see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Rabu, 06 Mei 2015

MITOS KESEJAHTERAAN, Logika Kapitalis dan Negara, dalam Menundukan Rakyat

MITOS KESEJAHTERAAN
Logika Kapitalis dan Negara, dalam Menundukan Rakyat
(Catatan Diskusi Film Samin vs Semen)
Yogyakarta,  6 Mei 2015

Oleh:
Rahmat R. Wali

Alasan mereka (perusahaan) kesejahteraan.
Tapi ketika saya menanyakan ke mereka,
kesejahteraan yang bagaimana?
Yang pabrik semen berikan ke kami.
Sedangkan kami saat ini sudah sejahtera 
dengan pertanian.”
(Testimoni Joko Priatno Petani Rembang)


Kutipan di atas saya ambil dalam film, sengaja menjadikannya sebagai kalimat pembuka dalam tulisan ini. Sebab kalimat di atas sangat berhubungan dengan pola, cara lama dalam bentuk bahasa yang dipakai oleh pemerintah(negara), dan pemilik modal(kapitalis) untuk membujuk masyarakat agar lahan(tanah) beserta isinya dijual ke pemilik modal. Sebab kata kesejahteraan mempunyai daya tarik tersendiri dalam benak masyarakat. Siapa yang tidak mau sejahtera? Mungkin yang muncul paling pertama dalam benak masyarakat yaitu sejahtera dalam bentuk ekonomi. Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah 1). Tingkat pendapatan keluarga; 2) Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3)    Tingkat pendidikan keluarga; 4)    Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5)    Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.

Sedangkan menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan: 1)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya; 2)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya; 3)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; 4)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya. Akan tetapi, mungkinkah masyarakat bisa sejahteraan dengan ada tambang?  Kesejahteraan macam apa yang dimaksud oleh perusahaan? Ataukah kata kesejahteraan itu hanyalah kamuflase dalam mengelabui rakyat? Saya tidak tahu pengalaman kalian seperti apa, tapi dari sekian pengalaman saya, yang hidup keluar masuk di wilayah masyarakat tambang dan membaca hasil laporan penelitian, laporan pendampingan masyarakat saya belum menemukan dimana ada tambang beroperasi disitu masyarakat sejahtera.

Film Samin vs Semen, secara pribadi sangat menarik karena film itu menyuguhkan sebuah lanskap perampasan sumber penghidupan masyarakat Samin di Rembang, yang sebelumnya terjadi di Pati oleh PT. Sahabat Mulia Sakti (PT. SMS) anak perusahaan PT. Indocement Tunggal Perkasa tapi kemudian digagalkan oleh masyarakat dan aliansinya Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Dari film tersebut, saya membaginya menjadi 3 bagian; pertama, pegunungan kendeng dengan bentangan yang luas, kemudian sawah rakyat yang luas. Kedua, masyarakat Pati yang juga menolak perusahaan tambang Semen, dan perlawanan masyarakat Rembang terhadap PT. Semen Indonesia yang telah mengeksploitasi kars yang ada di pegunungan tersebut. Ketiga, pabrik semen di Surabaya yang telah berjalan dan sementara beroperasi, dan sejumlah testimoni oleh warga yang menjual lahan mereka dan dijanjikan dengan berbagai alasan, seperti ganti rugi lahan dan sebagainya, namun itu semua tidak pernah terjadi. Jadi ini semua semacam mitos dalam arti yang sebenarnya yang diciptakan oleh kapitalis tentang kesejahteraan.


