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"> Ini merujuk pada tugas kesarjanaan untuk sejara hati-hati menganalisis,
sebagai contoh, kejadian-kejadian historis, statistik dan
perkembangan-perkembangan, menggunakan dan membandingkan sumber daya-sumber
daya dan pandangan-pandangan yang berbeda. Ini berarti bahwa penelitian tidak
bisa sembarangan atau didasarkan pada prasangka. Meneliti Samoa dari perspektif
ini akan berarti secara hati-hati menganalisis sejarah kepulauan ini, struktur
dan interaksi sosial mereka dengan dunia luar melalui perdagangan, misionaris,
bahkan antropolog. Bahkan jika Mead dan Freeman membicarakan konteks sosial
Samoa, konteks sosial ini pudar menjadi latar belakang proyek untuk menangkap
‘etos’ sebuah masyarakat ‘primitif’ yang relatif tidak tergantung pada waktu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l3 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kesadaran tentang
historisitas. </span></i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kriteria ini merujuk pada kemampuan peenlitian untuk memahami
historisitasnya sendiri. Jadi, penelitian tentang Samoa harus sadar akan
cara-cara di mana penelitian ini berimplikasi kepada kotneks sosial di mana
Samoa membentuk salah satu bagian, seperti struktur kolonialisme atau
perjuangan anti-kolonialis (lihat Bhaskar, 1979). Ini berarti bahwa ilmu
pengetahuan sosial dan objeknya, masyarakat historisnya, tidak bisa dipisahkan,
dan menganalisis konteks sosial juga memungkinkan penelitian menjadi sadar dan
mampu secara kritis mengevaluasi perannya sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Penelitian-penelitian
budaya kadang-kadang enggan berkata banyak tentang sebagai contoh struktur
sosial atau ekonomi, karena dikemukakan bahwa kita tidak bisa menjelaskan
struktur-struktur itu tanpa memungkinkan budaya dan bahasa. Namun demikian,
penelitian-penelitian budaya sering kali merujuk pada bagaimana praktek
kultural mengonsolidasikan kelas, ras atau ketidakadilan jender dan sebagainya.
Apa yang digarisbawahi oleh validitas kontekstual adalah bahwa kita harus
berhati-hati tentang pernyataan-pernyataan itu. Sebagai contoh, siswa doktoral
saya belakangan berencana untuk meneliti fakta-fakta historis tentang konflik
Israel-Palestina untuk melakukan kontekstualisasi analisisnya tentang
filem-filem konflik ini. Ia menemukan bahwa tidak ada ‘sebuah’ sejarah tentang
konflik melainkan banyak sejarah yang kompleks dan kontroversial. Ini
menggarisbawahi dua hal. Pertama, kita harus menganalisis ‘fakta-fakta’ sosial
dan historis secara hati-hati, memberi perhatian pada deitl, proses-proses yang
rumit, dan perspektif yang berbeda dan bukan mencari asumsi-asumsi umum atau
buku-buku teks yang barangkali berhubungan dengan bangsa tertentu. Kedua, kita
harus sadar bahwa pembahasan kita tidak pernah terpisah dari sejarah tetapi
selallu bersifat historis dan politis dan dibentuk oleh dan membentuk bentang
lahan yang sedang diteliti.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Daftar
validitas-validitas yang dibicarakan tidak dimaksudkan untuk
berlebihan-berlebihan. Daftar ini dirancang untuk tujuan buku ini di dalam
menjelaskan secara garis besar beberapa mode sentral melakukan penelitian
kualitatif di dalam bidang studi budaya. Pemahaman-pemahaman yang berbeda
tentang validitas memberi perhatian pada ketidaklayakan pemahaman tentang
validitas sebagai ‘kebenaran’ tunggal. Daftar validitas ini juga menjelaskan
fakta bahwa meninggalkan validitas tunggal tidak membutuhkan keadaan ‘ketiadaan
hukum’ di dalam penelitian, melainkan bahwa masing-masing menentukan pedoman
khusus, aturan dan kriteria untuk penelitian yang bagus.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Menggabungkan Metodologi</span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Triangulasi</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Melihat daftar tiga tipe berbeda pendekatan-pendekatan medologis dan
validitas-validitas berbeda mengajukan sebuah pertanyaan: Adakah cara untuk
menyatukan ketiga pendekatan ini di dalam sebuah proyek penelitian?
Menggabungkan metodologi-metodologi diharuskan jika kita ingin meneruskan
tradisi penelitian budaya yang meneliti saling hubungan di antara pengalaman
yang dialami, wacana dan teks-teks dan konteks historis, sosial dan politis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jelas, kita tidak selalu
harus menggabungkan metodologi-metodologi. Ada banyak proyek penelitian yang
hanya mengikuti aturan-aturan dari salah satu dari validitas-validitas itu.
Beberapa proyek etnografis baru memusatkan perhatian pada kerja jujur untuk
dunia-dunia yang telah dialami oleh masyarakat tertentu, yang sering kali
dihapus hak pilih mereka. Dengan cara yang sama, banyak analisis kritis tentang
teks-teks media bertujuan untuk mengkritik cara di mana mereka membangun
kebenaran-kebenaran otoritatif. Seperti telah dikatakan sebelumnya, jujur
terhadap realitas-realitas yang dialami dari masyarakat tertentu bisa jadi
sulit untuk digabungkan dengan analisis-analisis kritis tentang wacana-wacana
yang membentuk bagian dari realitas-realitas masyarakat yang telah dialami.
Dengan cara yang sama, analisis tentang struktur-struktur global dan sosial
bisa bertolak belakang, atau melampaui, pemahaman lokal masyarakat tentang
lingkungan mereka yang mereka alami.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Namun demikian, jika kita
ingin menggabungkan pendekatan-pendekatan tertentu, kita memerlukan sebuah
kerangka kerja yang membantu kita melakukan penggabungan itu. Penelitian sosial
dan kultural tradisional biasanya merujuk pada teknik-teknik penggabungan
teori-teori, metode, sumber dan materi yang berbeda, menggunakan ‘triangulasi’
(Denzin, 1989; Flick, 1998). Tujuan klasik triangulasi adalah menggabungkan
jenis-jenis berbeda materi atau metode untuk mengetahui apakah mereka saling
mendukung satu sama lain. Jadi, sebagai contoh kita bisa melengkapi pengamatan
partisipan tentang Samoa dengan memperhitungkan dokumen-dokumen dan arsip-arsip
kolonial, untuk menemukan apakah orang ‘berbohong’ atau salah mengingat segala
sesuatu (pada kenyataannya ini sangat dekat dengan cara bagaimana Freeman
memahami dan menjalankan proyeknya untuk menolak Mead). Setelah semua
dipertimbangkan, tujuan klasik triangulasi adalah mendapatkan gambaran yang
lebih akurat atau lebih jujur tentang dunia sosial. Tujuan ini mencerminkan
makna awal triangulasi, yang berasal dari navigasi di mana triangulasi merujuk
pada penggunaan bantalan-bantalan yang berbeda untuk menghasilkan posisi yang
tepat dari sebuah objek (Silverman, 1992: 156).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Ditafsirkan sebagai upaya
untuk mendapatkan kebenaran, triangulasi sangat bermanfaat untuk menggabungkan
tiga pendekatan metodologis, yang dibicarkaan di atas. Ini karena tujuan
mendasar dari pendekatan-pendekatan ini adalah melakukan problematisasi
pemahaman sederhana tentang ‘kebenaran’. Dialogisme bertujuan untuk jujur
terhadap dunia masyarakat yang dialami dan sedang diteliti, dan berusaha
menemukan apakah remaja perempuan atau orang-orang tua desa membicarakan
‘kebenaran’, akan bertujuan menangkap pandangan-pandangan dunia yang berbeda
dari keduanya. Genealogi akan menunjukkan bahwa kita tidak bisa menemukan
sebuah kebenaran sebagai contoh dari arsip-arsip kolonial, karena mereka adalah
lokasi yang ‘menghasilkan’ kebenaran-kebenaran historis dan sangat politis
tentang masyarakat dan tempat-tempat (sebagai ‘sukar dikendalikan’ dan
seterusnya) untuk ‘diatur’. Bagian dari ‘bukti’ Freeman tentang agresi
masyarakat Samoa, sebagai contoh, diperoleh dari laporan-laporan pemerintah
kolonial tentang ‘masalah’ di kepulauan itu. Meskipun sangat mungkin berpikir
bahwa ada kekerasan di kepulauan itu, jenis-jenis arsif ini berusaha memutuskan
pada kekerasan itu, karena arsip-arsip itu adalah catatan tentang ‘pengelolaan’
kepulauan itu. Ini akhirnya membawa kita pada pemahaman kontekstualis bahwa
penelitian tidak pernah bisa menjadi objektif karena penelitian selalu menjadi
bagian dari dan membentuk bentang lahan sosial, seperti struktur kolonialisme,
yang ia teliti.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Untuk memahami
sifat-sifat khusus triangulasi positivis, dan agar bisa membandingkannya dengan
cara-cara lain untuk menggabungkan metodologi-metodologi, bermanfaat kiranya
menganalisis bagaimana triangulasi memahami ontologi (sifat-sifat realitas) dan
epistemologi (sifat-sifat pengetahuan). Pemahaman positivis klasik tentang
realitas adalah bahwa realitas itu adalah ‘tetap’. Jadi, di dalam fisika
klasik, realitas fisik dipahami sebagai ‘objek’ yang bisa dipahami dan relatif
stabil yang bisa secara akurat diamati melalui penggunaan metode-metode ilmiah
(mikroskop, kalkulasi dan seterusnya). Dengan cara yang sama, di dalam ilmu
pengetahuan sosial positivis, masyarakat dipahami sebagai sebuah entitas<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang bisa diamati yang bisa ditangkap
menggunakan statistik, survei dan interview. Masalah yang berhubungan dengan
posisi ontologis adalah bahwa seperti telah kita lihat di dalam debat Mead,
realitas tidak berhenti diam, tetapi seeprti amuba, multi fase, berkembang,
tampak berbeda dari sudut-sudut berbeda (dari perspektif gadis muda,
orang-orang tua desa, arsip kolonial, dsb. ). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Komitmen ontologis pada
gagasan bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">realitas adalah sebuah
objek tetap yang ada terpisah dari penelitian menunjukkan tujuan epistemologis
positivis dari penelitian untuk ‘mencerminkan’ realitas</i>. Menurut
positivisme, alasan untuk menggunakan metode (analisis percakapan, semiotika,
analisis statistik) adalah mendekati ‘kebenaran’ tentang realitas.
Metode-metode yang berbeda dipandang sebagai ‘kaca pembesar’ yang membantu
sarjana untuk melihat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">realitas</i> secara
lebih jelas, atau dengan cara yang tidak begitu jelas dan lebih sistematis.
Tujuan penggabungan metode-metode berbeda adalah menggunakan lensa-lensa
berbeda untuk melakukan kalibrasi penglihatan agar secara optimal menjadijelas.
Akibatnya, pembahasan positifis tentang bagaimana melakukan penelitian sering
kali bersifat sangat teknis, bertujuan untuk menyempurnakan kemampuan metode
untuk menangkap realitas secara benar. Namun demikian, gagasan penelitian yang
ada di luar, atau menggunakan metode untuk menyoroti diri sendiri, realtias
menjadi tidak layak, karena penelitian adalah sebuah aktivitas sosial. Baik
penelitian Mead maupun Freeman sangat tertarik pada agenda-agenda sosial di
masa mereka, menjadikan Samoa sebuah perumpamaan untuk politik mereka
(Clifford, 1986). Bukan mempertimbangkan hal ini, sebaliknya kita bisa
mengajukan pertanyaan bagaimana lagi melakuan penelitian sosial dan apa yang
akan menjadi tujuan penelitian sosial tanpa sebuah agenda sosial. Masalah yang
berhubungan dengan penolakan positivis terhadap sebuah agenda politis adalah
bahwa agenda itu sangat diharapkan; didorong pada dunia kebenaran-kebenaran
abadi bukan debat dan pembuatan keputusan politis. Ini terjadi pada cara
bagaimana Mead dan Freeman membingkai penelitian mereka sebagai sebuah
‘kebenaran’ tak tergantung waktu dan tidak berbias tentang sebuah masyarakat
‘primitif’, bukan menentukan situasi komentar mereka tentang Samoa sebagai
bagian dari debat </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">panas </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">poskolonial, sangat politis
dan kontroversial (lihat Tabel 1.1).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Tabel 1.1</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Paradigma penggabungan metodologi</span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: -5.3pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-insideh: .5pt solid windowtext; mso-border-insidev: .5pt solid windowtext; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 480; width: 592px;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 62.5pt;" valign="top" width="83"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Paradigma</span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 67.95pt;" valign="top" width="91"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Ontologi</span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 79.55pt;" valign="top" width="106"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Epistemologi</span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Metafora</span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Tujuan Penelitian</span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Politik</span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 62.5pt;" valign="top" width="83"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Triangulasi</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 67.95pt;" valign="top" width="91"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Realitas tetap</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 79.55pt;" valign="top" width="106"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Realitas tercermin</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kaca pembesar</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kebenaran</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Tidak ada bias</span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 62.5pt;" valign="top" width="83"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Prisma</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 67.95pt;" valign="top" width="91"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Realitas cair</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 79.55pt;" valign="top" width="106"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Konstruksi sosial realitas</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Prisma yang membelokkan
penglihatan</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Menyampaiakn banyak realitas</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Ilmu pengetahuan dan
masyarakat pluralis<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 62.5pt;" valign="top" width="83"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Semiotik material</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 67.95pt;" valign="top" width="91"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Realitas interaktif</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 79.55pt;" valign="top" width="106"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Konstruksi realtias
material/semiotik</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Prisma yang membelokkan
cahaya</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Menciptakan realitas
egalitarian</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Ilmu pengetahuan dan
masyarakat egalitarian</span></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 62.5pt;" valign="top" width="83"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Dialog</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 67.95pt;" valign="top" width="91"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Realitas interaktif</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 79.55pt;" valign="top" width="106"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Konstruksi realitas
semiotik/material</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Dialog</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Dialog di antara banyak
realitas</span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.0pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 13.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: "Arial Narrow"; mso-bidi-font-size: 10.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Ilmu pengetahuan dan
masyarakat egalitarian dan pluralis</span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Program ontologis dan
epistemologis positif belakangan dipertanyakan secara luas. Di dalam fisika,
apa yang disebut ‘fisika kuantum’ telah mengilustrasikan bahwa penelitian
tentang fenomena fisik tidak semata-mata menjelaskan fenomena fisik tetapi
mempengaruhi atau mengubah mereka. Di dalam ilmu pengetahuan sosial ini semua
menjadi lebih jelas sehingga Marxisme adalah sebuah proyek ilmiah yang tidak
hanya menjelaskan masyarakat-masyarakat industri abad kesembilan belas tetapi
juga mengubah mereka, menjelaskan pembentukan sosialisme-negara di Eropa Timur
dan negara kesejahteraan Barat (Bhaskar, 1979). Karena sifat-sifat politis
inheren penelitian, saya menggarisbawahi bahwa buku ini terutama adalah tentang
‘metodologi’ dan bukan tentang ‘metode’. Pemahaman tentang metologi memberi
perhatian pada fakta bahwa alat-alat dan pendekatan-pendekatan ini (metode)
yang kita gunakan untuk memahami realitas, bukan semata-mata teknik-teknik
netral yang berhubungan dengan pengetahuan atau ideologi (‘logos’) yang sering
membuat ‘realitas’ tampak sangat berbeda. Tujuan saya bukanlah membantu pembaca
untuk mengatasi ‘bias’ yang melekat dari semua pada penelitian tetapi menjadi
lebih mengetahui tentang pandangan-pandangan dunia dan politik yang dilekatkan
pada pendekatan-pendekatan penelitian kita, untuk memajukan penelitian yang
lebih baik dan lebih egalitarian dan realits-realitas yang lebih baik dan lebih
egalitarian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian sebagai sebuah Prisma</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Richardson (2000) telah mengemukakan bahwa bukan berbicara tentang
triangulasi, kita akan mulai berbicara tentang penggabu</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">n</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">gan cara-cara berbeda untuk melakukan dan
menulis penelitian di dalam pengertian ‘kristalisasi’. Kristal, demikian
Richardson mengemukakan, adalah prisma. Oleh karena itu, kristal tidak hanya
‘mencerminkan eksternalitas’ tetapi juga ‘membelokkan eksternalitas di dalam
diri mereka’ (2000: 934). Apa yang dijelaskan oleh metafora kristal ini adalah
cara bagaimana realitas mengalami perubahan saat kita berganti sudut atau
perspektif metodologis dengannya kita melihat realitas itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pemahaman bahwa prisma
penelitian mengikuti ontologi dan epistemologi yang sangat berbeda dari
ontologi dan epistemologi positivis. Prisma memandang realitas sebagai cair
(ontologis) dan bukan memandang tugas penelitian sebagai secara akurat
menjelaskan realitas ini, prisma menunjukkan bahwa penelitian menciptakan atau
secara sosial membangun realitas-realitas yang ia teliti (epistemologi). Bukan
memandang penelitian sebagai menjelaskan sebuah realitas dari luar, perspektif
ini menentukan letak penelitian di dalam realtias, sebagai salah satu dari
proses-proses yang ‘membuat’ realitas. Sering kali, penglihatan prismatis
penelitian berkomitmen pada pada proyek-proyek yang menonjolkan banyak
perspektif tentang realitas, atau banyak realitas, dengan tujuan khusus untuk
menantang gagasan lama bahwa ada satu cara istimewa untuk melihat realitas,
atau satu realitas. Para sarjana yang bekerja di dalam paradigma ini telah
menjadi sangat tertarik pada penciptaan realitas-realitas ‘alternatif’ yang bertolak
belakang dengan kebenaran-kebenaran ilmiah yang diterima. Bagian dari proyek
ini telah memberi suara pada pengetahuan atau realitas yang telah dibungkam
atau disubordinasikan. Para akademisi, yang mengikuti gagasan tentang
penelitian sebagai sebuah prisma, mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan secara
historis telah dan sering kali terus menjadi bidang tertutup dan istimewa
masyarakat Barat, yang membuat definisi-definisi dan keputusan-keputusan dengan
akibat-akibat berjangkauan luas untuk kehidupan kita, semuanya atas nama
‘objektivitas’ ilmiah tanpa bias (untuk melihat kritik umum, lihat Haraway,
1997: 24-31; juga Harding, 1991, 1993; Latour, 1993). Akibatnya, mereka telah
mengembangkan cara-cara melakukan dan menulis karya penelitian yang akan lebih jujur
terhadap cara-cara perempuan atau masyarakat non-Barat berhubungan dengan, dan
berkomunikasi tentang, dunia (lihat juga Narayan dan George, 2001). Sebuah
contoh tentang apakah ini berarti adalah sebuah puisi yang ditulis oleh
Richardson (1992) tentang kisah hidup seoran gperempuan “Louisa May’, yang ia
wawancarai sebagai bagian dari sebuah proyek tentang para ibu yang tidak
dikawini. Melalui puisi, Richardson ingin menyampaikan kehidupan Louisa May di
dalam pengertiannya sendiri dan di dalam ritme Selatannya, tanpa mereduksinya
menjadi kategori-kategori statistik, sosiologis kelas, tingkat pendidikan dan
seterusnya. Jadi, metodologi-metodologi dan strategi penulisan tidak dipandang
sebagai sarana untuk mencerminkan realitas, barangkali ‘secara objektif’,
tetapi sebagia sarana yang digunakan oleh sarjana menciptakan dan menyampaikan
realitas-realitas berbeda (lihat Tabel 1.1).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kembali ke tiga
pendekatan-pendekatan metodologis dan validitas yang telah saya jelaskan di
atas, pemahaman bahwa sebuah prisma akan sesuai untuk menggabungkan validitas
dialogis (menyampaikan realitas-realitas baru/yang diabaikan) dan validitas
dekonstruktif (mengungkap realitas otoritatif sebelumnya, seeprti realtias
antropologis atau sosiologis). Baik validitas dialogis dan dekonstruktif
memberi perhatian pada cara di mana bahasa dan penelitian ‘menciptakan’
realitas-realitas berbeda, yang menyediakan peralatan untuk secara kritis
menganalisis realtias-realitas arus utama dan juga untuk menciptakan
realitas-realitas alternatif.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Namun demikian, gagasan
tentang prisma berada pada posisi yang tidak mudah berhubungan dengan validitas
kontektualis. Jika kita berpikir tentang konteks di dalam pengertian sebagai
contoh struktur global dan ekonomis ketidakadilan, kita bisa mengatakan bahwa
kita bisa memandang struktur ekonomi itu dengan cara sangat berbeda dari
perspektif-perspektif yang berbeda. Ada juga dimensi ‘nyata’ untuk
struktur-struktur global yang adalah sama di mana<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>pun tempat; bahkan jika proses-proses
ekonomis dan politis dialami dengan cara-cara yang barang kali sangat berbeda
oleh orang-orang yang berbeda dan pada tempat-tempat yang berbeda, mereka masih
mempengaruhi kita semua, yang mengikat realitas-realitas kita dan nasib kita
menjadi satu. Gagasan tentang metodologi sebagai prisma yang menyampaikan
realitas-realitas yang berbeda sering kali memandang tugasnya untuk memahami
perbedaan atau memahami bahwa cara di mana kita memahami dunia adalah salah
satu saja dari cara-cara yang mugnkin. Kita bisa katakan bahwa prisma bertujuan
untuk memperbaiki pemahaman atau percakapan di antara realitas-realitas yang
berbeda, yang memungkinkan kita sebagai contoh untuk merasa daya tarik empatik
dengan dunia yang berbeda, seperti Louisa May. Mengembangkan jenis daya tarik
atau pemahaman ini memiliki manfaat-manfaatnya yang tidak bisa ditolak. Namun
demikian, tidak begitu sesuai menganalisis cara sebagai contoh bagaimana
perkembangan-perkembangan ekonomi global mempengaruhi kita secara yang sama dan
berbeda. Jadi, ini tidak sesuai untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif politis
atau kebijakan yang akan menyatukan masyarakat untuk mengubah struktur ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kita bisa katakan bahwa
jika kita akan menghilangkan 70 tahun dari menulis, penjelasan mengesankan Mead
tentang para gadis Samoa yang masih muda adalah dekat dengan upaya prismatis
untuk mengemukakan cara berbeda untuk berhubungan dengan dunia yang sebelumnya
telah diabaikan (dan di sini kita harus ingat betapa sedikit akademisi
perempuan dan perspektif yang berorientasi perempuan pada masa Mead). Namun
demikian, bahkan jika kisah ini membuka jendela pada dunia yang berbeda, dunia
ini tampaki mengambang di dalam isolasi yang tidak tergantung pada waktu.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Kita tidak banyak memiliki pemahaman tentang
bagaimana kolonialisme, sebagai proses kultural, politis, ekonomis dan militer,
membentuk Samoa. Oleh karena itu, kami sulit mendapatkan cara untuk
membayangkan bagaimana realitas-realitas kita dan realitas-realitas mereka bisa
saling dihubungkan satu sama lain, kecuali oleh jenis daya tarik manusia, dan
bagaimana bisa jadi ada kemungkinan untuk membangun beberapa proyek kolektif
atau politik di seputar proyek itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Perspektif Semiotik-material</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Jika masalah yang berhubungan dengan penelitian positivis adalah bahwa
peneltiian ini memandang hanya ada satu ‘kebenaran’ tentang realitas, masalah
yang berhubungan dengan penelitian yang mengikuti pemahaman tentang ‘prisma’
adalah bahwa penelitian ini memahami bahwa ada banyak kebenaran tanpa akhir
tentang realitas. Jika positivisme secara otokratis memberlakukan
‘kebenarannya’ pada pandangan-pandangan<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>lain, pemahaman tentang prisma dan banyak kebenaran yang tidak bisa
dibandingkan mempersulit usaha untuk membayangkan politik yang akan mengubah
realitas yang sama-sama dialami. Berusaha menemukan beberapa alasan yang
mungkin di antara dua posisi ini, penting bersandar pada gagasan metodologis
Donna Harawy tentang ‘pembelokan cahaya’. Pemahaman tentang pembelokan cahaya (<i>difraction</i>)
sangat dekat dengan gagasan Richardson tentang prisma yang membelokkan
realitas, sementara juga berangkat dari realitas itu dengan cara yang berarti.
Pembelokan, tidak seperti pembiasan, merujuk pada konstruksi sosial atau
simbolik tentang realitas –atau pada ‘penciptaan dunia dengan kata-kata’
(Austin, 1965)—tetapi pembelokan ini memahami penelitian sebagai sebuah
kekuatan yang mengubah atau menciptakan realitas di dalam pengertian simbolis
maupun material. Jadi, jika pembiasan merujuk pada proses di mana penglihatan
berubah ketika penglihatan ini melewati sebuah prisma, pembelokan merujuk pada
cara di mana cahaya baik sebagai kekuatan optim maupun material, diubah ketika
melewati sebuah prisma (Clough, 2000: 162).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Perbedaan di antara
pemahaman tentang penelitian sebagai sebuah proses konstruksi realitas secara
simbolis dan pemahaman tentang penelitian sebagai sebuah proses konstruksi
realitas secara simbolis dan material bisa diilustrasikan oleh perselisihan
sebelumnya di antara kedua tokok penting gerakan pos-strukturalis ini: Derrida
dan Foucauld. Argumen Derrida adalah bahwa ‘rasionalitas’ Pencerahan abad
kesembilan belas terbentuk atau melegitimasi diri sendiri melalui penemuan atau
definisi ‘ilmiah’ baru tentang kegilaan atau ‘irasionalitas’. Berlawanan dengan
hal ini, Foucault (1979b) mengemukakan bahwa ‘tindakan’ ini jauh dari murni
masalah definisi linguistik, karena tindakan ini membutuhkan pemenjaraan mereka
yang gila di dalam pengasingan, pencabugan dari mereka hak-hak mendasar dan
mengutuk mereka sepanjang hayat di dalam pencabutan fisik, sosial dan
emosional. Apa yang disoroti oleh kisah ini adalah bahwa penelitian dan ilmu
pengetahuan tidak membuat dunia ‘tampak’ sebagai sebuah cara khusus, melainkan
bahwa penelitian dan ilmu pengetahuan, seperti psikiatri, memunculkan
dunia-dunia tertentu yang sangat konkret dan kadang-kadang sangat problematis.
Kembali ke Samoa, kita bisa kemukakan bahwa penelitian antropologis tentang
kepulauan ini telah menjadi bagian dari atau potongan dari politik kolonialis
dan anti-kolonialis dan bukan semata-mata menjelaskan atau memberi makna pada
kehidupan di kepulauan ini, penelitian itu telah menjadi bagian dari proses
yang telah memunculkan perubahan kultural, politis dan ekonomis mendasar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pelajaran-pelajaran yang
harus diajarkan oleh pandangan semiotik-material tentang penelitian ada dua:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian ini memberi
perhatian pada batas-batas positivisme di dalam hal ia ini menyoroti bahwa
penelitian tidak pernah menjadi objektif melainkan sebuah realitas yang
mengubah kekuatan semiotik-material, yang selallu memiliki agenda tertentu atau
bersifat politis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Penelitian ini memberi
perhatian pada batas-batas pandangan konstruksionis sosial di dalam hal ia
menyoroti fakta bahwa peenlitian ini tidak bisa menciptakan realitas-realitas
sesuai dengan kemauan, atau hanya melalui penceirtaan sebuah kisah yang
berbeda. Penelitian ini dimungkinkan dan dihambat oleh sejumlah proses
kultural, politis, ekonomis dan ekologis yang saling berhubungan satu sama
lain, dan kita harus memahami proses-proses ini jika kita ingin campur tangan
di dalamnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jadi, cara di mana
perspektif semiotik material memandang sifat-sifat realitas (ontologi) dan cara
di mana kita bisa mengetahuinya (epistemologi) adalah berbeda dari perspektif
positivis dan prismatik. Perspektif ini tidak memandang realitas sebagai sebuah
entitas tetap yang harus dijelaskan (pandangan positivis) atau tanah liat
simbolis yang mudah dibentuk menjadi realitas-realitas yang berbeda (pandangan
prismatis), melainkan memahami hubungan di antara realitas dan penelitian
sebagai realitas yang berinteraksi. Jadi, meskipun perspektif semiotik material
ini memahami penelitian bukan untuk menjelaskan tetapi untuk ‘menciptakan’
dunia, perspektif ini menggarisbawahi bahwa realtias ada di luar penelitian dan
bahwa realitas bisa ‘menyerang balik’, membuat beberapa tipe penelitian dan
kesimpulan lebih mungkin daripada yang lain (Massumi, 1992). Ini berarti bahwa
perspektif ini berangkat dari pemahaman prismatik tentang ‘menulis
realitas-realitas yangberbeda’ dan mendukung pemahaman yang dibentuk ‘secara
materialistik’ tentang ‘penciptaan’. Perspektif ini mengakui bahwa penelitian
selalu dimungkinkan dan dibatasi oleh lingkungan sosial dan material yang ada
dan harus memahami sebagai contoh struktur-struktur sosial atau dasar-dasar
realitas ekologis, jika ingin mengubah realitas itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sama dengan perspektif
‘prismatik’, tujuan penelitian di dalam konfigurasi ini adalah menjadikan
peneltiian mampu menembus berbagai perspektif yang lebih luas. Namun demikian,
gagasan tentang prisma menafsirkan tujuan ini di dalam pengertian pluralistik
untuk memungkinkan semua suara atau realitas didengar. Sedikit berbeda, Haraway
(1997) dan Harding (1991, 1993, 2001) memandang tujuan penggabungan
pandangan-pandangan yang berbeda secara lebih egalitarian sebagai sarana untuk
mengembangkan sebuah struktur ilmiah, sosial dan ekonomi yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>yang lebih adil. Harawai, meminjam dari
Harding, menyebut pendekatan metodologis ini ‘objektivitas kuat’. Objektivitas
kuat merujuk pada komitmen untuk memperhitungkan perspektif-perspektif yang
berbeda –khususnya perspektif-perspektif kelompok-kelompok yang tertekan,
seperti pada gadis remaja Samoa, karena mereka cenderung kritis terhadap bentuk-bentuk
pengetahuan yang ada—untuk menghasilkan pembahasan yang memiliki jangkauan
lebih luas dan dengan demikian lebih ‘akurat’ tentang dunia. Haraway (1988)
mengakui bahwa penelitian tidak pernah menjadi objektif tetapi selalu bersifat
parsial atau ‘disituasikan’, namun demikian ini tidak memberi ijin untuk
bersikap parikoal atau berpandangan sempit. Sebaliknya, fakta bahwa penelitian
selalu bersifat poligis, menggarisbawahi tanggung jawab etis kita untuk
menyadari ‘jenis-jenis realitas dan makhluk apa yang sedang kita ciptakan, dari
keduanya dan untuk keduanya’ (Haraway, 1997: 58). Ini berarti bahwa kita harus
berhati-hati tentang bagaimana penelitian khusus kita, baik pada bagian kecil
atau bagian besarnya, menghasilkan realitas yang ia lihat, seeprti pemahaman-pemahaman
tentang sesuatu yang ‘primitif’ dan berbahaya, yang telah memunculkan sejumlah
wacana dan praktek, yang menyediakan dukungan untuk pembebasan seksual,
turisme, banyak filem dan citra media dan juga kampanye-kampanya sterilisasi.
Agar tidak menghasilkan penelitian yang sempit, penelitian rasis yang
mengabadikan ketidakadilan, penelitian menurut Haraway dan Harding harus teliti
dan menggunakan ‘metode sistematis’ yang memungkinkan usaha untuk
memperhitungkan dan secara kritis mengevaluasi pandangan-pandangan yang berbeda
tentang femomena-fenomena yang sedang diteliti. Pengumpulan dan penilaian
perspektif secara sistematis ini, khususnya perspektif yang ditekan, membantu
menghasilkan penelitian yang berjangkauan lebih luas atau secara ilmiah teliti
dan lebih sadar akan implikasi-implikasi politis dan etis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Di dalam perspektif
semiotik-material, tujuan penggabungan metodologi-metodologi yang berbeda, dan
validitas-validitas mereka masing-masing, adalah menghasilkan pembahasan yang
‘lebih baik’ atau lebih inklusif tentang dunia, atau dunia-dunia yang lebih
inklusif. Prinsip dialogis ini memungkinkan praktek penyesuaian perspektif
kelompok-kelompok yang berbeda, khususnya perspektif kelompok-kelompok yang
memiliki hak untuk menyampaikan suara mereka, seperti para gadis remaja Samoa
atau mereka yang ‘gila’. Dekonstruksi membantu secara kritis menganalisis
wacana-wacana yang telah lama mengendap tentang ‘yang primitif’ atau ‘yang
secara mental sakit’ yang menyamar sebagai kebenaran tetapi mengungkapkan
politik beberapa pandangan tertentu, yang dengan demikian membuka ruang untuk
rentang pandangan yang lebih egalitarian. Kontekstualisme memungkinkan kita
untuk memahami cara di mana pemahaman tentang seksualitas primitif dan gangguan
mental berhubungan satu dengan yang lain dengan struktur sosial, politik dan
ekonomi yang kompleks, seperti kolonialisme, eugenika (kajian perkembangan
keturunan ras manusia dengan pengembangbiakan selektif terkontrol), atau
kepentingan humanis liberal pada dan daya tarik perbedaan. Secara keseluruhan,
menggabungkan metodologi-metodologi membantu memunculkan ‘objektivitas kuat’
yang menghasilkan pengetahuan yang lebih ‘akurat’ dan lebih egalitarian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Dialog-dialog Metodologis</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Meskipun banyak memiliki manfaat, perspektif semiotik-material membuat
saya tidak nyaman di dalam satu hal. Pemahaman tentang pembelokan (<i>difraction</i>)
dan juga pemahaman-pemahaman tentang pencerminan dan pembiasan) bersifat
optis,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan penglihatan sebagai indera,
merupakan salah satu dari indera paling linear dan paling tidak interaktif.
Logika visual posisi semiotik-material berkembang melalui tulisan-tulisan
Harraway dan Harding yang menggunakan pandangan relatif tradisional tentang
praktikalitas penelitian dan tulisan empiris. Jadi, mereka memahami ‘objektivitas
kuat’ merujuk pada penelitian yang secara sistematis menggabungkan
pandangan-pandangan yang berbeda, teramasuk pandangan-pandangan yang ditekan
dan kemudian melakukan sintesa terhadap pandangan-pandangan itu menjadi sebuah
pernyataan yang lebih inklusif yang secara politis berkomitmen pada penghapusan
ketidakadilan dan pembuangan secara sosial. Posisi ini berbeda dari
prinsip-prinsip penelitian tradisional di dalam hal ia mengambil posisi
politis, tetapi komitmennya ‘yang telah direvisi’ pada ‘keilmiahan’ melekat
pada gaya penelitian sintesis tradisional yang menerjemahkan
perspektif-perspektif lain menjadi sebuah pandangan ilmiah, dengan cara yang
mengikuti logika visual keterlepadan, kekonstanan dan kontrol.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Menurut pandangan saya,
kerangka kerja optis ini tidak berlaku adil terhadap cita-cita inklusivitas atau
pada pemahaman tentang penelitian sebagai interaksi dengan realitas. Kerangka
kerja optis ini menunjukkan bahwa gagasan tentang sifat-sifat semiotik-material
penelitian adalah lemah, di mana pemahaman tentang prisma adalah kuat,
maksudnya, prinsip dialogis mendengar teks dan nuansa dunia-dunia yang berbeda.
Oleh karena itu, saya akan kembali apda gagasan Richardson (1997, 2000; juga
Denzin, 1997a) bahwa metodologi dan cara penulisan bisa lebih baik atau lebih
buruk sesuai dengan pola komunikasi kelompok-kelompok tertentu atau cara kerja
bidang kehidupan tertentu. Jadi, untuk berlaku adil pada realitas-realitas yang
dialami sebagai contoh realitas para gadis remaja Samoa, kita mungkin memerlukan
sebuah strategi penelitian kolaboratif atau dialogis dan gaya penulisan yang
lebih puitis. Dengan cara yang sama, sebuah analisis kontekstual dan penuisan
realis bisa jadi tepat untuk penelitian tentang struktur-struktur budaya,
politik dan ekonomi kolonialis. Ini tidak berarti bahwa kita harus
mendelegasikan perempuan dan kisah-kisah kehidupan kepada bidang emosional,
fiktif, pribadi dan poligik serta ekonomi kepada bidang kontekstual, realis,
publik karena ini bisa mengonsolidasikan struktur-struktur ketidakadilan dan
pemenjaraan (kepedulian pada perempuan, dan kontrol laki-laki). Strategi
penelitian ini menggarisbawahi fakta bahwa cara-cara membaca dan menulis atau
memahat realtias selalu bersifat politis dan bahwa jika kita tidak berlaku adil
pada kekhususan mereka kita berisiko tidak peka terhadap semua pandangan sosial
dan pandangan yang tertekan, termasuk nilai dan kepentingan yang ingin kita
informasikan di dalam sebuah penelitian yang lebih inklusif, egalitarian dan
pluralis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Cita-cita tentang sebuah
pandangan ‘yang mencakup banyak hal’, yang melekat pada pemahaman tentang
objektivitas kuat, memberi perhatian pada sesuatu yang umum, sementara
pemahaman tentang prisma menggarisbawahi arti penting mengankap sesuatu yang
bersifat khusus. Jika kita harus membayangkan sebuah posisi metodologis di
antara sesuatu yang umum dan sesuatu yang khusus, paling baik adalah bergeser
dari penglihatan ke suara atau percakapan. Penglihatan membagi-bagi realitas
menjadi pandangan yang benar (positivisme), beberapa pandangan yang berbeda
(prisma), atu pandangan khusus tapi mencakup banyak hal (pandangan
semiotik-material). Metafora suara atau percakapan memandang realitas-realitas
yang berbeda dengan cara yang lebih menyerap atau interaktif. Bukan mendukung
penggabungan realitas-realitas yang berbeda menjadi satu pandangan, atau
menangkap realitas-realitas terpisah, pemahaman tentang suara membayangkan
kord-kord berbeda mereka, tetapi juga gema dan berinteraksi satu sama lain.
Sebuah contoh adalah pemain solo terompet jaz, yang diterjemahkan menjadi atau
dari suara-suara multikultural lain dan politik lingkungan tinggal perkotaan
kontemporer (lihat Deleuze dan Guattari (1987: 530-50) tentang ritme untuk
mendapatkan inspirasi). Pada masing-masing dari lingkungan ini, suara jaz
memukul kord yang berbeda; sementara pemunculan kembali jaz juga saling
mempengaruhi bidang artistik/pertujukan, lekat dan bersifat urban/politis.
Dengan cara yang sama pengalaman-pengalaman yang berbeda yang telah dialami
tentang seksualitas, wacana budaya, politik dan medis yang memungkinkannya dan
juga rezim ilmiah, sosioekonomi dan poligik global sehingga ia membentuk sebuah
bagian berbicara dengan nada yang berbeda dan tentang seksualitas yang berbeda;
mereka juga menggemakan dan berinteraksi satu dengan yang lain. Jadi,
pendekatan berbasis suara untuk penggabungan metodologi-metodologi, dan
validitas-validitas mereka masing-masing, memungkinkan strategi penelitian
multidimensional, yang menghormati kekhususan cara-cara penelitian/realitas yang
berbeda dan menunjuk pada kesatuan-kesatuan dan perpotongan-perpotongan yang
mengikat metodologi-metodologi dan realitas-realitas yang berbeda menjadi satu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Untuk mengilustrasikan
seperti apakah pendekatan berbasis suara atau dialogis untuk menggabungkan metodologi-metodologi,
saya akan membuat sketsa sebuah cara yang mungkin untuk menganalisis
seksualitas para gadis remaja Samoa dari perspektif yang berbeda. Maksud saya
bukanlah untuk mengatakan apakah yang telah dilakukan oleh Mead atau Freedman.
Kita tidak bisa menilai sebagian dari penelitian yang dilakukan 70 atau 20
tahun lalu dengan standar atau agenda sosial kontemporer, bahkan jika beberapa
dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka angkat masih terkait hingga saat ini.
Saya hanya akan menjelaskan debat Mead-Freeman untuk menyediakan
gagasan-gagasan heuristik untuk melakukan penelitian multidimensional, dengan
semangat yang sedikit mirip dengan Frow dan Morris (1992) yang membuat sketsa
tentang cara menliti sebuah pusat perbelanjangan tanpa sungguh-sungguh
menelitinya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jadi, jika kita harus
mulai dengan menganalisis realitas yang dijalani oleh para gadis remaja Samoa,
kita bisa menggunakan prinsip-prinsip pendekatan hermeneutis atau dialogis dan
bertujuan untuk menengkap permasalahan dari perspektif mereka –bekerja sama
dengan para gadis remaja ini dan secara kritis menyadari beban budaya seseorang
yang bisa menghambat pemahaman mereka. Dengan cara yang sama, dan di dalam
semangat kemampuan mengguankan banyak suara (<i>polyvocality</i>), kita
bertujuan untuk memahami permasalahan seksualitas dari perspektif-perspektif
anak-anak laki-laki dan perspektif para penduduk desa yang lebih tua, laki laki
maupun perempuan. Jika kita harus meneliti wacana-wacana yang memungkinkan cara
di mana kita dan mereka memahami seksualtias remaja ini kita bisa memulai
dengan secara kritis menguji wacana psikologis-sosial Barat, yang ingin
dipermasalahkan oleh Mead, yang membentuk seksualitas perempuan remaja sebagai
‘masalah’ dan sebagai sumber<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>penderitaan. Kita bisa membicarakan asal-usul dan politik wacana ini
yang mengatur seksualitas perempuan dengan memahaminya sebagai sebuah ‘masalah’
dan kemudian bertujuan ‘memecahkan’ masalah itu dengan secara protektif
menyarankan menahan nafsu atau mendukung kebebasan dari penindasan atau mendukung
seksualitas ‘alami’. Kita kemudian melanjutkan peneltiian tentang bagaimana
pertama-tama wacana ini berpotongan dengan pemahaman-pemahaman tentang
seksualitas ‘primitif’, yang digunakan untuk mendukung perilaku seks ‘bebas’
atau cabul sebagai perilaku seks ‘alami’. Kedua, kita bisa meneliti bagaimana
wacana tentang seksualitas ‘primitif’ membentuk bagian dari wacana kolonialis,
eugenistik dan turistis yang mendefinisikan masyarakat dari Selatan sebagai
lebih ‘seks’ atau ‘tubuh’ dariapda ‘pikiran’ dengan demikian mendefinisikan
mereka sebagai lebih ‘mirip binatang’ daripada ‘manusia.’ Kita kemudian bisa
melanjutkan pengujian tentang bagaimana wacana-wacana rasis tentang seksualitas
ini membentuk bagian dan potongan dari rezim kolonialis dan poskolonialis dari
peraturan militer, politis dan ekonomis yang telah mempengaruhi kehidupan dan
masyarakat di tempat-tempat seperti Samoa secara mendasar. Namun demikian, kita
juga bisa meneliti bagaimana pemahaman-pemahaman tentang seksualtias alami
berapi-api membentuk bagian dari rezim pemikiran dan tindakan sosial, seperti
liberalisme kulturalitas Mead, yang pada semua kontradiksi mereka, telah
berjuang melawan kebijakan-kebijakan rasis. Akhirnya, kita bisa kembali pada
lingkaran penuh dan meneliti bagaimana wacana-wacana global dan praktek-praktek
yang berhubungan dengan seksualitas, dari misionaris Barat dan misi-misi
‘pengadapan’ lain untuk media global kontemporer saat ini, memandu
pemahaman-pemahaman normatif tentang seksualitas di Samoa, sehingga bisa dipahami
bahwa ketika mewawancarai para gadis remaja Samoa, kiga bisa mendengar gema
budaya lokal, pemahaman-pemahaman sosial-psikologis tentang seksualitas remaja
dan penafsiran-penafsiran Barat tentang seksualitas ‘primitif’.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sebuah penelitian seperti
ini tidak akan menjawab pertanyaan positivis: Seperti apakah seksualtias
perempuan di Samoa? Sebaliknya, penelitian ini akan meneliti politik yang
dilekatkan apda berbagai wacana yang menghasilkan seksualitas remaja perempuan
Samoa dan berbagai praktek dan agenda lain di dalam pengertian simbolis dan
sangat material. Namun demikian, menangkap ‘politik’ yang dilekatkan pada
pengalaman intim perempuan muda tentang seksualitas dan politik yang menopang
wacana eugenik dan eksotis tentang seksualitas dan hubungan-hubungan mereka
dengan kebijakan-kebijakan kolonialis dan kolonialis tandingan akan memerlukan
metodologi-metodologi yang berbeda dan jenis-jenis tulisan yang berbeda pula,
hingga pada titik di mana ‘hasil-hasil’ dari ketiga perspektif ini mungkin
tampak berbicara tentang sebuah realitas yang berbeda. Menangkap kekhususan
perspektif-perspektif ini sangatlah penting, jika kita ingin jujur untuk proyek
yang memperbaiki penelitian dan poligik yang memperhitungkan dan berlaku adil
pada perspektif-perspektif yang berbeda tentang dunia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Menyatukan
perspektif-perspektif politis dan metodologis yang berbeda menjadi sebuah
dialog satu dengan yang lain menanamkan penelitian multidimensional dan politik
yang mampu memberi perhatian pada kompleksitas fenomena sosial, seperti
seksualitas masyarakat Samoa. Strategi penelitian ini tidak berusaha untuk
sampai pada pandangan yang tercerahkan (triangulasi) atau mengakui bahwa ada
banyak pandangan (prisma). Penelitian multiperspektif bertujuan untuk
mempertahankan perspektif-perspektif yang berbeda tetap pada ketegangan kreatif
satu dengan yang lain. Sebagai contoh, jika sebagai bagian dari meneliti
seksualitas masyarakat Samoa, kita harus menguji implikasi-implikasi sosial
karya Mead dari dari sudut pandang dialogis atau multiperspektif, penelitian
ini tidak akan tampak ‘baik’ atau ‘buruk’ tetapi rumit. Di sisi lain, kia
memeprtahankan masyarakat Samoa dan kehidupan mereka berhadapan dari
aturan-aturanmoral universal Barat dan pemahaman-pemahaman tentang
bentuk-bentuk yang secara intrinsik superior dan inferior dari sifat-sifat
manusia. Di sisi lain, Mead membangun eksotisme masyarakat Samoa, yang berakir
pada penegasan trope Barat tentang ‘keprimitivan’ alami dan sensual universal.
Dari sudut pandang dialogis, humanisme liberal Mead secara epistemologis atau
politis <i>tidak </i>‘benar’ <i>atau</i> ‘salah’ tetapi <i>keduanya </i>benar <i>dan
</i>salah. Jenis dialogisme ini menanamkan penelitian dan politik yang bisa
memahami multidimensionalitas problematika sosial dan bukan bersandar pada
penilaian-penilaian satu dimensi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Mengeksplorasi
perspektif-perspektif yang berbeda dan menggunakan metodologi-metodologi yang
berbeda cara yang telah saya gunakan bisa dijalankan, tetapi cara ini adalah
pekerjaan yang besar. Maksud saya tidaklah mengemukakan bahwa setiap proyek
penelitian harus mengumpulkan berbagai perspektif. Namun demikian, apa yang
ingin saya garis bawahi adalah bahwa bahkan jika kita meneliti aspek tunggal
dari sesuatu seperti seksualitas perempuan remaja Samoa, bermanfaat mengingat
bahwa seksualitas ini bisa didekati dari beberapa sudut dan merupakan bagian
dari sebuah teka-teki yang lebih besar. Kita mungkin ingin menangkap
seksualitas yang dialami oleh perempuan Samoa melalui wawancara kisah hidup.
Kita harus mengingat bahwa pembahasnanya bisa berhubungan dengan semua
wacana-wacana lokal dan global tentang seksualitas perempuan dan primitif dan
kritik tajam dan mendukung wacana-wacana ini dan agenda-agenda politis yang
berbicara melalui wacana-wacana itu. Jadi, kisah hidup adalah: (1) sebuah
ekspresi realitas yang telah dialami, yang harus dipahami secara dialogis; (2)
ditembus dengan wacana-wacana sosial yang bisa diuraikan melalui dekonstruksi;
dan (3) mengartikulasikan politik lokal, nasional dan transnasional yang luas,
yang harus dianalisis secara kontekstual. Oleh karena itu, bahkan jika kita
meneliti satu bidang khusus, seperti realitas yang telah dialami, bermanfaat
untuk menyadari bahwa penelitian ini meliputi banyak dimensi. Ini adalah apa
yang telah saya temukan ketika mewawancarai para perempuan penderita anoreksia,
yang kisah-kisahnya diungkap dengan wacana-wacana yang mendefinisikan anoreksia
dan semua agenda sosial dan politis yang bernuansa jender, transnasional dan
nasional kontradiktif. Semakin banyak saya meneliti kontroversi Mead-Freeman,
semakin saya sadar akan komoditas-komoditas di antara wacana-wacana tentang
anoreksia dan tentang seksualitas remaja di Samoa. Pada kedua kasus ini
‘sifat-sifat yang sebenarnya’ dari tubuh dan diri perempuan menjadi ladang
pertempuran dan teriakan pertempuran untuk sejumlah perjuangan personal dan
politis yang kompleks. Jadi, menggabungkan metodologi-metodologi untuk meneliti
bagaimana pengalaman intim kita tentang tubuh dan diri kita dihubungkan dengan
rezim global kekuasaan yang mengikat kita dengan masyarakat jauh, bisa
memperbaiki politik translokal yang akan mempertanyakan kekuatan-kekuatan,
wacana-wacana yang menekan kita, sementara siap mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan mendasar opini dan kepentingan dan siap menegosiasikan
mereka. Singkatnya, penggabungan metodologi-metodologi ini berkomitmen pada
politik egalitarian yang akan mengakui bahwa bagian dari proyek egalitarian
sampai pada fakta bahwa ‘keadilan’ bisa tampak berbeda dari
perspektif-perspektif yang berbeda.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Kesimpulan</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Proyek metodologis penelitian-penelitian budaya disusun di seputar
ketertarikan tiga dimensi pada pengalaman, wacana atau teks dan konteks sosial.
Tantangan proyek ini adalah bahwa tiga bidang fokus ini merujuk pada
pendekatan-pendekatan metodologis yang berbeda. Memahami pengalaman yang telah
dialami menuntut pendekatan hermeneutis atau fenomenologis yang bertujuan untuk
memahami realitas-realitas yang telah dialami. Ketertarikan pada wacana membutuhkan
analisis pos-strukturalis gaya bahasa dan pola yang membentuk pemahaman kita
tentang lingkungan sosial, budaya dan penelitian. Namun demikian, menganalisis
konteks sosial dan politis selalu dihubungkan dengan beberapa bentuk realisme
yang ingin memahami bagaimana masyarakat dan strukturnya ‘sungguh-sungguh’
bekerja. Ketiga pendekatan metodologis ini bisa melengkapi dan memperkaya satu
sama lain, tetapi mereka juga memasuki kontradiksi. Kita tidak bisa dengan
mudah menggabungkan penelitian hermeneutis untuk memahami realitas-realitas
yang telah dialami dan ketertarikan pos-strukturalis di dalam secara kritis
menganalisis wacana-wacana yang memungkinkan realitas-realitas itu. Pada saat
itu, ketertarikan pendekatan hermeneutis dan pos-strukturalis pada banyak
realitas atau sifat-sifat poligis dari semua realitas tidak sesuai dengan
proyek realis untuk memahami realitas sosial. Lebih jauh, tantangan-tantangan
filosofis dan praktis baru yang dimunculkan oleh etnografi, pos-strukturalisme
dan globalisasi –yang pada saat yang sama menuntut penelitian menjadi lebih
jujur pada realitas-realitas berbeda dan bisa memahami realitas global yang
semakin penting—telah menarik penelitian menjauh dan juga menggarisbawahi
kebutuhan akan dialog di antara<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>posisi-posisi ilmiah dan politis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Di dalam situasi ini,
pemahaman lama tentang ‘validitas’ sebagai kebenaran tampak tidak lagi layak.
Sebaliknya, telah dikemukakan bahwa sebagai pengganti validitas, kita mulai
berbicara tentang validitas. Berhadapan dengan latar belakang penelitian-penelitian
kultural ketertarikan pada dimensi-dimensi yang dijalani, tidak berhubungan
satu sama lain dan sosial/global dari realitas dan juga pembahasan-pembahasan
metodologis belakangan, kita bisa mengemukakan tiga validitas yang berbeda. Pertama,
validitas dialogis mengukur penelitian di dalam pengertian seberapa bagus ia
tetap jujur pada dunia-dunia kehidupan masyarakat yang sedang diteliti. Kedua,
validitas dekonstruktif mengevaluasi nilai penelitian di dalam pengertian
seberapa teliti ia memahami wacana-wacana sosial dan gaya bahasa yang
memungkinkan pemahaman kita tentang realitas dan membingkai penelitian kita.
Ketiga, validitas kontekstualis mengukur validitas penelitian di dalam
pengertian seberapa bagus ia berhasil menentukan letak fenomena dan juga
penelitian itu sendiri di dalam konteks sosial, politis dan global yang lebih
luas.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Secara keseluruhan,
validitas-validitas ini menyoroti kriteria berbeda untuk penelitian yang baik
atau valid. Pada saat yang sama, mereka mengajukan pertanyaan apakah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dan bagaimana validitas-validitas yang
berbeda ini, dan pendekatan-pendekatan metodologis mereka masing-masing, bisa
disatukan. Cara tradisional untuk menggabungkan metodologi-metodologi di dalam
penelitian sosial dan kultural adalah triangulasi, yang merujuk pada penggunaan
metode-metode berbeda guna mendapatkan gagasan yang lebih akurat tentang
realitas sosial. Namun demikian, masalah yang berhubungan dengan penggunaan
heuristika triangulasi yang harus menyatukan tiga validitas dan metodologi-metodologi
adalah bahwa mereka tidak selalu berhubungan dengan penglihatan akurat tentang
realitas ketika mereka mengeksplorasi fase-fase berbeda realitas atau
realitas-realitas yang berbeda. Richardson (2000) telah mengemukakan bahwa
bukan berbicara tentang triangulasi kita harus berbicara tentang prisma, yang
menyoroti fakta bahwa realitas mengalami perubahan ketika kita berganti
perspektif metodologis dari mana kita melihat realitas itu. Pemahaman tentang
prisma tidak membenarkan perbedaan-perbedaan penting di antara cara-cara
berbeda untuk mendekati realitas, tetapi masalah yang berhubungan dengannya
adalah bahwa prisma ini melampaui fakta bahwa, bahkan jika kita bisa mendekati
dunia sosial dan global secara berbeda, prisma ini juga menyatukan nasib kita.
Jadi, berdasarkan pada gagasan Richardson tentang prisma dan pemahaman Donna
Haraway tentang konstruksi semiotik material di dalam pengertian menciptakan
dialog-dialog di antara pendekatan-pendekatan itu. Cara dialogis untuk
melakukan penelitian adalah memberi perhatian pada aspek-aspek yang dijalani,
kultural dan juga sosial serta material dari realitas kita, dan mengakui bahwa
bisa jadi ada perbedaan di antara mereka. Ini bertujuan untuk menanamkan
cara-cara analisis sosial dan kultural yang akan sensitif terhadap
realitas-realitas yang berbeda dan mampu membangun jembatan di antara mereka.
Cara penelitian ini diharapkan juga kaan mendorong politik yang akan menyatukan
kelompok-kelompok yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan dan pandangan
yang berbeda untuk mulai membangunsebuah dunia bersama yang lebih egalitarian
dan pluralis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Latihan 1</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo6; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Desainlah sebuah strategi penelitian untuk
meneliti sebuah topik yang telah Anda pilih. Pikirkan bagaimana Anda akan
meneliti topik Anda, menggunakan pedoman berikut: (1) validitas dialogis, (2)
validitas dekonstruktif, dan (3) validitas kontekstual?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo6; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Diskusikan bagaimana tiga pendekatan ini bisa
bertolak belakang atau saling melengkapi satu sama lain.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo6; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Apakah Anda berpikir bahwa salah satu dari
pendekatan-pendekatan penelitian lebih terkait dengan usaha untuk memahami
topik Anda? Mengapa?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo6; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Akankah jika Anda memusatkan perhatian pada satu
perspektif, seperti pengalaman yang telah dialami, Anda akan melakukan sesuatu
yang paling baik? Jenis strategi penelitian atau metoda apa yang akan Anda
guankan untuk mengeksplorasi topik Anda dari perspektif yang telah dipilih?
Bagaimana Anda bisa memperkaya perspektif metodologis yang telah Anda pilih
dengan menganalisis bagaimana pendekatan-pendekatan lain digunakan (sebagai
contoh, dengan menganalisis bagaimana wacana-wacana itu menghubungkan
pengalaman-pengalaman)?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo6; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol; mso-fareast-language: EN-GB;"><span style="mso-list: Ignore;">·<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 15.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: EN-GB;">Atau, akankah lahak meneliti dimensi-dimensi
yang dijalani, tidak berhubungan satu sama lain dan bersifat sosial/global dari
fenomena yang sedang Anda teliti? Bagaimana Anda bisa meneliti ketiga dimensi
ini dengan cara yang bisa dikelola? Bagaimana Anda bisa menyatukan analisis
yang berbeda tanpa (1) membatasi kausalitas (‘konteks sosial menentukan
kehidupan yang dialami’) atau (2) sebuah situasi di mana perspektif-perspektif
yang berbeda berbicara satu dengan yang lain (‘pengalaman-pengalaman yang telah
dialami bercerita tentang sedikit orang dan konteks sosial bercerita tentang
sejarah besar, dan mereka berbicara tentang realitas-realitas yang berbeda’)?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-75611470705503958322014-03-12T12:49:00.005+07:002014-03-14T09:37:38.526+07:00Introduction: Locating Cultural Studies and the Book<div style="text-align: justify;">
Introduction: Locating Cultural Studies and the Book
Crosscurrents in cultural studies 4
Reconciliations 6
Outline of the book 8
One of the arguments of this book is that research or research methodologies are never objective’ but always located, informed by particular social positions and historical moments and their agendas. Thus, to locate this book, it has its early origins in my research on the discourses and lived experiences of eating disorders, largely women’s mental dis-eases, characterized by a dangerous pursuit of thinness. I was originally driven to study these conditions, because having been anorexic myself, I was perplexed, or even angered, with the way in which these conditions were studied in two respects. First, I was annoyed with the way in which the studies rendered anorexic women ‘disordered’, or incapable of assessing their thoughts and actions. In many studies, anorexics’ speech was treated as simply a ‘symptom’, from which the ‘true’ meaning, such as a psychological or social pathology, could be read by the expert, such as a psychiatrist or even a feminist cultural critic. Secondly, I was frustrated with the social and political projects and arguments that the anorexic – apparently unaware of the ‘meaning’ or roots of her condition – was made to stand for. The interpretations of anorexia have usefully drawn critical attention to the sexist nature of body ideals and family structures and the dysfunctionality of (post)modern self-control. Still, interpretations of anorexia also often confirm the inherently pathological nature of anorexics, or women in general, as vain, overly dependent on others and their opinions, and prone to buttress general social compliance and conservatism.
Thus, driven by these two concerns of mine, I embarked on a research project that aimed both to develop ways of doing justice to the lived experience of anorexia and to critically analyze the discourses that had constituted it.<br />
<a name='more'></a><br />
However, while my interviews with women who had anorexia contained many challenging and interesting insights, they were also underpinned by the problematic medical notions of anorexia, I wanted to criticize.This led me to my first methodological dilemma:How can one do justice to the lived experience of people, while, at the same time, critically analyze discourses, which form
the very stuff out of which our experiences are made?
Furthermore, my analysis of discourses on eating disorders led me to unexpected places. Studying the history of the contemporary diagnostic criteria for anorexia, led me to study 1920s US immigration policy, and the postwar or Cold War American political, cultural and intellectual context. My analyses of the popular figureheads that have made eating disorders known, Karen
Carpenter and Princess Diana, further directed me to the battle between 1960s radicalism and Nixon era neo-conservatism and later, closer to my new home, to the contradictory New Labour politics and ambience of Great Britain of the 1990s. However, mapping the social connections of anorexia and its definitions, led me to another methodological dilemma: How can one criticize discourses, which constitute ‘reality’, such as anorexia, while, at the same time, make statements about historical and political reality?
In the end, what had started as an exploration of a personal indignation, had taken me to study the major social and political processes, developments and structures of twentieth-century North America and Europe, in a way that I was not prepared for. As the research progressed, I had to come up with a framework for studying the lived, discursive, and historical and social dimensions of anorexia, and to shift between different methodological perspectives and genres of writing. While the different methodological approaches frequently complemented one another, they also mounted in practical difficulties as well as theoretical contradictions. Based on my research, and a wealth of other people’s research, this book aims to provide a guide map on how to study the lived, discursive and social and political nature of contemporary reality. My intention has been to write a book that I would have liked to read before I started my research.
Crosscurrents in cultural studies
My intellectual commitments are not, however, shaped by my research alone, but they are also guided by the history of cultural studies, and the way in which this history has played out in places I have worked or studied. Cultural studies as a discipline was forged in the 1970s in the by now legendary Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies. I was introduced to cultural studies at a later stage, in the 1980s, when doing my first degree at the University of Tampere, Finland. This was a time when cultural studies was no longer a marginal enterprise, but it was becoming mainstream and taking over academic departments in Scandinavia. Thus, even if I studied a presumably ‘objectivist’ subject, such as journalism, our curriculum focused on ideology, hegemony, resistance, postmodernity, representation and narrative. My first fledgling research projects on Costa Rican alternative press and young Finnish squatters’ movement, were deeply embedded in the British variant of cultural studies, and, in particular, its interest in ‘resistance’. Both me and my student peers back in the 1980s, as well as my own twenty-first-century students, liked the both critical and ‘upbeat’ aura of resistance, which saw some ‘hope’ in culture, unlike some of the pessimistic critical analyses, which saw culture mainly to have a pacifying function. Resistance underlined the creative potential of popular cultural forms, such as youth cultures and movements, to challenge dominant ideologies and society, even if this potential was not necessarily interpreted to lead to radical, social change. My research on anorexia may have, in its very early stage, been informed by some vague idea of anorexics resisting discourses on anorexia, but these notions soon dropped out of the agenda.This was partly due to the fact that the interviews I conducted with women, who had had anorexia, were complicated in a way that could not be described in terms of either being subjugated to dominant ideologies or resisting them. Furthermore, studies on resistance were increasingly being attacked for, for example, telling more about the scholar’s political fantasies, such as fantasies of youthful, feminist or working-class, rebellion, than the phenomena being studied (Morris, 1990; Nightingale, 1992; Stabile, 1995). However, I think analysis of ideology continues to provide insights into empirical research on lived experiences, texts and contexts. I also think that the later methodological currents in cultural studies cannot be comprehended without knowledge of these classical approaches, which often continue to underpin studies done within the paradigm, even if they no longer use this vocabulary. For these reasons, I spend a couple of chapters in this book outlining the ideological and resistance approaches to studying lived and textual culture and discussing their shortcomings and continuing relevance.
My abandoning of the resistance-paradigm also coincided with my move, in the 1990s, from Finland to Urbana-Champaign to do my doctorate at the University of Illinois. At this time Urbana-Champaign was a Mecca of the American version of cultural studies, testified by my star-studded dissertation committee, consisting of Clifford Christians, C.L. Cole, Norman Denzin, Lawrence Grossberg and Paula Treichler. My major adviser, Denzin,was developing new modes of interpretative inquiry in response to the postcolonial and feminist attacks, which argued that social science has not understood marginal groups, such as women, working-class or non-Western people, but used them to justify the scholar’s political and theoretical projects, ranging from colonialism to Marxism (see Clifford and Marcus, 1986). The new interpretative or
ethnographic research programme aimed to find more collaborative ways of studying and writing about people that would be both more sensitive to different worlds and aware of the limits and commitments of our own understanding (Denzin, 1997a). At the same time, my other committee member, Grossberg, was beginning to criticize the ‘cultural turn’ in social research and to argue that we should begin to pay attention to increasingly exploitative material and economic developments, fallen into oblivion as a result of the interest in cultures and experiences (e.g. Grossberg, 1998). In this situation, I felt somewhat tugged and pulled between two currents in empirical research in cultural studies that were interested in either the microcosmos of individual experience or the macrocosmos of global, economic power structures (Saukko, 1998).
Reconciliations
However, recent developments in empirical research and methodological discussions in cultural studies have somewhat blurred these crosscurrents. The harbingers of the original new ethnographic critiques, Clifford (1997) and Marcus (1998a), together with others (Appadurai, 1997; Haraway, 1997), have begun to talk about the way in which our research spills over traditional paradigmatic as well as geographic boundaries. This spilling has blurred the distinctions between, for instance, culture and economy, as well as shattered the idea of easily definable research objects, such as a subculture or a village. Thus, the sociologists’ youth subcultures or the anthropologists’ villages no longer appear isolatable locales but more like nodes in networks traversed and shaped by flows of transnational media, money, people, things and images.The same way, following my research topic, anorexia, which is often thought of as a psychological problem, spilled across different spheres of life and levels of analysis.
Thus, as my research continued, anorexia started to appear most intimately and intensely personal and interpersonal, and, at the same time, highly mediated by medical and popular discourses, and subtly, but firmly, interlinked with wider social, political, and even global military, regimes.
In this scenario of blurring boundaries, sometimes described by the millennial catchword, ‘globalization’, the old methodological divisions between experience, culture, and ‘reality’ – or ‘audiences’, ‘texts’ and ‘production’ in media studies – have become less clear.This new situation has, in a sense, brought me to the areas of interest of my other committee members, namely, science studies (Cole, 1998;Treichler, 1999) and dialogic theory (Christians, 1988, 2000).
Cultural studies of science have been at the forefront in developing a hybrid methodology that gets us beyond the debate, roughly put, whether material reality determines, or is more important than, language and culture, or whether language or culture determines, or is more important than, reality.To borrow Haraway’s (1997) idea, discourses, such as the discourse on anorexia, are best
seen as ‘material-semiotic’ forces, which emerge from a specific historical context and effectuate changes that are both symbolic and very concrete.Thus, the discourse on anorexia shapes our most fundamental sense of our self, how we define what kind of a self is ‘healthy’ and what kind of a self is ‘disordered’. At the same time, it gives rise to specific regimes of treatment and lifestyle, becomes part and parcel of popular media imagery, and is mobilized to pathologize or buttress a variety of social and political regimes.
The discourse on anorexia weaves these symbolic and concrete, local and global, facets together; yet, each facet also has its own specificity. A person’s lifehistory and the history of the Cold War may be interlinked, but one needs a different approach to capture lived and general history. From a methodological point of view this poses two challenges. First, in order to comprehend a particular facet of this experience, one needs to rigorously apply a suitable methodology.
For example, if one wants to capture and convey the uniqueness and nuances of a life-story of an anorexic woman, one needs to carefully consult and apply the new ethnographic body of work on ways of studying and writing about different lived worlds. Second, one needs to be aware that this uniqueness is not the only thing there is to lived experience. Experience is also shaped by social discourses, such as medical definitions, and by the historical and social context, in which it is located. However, in order to capture these other dimensions of the experience of anorexia one needs different methodological approaches and methods, such as discourse analysis or historical
research.
The thought of mastering a set of diverse research approaches, and combining them, may sound daunting for any beginning researcher as well as an experienced scholar, struggling as we all are with multiple pressures on our time. The success of any research project depends on a difficult balancing act between being both ambitious and doable. Thus, I would not suggest all research projects combine several views. Rather, the aim of the different chapters of the book is to outline different ways of doing research and to promote a way of doing them in the best possible way, by highlighting their specificity, strengths, possible problems and omissions. For instance, I would like to see more of the best and most beautiful new ethnographies that convey the subtle texture of a unique or ‘singular’ lived experience and, at the same time, make it speak for the ‘universal’, that is, to pinpoint some crucial dilemma of our contemporary social world. At the same time, I want to problematize the habit of offering familiar stories of personal intrigue and bodily scandal, such as detailed descriptions of the horrors of being fat (Kiesinger, 1998), as ‘authentic’ experience, the way some strands of experimental research as well as daytime talk-shows do.However, in the discussion of different research approaches I not only want to highlight their specific features but also the ways in which they are related to one another. Locating points of convergence between different approaches, such as studying lived and global realities, aims to point to ways of combining them, in order to piece together maybe more complex and nuanced, even if never complete, analysis of the phenomenon we study. This need to build dialogues between different views, brings me, finally, to my current academic home, the Centre for Mass Communication Research at the University of Leicester. In the 1970s, the Leicester centre framed itself, and was framed by the wider British academic community, as the political economic and social scientific counterpole to the culturalism of the Birmingham centre.
However, those days have long been gone, and today Leicester is, perhaps, best known for its research on international communication, which has lately been reconfigured under the term globalization.The discourse on ‘the global’may smack as a bit of an intellectual and popular spring fashion. However, globalization calls for an analysis of the interaction between the lived, mediated, religious, ethnic, gendered, economic and political dimensions of the contemporary world. As such, it has created an interdisciplinary space,where various theoretical as well as methodological approaches have been able to live in a semipeaceful coexistence, fomenting dialogues, debates, borrowing and cautious interbreeding. Throughout this book I underline the need to pay attention to how cultural or intellectual phenomena, material circumstances and political regimes are intertwined. As I am doing the final technical edit to this book, I am, once again, reminded of the importance of these interactions. I correct the pages, knowing that the original cradle of cultural studies in Birmingham has just been ‘restructured’, and my own conditions of work in Leicester have deteriorated beyond any recognition due to ongoing ‘reorganization’. Even if it seems that the latest bout of budget cuts have hit the interdisciplinary field of British cultural and communication studies hard, ends are always just beginnings.
I am on my way to the University of Exeter, becoming part of an interdisciplinary research-team investigating the social implications of genomics. More than, perhaps, any other new social development, genomics pushes for new ways of understanding and studying the links between the material and the cultural both in personal and social life. It calls for more, not less, methodologically savvy, critical, cultural analyses of new social phenomena that challenge our fundamental sense of our self and our social arrangements.
Outline of the book
Before I move on to outline the structure of the book, I want to clarify that this book is about ‘methodology’, not on ‘methods’. The difference made by the Greek epithet ‘logos’ (knowledge) is that, whereas methods refer to practical ‘tools’ to make sense of empirical reality, methodology refers to the wider package of both tools and a philosophical and political commitment that come with a particular research ‘approach’. Methods and methodology often go
together, so that a hermeneutic methodological approach, which aims to gain a ‘thick’ understanding of other people’s experience, often goes with a method, such as participant observation, that allows for the scholar and the people being studied to develop a mutual trust with one another. However, same methods can also support different methodological commitments. So, the interview method can be used to support a realist methodological approach, which aims to gather ‘factual’ information, or to support a hermeneutic methodological quest to gain a thorough understanding of a person’s life-story (see Alasuutari, 1995; Kvale, 1996; Silverman, 2001).
The first reason I have chosen to focus on methodology is that there are quite a few methods books around that are suitable for cultural studies (e.g. Alasuutari, 1995; Flick, 1998; Silverman, 2001). However, the main reason why I have decided not to write on methods is that many methods books (but certainly not all of them) view methods in positivist terms as ‘magnifying glasses’ that are inserted between the scholar and the ‘reality’ being studied. It is understood that if these methods, or lenses, are used correctly, or according to instructions, they will help the scholar to get closer to an ‘accurate’ or objective and unbiased view of reality. One of the basic aims of this book is, however, to explore how the reality changes when we change the research approach, or lens, through which we look at it. Thus, I will not be discussing ‘participant observation’ as a method. Rather, I will be discussing ‘new ethnographic’ attempts to do justice to the lived worlds of others and ‘poststructuralist’ approaches that critically analyze the social and institutional discourses that interlace any lived experience or world. Both the new ethnographic and poststructuralist approaches may use participant observation, but their ‘observations’ may be strikingly different.
However, despite this somewhat broader focus, I would say that the book is a ‘how-to book’. Even if some of my discussion may be more abstract than some of the writing on methods, it is still intended to provide ideas on ‘how to’ do research within each of the research paradigms discussed. However, I am not offering a book on how to ‘objectively’ study social reality, using a scientific method. I am offering a book that encourages reflexive social and cultural research on social reality in a fashion that is aware of its theoretical and political commitments and their repercussions, strengths and omissions. I take the recent emergence of both empirical and theoretical books focusing on cultural studies ‘methodology’ (McGuigan, 1997; Couldry, 2000; Lewis, 2002) to be symptomatic of an increasing acknowledgement that we need to be more reflective about the way in which our research always opens up a partial and political perspective on reality. However, even if this book does not subscribe to the idea that we should find out ‘one’ truth about ‘one’ reality, it does not want to advocate the relativist idea that different methodological approaches open up multiple, incommensurable ‘realities’. On the contrary, it wants to foment conversations or dialogues between different methodological approaches to the world, in order to cultivate a type of cultural studies sensitive to the complexity and multidimensionality of the contemporary global, social and personal reality.
To proceed with the outline of the book, it is structured following the ‘XFiles formula’ (Lavery et al., 1996), according to which each chapter can be read independently, just as each episode of X-Files can be watched independently.
Still, the reader, who reads the entire book, gets more out of each individual chapter than the reader, who reads a particular chapter of interest, just as the regular viewer of X-Files ‘knows’ more about each episode than the occasional viewer.
The book is divided into four parts.The first part, of which this introduction together with Chapter 1 forms a part, discusses the history of cultural studies methodology, clarifies what is meant by the term and outlines a ‘dialogic’ way of combining the methodological approaches that will be discussed in the subsequent chapters.The second part discusses research approaches that make sense of lived experience. It outlines ways of studying lived lives in terms of ‘resistance’, from the phenomenological or hermeneutic new ethnographic point of view of understanding the Other and from the poststructuralist perspective that investigates the way in which social and institutional discourses interlace our lived experiences and identities. The third part outlines ways of studying texts or discourses. It discusses modes of analysis that examine texts in terms of ‘ideology’ and genealogical approaches that unravel the historical nature of phenomena that we take for granted. It also outlines Derridean deconstructive analysis, which unravels the hidden dichotomous norms embedded in texts or discourses, as well as points towards ways of rendering deconstruction more constructive or capable of not merely criticizing culture but of suggesting social alternatives. The final or fourth part constitutes the conclusions of the book.The first chapter of the section, Chapter 8, discusses critical geographic works on ‘space’ and how they can be used to make sense of both macro-processes of globalization and some of their everyday implications. Chapter 9 introduces several ways of doing ‘multi-sited’ and ‘multi-scape’ research, which combines lived, discursive and material/spatial approaches to studying contemporary social reality, in order to capture some of its global and local, emotional and economic, and poetic and political dimensions. While Doing Research in Cultural Studies introduces classical empirical approaches in cultural studies, such as analyses of resistance and ideology, it is slanted towards the new approaches, such as new ethnography, genealogy and multi-sited analysis.The reason for this focus is that while many people in the field are ‘doing’ these kinds of research, there are not many books that would reflect on how they are done, and hardly any books on how they can be combined in order to foment dialogues between different theoretical, methodological, empirical and political positions within cultural studies.
Combining Methodologies in Cultural Studies
Main questions 11
Histories of cultural studies 13
On validity 15
Alternative validities 19
Combining methodologies 23
Conclusions 33
Exercise 1 35
Main questions
• Empirical research in cultural studies is structured by an interest in the interplay between lived experience, texts or discourses and the social context. How have recent historical and intellectual developments complicated
these three areas of research?
• Why is the classical notion that ‘valid’ research is objective problematic? What alternative notions of validity are there? What are the criteria for valid or good research?
• What are the shortcomings of the notion of ‘triangulation’, according to which one combines different methodologies in order to get closer to a ‘truth’? What are the shortcomings of the notion that different methodologies create different, possibly incommensurable ‘truths’? How does a notion of combining methodologies in terms of fostering dialogues between different approaches help to get beyond positivist notion of one truth and relativist notion of multiple truths?
The trademark of the cultural studies approach to empirical research has been an interest in the interplay between lived experience, texts or discourses, and the social context. One of the classical studies, addressing these three dimensions of social reality, is David Morley’s research on audience responses to the Nationwide current affairs programme and its coverage of the British Miners’ Strike in the 1970s (Morley and Brunsdon, 1999[1980, 1987]). Combining these three views allowed Morley to come up with new insights on the ‘active’ nature of media audiences and the mediated, social and political dynamics of a historical turning point.The task of this book is to outline and discuss ways of thinking, doing and writing research in cultural studies, taking the threefaceted interest in lived realities, discursive mediation, and the social and political landscape as a starting point.
However, as cultural studies has matured, and as several historical developments have made our social reality quite different from the one in the 1970s, some challenging questions have been raised about the feasibility of its project. Three fundamental questions have been particularly pertinent to research methodology.The first one asks: Has our interest in cultures that are radically different from our own, such as working-class or non-Western cultures, been warranted, and can we understand and do justice to these cultures? The second, and closely related, methodological question asks: How can we critically analyze culture in a situation where we as scholars, and research as an institution, are an integral part of this culture and its struggles? The third question takes a slightly different task and asks: Is culture the most important topic to investigate in the face of gruelling global economic inequality and exploitation?
To illustrate what these three questions mean, one may ask them from Morley’s study. First, one can ask, to what extent Morley attended to the nuances and contradictions of working-class life, and to what extent he read his hypothesis that working-class is bound to ‘resist’ conservative media coverage from his focus groups. Second, one may ask to what extent Morley’s hypothesis was informed by the Marxist idea that there is a correspondence between a socioeconomic position and an ideological one, and whether this made him turn a blind eye to other issues that did not fit the theoretical framework.
Third, one may ask to what extent interest in cultural struggles – such as media content and interpretation – has directed attention away from analyzing the complex, global, economic and policy processes that shape industrial disputes and industries, such as mining.These questions do not, of course, render Morley’s landmark study irrelevant.They simply point out that there are alternative ways of studying lived experience, discourses and the social context, and that these alternative approaches are becoming increasingly prominent in cultural studies.
This book is structured around the three-faceted research interest of cultural studies in the lived, discursive and social/global dimensions of contemporary reality. However, besides discussing the classical ways of studying these three areas of life, it pays particular attention to new research approaches, such as new ethnography, genealogical research and analysis of globalization, that take seriously, and aim to respond to, the three questions that have been posed to cultural studies. However, before I proceed to discuss these methodological programmes, I take a detour to the history of cultural studies that helps to clarify the roots of its particular methodological approach as well as the roots of the contemporary methodological questions or challenges.
Histories of cultural study
Cultural studies emerged from the political and intellectual climate and situation of the Great Britain of the 1970s. This was a time, when the field of social research was structured by hard-nosed positivist empirical inquiry, often of a functionalist ilk, and traditional Marxist political economy (Hall, 1982). The more right-wing or ‘administrative’ research, doing surveys and small-group research, aimed to prove that pluralism and democracy have become a reality in postwar North America and Western Europe. On the contrary, the leftist intelligentsia, such as the Frankfurt School, did a series of piercing criticisms of popular culture and opinions to prove that the postwar consumer culture and media had killed all social criticism and dissent and created a nearly fascist ‘mass society’ (e.g.Adorno et al., 1950;Adorno and Horkheimer, 1979; Held, 1980).
In this somewhat polarized situation, cultural studies carved itself a space between and beyond these two positions. To do this, it welded together humanistic, structuralist and New Left Marxist philosophies (Hall, 1980).The humanist bent in cultural studies aimed to understand and capture the creative potential of people’s lived worlds, such as working-class culture (Hoggart, 1992[1957]). Structuralism and structuralist methods, such as semiotics, focused attention on linguistic patterns and tropes that recur in texts, such as popular culture, and that shape our thinking. New Leftism brought an interest in examining the connection between lived experience and/or a body of texts and the larger social, political and economic environment. These three philosophical currents enabled cultural studies to articulate a mediating space between rightwing optimism and left-wing pessimism that allowed the paradigm to examine how people’s everyday life was strife with creative and critical potential, while their lives and imagination were also constrained by problematic cultural ideologies as well as structures of social inequality. This ‘middle stance’ informed the classical Birmingham-period works on media audiences (Ang, 1985; Morley and Brunsdon, 1999[1980, 1987]), subcultures (Hall and Jefferson, 1976; Hebdige, 1976, 1988), and the cultures of working-class boys and girls (Willis, 1977; McRobbie, 2000) (for overviews see: Hall et al., 1980; Gurevitch et al., 1982).
However, as the political and philosophical roots of cultural studies indicate, the methodological project has been riddled with tensions from the start. One cannot, without running into contradictions, bring together a phenomenological or hermeneutic desire to ‘understand’ the creative lived world of another person or a group of people, and the distanced, critical structuralist interest in ‘analyzing’ linguistic tropes, which guide people’s perceptions and understanding.
Furthermore, neither the interest in lived realities or the cultures and languages that mediate our perception of reality bode well with the tendency to make statements about the social and political situation, which is always, to an extent,wedded to a realist quest to find out how the world or reality simply ‘is’.
In the early days of cultural studies these contradictions could still be smoothed by the positivist notion of scientific objectivity.However, in the early twenty-first century the discrepancies between the three classic areas of research in cultural studies have been both magnified and blurred by developments often grouped under terms, such as postmodernity, late modernity, postindustrialism, postcolonialism, late capitalism, more recently, globalization and neo-liberalism (e.g. Harvey, 1989; Jameson, 1991; Rose, 1999;Tomlinson, 1999).
Even if discussions around these phenomena have sometimes become markers of changing intellectual fashions, they point to important historical and intellectual processes or shifts that have changed social reality and research. First, since the 1960s, women, blacks and various postcolonial people, and their movements, have accused institutions, including the state, education, media and so on, of institutionalized discrimination. They have also accused that research, which has always had a particular interest in underprivileged groups, has not depicted the realities of women, ethnic minorities or postcolonial people but used them to back up the scholar’s theoretical and political projects, ranging from colonialism to Marxism and liberal humanist feminism (Clifford and Marcus, 1986; Said, 1995[1978]). Second, the increasing media
saturation of our everyday life, ranging from the long hours we spend watching television to the more recent Internet surfing, has made our everyday life and experience more ‘virtual’ (Baudrillard, 1983).These new technologies and experiences have eroded our faith in the ability of media or science to ‘objectively’ describe reality for us, making us critically, or even ironically, aware of the way in which all understanding of the world is mediated by cultural images and discourses. Third, the late twentieth century witnessed a series of social, political and economic processes that undermined faith in postwar political and economic arrangements and ideologies.The collapse of state-run socialism in 1989 in Eastern Europe has been a blow and cause of reorientation for various leftist projects. Still, the Western postwar dreams of ‘progress’ or ‘modernization’, which were supposed to spread Western prosperity and democracy across the globe, were also dashed as these dreams never came true. Thus, we have awakened to the early twenty-first century, structured by a new division between an exhilarated talk about multiculturalism and the possibilities of creating and disseminating alternative, previously silenced knowledges and cultures, and steep inequalities and mistrust and feuding between different groups of people (Castells, 1996, 1997, 1998).
Cultural studies as an intellectual and political project has actively played into and out of these historical and social developments. At the same time, these developments have given rise to new research and methodological orientations within, and on the borders of, cultural studies. Scholars grouped under the banner of new ethnography have developed new collaborative or dialogic modes of research that aim to be truer to the lived worlds of others.
Poststructuralism has led to self-reflexive and genealogical analytical strategies, which critically investigate the historical, social and political commitments of those discourses that direct people’s, including scholars’, understanding of themselves and their projects. Analyses of globalization have come up with more ‘complex’ways of making sense of economic, political and so on developments, which challenge traditional simpler or linear modes of analysis and prediction.
These new lines of inquiry arise from the same current historical situation, marked by greater ambiguity.Yet, they run into tensions with one another in a similar way that the three methodological currents contradicted each other in early cultural studies.The new ethnographic quest to be truthful to the lived realities of other people runs into a contradiction with the poststructuralist aim to critically analyze discourses that form the very stuff out of which our experiences are made. The aim to understand the ‘real’ complex, contemporary global economic and political processes and structures is also not easily combined with the new ethnographic and poststructuralist insistence that there are multiple ‘realities’.The question that these contradictions and challenges raise is whether we can still find some common ground to determine what constitutes ‘good’ or ‘valid’ research. In traditional methodological parlance,‘validity’ is the beginning and end of all research, referring to a series of litmus tests that determine whether the research is ‘true’ or ‘objectively’ describes how things ‘really’ are. The current discussions point out that there are multiple realities, raising the question, whether research is a matter of opinion. If this was so, there would be no point in writing methodology books. I argue that there are still guidelines on what constitutes, if not true, then ‘good’ and valid research.
On validity
Mead and the ‘truth’ about Samoa
Before moving on to explain what I and others have meant by good or valid research, I will take my reader on a brief trip to a different time and place: to Margaret Mead’s research on Samoa of the 1920s (Mead, 1929).The reason for doing this is that Mead’s classical anthropology has become the focus of one of the major disputes over validity, as, soon after Mead’s death, Freeman (1983) pronounced that her work was totally non-valid, wrong, or simply a gross lie.
This debate, which has become a staple of many books on research methods (e.g. Lincoln and Guba, 1985; Seale, 1999), usefully illustrates the issues and problems associated with traditional forms of validity, and helps to pave the way for a discussion on new validities.
Mead’s book, Coming of age in Samoa: A psychological study of primitive youth for Western civilization was published in 1929. In the book Mead sets out to study adolescence, asking:‘Are the disturbances which vex our adolescents due to the nature of adolescence itself or the civilization?’ (Mead, 1929: 11). The study focused on adolescent females, with whom Mead as a young woman felt affinity, and she concluded that, unlike in the West, adolescence in Samoa was not a time of conflict and strife and that the budding sexuality of the young women was not a cause of great anxiety or repression.The opening paragraph of the book gives one a flavour of the picture of Samoan sexual life she painted:
As the dawn begins to fall among the soft brown roofs and the slender palm trees stand out against a colourless, gleaming sea, lovers slip home from trysts beneath the palm trees or in the shadow of beached canoes, that the light may find each sleeper in his appointed place. (1929: 14)
In 1983 Derek Freeman published Margaret Mead and Samoa: The making and unmaking of an anthropological myth that set out to refute Mead’s fieldwork. He argued that Samoa was not the harmonious and sexually permissive primitive society Mead had depicted, but that Samoans held premarital virginity in high esteem and that occurrences of violence and rape were commonplace on the islands. Freeman’s notion of Samoan sexual mores is captured in the following:
On a Sunday in June 1959, Tautalafua, aged 17, found his 18-year-old classificatory sister sitting under a breadfruit tree at about 9:00 in the evening with Vave, a 20-year-old youth from another family. He struck Vave with such violence as to fracture his jaw in two places. For this attack he was later sentenced to six weeks’ imprisonment. (1983: 237) A heated public and scholarly debate ensued the controversy. Different stakeholders debated the issue in New York Times, and in a special issue of the American Anthropologist (Brady, 1983), a series of experts on Samoa attacked Freeman. They criticized Freeman for comparing Mead’s fieldwork in the small, remote island of Manu’a with his own work on the main island of Upolu. It was also pointed out that the Christian missionary influence would have had a greater impact on Samoan culture in the 1940s and 1960s when Freeman conducted his research than it did in the 1920s when Mead visited the islands (Weiner, 1983). Furthermore, it was noted that whereas Mead, as a young woman, used adolescent girls as informants, Freeman’s description derived from adult men of rank (Schwartz, 1983).
However, the greatest strife between the two scholars was their paradigmatic orientation.Wedded to a culturalist paradigm, Mead set out to argue that behaviours (such as adolescence or sexuality), which have been thought to be shared by all humanity, have turned out to be the result of civilization, ‘present in the inhabitants of one country, absent in another country, and this without a change of race’ (Mead, 1929: 4). Mead’s culturalist project, with its (sexually) liberalist undertones, was framed by, and stood in opposition to, the 1920s belligerently racist eugenic movement that explained variation in human behaviour in terms of genetic differences. Freeman, on the contrary, represents a later sociobiologiscal stance.This is illuminated in his concluding chapter in which he, referring to certain violent events in Samoa, argues that in such circumstances conventional behaviours are dropped and people are taken over by ‘highly emotional and impulsive behavior that is animal-like in its ferocity’ (1983: 301). In his view this aggression is a proof of ‘much older phylogenetically given structures’ that define behaviour in addition to culture.Thus, where Mead finds a harmonious culture, Freeman finds ‘primal’ or biological aggression.
The paradigmatic differences between the two authors are also reflected in their writing. Mead’s book is impressionistic in style, it reads, at times, as a romantic travelogue, aiming to capture the ethos of Samoan life. On the contrary, Freeman obeys the logic of classical scientific realistic reporting and his ‘refutation’ of Mead, strife with minute numerical details such as precise times of the day, reads like a police-report or a court case.
What this debate tells us, is not whether Mead or Freeman was ‘right’ or ‘wrong’ about Samoa. It rather illuminates that the ‘truth’ about Samoa is complicated by, at least, three issues. First, the fluidity of Samoa itself (different opinions, groups, historical change, and so on), second by the commitments that frame the research of the scholars (historical, political and theoretical investments), and third by the language (impressionistic or realist genre) used to describe Samoa.To elaborate on these three issues, first, Samoa does not hold still as a fixed object of study but ends up multifaceted, contradictory (Shore, 1983: 943) or amoeba-like, changing from one angle and instant to another.
There are young girls, village elders, myths, customs, different rules, institutionalized and informal trespasses, rank-based and gendered social and political divisions, struggles and perspectives, all constantly evolving and transforming. Second, the anthropologist’s vision is coloured by her and his personal gendered, raced and aged inclinations and paradigmatic and political allegiances. As Clifford (1986) notes, both Mead and Freeman render Samoa a parable or allegory for the West, and their oppositional readings end up encapsulating the classic juxtapositions harboured in the Western notion of the ‘primitive’: Apollonian sensual paradise and Dionysian violence and danger. Third, the language proves not to be a neutral medium of communication but part of the message. Mead’s broad-brushed impressionistic style paints a dreamy, softshaped portrait of Samoa. Freeman’s use of hard-core objectivist realism presents us a police-report on the aggressive Samoans and a court-case against Mead, ending up no less ideological and political than Mead’s writing. There are many cases similar to the Mead-controversy, some of the most famous ones have challenged W.F. Whyte’s Street corner society (Whyte, 1955[1943]; Journal of Contemporary Ethnography, 1992;Whyte, 1993), and, most lately, Rigoberta Menchú’s autobiography on the Guatemalan genocide (Menchú, 1984; Beverley, 1999; Stoll, 1999; Arias, 2001). These continuous debates illuminate the ways in which we continue to be infatuated with fighting whose research is ‘true’ and ‘valid’, and whose is ‘false’, or ‘biased’.
From validity to validities
The Mead controversy is grounded in the positivist notion of science, whichunderstands the purpose of research to be the creation of true and objective knowledge of social reality, following a scientific method.The goal of positivist research is to produce valid results, understood to be nothing less than ‘the truth’ (Hammersley and Atkinson, 1995).Thus, the argument became, whether Mead or Freeman were telling the ‘truth’, and on what grounds.
The positivist criterion of truthfulness or validity is understood to be universal. This means that the same rules of truthfulness apply, whether the research wants to capture the ‘objective reality’ (social facts, such as economic developments) or people’s subjective or intersubjective experiences (the meanings people give to their lives and actions) (Alvesson and Sköldberg, 2000:
viiii). The Mead–Freeman debate concerned both the general truth about Samoan society and its ethos as well as what Samoans thought of their life and activities, and Freeman argued that Mead got them both ‘wrong’. The general goal of truthfulness is, in positivist methodology, translated into a series of detailed procedures and checks. I am not going to delve into these checks at length (for good overviews see: Lincoln and Guba, 1985; Seale, 1999).Yet, the Mead–Freeman controversy reveals their problems. One of the central criteria for validity in research is ‘reliability’,which refers to the idea that if a different scholar conducted the same research, (s)he would come up with the same or similar results. However, one can imagine that if one would send both Mead and Freeman to Samoa, they would never agree or come up with an ‘inter-rater’ consensus.
Their theoretical and political commitments are simply so different that they are practically looking at different Samoas. Another criterion for validity in research is neutrality, which refers to the need to make sure research is not being biased by the scholar’s personal or political commitments. The Mead–Freeman controversy illustrates that scholarship, like any social activity, is bound to be part of a historical, social, political and theoretical environment and its commitments.
Furthermore, looking at the different genres of writing of Mead and Freeman, highlights the fact that the language we use to report our findings makes neutrality impossible, as all language is social and cultural and never a transparent medium that could describe the reality ‘as it is’ (MacCabe, 1973). Despite the fact that we can hardly come up with a ‘truth’ about Samoa, there are still better and worse ways of conducting research in settings like Samoa or anywhere else.Trying to imagine what guidelines and criteria for good research would look like after traditional validity no longer seems feasible, scholars have begun to suggest alternative notions of validity (e.g. Lincoln and Guba, 1985, 1994) and multiple validities (Lather, 1993). Talking about validities, instead of validity, has two advantages. First, it draws attention to the fact that the theories, methods and modes of writing that underpin our research open up different and always partial and political views on reality.
Instead of considering this an outrage, scholarship suggesting multiple validities ask us to be more critically aware of what drives our research. Second, acknowledging that there is more than one way of making sense of social phenomena, asks one to come up with a more multidimensional, nuanced, and tentative way of understanding one’s object of study.The battle over the validity of Mead’s research on Samoa ended up in a shouting match over whether Samoa was or is an Apollonian Paradise or a Dionysian Hell. Multiple validities suggest that we should approach reality in less simplistically dichotomous (‘true’ or ‘false’;‘right’ or ‘wrong’;‘heaven’ or ‘hell’) and more complex terms.
The notion of multiple validities does not mean that there are no rules for conducting research. It simply means that rather than one universal rule that applies everywhere there are different rules, and we need to be aware how they make us relate to reality differently. Drawing on the Mead-controversy, the methodological focus of cultural studies as well as some other works on alternative validities (Lincoln and Guba, 1985; Lather, 1993), one can delineate three broadly different methodological approaches that each subscribe to a different notion of validity.The first, hermeneutic methodological approach obeys what I would term a ‘dialogic’ validity, which means that it evaluates research in terms of how well it manages to capture the lived realities of others. Thus, it would assess the value of research on Samoa in terms of how well it manages to be true to the lived reality of Samoans. The second, poststructuralist methodological approach subscribes to what I would term ‘deconstructive’ validity, and it assesses the value of research in terms of how well it unravels problematic social discourses that mediate the way in which we perceive reality and other people.
Thus, poststructuralist research would assess the value of research on Samoa in terms of how thoroughly it unmasks the colonialist tropes that describe Samoa in terms of ‘primitive’ sensuality and danger. The third, realist or contextualist methodological approach inheres to a contextualist validity, which evaluates research in terms of how well it understands the social, economic and political context and connections of the phenomenon it is studying.Thus, it would assess the value of research on Samoa in terms of how thoroughly and critically it maps the internal and external structures of power and inequality, such as rankhierarchies, forms of livelihood, colonialist politics, trade and culture, that shape the life of Samoan village elders and adolescent girls.
These three methodological approaches, and concomitant validities, roughly correspond to the ‘humanistic’,‘structuralist’ and New Leftist of ‘contextualist’ bents in early cultural studies.There are also parallels between the three ‘new’ methodological approaches and validities and older notions of validity.
However, despite these continuities the three methodologies/validities push research in cultural studies and social sciences more generally to new directions. In what follows, I will discuss how these new approaches/validities both continue and break away from older ways of doing research.
Alternative validities
Dialogic validity
To start with discussing, in more detail, the hermeneutic approach and accompanying ‘dialogic’ validity, it can be said that it evaluates research in terms of how truthfully it captures the lived worlds of the people being studied (Lincoln and Guba, 1985, 1994; Lincoln, 1995).This broad principle can be further broken down to three specific criteria for ‘good’ or valid research:
1 Truthfulness.Research should do justice to the perspectives of the people being studied, so that they can, in the main, agree with it. This entails collaborative forms of research, such as measures to allow the people being studied, such as Samoans, to have a say in the way in which they are studied and represented (in traditional research parlance the latter is referred to as ‘member check’ (e.g. Seale, 1999)).
2 Self-reflexivity. Researchers should be reflexive about the personal, social, and paradigmatic discourses that guide the way they perceive reality and other people. This entails that scholars need to try to become aware of the cultural baggage, such as notions of the ‘primitive’, that mediates their understanding of different worlds.
3 Polyvocality. Researchers should be conscientious that they are not studying a lived reality but many.This means that they should make sure that they include the views or voices of major ‘stakeholders’, such as young girls as well as village elders (Lincoln and Guba, 1985), trying to be true to their diversity as well as relations and tensions between them.
Dialogic validity is reminiscent of the old ethnographic goal of capturing the ‘native’s point of view’.Where it departs from the old ethnographic project is that it does not claim to have access to some privileged ‘objective’ position, from which to describe the lives of others. Dialogism does not view research in terms of describing other worlds from the outside, but in terms of an encounter or interaction between different worlds.The main criteria of validity of this approach then is how well the researcher fulfils the ethical imperative to be true to, and to respect, other people’s lived worlds and realities.
Deconstructive validity
Poststructuralist research and the accompanying deconstructive validity evaluates research in terms of how well it manages to unravel social tropes and discourses that, over time, have come to pass for a ‘truth’ about the world.There are three poststructuralist strategies to unravel discourses that mediate our understanding of the world that constitute three different criteria for good research within the tradition:
1 Postmodern excess.The postmodern or Baudrillardian (1980; also Lather, 1993) notion of ‘excess’ of discourses points out that there is a potentially infinite number of ‘truths’ or ways of approaching the reality.Thus, research is assessed in terms of how it manages to highlight the multiple ways in which a particular phenomenon can be understood, in order to destabilize any ‘fixed’ understanding of it.The Freeman–Mead controversy is an illustration of postmodern questioning, as it highlights that there are myriad, different ‘truths’ about Samoa.
2 Genealogical historicity. Genealogy, associated with the work of Foucault (1984), challenges truths by exposing their historicity. Thus, research is evaluated in terms of how well it unravels the way in which certain taken-for-granted truths are not universal or timeless but products of specific historical and political agendas. An example or genealogical research is the analysis of the historical, political and theoretical commitments of Mead’s and Freeman’s works, which make them render Samoa very different.
3 Deconstructive critique. Deconstruction, associated with the work of Derrida (1976), aims to question the binaries that organize our thought, in order to expose their hidden politics.Thus, research is evaluated in terms of how it manages to unearth the constitutive binaries that underpin our understanding of a particular phenomenon. An example would be an analysis of the constitutive binary between the sensual or aggressive nature of ‘primitive’ societies and the ‘civilized constraint’ of the Western world that interlace both Mead’s and Freeman’s works.
Poststructuralist critique may, occasionally, bring into mind the traditional research endeavour of uncovering ‘bias’ in research or, for example, in news coverage. However, poststructuralism parts from this line of inquiry in that it argues that there is no ‘unbiased’ way of comprehending the world.Therefore,
its notion of good research is twofold. First, good or valid research is understood to expose the historicity, political investments, omissions and blind spots of social ‘truths’. Second, good or valid research is also understood to be aware of its own historical, political and social investments, continuously reflecting back on its own commitments.
Contextual validity
Research on social context and concomitant contextualist validity refer to the capability of research to locate the phenomenon it is studying within the wider social, political, and even global, context. In this sense contextualism is committed to a form of realism, that is bound to make statements of how the world ‘really is’.This realist underpinning contradicts the hermeneutic and poststructuralist methodologies and validities, which both underline that there are multiple ‘realities’ and that the world looks different when observed from a different social place or historical time.Yet, both the dialogism and poststructuralism are driven by a democratic and egalitarian impulse to listen to multiple voices and to challenge authoritative discourses. When these approaches argue that they are listening to, perhaps, silenced voices or challenging authoritative discourses, they claim that some people are more, and some are less, powerful and able to get their voices heard, and some discourses are more powerful and more authoritative than others. In order to make those claims, scholars need to resort to some notion of social and historical context and structures of inequality and need some criteria on how to analyze them. However, contextual validity not only refers to a requirement to comprehend the social context but also to a requirement to comprehend the way in which research is located within and shapes this context.The twofold nature of the task of capturing the social context in research can be encapsulated by two criteria for contextualist research:
1 Sensitivity to social context.This refers to the duty of scholarship to carefully analyze, for example, historical events, statistics and developments, using and comparing different resources and views.This simply means that research cannot be haphazard or based on a hunch. Studying Samoa from this perspective would mean to carefully analyze the history of the islands, their social structures and interaction with the outside world through commerce, missionaries, even anthropologists. Even if both Mead and Freeman discuss the social context of Samoa, this fades into the background against their project of capturing the ‘ethos’ of a relatively timeless ‘primitive’ society.
2 Awareness of historicity.This criteria refers to the ability of research to understand its own historicity. Thus, research on Samoa would need to be aware of the ways in which it is implicated in the social context of which Samoa forms a part, such as structures of colonialism or anti-colonialist struggles (see Bhaskar, 1979).This means that social science and its object, historical society, cannot be separated, and analyzing the social context also enables research to become aware, and be able to critically evaluate, its role in it.
Cultural studies has sometimes been hesitant to say much about, for example, social or economic structures, as it argues that we cannot describe those structures without the mediation of culture and language. However, cultural studies frequently makes reference to how this or that cultural practice consolidates class, race or gender inequalities and so on. What the notion of contextual validity underlines is that we need to be careful about those statements. For example,my doctoral student recently set out to investigate the historical facts about the Israeli–Palestinian conflict in order to contextualize her analysis of films on it. She soon found out that there was not ‘a’ history on the conflict but multiple complex and controversial histories.This underlines two things.
First,we should analyze historical and social ‘facts’ carefully, attending to details, complicated processes, and different perspectives, and not to go with popular assumptions or maybe jingoistic basic textbooks. Second, we need to be aware that our accounts are never separate from history but always historical and political, being shaped by and shaping the landscape we are studying.
The list of validities discussed is not meant to be exhaustive. It is designed for the purposes of this book to outline some central modes of doing qualitative research in cultural studies.The different notions of validity draw attention to the unfeasibility of the notion of validity as singular ‘truth’.The list of validities also illuminate the fact that, abandoning singular validity, does not entail a state of ‘lawlessness’ in research, but that they each set forth specific guidelines,
rules and criteria for good research.
Combining methodologies
Triangulation
Looking at the list of three different types of methodological approaches and their accompanying different validities begs a question: Is there a way to bring the three approaches together in a research project? After all, combining methodologies is required if one is to continue the cultural studies tradition of studying the interplay between lived experience, discourses and texts and the
historical, social and political context.
One does not, obviously, always need to combine methodologies.There are many research projects that obey only the rules of one of the validities. Some new ethnographic projects are concentrated on working to be true to the lived worlds of, often disenfranchised, people.The same way, many critical analyses of media texts mainly aim to criticize the way in which they construct authoritative truths.As has been said earlier, being true to lived realities of people may be difficult to combine with critical analysis of the discourses that form part of the people’s lived realities.The same way, an analysis of global and social structures may contradict, or simply surpass, the people’s local or lived sense of their environment.
However, if one wants to combine approaches, one needs a framework that helps to do this.Traditional social and cultural inquiry usually refers to techniques of combining different theories, methods, sources and material, in terms of ‘triangulation’ (Denzin, 1989; Flick, 1998).The classical aim of triangulation is to combine different kinds of material or methods to see whether they corroborate one another. Thus, one could, for example, complement one’s participant observation on, for example, Samoa, by consulting documents and colonial archives, in order to find out whether the people ‘lie’ or misremember things (this is, in fact, quite close to the way in which Freeman understood and conducted his project to refute Mead).All in all, the classical aim of triangulation is to get a more accurate or truthful picture of the social world.This aim reflects the original meaning of triangulation, which comes from navigation where it refers to the use of different bearings to give the correct position of an object (Silverman, 1992: 156).
Interpreted as a pursuit of truth, triangulation is not particularly useful for combining the three methodological approaches, discussed above. This is because the basic goal of these approaches is to problematize any simple notion of ‘truth’. Dialogism aims to be true to the lived worlds’ of the people being studied, and rather than trying to find whether girls or village elders spoke the ‘truth’, would aim to capture the different worldviews of both. Genealogy would point out that one cannot find a truth from, for example, colonial archives, as they are locales that ‘produce’ historical and highly politically invested truths about people and places (as ‘unruly’ and so on) to be ‘governed’.
Part of Freeman’s ‘evidence’ on the aggression of Samoans, for instance, comes from colonial administration’s reports on ‘troubles’ on the islands. While it is quite feasible to think that there is violence on the islands, these kinds of archives are bound to focus on it, as they are logs on the ‘managing’ of the islands. This finally brings one to the contextualist insight that research can never be objective as it is always part of and shapes the social landscapes, such as structures of colonialism, that it studies.
To understand the specific nature of positivist triangulation, and to be able to compare it with other ways of combining methodologies, it is useful to analyze how it understands ontology (the nature of reality) and epistemology (the nature of knowledge).The classical positivist understanding of reality is that it is ‘fixed’. Thus, in classical physics, the physical reality is understood to be a knowable and relatively stable ‘object’ that can be accurately observed through the use of scientific methods (microscopes, calculations and so on).The same way, in positivist social science, the society is understood to be an observable entity that stays put and can be captured using statistics, surveys and interviews.
The trouble with this ontological position is that, as we have seen in the Mead debate, reality does not hold still, but is amoeba-like, multifaceted, evolving, looking different from different angles (from the perspectives of the young girls, village elders, colonial archives etc.).
The ontological commitment to the idea that reality is a fixed object that exists separately from research informs the positivist epistemological goal of research to ‘reflect’ reality.According to positivism, the reason for using methods (conversation analysis, semiotics, statistical analysis) is to get closer to ‘truth’ about the reality. Different methods are viewed as ‘magnifying glasses’ that help the scholar to see the reality more clearly, or in a less biased and more systematic manner.The aim of combining different methods is to use different lenses to calibrate an optimally clear vision.As a consequence, the positivist discussion on how to do research is often quite technical, aiming to perfect the method’s ability to capture reality correctly. However, the idea of research that exists outside, or uses methods to beam itself above, reality is not feasible, as research is a social activity. Both Mead’s and Freeman’s research are heavily invested in the social agendas of their time, rendering Samoa a parable for their politics (Clifford, 1986). Instead of considering this an outrage, one could ask how else could it be, and what would be the purpose of social inquiry without a social agenda.Yet, the trouble with the positivist denial of a political agenda is that it becomes coveted; pushed to the sphere of eternal truths instead of political debate and decision-making. This is evident in the way Mead and Freeman frame their research as a timeless and unbiased ‘truth’ on a ‘primitive’ society, instead of situating their commentary on Samoa as part of heated, highly political and controversial (post)colonial debates over human nature (see Table 1.1).
The positivist ontological and epistemological programme has lately been widely questioned. In physics, so called ‘quantum physics’ has illustrated that research into physical phenomena does not merely describe them but interferes or alters them. In social science this is all the more obvious, so that Marxism was a scientific project that not only described nineteenth-century industrial societies but also profoundly transformed them, informing both the establishment of state-socialism in Eastern Europe and Western welfare states (Bhaskar, 1979). Because of the inherently political nature of research, I underline that this book is primarily on ‘methodology’ and not ‘methods’. The notion of methodology draws attention to the fact that the tools and approaches (methods) that we use to make sense of reality, are not mere neutral techniques but come with a knowledge or ideology (‘logos’) that often makes the ‘reality’ seem quite different. My aim is not to help the reader to get rid of this inherent ‘bias’ of all research but to become more aware of the worldviews and politics embedded in our research approaches, in order to advance better and more egalitarian research and better and more egalitarian realities.
Research as a prism
Richardson (2000) has suggested that, instead of talking about triangulation, we should begin to talk about combining different ways of doing and writing research in terms of ‘crystallization’. Crystals, Richardson points out, are prisms. Therefore, crystals not only ‘reflect externalities’ but ‘refract them within themselves’ (2000: 934).What the metaphor of crystals brings into light is the way in which reality changes when we change the methodological angle or perspective from which we look at it.
TABLE 1.1 Paradigms of combining methodologies
Goal of Paradigms Ontology Epistemology Metaphor Research Politics
Triangulation Fixed
Reflect Magnifying Truth
No bias reality reality glass
Prisms Fluid Social Prism Conveying Pluralist reality construction refracting multiple science of reality vision realities and society Material Interactive Material/ Prism Creating Egalitarian semiotic reality semiotic diffracting egalitarian science construction light realities and society of reality
Dialogue Interactive Material/ Dialogue Dialogues Egalitarian reality semiotic between and pluralist construction multiple science of reality realities and society The notion of research prisms subscribes to an ontology and epistemology that are quite different from the positivist ones. It views reality as fluid (ontology) and, rather than seeing the task of research to accurately describe this reality, it argues that research creates or socially constructs the realities it studies (epistemology). Rather than view research as describing a reality from the outside, this perspective locates research within reality, as one of the processes that ‘makes’ realities. Often, the prismatic vision of research is committed to projects that bring to the fore multiple perspectives on reality, or multiple realities, with the specific aim of challenging the old idea that there is one privileged way of looking at reality, or one reality. Scholars working within this paradigm have been particularly interested in creating ‘alternative’ realities that contradict accepted scientific truths. Part of this project has been to give voice to silenced or subordinated knowledges or realities. Academics, subscribing to the idea of research as a prism, point out that science has historically been, and still often continues to be, a closed realm of white, privileged,Western men, who make definitions and decisions with far-reaching consequences for our lives, all in the name of unbiased scientific ‘objectivity’ (for general critiques, see Haraway, 1997: 24–31; also Harding, 1991, 1993; Latour, 1993). Consequently, they have developed ways of doing and writing scholarship that would be truer to, for example, women’s and non-Western people’s ways of relating to, and communicating about, the world (see also Narayan and George, 2001).An example of what this means is a poem Richardson (1992) has written on the life-story of a woman, ‘Louisa May’, whom she had interviewed as part of a project on unwed mothers. Through the poem, Richardson wanted to convey Louisa May’s life in her own terms and in her own Southern rhythm, without reducing her to statistical, sociological categories of class, educational level and so on.
Thus, methodologies and writing strategies are not seen as means of reflecting reality, presumably ‘objectively’, but as devices that the scholar uses to create and convey different realities (see Table 1.1).
Coming back to the three methodological approaches and validities I outlined above, the notion of a prism would suit combining dialogic validity (conveying new/neglected realities) and deconstructive validity (dismantling old authoritative, such as male anthropological or sociological, realities). Both the dialogic and deconstructive enterprises draw attention to the way in which language and research ‘create’ different realities, providing tools for both critically analyzing mainstream realities as well as for creating alternative ones.
However, the idea of prisms sits uneasily with contextualist validity. If one thinks of context in terms of, for example, global, economic structures of inequality, one can say that one can view them very differently from different perspectives.Yet, there is also a stubbornly ‘real’ dimension to global structures that is similar everywhere; even if economic and political processes are experienced in perhaps highly different ways by different people and in different places, they still affect all of us, binding our realities and fates together.The idea of methodologies as prisms that convey different realities often views its task to be the understanding of difference or comprehending that the way in which we perceive the world is just one possible one. One can say that it aims to enhance comprehension or conversations between different realities, enabling us to, for example, feel empathetic affinity with a different world, such as Louisa May’s. Fostering this kind of affinity or understanding has its undeniable merits. However, it is not well suited to analyze the way in which, for example, global economic developments affect us both similarly and differently.Thus, it is not well suited for fostering political or policy initiatives that would bring people together to transform these structures.
One could say that, if one would remove 70 years from the writing, Mead’s impressionistic description of young Samoan girls is close to the prismatic effort to bring to the fore a different way of relating to the world that has previously been neglected (and here one needs to remember how rare female academics and female-oriented perspectives were in Mead’s time).However, even if the story opens a window onto a fascinatingly different world, this world seems to be floating in timeless isolation.We have very little sense of how colonialism, as a cultural, political, economic and military process, shapes Samoa.
Therefore, we have hardly any way of imagining how our realities and theirs might be interlinked, except by a kind of human affinity, and how it might be possible to build some collective project or politics around it.
Material-semiotic perspective
If the problem with positivist research is that it views there to be only one ‘truth’ about the reality, the problem with research subscribing to the notion of ‘prisms’ is that it understands that there are endless or multiple truths about the reality. If positivism autocratically imposes its ‘truth’ on other views, the notion of prisms and multiple, incommensurable truths make it difficult to envision politics that would begin to change our shared reality together.Trying to find
some mediating ground between these two positions, it is useful to resort to Donna Haraway’s methodological idea of ‘diffraction’. The notion of diffraction is both close to Richardson’s idea of prisms that refract reality, while also departing from it in a significant way. Diffraction, unlike refraction, refers not simply to a symbolic or social construction of reality – or to ‘creating worlds with words’ (Austin, 1965) – but it understands research as a force that alters or creates reality in both symbolic and material terms.Thus, if refraction refers to the process through which vision changes when it goes through a prism, diffraction refers to the way in which light, as both an optic and a material force, is transformed when it passes through a prism (Clough, 2000: 162).
The difference between the notion of research as a process of symbolically constructing reality and the notion of it as a process of symbolically and materially constructing reality can be illustrated by an old dispute between the two main figureheads of the poststructuralist movement: Derrida and Foucault. Derrida’s argument was that nineteenth-century Enlightenment ‘rationality’constituted or legitimated itself through the invention or new ‘scientific’ definition of madness or ‘irrationality’.Against this, Foucault (1979b) pointed out that this ‘act’ was far from being purely a matter of linguistic definition, as it entailed locking the madmen up into asylums, of stripping them of any basic rights and of condemning them to a life-time of physical, social and emotional deprivation.
What this story highlights is that research and science do not make the world ‘seem’ a particular way, but that research and science, such as psychiatry, bring about certain, very concrete and sometimes very problematic worlds.To return to Samoa, one can point out that anthropological research on the islands have been part and parcel of both colonialist and anti-colonialist politics, and, rather than merely describing or giving meaning to the life on the islands, they have been part of processes that have effectuated fundamental cultural, political and economic changes on Samoa.
The lessons that a material-semiotic view on research has to teach are twofold:
1 It draws attention to the limits of positivism in that it highlights that research is never objective but a reality changing material-semiotic force, which always has an agenda or is political.
2 It also draws attention to the limits of the social constructionist view in that it highlights the fact that research cannot create realities at will, or simply through telling a different story. Research is both enabled and constrained by a host of intertwined cultural/political/economic/ecological processes, and we need to understand those processes, if we are to intervene in them.
Thus, the way in which the material-semiotic perspective views the nature of reality (ontology) and the way in which we can know it (epistemology) is different from both the positivist and prismatic perspectives. It does not view reality to be either a fixed entity to be described (the positivist view) or fluid symbolic clay to be moulded into different realities (prismatic view), but understands the relationship between reality and research to be one of interaction.
Thus, while the material-semiotic perspective understands research not to describe but to ‘create’ worlds, it underlines that reality exists beyond research and that it can ‘fight back’, making some types of research and conclusions more possible than others (Massumi, 1992).This means that it departs from the prismatic notion of ‘writing different realities’ arguing for a ‘materialistically’ tempered notion of ‘creation’. It acknowledges that research is always facilitated and constrained by the existing social and material environment and it needs to understand, for example, structures of social inequality or the basics of ecological reality, if it is going to change them. Similar to the ‘prismatic’ perspective, the goal of research in this configuration is to render research permeable to a wider variety of perspectives.
However, the idea of prisms interpreted this goal in pluralistic terms to allow all voices or realities to be heard. Somewhat differently, Haraway (1997) and Harding (1991, 1993, 2001) see the goal of incorporating different views in more egalitarian terms as a means to enhance more equal scientific, social and economic structures. Haraway, borrowing from Harding, terms this methodological approach ‘strong objectivity’. Strong objectivity refers to a commitment to take into account different perspectives – particularly those of the subjugated groups, such as Samoan girls, as they are likely to be critical of existing forms of knowledge – in order to produce more inclusive or encompassing, and thereby more ‘accurate’, accounts of the world. Haraway (1988) acknowledges that research is never objective but always partial or ‘situated’, however, this does not constitute a licence to be parochial or narrow-minded. On the contrary, the fact that research is always political, underlines our ethical responsibility to be aware of ‘what kinds of realities and beings we are creating, out of whom, and for whom’ (Haraway, 1997: 58).This means that we should be conscientious of how our particular research, for its small or big part, produces the reality it looks at, such as the notions of sensual or dangerous ‘primitives’, which have given rise to a host of discourses and practices, providing support for sexual liberalization, tourism, countless films and media images as well as sterilization campaigns. In order not to produce narrow-minded, racist research that perpetuates inequality, research needs, according to Haraway and Harding, to be rigorous and use a ‘systematic method’ that facilitates taking into account and critically evaluating different views on the phenomenon it is studying.This systematic collecting and assessing of perspectives, particularly subjugated ones, helps to produce research that is both more encompassing or scientifically rigorous and more aware of its political and ethical implications.
Within the material-semiotic perspective, the goal of combining different methodologies, and their respective validities, is to produce these ‘better’ or more inclusive accounts of the world, or more inclusive worlds. The dialogic principle enables scholarly practice to tune into the perspectives of different groups, particularly those of disenfranchised groups, such as young Samoan girls or the ‘mad’. Deconstruction helps to critically analyze the longsedimented discourses on ‘primitives’ or ‘mentally disordered’ that masquerade as truth but express the politics of a select few, thereby opening up space for new and a more egalitarian range of views. Contextualism enables one to make sense of the way in which both notions of primitive sexuality and mental disorders are intertwined with complex social, political and economic structures, such as colonialism, eugenics or liberal humanist interest in and fascination with difference. As a whole, combining methodologies helps to bring forth ‘strong objectivity’ that produces knowledge that is both more ‘accurate’ and more egalitarian.
Methodological dialogues
Despite its many merits, the material-semiotic perspective makes me uncomfortable in one respect. The notion of diffraction (as well as the notions of reflection and refraction) is optical, and vision, as a sense, is one of the most linear, and least interactive, ones.The visual logic of the material-semiotic position shines through from, for example, the writings of Haraway and Harding that take a relatively traditional view on the practicalities of empirical research and writing.
Thus, they understand ‘strong objectivity’ to refer to research that systematically combines different, including subjugated, views and then synthesizes them into a more inclusive and accurate scientific statement politically committed to fighting social inequality and exclusion. This position differs from traditional research principles in that it takes a political position, but its ‘revised’ commitment to being ‘scientific’ adheres to traditional synthetizing research style that translates other perspectives into a scientific view, in a way that obeys the visual logic of detachment, constancy and control.
In my view, this optical framework does not quite do justice to the ideal of inclusiveness or to the notion of research as interaction with reality. It reveals that the idea of material-semiotic nature of research is weak, where the notion of prisms is strong, namely, the dialogic principle of listening to the texture and nuance of different worlds.Therefore, I would like to return to Richardson’s (1997, 2000; also Denzin, 1997a) idea that methodologies and modes of writing may be better or worse in tune with the pattern of communication of certain groups or the operating mode of certain spheres of life.Thus, in order to do justice to the lived realities of, for example, Samoan girls, one may need a collaborative or dialogic research strategy and a more poetic style of writing.
The same way, a contextual analysis and realist writing may suit an investigation of colonialist cultural, political and economic structures. This does not mean that we should delegate women and life-stories into the emotional/fictive/ private and politics and economy into contextual/realist/public, as this may consolidate structures of inequality and confinement (caring for women, and control for men). It rather underlines the fact that modes of reading and writing or inscribing reality are always political and that unless we do justice to their specificity we risk not being sensitive to all the social and subjugated views, values and interests that we want to inform a more inclusive, egalitarianand pluralist research.
The ideal of an ‘encompassing’ view, embedded in the notion of strong objectivity, draws attention to the general, whereas the notion of prisms underlines the importance of capturing the particular. If one is to imagine a methodological position between the general and the particular, however, it is best to switch sense from vision to sound or conversation.Vision segments reality into one true view (positivism), several different views (prisms), or a particular but encompassing view (material-semiotic view).The metaphor of sound or conversation views different realities in more porous or interactive terms. Instead of arguing for fusing different realities into one view, or capturing separate realities, the notion of sound imagines different realities and methodologies in terms of soundscapes that each have their distinctive chords, but that also resonate and interact with one another. An example would be a jazz trumpetist’s solo, which gets translated into the audience’s tapping of their feet and plays into and out of other multicultural sounds and politics of contemporary urban neighbourhoods (see Deleuze and Guattari (1987: 530–50) on rhythm for inspiration). In each of the milieus, the sound of jazz strikes a different chord; yet, the artistic/performative, embodied, and urban/political incarnations of jazz also bleed into one another.The same way the different lived experiences of sexuality, the cultural, political and medical discourses that mediate it, as well as the scientific, socioeconomic and global political regimes that it forms a part speak in different tone and about different sexualities; yet, they also resonate and interact with one another. Thus, a sound-based approach to combining methodologies, and their respective validities, enables a multidimensional research strategy, which both respects the specifity of different modes of inquiry/reality and points to unities and intersections that bind different methodologies and realities together.
To illustrate what a sound-based or dialogic approach to combining methodologies would look like, I will sketch a possible way of analyzing the sexuality of Samoan girls from different perspectives. My intention is not to say what Mead or Freeman should have done. One cannot judge a piece of research done 70 or 20 years ago by contemporary standards or social agendas, even if some of the questions that they raise are still pertinent today. Rather, I simply draw on the Mead–Freeman debate in order to provide some heuristic ideas for doing multidimensional research, in somewhat similar spirit as Frow and Morris (1992) sketch a way of studying a shopping mall without actually ever studying it.
Thus, if one was to start with analyzing the lived reality of the Samoan adolescent girls, one could use the principles of hermeneutic or dialogic approach and aim to – in collaboration with the girls and being critically aware of one’s cultural baggage that might hamper one’s understanding of them – capture the issue from their perspective. In a similar fashion, and in the spirit of polyvocality, one could aim to understand the issue of sexuality from the perspectives of boys, and of older villagers, men as well as women. If one was to study the discourses that mediate the way in which we, and they, understand the girls’ sexuality one could start with critically examining the Western socialpsychological discourse, which Mead wanted to problematize, that has constituted adolescent female sexuality as a ‘problem’ and a source of agony. One could discuss the origins and politics of this discourse that governs female sexuality by constituting it as a ‘problem’ and then aiming to ‘solve’ it by either protectively suggesting abstinence or arguing for a freedom from repression or in favour of ‘natural’ sexuality. One could then continue to study how this discourse, first, intersects with notions of ‘primitive’ sexuality, which is used to back up either prurient or ‘free’ sexual behaviour as the ‘natural’ one. Second, one could investigate how the discourse on ‘primitive’ sexuality forms part of colonialist, eugenistic and touristic discourses that define people from the South as more ‘sex’ or ‘body’ than ‘mind’, thereby, defining them as more ‘animal-like’ than ‘human’. One could then continue to examine how these racist discourses on sexuality form part and parcel of colonialist and postcolonialist regimes of military, political and economic rule that have affected life and society in places like Samoa in fundamental ways. However, one could also investigate how notions of natural, buoyant sexuality form part of regimes of social thought and actions, such as Mead’s culturalist liberalism, that, in all their contradictions, have fought against racist policies. Finally, one could come back full circle and study how global discourses and practices related to sexuality, from Western missionary and other ‘civilizing’ missions to contemporary global media today, guide normative notions of sexuality in Samoa, so that it is conceivable that when interviewing Samoan girls, one can hear echoes of local culture, socialpsychological notions of adolescent sexuality and Western interpretations of ‘primitive’ sexuality.
A study like this would not answer the positivist question of: What is female sexuality in Samoa like? On the contrary, it would study the politics embedded in various discourses that produce, in both symbolic and very material terms, the sexuality of Samoan girls and a range of other practices and agendas to which it is attached. However, capturing the ‘politics’ embedded in young girls’ intimate experience of sexuality and the politics underpinning eugenic and exoticizing discourses on sexuality and their relationships to colonialist and counter-colonialist policies will require different methodologies and genres of writing, to the point that the ‘results’ of these three perspectives may seem to speak of a different reality. Capturing the particularity of these perspectives is pivotal, if one is going to be true to the project of enhancing research and politics that takes into account, and does justice to, different perspectives on the world.
Bringing the different methodological and political perspectives into dialogue with one another cultivates multidimensional research and politics that is capable of attending to the complexity of social phenomena, such as Samoan sexuality.This research strategy does not try to come up with one enlightened view (triangulation) or to acknowledge that there are multiple views (prisms).
Rather, multiperspectival research aims to hold different perspectives in creative tension with one another. For example, if, as part of studying Samoan sexuality, one was to examine the social implications of Mead’s work from a dialogic or multiperspectival standpoint, it would appear as neither ‘good’ nor ‘bad’ but complicated. On one hand, she defends the Samoans and their life against Western universalizing moral codes and notions of intrinsically superior and inferior forms of human nature. On the other hand, Mead exoticizes the Samoans, ending up affirming the Western trope of universal sensual and natural ‘primitiveness’. From a dialogic point of view, Mead’s liberal humanism is not epistemologically or politically either ‘correct’ or ‘incorrect’ but has both its rights and its wrongs.This kind of dialogism cultivates research and politics that can appreciate the multidimensionality of social problematics and not to resort
to one-dimensional judgements.
Exploring different perspectives and using different methodologies the way I have just outlined is doable, but it is a large undertaking. My intention is not to suggest that every research project should collect a multitude of perspectives. What I do want to underline, however, is that even if one studies a single aspect of something like Samoan adolescent female sexuality, it is useful to bear in mind that it can be approached from several angles and is part of a larger puzzle.
One may want to capture the lived sexuality of a Samoan woman through a life-story interview.Yet, one needs to bear in mind that her account may be interlaced with all the local and global discourses on female and primitive sexuality and both fiercely critique and support these discourses and the political agendas that speak through them.Thus, a life-story is: (1) an expression of lived reality, to be understood dialogically; (2) shot through with social discourses that can be unravelled through deconstruction; and (3) articulates wide local, national and transnational politics, to be analyzed contextually.Therefore, even if one studies a particular area, such as a lived reality, it is useful to be aware that it encompasses multiple dimensions.This is what I discovered when interviewing anorexic women, whose stories were shot through with discourses that define anorexia and all their contradictory national, transnational and highly gendered political and social agendas. The more I study the Mead–Freeman controversy, the more I realize the commonalities between the discourses on anorexia and on adolescent sexuality on Samoa. In both cases the ‘true’ nature of the female body and self becomes a battleground and a battle cry for a host of complex personal and political struggles. Thus, combining methodologies to study how our intimate experience of our body and self are connected with global regimes of power that bind us with distant people, might foster translocal politics that would question those forces, discourses and practices that subjugate us, while being prepared to consider fundamental differences of opinion and interest and be prepared to negotiate them. In short, it would be committed to egalitarian politics that would acknowledge that part of the egalitarian project is to come to terms with the fact that ‘equality’ may seem different from different perspectives.
Conclusions
The methodological project of cultural studies is structured around a threedimensional interest in lived experiences, discourses or texts and the social context. The challenge of this project is that the three areas of focus refer to different methodological approaches. Understanding lived experience demands a hermeneutic or phenomenological approach that aims to understand lived
realities.The interest in discourses calls for a (post)structuralist analysis of the tropes and patterns that shape our understanding of our social, cultural and research environment. Analyzing the social and political context, however, is always wedded to some form of realism that wants to make sense of how the society and its structures ‘really’ operate. These three methodological approaches may complement and enrich one another, but they also run into contradictions. One cannot easily combine a hermeneutic quest to understand lived realities and a (post)structuralist interest in critically analyzing the discourses that mediate those realities. At the same time, the hermeneutic and (post)structuralist approaches’ interest in either multiple realities or the political nature of all realities does not bode well with the realist project of making sense of social reality. Furthermore, the new philosophical and practical challenges brought about by new ethnography, poststructuralism and globalization –which demand research to become, at the same time, truer to different realities and capable of making sense of the increasingly important global reality – have both further pulled research apart as well as underlined the need for dialogues between scholarly as well as political positions.
In this situation, the old notion of ‘validity’ as truthfulness seems no longer feasible. On the contrary, it has been suggested that instead of validity, we start talking about validities. Against the background of cultural studies interest in the lived, discursive and social/global dimensions of reality, as well as recent methodological discussions, one can suggest three different validities. First, dialogic validity assesses research in terms of how well it remains true to the lifeworlds of the people being studied. Second, deconstructive validity evaluates the value of research in terms of how thoroughly it is aware of the social discourses and tropes that mediate our understanding of reality and frame our research.Third, contextualist validity measures the validity of research in terms of how well it manages to locate the phenomena, as well as research itself, in the wider social, political and global context.
Together, these validities highlight different criteria for good or valid research.At the same time, they raise the question of whether, and how, these different validities, and their concomitant methodological approaches, could be brought together. The traditional way of combining methodologies in social and cultural research is triangulation, which refers to the use of different methods in order to get a more accurate idea of social reality. However, the trouble with using the heuristic of triangulation to bring together the three validities and methodologies is that they do not necessarily cohere to an accurate vision of reality as they explore different facets of reality or different realities.Richardson (2000) has suggested that instead of talking about triangulation we should begin to talk about prisms, which highlights the fact that reality changes when we change the methodological perspective from which we look at it. The notion of prisms does justice to the potentially profound differences between different ways of approaching the reality, but the problem with it is that it bypasses the fact that, even if we may approach the global, social world differently, it also binds our fates together.Thus, drawing on both Richardson’s idea
of prisms and Donna Haraway’s notion of material-semiotic construction of reality, I will argue for a mode of combining methodological approaches in terms of creating dialogues between them. The dialogic mode of doing research would be attentive to the lived, cultural as well as social and material aspects of our realities, and acknowledge that there may be disjunctures between them. It would aim to cultivate modes of social and cultural analysis that would be both sensitive to different realities and capable of building bridges between them.This mode of research would, hopefully, also encourage a politics that would bring different groups, with their different concerns and views, together to begin to build a common, more egalitarian and pluralist
world.
Exercise 1
• Design a research strategy for studying a topic of your choice. Think how you would study your topic, using as a guideline:
(1) the dialogic validity;
(2) deconstructive validity; and
(3) contextual validity?
• Discuss how the three approaches might contradict or complement one another.
• Do you think that one of the research approaches is more pertinent to making sense of your topic? Why?
• Would it be best if you focused on one perspective, such as lived experience? What kind of research strategies or methods would you use to explore your topic from the chosen perspective? How could you enrich your preferred methodological perspective by analyzing how other approaches bleed into it (by, for example, analyzing how discourses interlace experiences)?
• Or would it be feasible to study the lived, discursive and social/global dimensions of the phenomenon that you are studying?
How could you study these three dimensions in a way that would be manageable? How could you bring the different analysis together without coming up with (1) strict causalities (‘social context determines lived lives’) or (2) a situation where different perspectives talk past one another (‘lived experiences tell about little people and social context tells about big history, and they speak about different realities’)?
</div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-57105183428974097072014-03-12T11:48:00.000+07:002014-03-12T12:22:41.034+07:00Lampiran 1 Arena Kekuasaan Dalam Novel Arok Dedes<div style="-x-system-font: none; display: block; font-family: Helvetica,Arial,Sans-serif; font-size-adjust: none; font-size: 14px; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal; margin: 12px auto 6px auto;">
<a href="http://www.scribd.com/doc/211992882/Lampiran-1-Arena-Kekuasaan-Dalam-Novel-Arok-Dedes" style="text-decoration: underline;" title="View Lampiran 1 Arena Kekuasaan Dalam Novel Arok Dedes on Scribd">Lampiran 1 Arena Kekuasaan Dalam Novel Arok Dedes</a> by <a href="http://www.scribd.com/irbusd2013" style="text-decoration: underline;" title="View irbusd2013's profile on Scribd">irbusd2013</a></div>
<iframe class="scribd_iframe_embed" data-aspect-ratio="1.4160125588697" data-auto-height="false" frameborder="0" height="600" id="doc_35705" scrolling="no" src="//www.scribd.com/embeds/211992882/content?start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-1ztjjgwwiuw5xpx4fl8w&show_recommendations=true" width="100%"></iframe>#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-71036447868341498992014-03-12T10:39:00.001+07:002014-03-14T09:39:48.818+07:00Intrik Politik Jaman Kerajaan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8mJ5n_tivlw9EsS9OJPkLtFDxYKWaESkviH2vhnwekArMR9JM-coyk52DX5iF0K1daTPgk-Lo0EZzjJOOTxuUap5t3bGUF5ueq37NkASfUzzBGChFwF0ZpD5xkSY6XdbzM0nC8Pp0QuA/s1600/kkkkkarok.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8mJ5n_tivlw9EsS9OJPkLtFDxYKWaESkviH2vhnwekArMR9JM-coyk52DX5iF0K1daTPgk-Lo0EZzjJOOTxuUap5t3bGUF5ueq37NkASfUzzBGChFwF0ZpD5xkSY6XdbzM0nC8Pp0QuA/s1600/kkkkkarok.jpg" /></a></div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
<w:UseFELayout/>
</w:Compatibility>
<w:DoNotOptimizeForBrowser/>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Cambria","serif";
mso-ascii-font-family:Cambria;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Cambria;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 16.0pt;">Intrik Politik Jaman Kerajaan</span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
Analisis Novel Arok-Dedes
Karangan Pramoedya Ananta Toer dengan pendekatan Analisa Naratif dan Analisa
Arena Wacana dari Pierre Bourdieu</div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
Oleh: Alexander Koko
Siswijayanto </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">A.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 14.0pt;">Sinopsis
Novel Arok-Dedes</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Tahun 1215 adalah tahun yang istimewa. Raja John di Inggris
mengumumkan maklumat Magna Charta. Magna Charta memberikan kebebasan pribadi
dan kebebasan politik pada kawula Inggris, pada umat manusia. Di Jawa, yang
pada saat itu genap 1137 Saka (sama dengan 1215 M), Magna Charta belum
terdengar. Tetapi, berkaitan dengan kebebasan, Sri Erlangga (1020-1042) telah
memaklumkannya di Kediri. Sayang penerusnya yang kelima, Sri Kretajaya malahan
melindasnya. Tumapel, dibawah Akuwu Tunggul Ametung, sepenuhnya mengikuti
Kediri yang memprovokasi perbudakan yang telah dihapus oleh Erlangga. Seorang
bocah dengan nama Arok mengorganisir perlawanan terhadap Tunggul Ametung. Dalam
hanya dua bulan, ia gulingkan Tunggul Ametung dan mengembalikan Magna Charta
Erlangga pada kedudukan semula. Tahun 1144 Saka, ia gulingkan raja terkuat di
Jawa, Sri Kretajaya dan dengan demikian mengembalikan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Magna Charta</i> Erlangga untuk seluruh Jawa. (Pengantar xi-xii)<br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Kisah berawal dari Tumapel. Sebuah wilayah kekuasaan Kerajaan
Kediri. Sang Raja, Sri Kertajaya, mengangkat Akuwu Tunggul Ametung sebagai
penguasa Tumapel. Akuwu Tunggul Ametung sendiri dulunya adalah seorang perampok
yang kemudian menjadi pejabat kerajaan. Karena itulah pemerintah Kediri tidak
sepenuhnya percaya terhadap Tunggul Ametung. Mereka menempatkan Yang Suci
Belakangkang sebagai penasehat agama sekaligus penasihat politik bagi Sang
Akuwu.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Tumapel dalam keadaan gawat. Banyak terjadi pemberontakan di
mana-mana. Mereka menyebut diri Santing, Arih-arih ataupun Borang. Apakah itu
tiga nama untuk tiga orang ataukah tiga nama untuk satu orang, Tunggul Ametung,
penguasa Tumapel, tidak mengetahuinya. Tentunya, pemberontakan-pemberontakan
itu ada yang melatarbelakanginya. Kepemimpinan yang sewenang-wenang dan sering
menindas menyebabkan penderitaan bagi rakyat kecil. Ia memperbudak orang-orang
tak berdaya, dan membikin orang tak berdaya untuk dijadikan budak. (35) </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Hal lain yang mempengaruhi pemberontakan juga karena
bobroknya moral Sang Akuwu. Di tengah carut marut negeri, Sang Akuwu menculik
Dedes dari desanya atas info dari Arya Artya untuk dijadikan Prameswari. Arya
Artya seorang adalah brahmana yang dipersamakan kedudukan dan kehormatannya
dengan seorang kepala desa. Pada awalnya Dedes menolak, meronta dan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>memberontak. Tapi apa daya seorang perempuan
desa yang mempunyai ayah seorang brahmana. “Ayah, sekarang ini sahaya kalah
menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada
akhir kelaknya.” (Dedes 13) “akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah
kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dedes ditempatkan di Istana Tumapel
dengan dilayani oleh para dayang-dayang. Salah satunya adalah Rimang. Rimang
dulunya adalah isteri dari Tunggul Ametung juga yang telah lama tidak dipakai.
Di sana, juga ada Gede Mirah sebagai lurah para dayang. Dia juga dilayani oleh
para sudra. Salah satunya adalah Oti, seorang budak yang sering cemburu dengan
Dedes. Lama tinggal di Pakuwunan Tumapel Dedes menyadari. Betapa tidak berdaya
anak-anak sudra yang melayaninya. Ia seorang brahmani, yang tahu banyak tentang
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">kiwan</i> dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tengenan</i>, juga tidak berdaya. Para dewa tidak menolongnya, semua
manusia juga tidak. Ayahnya sendiri, Mpu Parwa, tak terdengar wartanya. Ia
tersedan-sedan. Apakah sia sia semua ilmu dan pengetahuan yang telah diserapnya
sejak kecil ini? Apakah percuma saja semua yang telah dipelajarinya? Benarkah
kalau ajaran percuma, sama yang tergelar dalam jagad Pramudita ini juga
sia-sia?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Lama kelamaan, dengan bimbingan dari
Rimang, ia menyadari bahwa sebagai seorang Prameswari, Ken Dedes punya
kekuasaan. Ia bisa menyuruh siapa saja dan apa yang ia minta pasti dilakukan.
Pelan-pelan ia menyadari kekuasaan besar sebagai seorang prameswari. Kekuasaan
ini adalah indah dan nikmat. Ia takkan melepaskannya lagi, dan ia akan jadikan
benteng untuk dirinya sendiri, juga terhadap dukacita dan rusuh hati. Kini ia
tidak lagi menyesali menetesnya darah pada malam pertamaitu. Kini ia malah
bersyukur pada detik perpisahan antara Dedes anak brahmana Mpu Parwa tidak arti
menjadi KenDedes, Sang Paramesywari. Ayahnya hanya bisa mengecam-ngecam Tunggul
Ametung. Ia akan menaklukannya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kala Tunggul Ametung pergi untuk
menumpas para pemberontak terjadilah gunung meletus dan banyak korban di
Tumapel. Ken Dedes meminta seluruh tentara untuk menolong warga-warga di
sekitar Tumapel yang sedang mengalami penderitaan. Ken Dedes mulai terjun ke
urusan negeri. “barang siapa tidak terlalu muda untuk jadi paramesywari, diapun
cukup tu untuk mengetahui urusan negeri”, begitu katanya. Sejak saat itu ia
begitu disegani sebagai Dewi Kebijaksanaan di wilayah Tumapel. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Masa kecilnya, ia bernama Temu. Di
temukan oleh Ki Lembung (yang artinya pencuri). Ibunya tidak jelas siapa. Yang
jelas, ia lari dari ki Lembung dan menjadi anak asuh Ki Bango Samparan. Di
tengah keluarga Bango Samparan, ia begitu di sayangi baik oleh Ki Bango maupun
oleh Nyi Bango. Saudara-saudara Temu yang lain tidak suka terhadap sikap pilih
kasih itu. Hanya saudara angkat perempuannya yang sungguh mengasihi Temu. Ia
adalah Umang. Sejak kecil Temu sudah mempunyai teman dan dengan teman-temannya
itulah ia sadar bahwa ia mendapatkan loyalitas. Temannya yang paling dekat
adalah Tanca. Tetapi, karena ketidaksukaan dari saudara-saudaranya, ia mohon
dari dari Ki Bango Samparan untuk pergi. Ki Bango Samparan dengan berat hati
merelakan Temu pergi. Ia menulis surat kepada Tantripala supaya Temu ini
diangkat menjadi murid. Bergurulah ia kepada Tantripala. Sejak pertama kali
melihat mata Temu, Tantripala sudah terkagum dengan kharisma anak itu. Seluruh
ilmu yang ia miliki, ia berikan kepada Temu. Hingga Bapa Tantripala mengatakan
bahwa ia sudah tak lagi bisa memberikan pelajaran kepada Temu. Kehausannya akan
ilmu tampak dalam kata-katanya kepada Tanca, “Ya Tanca, kita harus belajar.
Kalau tidak, kita akan begini-begini saja.” Haus ilmu dirasakannya seirama
dengan haus keadilan, kasih dan sayang. Dan betapa ia haus akan kasih sayang
itu.Dari<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Tantripala ia belajar bahwa
karunia terbesar yang paling diinginkan manusia dari para dewa ialah kekuatan
menguasai dan mempengaruhi sesamanya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Akhirnya, Temu diminta pergi ke Dang Hyang Lohgawe untuk
berguru ilmu yang lebih tinggi lagi. Dang Hyang Lohgawe adalah seorang pandita
negeri yang cukup disegani di wilayah Tumapel dan juga seluruh Kediri. Tetapi,
karena keyakinannya terhadap Syiwa, ia dibatasi hanya menerima 10 murid. Temu
berguru kepadanya dan Dang Hyang Lohgawelah yang memberinya gelar Arok karena
kecerdasannya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Latar sejarah naiknya Erlangga
sebagai raja dan kebijakannya dalam hal peran kaum bangsawan, sedikit
menyisihkan kaum brahmana. Para penganut Wisnu dan Syiwa pun berselisih satu
dengan yang lain. Suatu sidang tahunan bagi para brahmana selalu diadakan. Dan
kali ini, Dan Hyang Lohgawe membawa Arok ke sidang tahunan itu dan dalam sidang
itu mengangkat Arok sebagai orang yang akan mengangkat kembali kasta brahmana.
Arok dinobatkan sebagai pemimpin untuk menghancurkan kekuasaan Tumapel yang
dipimpin Ametung. Penobatan ini adalah bentuk dukungan dari kaum Brahmana terhadap
Arok. Bagi kaum Brahmana Arok adalah “Kekuatan tanpa… bersentuhan langsung
dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi.
Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan.” Arok mempunyai empat pilar kaki Nandi,
kendaraan Hyang Guru, yaitu: Teman, kesetiaan, harta dan senjata. Membangunkan
kaki perkasa Nandi, dan dengan demikian ia bisa jadi kendaraan Hyang Mahadewa
Syiwa di tengah-tengah cakrawartinya. Arok sendiri sudah melakukan gerilya
melawan Tunggul Ametung dengan bantuan dari teman-temannya. Ia mendapatkan
kesetiaan dari teman-temannya dan dari hasil pemberontakannya ia sudah mulai
mengumpulkan harta dan senjata untuk membiayai penggulingan kekuasaan Tumapel. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kelompok Arok yang memakai nama
samaran Borang terus melakukan tindakan pemberontakan terhadap Ametung.
Demikian juga kelompok Santing dan Arih-arih. Hingga pada suatu ketika Tunggul
Ametung merasa putus asa menghadapi para pemberontak ini. Ia meminta nasehat
dari Yang Suci Belakangkang. Yang Suci Belakangkang mengusulkan supaya Akuwu
Tunggul Ametung menemui Dang Hyang Lohgawe, selaku petinggi kaum brahmana,
untuk meminta dukungan dari kaum brahmana supaya pemberontakan bisa dipadamkan.
Dengan sikap congkaknya, Sang Akuwu menolak mentah-mentah. Tetapi, pada
akhirnya atas desakan Belakangkang, dengan terpaksa Sang Akuwu menyetujuinya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Pertemuan dengan Lohgawe dilakukan
dan Lohgawe berjanji untuk membantu memadamkan pemberontakan dengan mengirimkan
salah satu muridnya. Maka, dibawanya Arok kepada Tunggul Ametung. Tunggul
Ametung curiga bahwa Arok adalah salah satu pemberontak yang pernah ia temui.