Peta Konflik Wilayah Tambang

Ketika kita menonton film tersebut, kita kemudian merasa prihatin dan marah, di posisi ini sebenarnya betapa ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Rembang. Akan tetapi, lebih rumit lagi kalau kita berada di lapangan (Rembang). Sebab, kondisi tersebut sudah bisa dipastikan sejak penolakan PT. Semen Indonesia di Rembang, masyarakat sudah mulai terpecah menjadi dua kubu, yaitu pro dan kontra terhadap pembangunan PT. Semen Indonesia tersebut. Ralf Dahrendorf Sosiolog Jerman dalam karyanya Konflik dan Konflik Sosial dalam Masyarakat Industri, mengatakan bahwa dalam masyarakat (quasi group) akan terlahir kelompok kepentingan (interest group) dimana sebuah industri berdiri. Kepentingan ini bisa dalam bentuk kelompok untuk mencari keuntungan di perusahaan sebaliknya masyarakat yang lain berkepentingan mempertahankan sumber-sumber hidup mereka yang selama ini dijalankan sehingga konflik kemudian lahir, karena terpecah belahnya masyarakat dengan kepentingannya masing-masing. Kalau kita melihat lebih jauh lagi, maka bisa dipetakan seperti ini; pertama, pemerintah(negara) beserta aparatus represifnya (tentara dan polisi); kedua, pemilik modal(kapitalis) dengan sejumlah premannya; ketiga, masyarakat Rembang (pro dan kontra); keempat, mahasiswa/pemuda, LSM, Organisasi Agama dan sebagainya. Point pertama dan kedua sangat mesra dalam hubungannya, sehingga aparatus seperti tentara dan polisi yang menjadi alat negara, seharusnya melindungi rakyat, berbalik melindungi kapitalis dan menindas rakyat, kadang juga sampai terjadi pelanggaran HAM berat seperti penembakan terhadap warga yang melakukan perlawanan. Jadi bisa dibilang lewat pemetaan tersebut, ketika terjadi perlawanan rakyat terhadap perusahaan yaitu Rakyat menekan pemilik  modal(kapitalis) kapitalis menekan pemerintah(negara) sehingga negara berbalik menekan masyarakatnya lewat aparatusnya (tentara dan polisi). Penekanan yang dilakukan aparatus tersebut sangat beragam, mulai dari meneror hingga intimidasi yang dialami oleh rakyat, bahkan sampai penghilangan nyawa misalkan kasus yang terjadi di Halmahera pada tahun 2004 awal. Kemudian point ketiga dan empat, masyarakat terbelah dengan kepentingannya masing-masing. Ada yang apatis, ada yang kritis karena menjadi korban dan ada yang mencari untung dengan adanya tambang tersebut.

Ditingkat masyarakat bisa dibayangkan telah terjadi terpecah belah kepentingan, dan dengan kondisi yang demikian itu kita sendiri hampir tidak bisa mengenali siapa kawan, siapa lawan. Sebab dalam perlawanan atau perjuangan, masalah yang paling menyakitkan, ketika kita dikhianati oleh teman seperjuangan sendiri. Itu biasanya sering terjadi di lapangan sehingga perlu untuk merapatkan barisan dan tidak tergoda dengan uang yang nilainya berkisar satu-dua juta rupiah. Karena pemilik modal(kapitalis), selalu berusaha menggagalkan setiap perlawanan yang ada, sampai setingkat pengadilan sekalipun, seperti memakai para akademisi dari kampus tertentu dengan nama kampus yang besar untuk menjadi saksi ahli, misalkan bahwa eksploitasi tersebut tidak membawa dampak buruk bagi perkebunan dan lingkungan lainnya termasuk pada manusia. kejadian ini pernah terjadi ketika masyarakat Buyat Pante menuntut PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang telah mencemari teluk buyat di PTUN yang menyebabkan mata pencaharian warga Ratatotok Buyat Pante sebagai nelayan hilang, sebab limbah perusahaan emas tersebut selalu dibuang ke laut dialiri lewat sungai, begitu juga penyakit aneh-aneh mulai muncul seperti yang terjadi pada kasus Minamata di Jepang. Tapi sayangnya tuntutan warga Ratatotok Buyat Pante di PTUN kalah, karena salah satu akademisi ahli perikanan dari Universitas terbesar di Sulawesi Utara menjadi saksi ahli dari PT. Newmont Minahasa Raya dan akhirnya perkampungan tersebut dibakar oleh warganya sendiri dan pindah ke tempat lain yaitu di duminangan dengan jarak dari perkampungan awal Ratatotok Buyat Pante 120 km untuk menghindari pencemaran dari perusahaan tambang tersebut. Jadi segala cara itu sering terjadi demikian.