Tetapi, ia tak punya bukti dan tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Lohgawe. Tunggul
Ametung meminta Arok untuk berjanji tiga hal: Melindungi Tumapel, Melindungi
Sang Akuwu dan melindungi Prameswari, Ken Dedes. Dan hal itu dijanjikan oleh
Arok. Tunggul Ametung menerima Arok dan diminta untuk memadamkan pemberontak di
selatan. Arok membawa 50 orang kepercayaannya dan 500 prajurit Tumapel. Di
selatan, Arok telah mengatur teman-temannya untuk mengalahkan 500 prajurit
Tumapel. Prajurit Tumapel tumpas, dan pakaian prajurit Tumapel dikenakan oleh
teman-teman Arok. Mereka kembali dengan genderang kemenangan ke Tumapel. Sang
Akuwu tidak mengetahui perang jadi-jadian itu. Tipu daya selanjutnyapun terus
menerus terjadi. Kekuatan dan kekuasaan Arok menjadi semakin kuat. Sedangkan
Tunggul Ametung sendiri semakin melemah baik dari sisi kekuasaan maupun
kekuatan fisiknya. Ia mulai terjatuh sakit.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Intrik politik di Tumapel terjadi
dengan rumit. Empu Gandring bekerja sama dengan Kebo Ijo mencoba menyusun
kekuatan untuk melawan Akuwu Tunggul Ametung. Empu Gandring adalah seorang yang
cerdik. Wibawanya terasa di dalam pasukan Tumapel. Ia menguasai persenjataan
Tumapel. Dan ia mempersatukan para tamtama di bawah pengaruh dan perintahnya,
namun mempertentangkannya satu dengan yang lain. Pada setiap orang di antara
mereka ia tiupkan harapan untuk menaiki singgasana. Pada suatu ketika mereka
akan berbunuh-bunuhan satu sama lain. Gandring akan keluar sebagai pemenang
tanpa berkelahi, dan dengan demikian menjadi pewaris Tunggal Tumapel. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kebo Ijo bertindak gegabah dengan
membunuh Kidang Telarung, putra Tunggul Ametung. Konspirasinya dengan Empu
Gandring tercium oleh Arok. Empu Gandring sendiri sudah sejak lama ditemui oleh
Arok untuk diminta membuat senjata. Uang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">panjer</i>dan
bahan-bahan besisudah diberikan. Tetapi ketika diminta senjata yang dipesan,
Empu Gandring menolak untuk memberikan. Empu Gandring ditahan oleh Arok tanpa
sepengetahuan Kebo Ijo. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kebo Ijo kebingungan. Di tengah
suasana bingung ini, Yang Suci Belakangkang mendekatinya dan membujuknya untuk
menangkap Arok dengan mendapatkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">backing</i>
dari Kediri dan pasukan berkuda. Kebo Ijo dan para tamtama yang lain mulai
melakukan aksinya. Dengan banyak prajurit berkuda, ia memasuki Tumapel.
Prajurit-prajurit yang setia pada Arok ditarik mundur ke pakuwuan untuk menjaga
Ken Dedes dan Sang Akuwu. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Arok memerintahkan teman-temannya: Tanca, Santing, Arih-arih,
Murda untuk membawa seluruh pasukan mulai mengepung Tumapel menyaksikan
jatuhnya Tunggul Ametung. Dan gelombang massapun mulai menuju Tumapel. Dan
pasukan Santing, Arih-arih dan Bana menderap maju dengan semangat mengalahkan
dingin dan hujan. Sepanjang jalan semakin meggembung besar dengan ikut-sertanya
penduduk yang bergabung: orang-orang syiwa, Wisynu, Buddha, Kalacakra,
Tantrayana, Durga dan mereka yang hanya memuja leluhur. Sepanjang jalan orang
berseru mengumumkan: pasukan Arok turun dari gunugn untuk menggempur Kutaraja,
menggulingkan Tunggul Ametung. Semua takkan lewatkan kesempatan untuk saksikan
tumbangnya Tunggul Ametung. (515)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kejatuhan Tunggul Ametung dilakukan
dengan strategi Arok menggunakan tangan Kebo Ijo. Kebo Ijo yang sudah merasa
menguasai Tumapel segera ingin mengakhiri hidup Tunggul Ametung, meminang Ken
Dedes dan menjadi penguasa Tumapel. Dengan para Tamtama, ia pergi ke Pakuwuan.
Pedangnya terhunus dan ia masuk ke kamar Sang Akuwu. Sang Akuwu yang tak
berdaya dibunuhnya. Pada saat itu juga Bala Tentara Arok sudah berada di Tumapel
dan mengepung Pakuwuan. Arok dan Ken Dedes keluar dari tempat persembunyian dan
menangkap basah tindakan Kebo Ijo yang membunuh Tunggul Ametung. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sidang dengan dihadari oleh bala
tentara Arok, para tamtama dan seluruh masyarakat Tumapel terjadi. Kebo Ijolah
pelaku pembunuhan Tunggul Ametung. Otak dibelakang itu adalah Empu Gandring. Sang
Belakangkang sebagai wakil Kediri yang mempunyai maksud menghancurkan Arok,
telah ditangkap. Dengan mangkatnya Sang Akuwu pada hari itu, Yang Mulia
Paramesyari sekarang penguasa penuh Tumapel. (528)Dan Hyang Lohgawe pun datang
dan mulai berbicara kepada khalayak ramai:“… Dengan kemenangan ini telah
selesai babak perlawanan terhadap Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Kita semua
memasuki babak lain, yang sama sekali berlainan daripada sebelumnya… Aku Dang
Hyang Lohgawe, merestui kemenangan ini, kemenangan kita semua. Dan aku benarkan
Arok sebagai orang pertama untuk seluruh Tumapel.. Dia (Arok) mendapat pancaran
sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru. Dia adalah orang terbaik dari kalian. Dia
adalah titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memeliharakan kalian dari
bencana Tunggul Ametung dan balatentaranya. Dia adalah akuwu-mu. Akuwu
Tumapel.” (530) Gelar yang kemudian diberikan adalah Ken Arok. Sorak-riuh
rendah bergelombang-gelombang menjelang tengah malam seakan tanpa
habis-habisnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Ken Arok kemudian angkat bicara:
“Dengarkan, kalian: bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha. Maka jangan
ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorang pun
yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam
hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih berlaku: hukuman mati terhadap
mereka itu. Juga terhadap diriku bila dalam babak baru ini melakukannya.” Ia
melanjutkan, “Aku, Arok, adalah seorang sudra seperti kalian semua. Karena itu
semua sudra, jangan bertengkar. Baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan
Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa… Kalian
lihat, aku adalah seorang Syiwa, istriku, Umang, orang Wisynu, bapa angkatku,
Bango Samparan dan Ki Lembung juga orang Wisynu, guruku, Yang Terhormat
Tantripala adalah Buddha, mahaguru, Yang Suci Dang Hyang Lohgawe adalah Syiwa.
Aturan-aturan yang baik selama dua ratus tahun ini adalah karunia raja Wisynu,
Sri Erlangga. Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana
menyembah dewa, tapi dharma pada sesamanya.” (546-547)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">B.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 14.0pt;">Analisa
Naratif Novel Arok Dedes</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Eksposisi</b>
(<i style="mso-bidi-font-style: normal;">informasi awal, pengantar narrator dan
keterangan sebelum action, yang berisi pemarapan tentang setting narasi, tokoh
utama dan pemahaman kunci</i>).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Novel-novel Pramoedya banyak yang
berlatar belakang sejarah. Novel Arok Dedes inipun merupakan suatu roman
sejarah. Layaknya sebuah sejarah yang telah diketahui banyak orang, kisah Arok
telah mendarah daging dalam memori orang-orang di Indonesia, terutama di Jawa.
Maka, Bab 1 Novel ini langsung berkisah tentang Dedes yang telah diculik oleh
Tunggul Ametung dari desanya untuk dijadikan Pramesmari. Seolah-olah Pramudya
ingin langsung mengajak pembaca untuk masuk dalam lika-liku kisah. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Jika kita memperhatikan dengan
cermat. Eksposisi ada dalam pengantar yang dituliskan oleh Pramudya pada
pengantar, yang hanya terdiri dari empat halaman. Lika-liku politik untuk
mewujudkan kebebasan dan keadilan bagi orang banyak terjadi di tanah Jawa sejak
jaman Erlangga (abad 11) dan keturunannya. Inilah setting sejarahnya.
Tokoh-tokoh yang bermunculan adalah Arok, Dedes, Tunggul Ametung. Tiga tokoh
sentral inilah yang akan dikisahkan lebih lanjut dalam Novel. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Jika nantinya didapati bahwa Novel ini sedemikian rumit, hal
itu memang sudah disebutkan sejak awal oleh penulis. Ia menuliskan demikian:
“Cerita Arok-Dedes terjadi dalam jaman leluhur sudah terbiasa memerintah,
berpolitik, berintrik, biasa menggulingkan dan membangunkan Negara.” (xiii)
Jadi, memang sejak awal dikatakan bahwa novel ini adalah Novel tentang intrik politik
untuk mewujudkan suatu negara atau bangsa yang lebih baik. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Momen
yang menggugah</b> (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">saat
konflik/permasalahan ditampilkan sehingga mengundang minat pembaca. Seringkali
berisi tentang apa yang sudah diantar dalam eksposisi dan merupakan awal dari
komplikasi yang akan terjawab dalam <u>turning point</u></i>)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dibuka dengan penculikan Dedes untuk
dijadikan Prameswari dan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Tumapel,
menggugah minat pembaca untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kisah yang ada.
Sekali lagi memang, kisah tentang Ken Arok sudah menjadi memory historis bagi
orang Indonesia, tetapi cara bertutur dengan adanya konflik penculikan dan
pemberontakan adalah suatu hal yang menarik. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Tokoh Dedes ditampilkan tumbuh dan
bergerak. Berawal dari keadaan berontak, tak berdaya, menerima dan kemudian
bangkit rasa percaya dirinya. Ia kemudian mempunyai rasa percaya diri yang
lebih untuk berani melawan Tunggul Ametung. Diapun berani untuk memegang
kekuasaan yang awalnya merendahkannya. Sebutan sebagai Dewi Kebijaksanaan
adalah symbol kekuasaannya yang menyaingi kekuasaan Tunggul Ametung. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kemunculan Tokoh Arok, juga menjadi
salah satu moment yang menggugah. Apalagi ketika ia dipilih oleh kaum brahmana
untuk menjadi “Garuda” untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.
Kecerdasannya dalam belajar dan mengatur strategi dipandang sebagai bentuk
kecakapannya untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Komplikasi
</b>(<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Narator menyampaikan sejumlah
usaha/tahap penyelesaian konflik lewat adegan, kata-kata dan tindakan tokoh.
Namun, masalah belum selesai sudah muncul masalah baru</i>)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Keputusasaan Tunggul Ametung adalah
satu tahap menuju konflik puncak. Keputusan Tunggul Ametung meminta bantuan
Lohgawe menyebabkan Arok masuk dalam lingkaran istana Tumapel. Arok dimasukan
oleh Lohgawe sebagai prajurit dengan tiga janji yaitu melindungi Tumapel,
melindungi Sang Akuwu, dan melindungi Prameswari. Itu semua dilakukan dengan
strategi pura-pura mengalahkan teman-temannya sendiri. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kekuatan dan kekuasaan Arok semakin
besar. Kejeliaannya dalam melihat situasi politik bumi Tumapel menyebabkan ia
selalu waspada terhadap banyak hal yang terjadi. Di tengah naiknya kekuatan
Arok, kekuasaan dan kondisi fisik Tunggul Ametung malah melemah. Di sini,
sebenarnya kisah bisa berjalan dengan cepat dan sederhana yaitu Arok langsung
merebut kekuasaan. Tetapi, sang pencerita mengambil alur yang lain. Ia
memasukan konspirasi Empu Gandring dan Kebo Ijo dalam konstelasi politik
Tumapel. Kondisi menjadi tambah rumit. Masalah pemberontakan Gandring dan
pembunuhan Kebo Ijo terhadap Kidang Telarung, anak Tunggul Ametung menjadi
masalah baru. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></i><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Titik
Puncak dan Titik Balik</b> /<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><u>Turning
Point</u>puncak komplikasi yang melibatkan emosi dan penalaran karena pada saat
inilah tokoh protagonist mengalami titik puncak (situasi terbaik/terburuk)
dalam menyelesaikan konflik (menang/hancur)</i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sungguh menarik membaca bagaimana
pada akhirnya kekuasaan tergulingkan. Arok meminjam tangan kebo Ijo untuk
menggulingkan Tunggul Ametung. Konspirasi politik di Tumapel memang sangat
pelik. Muncul banyak kepentingan yang ingin berperan di dalamnya. Empu Gandring
sebenarnya adalah otak dibelakang kudeta. Ia mempersiapkan senjata, harta dan
para tamtama untuk menggulingkan kekuasaan. Tetapi, iapun menggunakan Kebo Ijo
untuk melakukannya. Semua konspirasi itu diketahui oleh Arok. Sedangkan dari
Kebo Ijo sendiri merasa bahwa ia mendapatkan dukungan dari Empu Gandring dan
Belakangkang. Iapun melancarkan aksinya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Arok secara sembunyi-sembunyi menyusun
strategi dengan tidak menggunakan perang besar. Ia membiarkan kebo Ijo
membinasakan Tunggul Ametung. Dibalik itu, ia mengerahkan seluruh pasukan untuk
mengepung Tumapel. Puncak dari ketegangan adalah terbunuhnya Tunggul Ametung
yang sudah tidak berdaya oleh tangan Kebo Ijo. Arok sudah siap dengan hal itu.
Ia keluar bersama dengan Dedes, Sang Parameswari, menangkap basah pembunuhan
Tunggul Ametung. Bagi Arok, strategi ini berjalan lancar. Kesewenang-wenangan
Tumapel oleh Tunggul Ametung teratasi. Tetapi, di sisi yang lain orang-orang
yang tidak bersih juga dapat tertangkap. Arok dan Dedes tampil sebagai pemenang
di tengah kerumitan politik Tumapel.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">5.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></i><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Resolusi</b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">(penyelesaian konflik tetapi belum tuntas
yang ditandai dengan perubahan ke situasi yang berlawanan dengan situasi
sebelumnya)</i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Yang menarik adalah bahwa
terbunuhnya Tunggul Ametung tidak langsung berakhirnya kisah. Ada sidang besar
untuk orang-orang yang haus kekuasaan. Pengadilan itu ditujukan untuk Kebo Ijo,
Empu Gandring dan Belakangkang. Kebo ijo akhirnya diberi hukuman mati karena
kesalahan-kesalahannya. Demikian juga untuk Empu Gandring. Belakangkang yang
paling lama diceritakan dalam sidang. Argumentasi bahwa ia wakil Kediri sungguh
kuat. Tetapi, pada akhirnya Belakangkang dijatuhi hukuman disingkirkan dari
Tumapel. (538-539)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Akhir dari kisah adalah diangkatnya Arok sebagai Akuwu
Tumapel. Lohgawe tampil sebagai pemimpin agama yang merestui dan menobatkan
Arok sebagai Akuwu Tumapel. Dengan demikian berakhirlah perbudakan dan juga
keganasan klan Tunggul Ametung. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">6.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Kesimpulan</b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">(hasil akhir/kelanjutan dari resolusi yang
berisi pengisahan akhir nasib tokoh, pesan/ajaran moral, dan aplikasi dunia
narasi ke dunia pembaca. Kadang ditampilkan dalam bentuk refleksi narrator)</i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Kata-kata akhir dari Arok menunjukkan pesan moral dari Novel
itu. Sekali lagi terlihat jelas Novel ini tentang pergulatan politik dan kekuasaan
untuk mewujudkan suatu negara atau bangsa. Pesan moral ada tiga yang muncul:<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, berkaitan dengan moral
masyarakat. Arok mengatakan: “Jangan ada seorang pun yang merampok, mencuri,
merampas, menganiaya, memperkosa…”.<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>,
berkaitan dengan kerukunan antara pemeluk kepercayaan yang berbeda. Ia
mengatakan: “…Baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan
bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa…”. Hal ini, sangat terlihat
bahwa peran yang membantu Arok berasal dari berbagai golongan. Mereka bersatu
padu untuk mewujudkan mimpi mereka. Dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ketiga</i>,
“Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah dewa, tapi
dharma pada sesamanya.” Ketiga hal ini menjadi pesan moral yang relevan untuk
saat ini. Moral pribadi seseorang harus benar-benar diperhatikan. Masalah
radikalisme agama di Indonesia akhir-akhir ini, dijawab oleh Novel Arok Dedes
ini dengan pesan untuk kerukunan antar umat beragama. Dan ritualisme dijawab
dengan tindakan membantu sesama. Kesemuanya itu diperlihatkan dari sosok
pemimpin yang baik seperti Arok. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">C.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 14.0pt;">Arena
Kekuasaan dalam Novel Arok Dedes</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Analisa yang lain yang akan kami
lakukan untuk membedah Novel Arok Dedes adalah dengan menggunakan pemikiran
Pierre Bourdieu. Ada dua hal yang ingin saya soroti: Arena dan Kapital. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Arena</b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Konsep arena yang dipahami sebagai
tempat bertarungnya kekuasaan menjadi sangat jelas dalam Novel ini ketika semua
pihak di letakkan dalam satu bagan (lihat lampiran 1). <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, perlu dilihat bahwa dalam keseluruhan Novel latar tempat
yang terjadi adalah di Tumapel. Kediri hanyalah disinggung sepintas. Memang
sempat ada kunjungan Tunggul Ametung ke Kediri (229) untuk <a href="https://www.blogger.com/null" name="_GoBack">menghadap
Sri Kertajaya, tetapi hal itu hanya disinggung sepintas untuk memperlihatkan
dominasi </a>kekuasaan. Perselisihan sepenuhnya berada di wilayah Tumapel. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, permainan arena yang ada terlihat
di bidang politik antara Arok dan Tunggul Ametung, Arok dan lawan-lawan
politiknya yang berada di bawah Tunggul Ametung. Kedua, masih terlihat bahwa
arena pertarungan masih memperlihatkan adanya kasta. Pertarungan yang terjadi
adalah pertarungan antara dua kasta besar yaitu Brahmana dan Ksatria/Bangsawan.
Lohgawe adalah symbol kekuasaan Brahmana dan Tunggul Ametung adalah simbul
kekuasaan bangsawan. Arok sendiri bermain dikeduanya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Kapital</b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Sangat jelas terlihat bahwa Arok
mempunyai Kapital Politik, Budaya dan Simbolik (Agama). Sedangkan lawan-lawannya
yang lain mempunyai kapital politik dan ekonomi. Terlihat bahwa kapital simbolik
(agama) sungguh sangat kentara. Ada permainan agama di sana. Antara Brahmana
yang memuja Syiwa dan para bangsawan/ksatria yang memuja Wisnu. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Tunggul Ametung sebagai seseorang
yang memuja Wisnu hanya mempunyai sedikit kapital. Kapital simbolik sebagai
penguasa sungguh sangat kentara. Kekuasaannya dilandasi oleh rasa ketakutan,
penindasan dan perbudakan. Ini menjadi kelemahan yang ada. Hal ini sangat
berbeda dengan Arok. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Arok sendiri mengatakan ada 4 kunci kekuasaan: teman dan
kesetiaan, harta dan tentara. Dengan bahasa Bourdieu, Arok memiliki kapital
sosial yang tinggi, kapital politik dan juga kapital ekonomi. <u>Kapital Sosial</u>,
ia dapat dari teman-temannya yang setiap kepadanya. Tetapi, bukan hanya itu di
hadapan para guru dan brahmana, ia bisa menyesuaikan diri dengan elegan. Ia tak
tampak menguasai. Tapi mampu menggunakan kecerdasannya untuk memikat para
brahmana. Di hadapan lawan politiknyapun, ia tidak bertindak gegabah. <u>Kapital
ekonomi</u> adalah harta yang dia rampok dari Tumapel. Ada satu hal yang tak
bisa ditinggalkan, Arok memiliki <u>kapital budaya</u>(pengetahuan).
Keinginannya untuk selalu belajar menjadikan ia sosok yang cerdas.
Kecerdasannya nampak dalam analisa politik di Tumapel dan strategi untuk
mencapai kemenangan. Kecerdasarannya juga nampak dalam penguasaannya atas
Sansekerta sebagai bahasa yang hanya bisa digunakan oleh Kaum Brahmana. Dengan
demikian, Arok mempunyai kapital yang lebih banyak dari pada Tunggul Ametung. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l2 level1 lfo3; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="mso-bidi-font-family: Cambria; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: Cambria; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Kesimpulan
Akhir</b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;">
Dari analisis kekuasan dari Bourdieu ini, ada dua hal menarik
yang saya dapatkan:<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, di dalam
Novel Arok Dedes, kapital yang paling dominan adalah kapital budaya, dalam arti
khusus pengetahuan. Kecerdasan Arok dan keingannya untuk terus belajar
menjadikan ia mampu pula mempunyai relasi yang cukup banyak tetapi ia juga
mempunyai kemampuan memimpin. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>,
kelahirannya sebagai seorang sudra adalah suatu keuntungan. Didalam diri Arok
melebur Syiwa dan Wisnu. Di dalam dirinya ada kesatuan sudra, ksatria dan
brahmana. Dalam dirinya ada rakyat jelata dan sang pemimpin yang menjadi satu. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-76559757390577581482014-03-10T10:21:00.002+07:002014-03-12T12:24:06.704+07:00 Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]-->
<div class="MsoNormal">
<span lang="IN"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;"><span style="mso-tab-count: 4;"> </span><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span></b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Oleh
:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;"> Felomena
Sunarti/136322005</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: 0in;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Pendahuluan
</span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Termak</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">s</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">ud definisi tentang
Indo yang ada di Indonesia maupun yang ada di negara Belanda, dimana para Indo
mencari posisi mereka di Indonesia maupun di Belanda agar diakui oleh kedua
Negara yang mereka tempati nantinya. Dimana perempuan yang hidup dengan
laki-laki Eropa selama masa penjajahan Belanda dan dengan demikian juga
merupakan ibu dari para Indo. Saya hanya bisa berharap bahwa akan ada sedikit perhatian
terhadap para perempuan yang selalu dikebelakangkan dan dilupakan, baik di
Belanda maupun di Indonesia, kebanyakan keluarga Indo bahkan melupakannya.
Padahal, perempuan Indonesia ini, sang nyai, merupakan nenek moyang mereka. </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Para perempuan memberikan pemahaman kepada
kita mengenai pola hubungan pada zaman kolonial, dalam proses kemunculan para
Indo dan posisi perempuan Indonesia (dan ketidakadilan yang diterimanya). Ini
adalah nasib menyedihkan yang dialami banyak perempuan pribumi, pada waktu itu,
para nyai, gundik laki-laki Eropa. Kenyataan bahwa hal tersebut merupakan
pengalaman traumatis bagi ibu dan anak terlihat dari sikap ayah yang tidak
pernah mau atau bisa membicarakan ibunya.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Alasan
orang Eropa menikahi perempuan Asia terutama perempuan di Indonesia karena
menganggap bahwa perempuan pribumi berkelakuan baik dan perempuan pribumi lebih
menguntungkan dari perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan
Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran
membuat para perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka
pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa. Disamping itu,
perempuan pribumi tidak terlalu serakah dibandingkan perempuan Eropa.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Para laki-laki Eropa memiliki ikatan yang
lemah dengan anak-anak dari perempuan pribumi. Demikian sebaliknya, kebanyakan
dari anak-anak ini tidak pernah merasa sebagai anak Eropa, seperti yang telah
diketahui bahwa banyak dari mereka yang ditelantarkan sejak masa remajanya. </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Citra
bahwa orang Eropa memiliki anak-anak yang dilahirkan dari gundik perempuan
pribumi sebetulnya sangat negatif. Dalam tulisan-tulisan pada waktu itu para
gundik sering dijuluki “perempuan-perempuan hitam” yang berkelakuan seperti
“ternak yang bersyahwat”. Para gundik, menurut banyak orang Eropa, sangat aktif
perihal seks. Mereka juga menikmatinya, bahkan melacurkan diri mereka, tidak
perlu menerima uang tapi malah memberi uang.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn1" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></span></a> </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Selanjutnya
mereka malas ( kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan
“ dan karena kebenciannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain,”
demikian tulis Jan Pieterszoon Coen dalam surat pada 11 Desember 1620.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn2" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span></span></span></a>
Citra anak-anak yang lahir dari pengundikan juga tidak positif. Orang Eropa
umumnya berpendapat bahwa percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat trburuk dari
kedua ras tersebut hingga selalu menghasilkan karakter yang lemah. Selai itu,
menurut saksi mata Eropa sikap pribumi mereka jauh lebih dominan dari pada
sikap Eropa. Hal ini didasari oleh kenyataan mudah dan seringnya mereka jongkik
berlama-lama serta sulitnya mereka bergerak ketika mengenakan pakaina Eropa. </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: 0in;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Sejarah
kemunculan kaum Indo</span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Semua keanggunan yang
bersifat Belanda kuno, sikap kolot dan kaku serta prasangka-prasangka yang didapat
dari ibu mereka, tampak di dalam diri makhluk yang lahir ke dunia tanpa diberi
izin terlebih dahulu oleh pegawai catatan sipil<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn3" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Kekhawatiran
terhadap hubungan seksual antara-ras merupakan ciri khas masyarakat kolonial di
Hindia Belanda. Bukan kekhawatiran terhadap kenyataan mengenai adanya hubungan
ini dan kemudian akan lahir anak-anak dari hubungan tersebut, melainkan
ketakutan bahwa anak-anak ini dapat membahayakan ketertiban kolonial. Karena
hal tersebut, seiring berjalannya waktu, dilakukan upaya dengan intensitas yang
berbeda demi mengendalikan yang disebut sebagai “bahaya pengrusakan”.
Sehubungan dengan membesarnya bayangan atas bahaya pengrusakan supremasi
kolonial, hubungan seksual anatara-ras kian ditolak keras.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Hal
ini memberikan berbagai konsekuensi baik bagi orang-orang Eropa di Hindia
Belanda yang hidup dalam pergundikan maupun nyai pribumi mereka. Namun
konsekuensi terbesar barangkali dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari
hubungan semacam itu. Dapat kita katakan , nyai adalah nenek moyang orang-orang
Indo-Eropa. Bisa juga disebut “Hajar, ibu dan Ismail”, seperti yang pernah
disebut seorang penulis Indies.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn4" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Pengundikan
bukan sebuah gejala (kaum) marjinal. Menurut perkiraan terdapat lebih dari
setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama
seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19. Jika tidak
terjalin hubungan pergundikan (lagi), maka hal itu lebih<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>disebabkan oleh sifat lain atau situasi
keuangan laki-laki yang bersangkutan yang sangat buruk. Tentu saja hal itu
tidak disebabkan oleh norma-norma moral yang menahan diri mereka ( untuk tidak
melakukannya). Demikianlah yang dapat dibaca dari sebuah ungkapan lisan dari
tahun 1903<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn5" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Jika
ia tidak menemukan nyai yang sesuai diantara para pekerja rumah tangganya, sang
laki-laki memberi perintah dengan jelas kepada salah seorang pembantunya
(diutamakan yang laki-laki) agar mencarikan seorang gundik.” Setiap orang
indies tau apa arti perintah’tjari parempoewan”, tulis seorang wartawan dan
penulis, Hendri Borel, dalam salah satu artikelnya mengenai pergundikan<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn6" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: 0in;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Posisionalitas
kaum Indo</span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Sebagian
kecil anak-anak tersebut dilahirkan dari lapisan atas masyarakat kolonial. Ayah
mereka merupakan seorang pengusaha sukses, pejabat tinggi atau orang yang
memiliki pekerjaan penting. Lagi pula sang ayah memperhatikan dan memberikan
namanya kepada anak-anaknya. Ia hidup bersama nyai (yang kadang-kadang telah
dinikahinya) dan anak-anaknya layaknya sebuah keluarga Eropa. Anak-anak ini,
seperti halnya pada masa VOC, dikirim pada usia muda ( biasanya empat atau lima
tahun) ke Belanda untuk mengenyam pendidikan Eropa. Dengan membayar, mereka pun
di titipkan kepada salah satu anggota keluarga sang ayah atau tinggal dengan
keluarga yang mendapat penghasilan tambahan dengan menampung anak-anak dari
Hindia Belanda. Di dalam harian-harian Indies kerap ditemukan iklan seperti
yang dimuat di dalam suratkabar Semarang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">De
Locomotief</i> di bawah ini: </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 25.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 11.25pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seorang
wanita berbudaya (janda perwira) di Den Haag bersama seorang putri berumur sembilan
tahun, bersedia diberikan tanggungjawab untuk memelihara dan mendidik satu atau
dua anak perempuan yang kira-kira sebaya. Diharapkan untuk berbicara bahsa
Prancis dengan anak-anak di rumah, persyaratan-persyaratan yang rasional<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn7" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Di dalam edisi lain dimuat iklam
sebagai berikut:</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebuah keluarga
terhormat Belanda (Utrecht) bersedia menerima seorang atau lebih anak-anak
Indies dengan uang sewa. Pendidikan dan pelajaran akan diawasi dengan baik<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn8" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span></span></span></a> .</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Yang
juga merupakan fenomena khas kolonial adalah sosok <i style="mso-bidi-font-style: normal;">gouvernante</i><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Eropa. Para
ayah hidup atau pernah hidup dalam pengundikan dan tidak mengirim anak-anak (
Indo-Eropa) mereka ke negara asalnya, lebih sering mencari guru privat Eropa.
Dengan memperhitungkan kecilnya kesempatan para Indo-Eropa untuk menanjak di
tengah masyarakat, sang guru harus mendidik anak-anak tersebut. Yang terpenting
adalah anak-anak harus belajar bahasa Belanda yang baik, sebuah simbol yang
dapat didengar dari mereka yang berasal dari Eropa. Perekrutan gouvenante
dilakukan terutama lewat koran di Hindia Belanda atau Belanda. Dengan melihat
iklan-iklan tersebut diperoleh sebuah kilasan menarik mengenai masyarakat pada
waktu itu:</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dicari
seorang guru perempuan untuk daerah pendalaman, murni berbahasa Belanda, hanya
yang bersedia tinggal serumah dengan seorang ibu pribumi yang akan diterima.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn9" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Atau yang dibuat oleh
seorang pegawai Eropa di sebuah pabrik gula di Jawa Tengahini”</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dibutuhkan seorang gouvernante untuk tiga orang anak.
Persyaratan: sertifikat pendidikan dasar (Lager Onderwijs) dan bahasa Prancis
dasar. Gaji 75 gulden dan semua gratis.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn10" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Jika seseorang memiliki anak-anak
dan tinggal di luar Jawa maka sangat dibutuhkan seseorang gouvernante Eropa
karena ketiadaan sekolah Eropa di daerah tersebut. Hal itulah yang dialami oleh
para pengusaha perkebunan di Deli:</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dibutuhkan: secepat mungkin seorang guru Eropa untuk
seorang anak perempuan berusia empat tahun di sebuah keluarga di Deli. Syarat:
geratis penyeberangan dari Jawa ke Deli dan setelah dua tahun juga kembali
lagi. Gaji dirundingkan kemudian.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn11" name="_ftnref11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span></span></span></a> </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Kadang-kadang juga
terdapat iklan-iklan pernikahan yang terselubung seperti dibawah ini. Dari sini
masih terlihat bayangan nyai yang telah diusir:</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 35.45pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seorang laki-laki
lajang bertempat tinggal di luar Jawa mencari seorang wanita Eropa berbudaya
untuk mendidik putrinya yang berumur empat tahun dan juga mengurus rumah
tangga.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn12" name="_ftnref12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span></span></span></a></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">
</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-indent: 0in;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">a.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Waktu
penjajahan Belanda</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Pada 1842, keadaan diperburuk oleh
peraturan yang disebut <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Delftse
Prerogatief</i><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>(hak prerogatif Delft).
Peraturan ini menentukan bahwa tidak seorangpun di Hindia Belanda dapat
menduduki jabatan lebih tinggi tanpa melakukan ujian pegawai di Akademi Delft.
Akademi yang didirikan pada 1842 ini merupakan tempat pendidikan bagi para pegawai
pemerintah yang akan ditempatkan di Hindia Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini
merupakan jaminan bahwa kedudukan yang lebih baik di dalam koloni telah
disediakan bagi “ orang-orang Eropa yang didatangkan”. Sementara itu,
konsekuensi langsung dari hal tersebut ditunjukan bagi mereka yang lahir dan
besar di dalam koloni. Salah satu keturunan keluarga pengusaha perkebunan Eropa
yang terkenal di Jawa menulis”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 45.75pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hindianisasi
cabang keluarga A dan B telah mengakibatkan kemunduran di dalam tatanan
kemasyarakatan. Anak-anak tinggal di Hindia Belanda dan karena itu hanya
bersekolah di sana. Itu berarti mereka hanya akan memperoleh pekerjaan
berpendapatan rendah di pasar tenaga kerja karena pekerjaan-pekerjaan tinggi
(di pemerintahan) tetap disediakan bagi yang mengenyam pendidikan di Belanda
dan/ atau memiliki Radikaal.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn13" name="_ftnref13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span></span></span></a></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Beberapa
tahun kemudian, pada 1727, VOC terhambat oleh kekurangan yang besar akan jumlah
pegawai. Kemudian menyusun dikeluarkannya sebuah ketentuan yang menetapkan
bahwa para pedagang kecil ( Eropa)yang ada dan tidak memiliki kedudukan
secepatnya mungkin harus diterima bekerja dan dengan berbagai cara harus lebih
diutamakan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>di atas “anak-anak Indies”.
Anak-anak Indies hanya boleh diterima bekerja dalam keadaan darurat dan jika
terjadi kekurangan tenaga ahli lainnya. Selain itu juga terdapat larangan untuk
memperkerjakan pemuda-pemuda Indies yang pernah menjadi pegawai pemerintah atau
pegawai administrasi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn14" name="_ftnref14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span></span></span></a><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Adanya
Ras, Kelas dan kolonialisme terdapat dua kecenderungan luas dalam analisis atas
ras dan etnisitas: yang pertama, yang berasal dari analisis Marxsis, bisa
disebut “ekonomis” karena memandang kelompok-kelompok sosial, termaksud
pengelompokan-pengelompokan rasial, itu terutama ditentukan dan dijelaskan oleh
srtuktur-struktur dan proses-proses ekonomis<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn15" name="_ftnref15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span></span></span></a>
oleh tenaga kerja rakyat jajahan. Pendekatan kedua, yang disebut “sosiologis”,
dan sebagian berasal dari karya Marx Weber, mengatakan bahwa
penjelasan-penjelasan ekonomis tidak cukup untuk memahami segi-segi rasial dari
masyarakat-masyarakat terjajah. Sedangkan pendekatan pertama cenderung
fungsionalis dalam pemahaman atas ras, yang kedua cenderung mengabaikan
masalah-masalah ekonomis dan sering deskriptif bukanya analitis.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Tentu
saja tidak boleh menyederhanakan pendekatan-pendekatan ini menjadi
bagian-bagian yang tidak saling memengaruhi, karena masing-masing melibatkan
pendebatan-pendebatan yang kompleks dan bernuansa, tetapi secara keseluruhan,
pendekatan yang pertama mengutamakan kelas, dan yang terakhir mengutamakan ras
dalam memahami formasi-formasi sosial kolonial.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Marxsisime
“klasik” mengatakan bahawa efisiensi kapitalis telah menggantikan perbudakan
dan bentuk-bentuk pemaksaan yang kasar dengan pasar pekerja “bebas” dalam mana
paksaan diterapkan melalui tekanan ekonomi. Tetapi dibawah kolonialisme,
menurut Rex, aspek-aspek pengendalian yang katanya sudah kuno ini masih
berlanjut, bukan sebagai sisa-sisa dari masa lalu melainkan sebagai aspek
integral dari masa kini kapitalis. Ras dan rasisme adalah basis bagi pekerja
tidak bebas untuk dipaksa bekerja untuk kolonialis.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Aime
Cesaire mengutip Ernst Renan mengenai point: </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif";">Alam telah menciptakan suatu ras
pekerja, ras Cina, yang memiliki keterampilan manual yang menakjubkan dan
hampir tidak memiliki kehormatan; perintalah mereka dengan keadilan, pajakilah
mereka, sebagai imbalan atas kesejahteraan dari pemerintah, sebuah imbalan yang
cukup besar bagi ras penakluk, dan mereka akan puas; suatu ras petani, bangsa
Negro..; suatu ras tuan dan tentara, ras Eropa. Jadikalah ras ini bekerja di
sawah seperti orang Negro dan Cina, dan mereka akan berontak.. Tetapi kehidupan
yang diberontaki oleh para pekerja kita akan membuat orang Cina atau Arab
bahagia, karena sama sekali mereka bukan insan militer, Biarlaj mereka
masing-masing mengerjakan yang ditakdirkan baginya, dan semuanya akan baik-baik
saja. (1972:16)</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Ideologi
superioritas ras dengan mudah bisa diterjemahkan ke dalam kerangka kelas.
Superioritas ras-ras putih, demikian kata seorang kolonis, jelas menyiratkan
bahwa “ orang-orang hitam harus selamanya menjadi pekerja murah dan
budak”.kelompok-kelompok orang-orang tertentu, dengan demikian secara rasial
ditetapkan sebagai kelas pekerja alami. Masalahnya kini adalah bagaimana
mengorganisasikan dunia sosial sesuai dengan keyakinan ini, atau memaksa “populasi
ke dalam posisi kelas” alaminya dengan perkataan lain, realitas harus
disesuaikan dengan gambaran itu untuk menjamin sasaran material dari produksi”
(Miles 1989:105).</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-indent: 0in;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">b.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Masa
awal Indonesia merdeka</span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Didalam
Bukunya Leela Gandhi mengenai Teori Poskolonial ada kutipan dari Albert Memmi,
mengatakan bahwa dampak kolonial secara fundamental terpedaya dalam harapannya
bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara ajaib dari reruntuhan
fisik kolonialisme. Memmi menambahkan subjek-subjek yang jaya dalam dampak ini
secara tak terhindarkan menganggap remeh keyakinan yang kuat secara psikologis
terhadap masa lalu yang kolonial di atas masa kini yang poskolonial. Dalam
ungkapannya “Dan pada hari penindasan berhenti, manusia baru diduga akan muncul
di hadapan mata kita secara langsung. Saat ini, saya tidak suka mengatkan
begitu, tetapi saya harus mengatakannya, karena dekolonisasi telah
menunjukkanya : ini bukanlah persoalan cara terjadinya. Kehidupan terjajah
untuk waktu yang lama sebelum kita melihat bahwa benar-benar ada manusia baru”
( Memmi,1968; hlm.88).</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Pesimisme
politik Memmi memberikan sebuah catatan tentang poskolonialitas sebagai suatu
kondisi historis yang ditandai oleh aparat kebebasan yang tak tampak dan
presisitensi ketidakbebasan yang tersembunyi. Lamanya penentangan dari sisi
terjajah sebagian ditumbuhkan oleh hierarki kolonial yang selalu ada tentang
pengetahuan nilai yang memaksakan apa yang disebut Edward Said sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“dreadful secondariness”</i> (Said,1989;hlm.207)
dari masyarakat dan budaya tertentu. Demikian juga kosmetik kemerdekaan
nasional menyamarkan kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang dibebankan oleh
penduduk kolonial. Penjajah,sebagaimana dikatakan oleh Said, merupakan takdir
abadi, suatu hasil yang sungguh-sungguh aneh dan tidak adil. (1989;hlm.207).<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Setelah kemerdekaan, sebuah periode
kekacauan dan kelumpuhan (sosial) pun kembali dimulai. Muncul sebuah situasi
baru di Hindia Belanda yang dapat dilihat dari perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal ini lantas memberikan dampak-dampak fatal kepada
keluarga-keluarga campuran di Hindia Belanda. Asal usul keturunan yang berbeda
kembali memainkan peran yang menentukan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Para perempuan Indonesia yang ikut
menyeberang kemudian pergi ke Belanda sebelum dan terutama setelah pemindahan
kekuasaan pada 1949. Mereka mengikuti suami serta anak-anak Eropa mereka dan
berangkat ke Eropa ayang asing. Dengan demikian, sejak akhir tahun 1940-an
sudah ada banyak nyai di tengah masyarakat Belanda. “ saya masih mengenali
mereka dan masih ada cukup banyak yang tinggal di Belanda, dalam beberapa kasus
tanpa kamu sadari mereka juga merupakan kenalanmu,” tulis Tjalie Robinson di
sebuah surat kepada Rob Nieuwenhuys pada 1971.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftn16" name="_ftnref16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span></span></span></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Kita telah mempertimbangkan
implikasi-implikasi dari sebuah penjajaran teoretis antara gejala-gejala
merugikan dari “masa lalu kolonial” dan “ masa kini poskolonial”. Penting juga
, seperti ditulis Gyan Prakash, “ untuk mengakui sepenuhnya sejarah tentang
agensi dan pengetahuan lain yang hidup dalam berat beban masa lalu kolonial”
(Prakash 1995, hlm.5). tugas “pengakuan penuh” ini menyaratkan bahwa
undang-undang resistensi antikolonial tidak hanya dianggap sebagai hal yang
bisa diteorikan, seperti yang diungkapkan Prakash, tetapi diperlakukan sperti
peristiwa-peristiwa teoritis yang sepenuhnya komprehensif dan sepenuhnya
dikonseptualisasikan sesuai dengan hak mereka sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Dalam ungkapan Fanon kolonialisme menginginkan
segala hal yang berasal darinya. Namun, ciri psikologis yang dominan dari si
terjajah harus ditarik sebelum dilakukannya invitasi dari si penakluk ( Fanon
1965, hlm.63). Sedangkan ungkapan Gandhi kita telah membawa inggris dan
menjaganyaaa. Mengapa kamu lupa bahwa penerimaan kita atas peradaban mereka
membuat kehadiran mereka di India menjadi sangat mungkin? Kebencianmu pada
mereka harus dialihkan pada kebencian terhadap peradaban mereka ( Gandhi 1938,
hlm. 66).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; text-align: justify; text-indent: 28.9pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Alih-alih
melihat dirinya sebagai, atau dalam cerita sang tuan, kini sang budak dipaksa
untuk melihat dirinya di samping sang tuan. Ia dipaksa, meminjam ungkapan
Bhabha, memimpikan citra manusia paska-pencerahan yang ditambatkan pada, tidak
dikonfrontasikan oleh, refleksi gelapnya, bayangan manusia terjajah, yang
memecah kehadirannya, mendistorsi kerangka berpikirnya, menerobos batas-batasnya..
menggangu dan mendistorsi saat dari wujudnya yang sesungguhnya ( Bhabha 1994,
hlm.44). <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: 0in;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="mso-list: Ignore;">4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Penutup</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Melihat
definisi dan sejarah anak-anak Indo di Indonesia maupun di Belanda dari zaman
penjajahan serta awal Indonesia merdeka. Memang posisionalitan Indo-Eropa
selalu saja bahan pembicaraan dari zaman<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>Indonesia dijajah oleh Belanda Serta sampai pada jajahan Jepang.
Identitas mereka selalu diragukan dan sulit untuk diterima di Indonesia maupun
di negara ayah mereka di Belanda. Karena mengaggap anak Indo-Eropa bodoh dan
tolol yang sulit untuk menempatkan posisi mereka dimana.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Serta
penjelasan mengenai ras, kelas dan kolonialisme yang diungkapkan oleh Ania
Loomba, bagaimana pandangan orang Eropa terhadap warna kulit orang Indonesia
yang berkulit hitam dan sawo matang dibandingkan warna kulit orang Eropa yang
identik dengan kulit putih. Dampak kolonial, serta mengenang poskolonialisme,
dan pemulihan budak yang dikutip oleh Leela Gandhi. Analisis ini ingin
mempertegaskan posisionalitas Indo dalam pascakolonial.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Serta
hukum-hukum yang dibuat Belanda terhadap kaum Indo</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Daftar
Pustaka</span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Baay,
Reggie.”Beelden van Een Oermoeder.Visies op De Njai in De Indisch Nederlandsch
Literatuur”. Dalam Michiel van Kempen, Piet Verkruijsse dan Adrienne Zuiderweg
(ed). 2004. Wandelaar onder De Palmen. Opstellen over Koloniale en
Postkoloniale Literatuur en Cultuur, hlm.99-111. Leiden. </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Paasman,
Bert.”De Indisch-Nederlandes Literatuur uit de VOC tijd”. Dalam Theo D’haen
(ed).2002. Europa Buitengaats. Koloniale en Poskoloniale Literaturen in
Europese Talen,hlm.33-97. Amsterdam </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Chijs
van der, J.A.(ed). 1885-1900. Nederlandsch –Indisch Plakaatboek 1602-1811.16
jilid dan indeks. S-Gravenhage.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Nieuwenhuys,
Rob.1982. Komen en Blijven. Amsterdam </span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Ming,
Hanneke. 1983.” Barracks- Concubinage in The Indies,1887-1920”. Indonesia,
No.35,hlm. 65-93. Cornel Southeast Asia Program.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 49.65pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%;">Creusesol
dan Hendri Borel. 1913. Een Werkkring in Indie.Pro en Contra. Betreffende
Vraagstukken van Algemeen Belang. Baarn.<span style="mso-spacerun: yes;">
</span></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-left: 7.1pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div style="mso-element: footnote-list;">
<br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref1" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Paasman menunjukan bahwa hal ini digambarkan terutama di dalam
lagu-lagu pada waktu itu. Dalam: D’haen, Europa buitengaats,65</span></div>
</div>
<div id="ftn2" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref2" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Van der Chijs, Nederlandsch Indisch Plakaatboek 1602-1811.Jilid 1,82</span></div>
</div>
<div id="ftn3" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref3" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Foore, Indische Huwelijken,116</span></div>
</div>
<div id="ftn4" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref4" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Nieuwenhuys, Komen en Blijven,90</span></div>
</div>
<div id="ftn5" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref5" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Dikutip dalam: Ming,”Concubinage in The Indies”,70. Pernyataan lisan
pada 29 Desember 1903.13 Kementerian Penjajahan.</span></div>
</div>
<div id="ftn6" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref6" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Crusesol dan Borel, Een Werkkring in Indie,27</span></div>
</div>
<div id="ftn7" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref7" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> De Locomotief, 5 Juli 1902</span></div>
</div>
<div id="ftn8" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref8" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Idem, 12 Agustus 1902 </span></div>
</div>
<div id="ftn9" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref9" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Idem,8 September 1904</span></div>
</div>
<div id="ftn10" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref10" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Idem, 18 Juli 1902</span></div>
</div>
<div id="ftn11" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref11" name="_ftn11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Idem,21 Juli 1902</span></div>
</div>
<div id="ftn12" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref12" name="_ftn12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Idem,8 Oktober 1902</span></div>
</div>
<div id="ftn13" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref13" name="_ftn13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Van Motman, De Familie Van Motman 1600-2006,65</span></div>
</div>
<div id="ftn14" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref14" name="_ftn14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Van Rees, Het Pauperisme onder De European in Nederlandsch Indie,
Bagian pertama,3</span></div>
</div>
<div id="ftn15" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref15" name="_ftn15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Marx,K 1961.capital </span></div>
</div>
<div id="ftn16" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064717392298801862#_ftnref16" name="_ftn16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Surat Tjalia Robinson kepada Rob Nieuwenhuys, 25 April 1971</span></div>
</div>
</div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-ansi-language:IN;}
</style>
<![endif]-->#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7064717392298801862.post-34646424698566819542014-03-10T09:05:00.003+07:002014-03-12T12:25:04.585+07:00(RoutledgeCurzon--IIAS Asian Studies Series) HINDUISM IN MODERN INDONESIA A minority religion between local, national, and global interests<p style=" margin: 12px auto 6px auto; font-family: Helvetica,Arial,Sans-serif; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 14px; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; -x-system-font: none; display: block;"> <a title="View (RoutledgeCurzon--IIAS Asian Studies Series) Martin Ramstedt-Hinduism in Modern Indonesia_ a Minority Religion Between Local, National, And Global Interests. 'Hinduism' in Modern Indonesia_ a Minority on Scribd" href="http://www.scribd.com/doc/211539346/RoutledgeCurzon-IIAS-Asian-Studies-Series-Martin-Ramstedt-Hinduism-in-Modern-Indonesia-a-Minority-Religion-Between-Local-National-And-Global-Int" style="text-decoration: underline;" >(RoutledgeCurzon--IIAS Asian Studies Series) Martin Ramstedt-Hinduism in Modern Indonesia_ a Minority Relig...</a> by <a title="View irbusd2013's profile on Scribd" href="http://www.scribd.com/irbusd2013" style="text-decoration: underline;" >irbusd2013</a></p><iframe class="scribd_iframe_embed" src="//www.scribd.com/embeds/211539346/content?start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-fzbyyq8wj1xhqf3a6uj&show_recommendations=true" data-auto-height="true" data-aspect-ratio="0.666666666666667" scrolling="no" id="doc_69219" width="null" height="null" frameborder="0"></iframe><script type="text/javascript">(function() { var scribd = document.createElement("script"); scribd.type = "text/javascript"; scribd.async = true; scribd.src = "//www.scribd.com/javascripts/embed_code/inject.js"; var s = document.getElementsByTagName("script")[0]; s.parentNode.insertBefore(scribd, s); })();</script>#aliansiBONOBOhttp://www.blogger.com/profile/17299958257366463674noreply@blogger.com0