Begitu juga terjadi di Maluku Utara, nyata-nyata PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM) membuang limbah di sungai kobok yang kemudian dilaporkan oleh warga yang berkebun di sekitar tambang tersebut, namun tidak berbuat apa-apa sebab para akademisi yang dianggap berpengaruh di daerah sudah menjadi kaki tangan perusahaan dan ketika kasus misalkan pencemaran lingkungan dibawa ke pengadilan, tuntutan rakyat selalu kalah. Sehingga sangat penting bagi saya untuk terus membangun jaringan sekuat-kuatnya, dan melakukan kampanye lewat pemutaran film sampai menulis di koran, sebab bagi saya aksi tidak hanya sekedar demonstrasi tapi lebih dari itu harus juga melalui tulisan, film dokumenter dan sebagainya.

Di tanah Papua sendiri Ngadisah (2003) dalam karyanya Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua,  menguraikan anatomi gerakan sosial di kalangan warga asli Papua, khususnya Suku Amungme (dataran tinggi) di kawasan Mimika dan suku Komoro (dataran rendah), terhadap eksistensi PT. Freeport Indonesia (PTFI) di tanah Papua dan menguraikan bagaimana “aktor-aktor Jakarta” turut bermain dalam riak-riak konflik tersebut. Perang antar suku diciptakan untuk memuluskan eksploitasi PTFI tersebut. Suku Amungme adalah suku yang berpandangan tentang alam, Tuhan dan roh sebagai satu kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia—yang mempunyai makna positif dalam upaya pelestarian alam. Manusia adalah bagian dari alam sehingga kalau ia merusak alam berarti merusak dirinya sendiri. Ditambah lagi, orang Amungme mengindentikan alam dengan orang tua, di mana tanah dianggap sebagai Ibu (mama), dan gunung sebagai adalah bapak. (Ngadisah, 50) sehingga dengan latarbelakang itulah oarang Amungme kemudian menentang PTFI, namun perlawanan yang panjang itu kemudian, warga Papua dianggap Saparatis. 

Pola-Pola Perlawanan
Setiap tempat dimana industri tambang berdiri selalu memicu konflik dan perlawanan dari rakyat. Perlawanan rakyat tersebut sangat berhubungan dengan keterancaman sumber-sumber penghidupan yang telah mereka jalani secara turun-temurun. Kasus semen di Pati, kemudian di Rembang adalah perlawanan rakyat untuk mempertahankan sumber-sumber penghidupan yaitu bertani sebagai jalan hidup dengan mengolah sawah, sedangkan pegunungan kendeng (kars) adalah sumber air untuk sawah dan sangat wajar kalau rakyat harus melawan. Dalam film ini dan juga dalam setiap pemberitaan media televisi proses perlawanan yang dilakukan warga sangat rapi, ibu-ibu sangat sadar dalam melakukan perlawanan, juga melawan dengan menggunakan teatrikal yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan pemuda terhadap PT. Semen Indonesia yang mengeksploitasi pegunungan kendeng di bagian Rembang.

Sangat berbeda dengan pola perlawanan di bagian timur yang lebih mengandalkan otot, simbol-simbol yang lebih mengarah pada kekerasan sehingga korban banyak berjatuhan. Hal itu tidak bisa dihindari sebab rakyat dalam konteks tertentu, mereka tidak lagi percaya terhadap nagara.  sebab pemerintah tidak pernah mematuhi janjinya sehingga rakyat juga sudah tidak lagi percaya dengan pemerintah(negara). Masyarakat yang pernah saya amati di Maluku Utara merasa mereka hidup tanpa negara, negara hadir dikala malam hari yaitu ketika listrik dinyalakan 12 jam sehari. Jadi saya tidak akan menguraikan disini pola perlawan secara detail. Tetapi, pola perlawanan tergantung dimana dan siapa yang melakukan perlawanan, sebab misalkan yang pernah yang lihat di video perlawanan masyarakat di Jawa terhadap tambang sangat datar namun sasaran perlawanannya jelas, dan selalu didukung oleh berbagai pihak seperti mahasiswa, juga LSM yang benar-benar LSM yang dalam memperjuangkan hak rakyat, bukan LSM yang menjadi perpanjangan tangan Negara dan modal Asing. Sedangkan di wilayah Timur terutama perlawanan kecenderungan represif, dan memang sesuai dengan kondisinya.

Daftar Bacaan:
Bintarto. 1989. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Dahrendorf, Ralf. 1986.  Konflik dan Konflik Sosial dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali.
Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta. Pustaka Raja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar