see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Kamis, 27 Maret 2014

Artikel Blue Velvet

Fantasizing the Father in  Blue Velvet

 

A Different Kind of Separation?

Chastened by the failure of Dune(1984) and his sense that he had lost control of the film, Lynch returned to a smaller scale for his next proj­ect. He vowed never again to give up final cut on a picture, and this ne­cessitated making films for less money. But one could not imagine a more resounding response to critical and popular failure thanBlue Vel­vet (1986). It became Lynch's signature film: if someone knows only one Lynch film, chances are that the film is Blue Velvet. After it appears, David Lynch became David Lynch - a cinematic auteur. He even re­ceived another Academy Award nomination for Best Director. No prior or subsequent film generated as much popular and scholarly in­terest or as much criticism (among feminists for the violence toward women, among conservatives for the perverse image of small-town America, and among Marxists for the seeming nostalgia for the 1950s). The interest almost inevitably focused on the conspicuous division be­tween two opposing worlds that Lynch creates in the film.

Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia

Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia

Oleh: Anne Shakka-136322013
 



Pengantar
Bertahun-tahun dalam hidup saya, Kartini menjadi suatu gambaran perempuan ideal yang didengung-dengungkan oleh banyak orang di sekitar saya. Gambaran untuk menjadi seorang ibu dan seorang istri yang baik. Suatu gambaran yang ternyata diwacanakan oleh negara seperti yang dikatakan Julia I. Suryakusuma dalam artikelnya Seks, Posisi Birokratis[1]. Dalam Artikel itu Julia menjelaskan bahwa negara ikut campur dan melembagakan seksualitas para pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1983. Pembentukan dan penyebaran citra tersebut juga dilanggengkan dengan dibentuknya Darma Wanita dan PKK.

Selasa, 25 Maret 2014

DUALISME NARASI SEJARAH PAPUA

DUALISME NARASI SEJARAH PAPUA




  NAMA MAHASISWA  : EFRAIM MANGALUK
NIM           : 136322002
                                 DOSEN PENGAMPU       : 1. Dr. G. Budi Subanar, S.J.
                                      2. Dr. Katrin Bandel




Pengantar

Pada tanggal 6 Oktober tahun 2000, aparat kepolisian dan brimob dibantu TNI melaksanakan operasi penurunan bendera bintang kejora di kabupaten Jayawijaya-Papua yang saat itu dipimpin langsung oleh kapolres Jayawijaya AKBP Superintendent D. Suripatty. Penurunan bendera dilakukan secara paksa karena mendapat perlawanan dari para satgas Papua pada saat itu. Dampak dari operasi tersebut membuat geram para satgas dan masyarakat pro kemerdekaan Papua yang akhirnya memicu konflik hebat antara mereka aparat TNI Polri. Dalam peristiwa ini masyarakat sipil pun menjadi korban. Kurang lebih 30 warga sipil tewas dalam peristiwa ini. Peristiwa yang sangat di kenal dengan sebutan “wamena berdarah” ini menimbulkan trauma-trauma mendalam bagi masyarakat yang terlibat langsung dengan peristiwa tersebut. Ini adalah satu dari sekian banyak peristiwa tentang masalah pemisahan Papua dari NKRI.

Kamis, 20 Maret 2014

Hindhuisme di Indonesia Modern

Hindhuisme di Indonesia Modern
Martin Ramstedt (ed.)
 Di 
Menegosiasi Identitas - Orang-orang Hindu Indonesia
antara lokal, nasional, dan kepentingan global

Dipresentasikan Oleh 

Yohanes Padmo Adi 
Thomas Cahyo Susmawanto


Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
(Kakawin Sutasoma, Canto CXXXIX, 5 - Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5)

Bhinneka tunggal ika adalah motto dari Republik Indonesia. Diambil oleh Bapa Bangsa dari warisan Hindu-Jawa, sama seperti lambang negara, Garuda (kendaraan Dewa Wisnu), untuk menginspirasi persatuan nasional. Motto itu diambil dari Kakawin Sutasoma, sebuah epos Buddhis dari abad keempat belas, yang dikarang oleh seorang penyair Hindu-Jawa terkenal, Mpu Tantular, di sebuah Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) yang pusatnya terletak di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Timur.
Meskipun imaji kebesaran Majapahit menjadi inspirasi para nasionalis Jawa pada saat itu ketika membangun konsep Indonesia merdeka, dan meskipun imaji itu berpengaruh pada perkembangan Hinduisme Indonesia modern, intensi Martin Ramstedt (editor buku ini) lebih kepada menunjukkan isu “beraneka ragam tetapi tetap satu jua” yang tak pernah selesai tersebut, yaitu sebuah situasi yang sedang dan terus berlangsung di mana pluralisme agama dan budaya (penekanan pada “keanekaragaman”) dikontraskan dengan keseragaman agama dan budaya (penekanan pada “kesatuan”), sebagai penentu yang paling penting bagi masa lalu dan masa depan perkembangan Hindu Dharma di negara-bangsa Indonesia modern.

Selasa, 18 Maret 2014

FUNGSI HAND PHONE DI DAERAH TANPA SINYAL

FUNGSI HAND PHONE  DI DAERAH TANPA SINYAL

 Oleh:
Yekti Suskandari
136322020
                       
Telepon genggam atau lebih dikenal dengan sebutan hp saat ini memang sudah merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh anggota masyarakat, bisa dikatakan masyarakat tak bisa hidup tanpa hand phone. Berbagai merek dan jenis hand phone yang beredar di masyarakat selalu diminati, bahkan tak jarang lounching produk hanphone merek terentu selalu dibanjiri oleh masyarakat, mereka rela antri demi mendapatkan produk seri pertama.

KEBERHASILAN MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA

KEBERHASILAN MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA


                          NAMA MAHASISWA      : EFRAIM MANGALUK
                                           NIM                    : 136322002
                             DOSEN PENGAMPU   : 1. Dr. G. Budi Subanar, S.J.
                                                                          2. A. Bagus Laksana, S.J., Ph.D.
                                                                         
PENGANTAR

Sebuah desa kecil yang terletak di wilayah selatan kabupaten Jayawijaya, memiliki pemandangan yang tidak lazim. Ketika desa-desa yang lain sangat kental dengan bau kekristenan, maka desa yang satu ini tampak berbeda. Suasana keislaman begitu tercium ketika orang-orang berkunjung ke desa tersebut, baik yang hanya sekedar menikmati keindahan alam, bahkan mereka yang memang penasaran dengan keunikan desa tersebut. Inilah desa Walesi, satu-satunya desa di kabupaten Jayawijaya bahkan seantero Papua yang memiliki penduduk pribumi beragama muslim. Ketika berbicara tentang agama di Papua, maka yang terlintas di pikiran adalah kekristenan. Hampir seratus persen kabupaten yang tersebar di provinsi Papua, penduduk pribuminya beragama kristen dan katholik. Maka ketika ada seorang Papua yang menganut agama lain, maka orang tersebut akan tampak berbeda – ibarat sebuah titik hitam yang tampak jelas terlihat disebuah lembar kertas putih.
Memang sangat terlihat aneh ketika melihat penduduk desa tersebut melakukan aktifitas keagamaannya, kaum pria memakai peci dan yang wanita memakai jilbab, berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan ibadah. Mungkin bagi sebagian orang pendatang yang sudah mengetahui keislaman orang-orang kulit hitam di daerah Afrika, memiliki kesan yang biasa ketika melihat masyarakat di Walesi yang “islam”. Tetapi bagi orang-orang Papua sendiri, juga termasuk pendatang yang memang lahir dan besar di Papua pasti memiliki kesan yang aneh melihat masyarakat Walesi yang “islam” tersebut.

Senin, 17 Maret 2014

Jadwal Kuliah Semester Genap TA.2013/2014

PENGUMUMAN

Jadwal Kuliah Semester Genap TA.2013/2014
27 January 2014

HARI

WAKTU

KODE MK
MATA KULIAH
DOSEN
KELOMPOK MK
SKS
RUANG

SENIN

08.00 – 11.00
PSIRB 104
Metodologi Penelitian Kajian Budaya
A. Bagus Laksana, S.J., Ph.D.
Prof. Dr. A. Supratiknya
Wajib
(Semester 2)

3
Palma
12.00 – 15.00

PSIRB 306
Seminar Penulisan Tesis
Dr. St. Sunardi
Prof. Dr. A. Supratiknya
Dr. Katrin Bandel

Wajib
(Semester 4)

0
Palma
12.00 – 15.00

PSIRB  701
Seminar I:
Pengantar Estetika: Estetika dari Wilayah Konflik
Dr. G. Budi Subanar, S.J.
Rachmi Diyah Larasati, Ph.D
Pilihan
(Semua semester)

3
Lontar

SELASA

08.00 – 11.00
PSIRB 204
Kajian Budaya II
Dr. St. Sunardi
Dr. Katrin Bandel
Wajib
(Semester 2)

3
Palma
12.00 – 15.00

PSIRB 102
Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Hermeneutika dan Analisa Wacana Kritis
Dr. J. Haryatmoko, S.J.
Pilihan
(Semua semester)

3
Palma

RABU

12.00 – 15.00


PSIRB 702
Seminar II:
Kajian Kawasan dan Etnografi Asia Tenggara
Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.
Pilihan
(Semua semester)

3
Palma

KAMIS

08.00 – 11.00


PSIRB 205
Kajian Religi
Dr. G. Budi Subanar, S.J.
Dr. FX. Baskara T.Wardaya, S.J.
Wajib
(Semester  2)

3
Palma
12.00 – 15.00


PSIRB 606
Sastra dan Politik Identitas
Dr. Katrin Bandel
Pilihan
(Semua semester)

3
Palma

MENGAWINI KORBAN PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI

MENGAWINI KORBAN PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI

             NAMA MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK
                  NIM    : 136322002
         DOSEN PENGAMPU  : Dr. KATRIN BANDEL


Pengantar

Akhir-akhir ini kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap perempuan semakin marak. Hampir setiap hari terdapat liputan media tentang liputan pemerkosaan, bahkan pemerkosaan dengan kekerasan atau dengan tindak pidana lainnya. Permerkosaan rata-rata dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Jarang sekali – bukan tidak ada - kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dalam kasus pemerkosaan, yang paling dirugikan sebenarnya adalah perempuan karena pemerkosaan berdampak dan dirasakan langsung oleh perempuan.
Dampak pemerkosaan bagi perempuan adalah dampak fisik, sosial, dan psikologis. Dampak fisik yang dialami adalah rusaknya alat kemaluan dan hilangnya keperawanan yang merupakan organ tubuh yang paling dilindungi oleh perempuan. Sedangkan dampak sosial yang dirasakan langsung oleh perempuan korban pemerkosaan adalah stereotype yang melekat di benak masyarakat adalah adanya anggapan bahwa perempuan korban pemerkosaan tidak berharga dan murahan. Dampak yang tidak kalah hebat yang dirasakan oleh perempuan korban pemerkosaan adalah dampak psikologis dan trauma pasca pemerkosaan.
Pada beberapa kasus pelaku korban pemerkosaan akan menempuh jalur perdamaian dengan jalan menikahi korbannya. Korban dan keluarganya dalam keadaan keterpaksaan tidak jarang akan menerima dalam keputusan pelaku untuk menikahi. Dalam kacamata gender, hal tersebut sangatlah tidak adil karena mendistorsi –terutama- nilai-nilai kebebasan yang melekat pada perepuan “korban perkosaan- sebagai manusia yang merdeka.

Jumat, 14 Maret 2014

PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL



PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL
Oleh. Andreas udiutomo/136322007



Resume:
Tahta Berkaki Tiga – St. Sunardi


PENDAHULUAN

            Buku karya St.Sunardi setebal kurang lebih 100 halaman ini ditulis dalam paparan Indonesia dengan paradigma pendidikan terhadap pengaruh yang terjadi belakangan ini dalam politik Indonesia pada umumnya, tulisan beliau ini banyak mengandung gagasan-gagasan dari para pemikir-pemikir tua, sebab dan akibat pertentangan antara komsumerisme pendidikan dalam melahirkan pemimpin masa depan dengan banyak masalah didalamnya termasuk politik.
Pendidikan dan politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lainnya tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal saling bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara, lebih dari itu juga saling menunjang dan saling mengisi.

Kamis, 13 Maret 2014

RETORIKA KOLONIAL DIBALIK KILAUAN SAWIT




RETORIKA KOLONIAL DIBALIK KILAUAN SAWIT
Ervina. P. R (136322010)
 

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….
Indonesia kaya sumber daya alamnya. Begitulah kira-kira maksud lirik dari lagu Koes Plus tersebut. Memanglah demikian adanya, karena kayaaan sumber daya alamnya maka Indonesia dari zaman ke zaman selalu menjadi  perebutan
asing dan sejarah telah membuktikan itu. Sumber daya alam yang kaya dan sumber tenaga kerja yang murah merupakan kunci utama untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang melatarbelakangi kemunculan retorika dalam hal ini kolonial.  Adapun penulis memilih membahas  perkebunan sawit bukanlah tanpa alasan. Salah satunya,  fakta ekonomi yang paling mencolok saat ini bahwa Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia atau dengan kata lain menyandang gelar Negeri Si Raja Sawit.
Beberapa tahun terakhir ini sawit menjadi primadona dibandingkan komoditas lain seperti karet, kopi, gula dan sebagainya. Pesona sawit yang mampu mengalahkan komoditas lain disebabkan karena kebutuhan akan konsumsi sawit meningkat di pasar internasional. Hal ini dikarenakan, kegunaaan sawit yang sudah bervariasi mulai dari minyak goreng, bahan bakar, pelumas mesin, bahan campuran untuk makanan hingga bahan kosmetika. Beragamnya kegunaan tersebut telah mengundang para konglomerasi kelas berat dunia. Sebut saja, Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson, Protecter&Gambler  untuk ikut  menjadi konsumen minyak sawit[1].

Mengapa Islam Tidak Disebut Sebagai “Agama Dunia”? Catatan atas tulisan Tomoko Masuzawa Islam, A Semitic Religion


Oleh : Umi Lestari  - 136322-017


Imaji tentang Islam sebagai agama orang Semit, orang-orang Arab, sendiri dimulai sejak akhir abad 19 M. Tomoko Masuzawa melihat bagaimana imaji yang dibuat peneliti-peneliti Eropa tentang Islam pada abad 19 dalam bab  6 di bukunya The Invention of World Religions: Or, How European Universalism Was Preserved in the Language of Pluralism (2005). Pada sesi pertama ia melihat perubahan relasi antar Eropa dan dunia Muslim dan sesi ke dua ia melihat infiltrasi ide baru orang-orang Eropa sendiri mengenai Bangsa Arab.  Pada sesi 3 dan 4, Masuzawa menekankan pada penelitian Abraham Kuenen dan Otto Pfeiderer yang melihat bahwa Islam adalah agama orang Arab dan tidak termasuk dalam kelas agama-agama dunia.



Pada Mulanya adalah Perdagangan

Tentu saya masih ingat dengan Vasco Da Gama yang sering keluar dalam buku sejarah Ilmu Pengetahuan Sosial sewaktu SD. Dalam buku tersebut, Vasco Da Gama tercatat sebagai penjelajah Portugis yang menemukan jalur pelayaran ke India melalui Benua Afrika.

MANUSIA ‘BERMULUT KECIL’ (Kajian Poskolonial tentang Perempuan Indonesia Masa Penjajahan Belanda)

MANUSIA ‘BERMULUT KECIL’
(Kajian Poskolonial tentang Perempuan Indonesia Masa Penjajahan Belanda)



Ditulis Oleh Alfons No Embu
Nim 136322011


Gambaran Perempuan Pada Masa Penjajahan Belanda
1.                  PENGANTAR
“Can the subaltern speak?” merupakan pertanyaan mendasar yang diajukan Gayatry Spivak ketika ia mengecam kebutaan kelas dan rasial yang terjadi di dunia akademi Barat pada tahun 1985. Spivak memaksudkan subaltern dalam pengertian Antonio Gramsci, yakni sebagai subyek yang tertindas, tertekan dan inferior. (Ania Lomba, 2005: 192-193) Dalam konteks kajian poskolonial, subaltern dipakainya untuk menyebut kelompok bangsa terjajah atau subyek terjajah. Dengan demikian, pertanyaannya menjadi “Dapatkah subyek terjajah berbicara?” Pertanyaan ini kemudian ia elaborasikan juga tentang bagaimana subyek terjajah berbicara dan soal representasi subyek terjajah itu dalam berbicara melalui kaum intelektualnya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Spivak mengangkat tradisi Sati di India sebagai ilustrasinya. Sati merupakan ritual pengorbanan diri sendiri seorang janda di atas api pembakaran mayat suaminya, sebagai tanda cinta dan kesetiaan. Tindakan ini dalam tradisi India dianggap sebagai tindakan yang suci, heroik dan mulia bagi setiap perempuan. Dan tradisi ini sekian lama dilaksanakan dan diterima begitu saja oleh orang India, sampai pada masa penjajahan Inggris. Dalam konteks India, menurut kaca mata Spivak, jelas para perempuan India merupakan subaltern yang tidak dapat berbicara dan terbungkam. Penjajah Inggris berusaha untuk meniadakan praktek itu dan hal itu menimbulkan perdebatan. (Ania Lomba, 2005: 194-195) Hal ini kemudian menjadi legitimasi oleh orang Inggris untuk melakukan kolonialisasi terhadap India, dengan alasan untuk menyelamatkan “perempuan coklat” dari kebiadaban pria-pria coklat pribumi India.

Rabu, 12 Maret 2014

Membaca Burung-burung Manyar Mangunwijaya dalam Perspektif Pascakolonial

Membaca Burung-burung Manyar Mangunwijaya dalam Perspektif Pascakolonial
oleh: Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)
Dalam artikel In Search of the Postcolonial in Indonesian Literature (1995), Keith Foulcher mencoba mencari jejak-jejak nafas sastra pascakolonial Indonesia. Sastra Indonesia, sebagai bangsa yang pernah dijajah, sangat unik jika dibandingkan dengan sastra-sastra bangsa yang pernah dijajah lainnya. India, sebagai negara bekas jajahan Inggris, menunjukkan salah satu ciri bangsa pascakolonial, yaitu digunakannya bahasa penjajah, Bahasa Inggris, di dalam menulis sastra. Demikian pula dengan bangsa-bangsa di Afrika yang, sebagai bekas jajahan Inggris atau Prancis, menggunakan bahasa Inggris atau Prancis dalam menulis sastra. Bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai satu-satunya anomali jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa pascakolonial lainnya. Apa yang terjadi dalam perkembangan sastra bangsa-bangsa pascakolonial tersebut (seakan-akan) tidak memiliki paralelnya di dalam perkembangan sastra Indonesia. Secara sederhana, Bangsa Indonesia sama sekali tidak menggunakan bahasa penjajah sebagai bahasa nasional; tidak Bahasa Belanda, apa lagi Bahasa Jepang.[1] Jadi, ketika Bangsa India dan Bangsa-bangsa Afrika turut serta “meramaikan” dunia Sastra Inggris dan Prancis karena mereka menulis sastra dengan dua bahasa tersebut, Indonesia (seakan-akan[2]) tidak pernah masuk ke dalam Sastra Belanda. Dan, ketika bangsa-bangsa pascakolonial lainnya mengambil dua bahasa itu sedemikian rupa dan menggunakannya dengan logat mereka sendiri, Bangsa Indonesia membuang jauh-jauh pengaruh kolonial supaya dapat lahir sebagai bangsa yang nonkolonial.

Pengaruh Tontonan Eksotis dalam Imaji Budaya Sebuah Kajian Pasca Kolonial


Pengaruh Tontonan Eksotis dalam Imaji Budaya
Sebuah Kajian Pasca Kolonial
Oleh: Alexander Koko Siswijayanto

Pengantar
            Lahir dan besar di tanah Jawa adalah suatu keberuntungan. Saya mampu menikmati keindahan alam yang tak bisa digantikan oleh harta apapun juga. Setiap sore, di lereng Gunung Ungaran, masih terekam warna emas matahari yang malu-malu tenggelam di ufuk barat. Redupnya sang mentari dibarengi suasana mistis setiap kali saya duduk di salah satu bangunan Candi Gedong Songo. Hamparan Danau Rawa Pening menambah kekaguman seseorang yang sedang menikmati suasana di sana. Konon, Candi Gedong Songo itu didirikan pada abad ke-9 pada masa Wangsa Syailendra menguasi tanah Jawa ini. Dan kembali ditemukan oleh Raffles, Jendral terkenal dari Inggris yang menilik Jawa hanya selama lima tahun. Demikianlah seorang Jawa menikmati eksotisme alam, eksotistem peninggalan nenek moyang, dan sekaligus menikmati imaji sejarah masa lalu.
Candi Sari
            Pengalaman menikmati eksotisme alam dan keindahan bangunan masa lalu ternyata tidak berhenti. Di Yogyakarta dan sekitarnya, banyak sekali candi-candi yang berserakan menjadi bangunan yang mistis tetapi sekaligus terlalu touris. Orang datang ke candi dengan berbagai intensi, masih ada yang berdoa di sana, masih ada yang menikmati sebagai kekaguman masa lalu, tetapi banyak yang hanya ingin sekadar ber-rekreasi.

Pendahuluan: Menentukan Letak Penelitian Budaya dan Buku



Pendahuluan: Menentukan Letak Penelitian Budaya dan Buku
Arus silang di dalam Penelitian  budaya                                          
Rekonsiliasi                                                                                     
Garis Besar Buku                                                                             

Salah satu dari argumen-argumen buku ini adalah bahwa penelitian atau metodologi penelitian tidak pernah ‘objektif’ tetapi selalu ditentukan, ditunjukkan oleh posisi-posisi sosial tertentu dan momen-momen historis serta agenda penelitian. Jadi, untuk menentukan legak buku ini, buku ini memiliki asal-usul awal di dalam penelitian saya tentang wacana-wacana dan pengalaman-pengalaman yang telah dijalani tentang gangguan makan, terutama penyakit mental perempuan, yang dicirikan oleh upaya berbahaya untuk mendapatkan tubuh langsing. Pada awalnya saya terdorong untuk meneliti kondisi-kondisi ini, karena saya sendiri telah mengalami anoreksia, saya telah dibuat bingung, atau bahkan dibuat marah, oleh cara di mana kondisi-kondisi ini diteliti di dalam dua hal. Pertama, saya terganggu oleh cara di mana penelitian-penelitian ini mengubah perempuan penderita anoreksia (kehilangan selera makan) menjadi perempuan ‘berpenyakit’, atau tidak mampu mengukur pemikiran dan tindakan mereka. Di dalam banyak penelitian, tuturan penderita anoreksia dipahami hanya sebagai ‘simtom’, dari mana makna ‘yang sesungguhnya’ seperti patologi psikologis atau sosial, bisa dibaca oleh ahli, seperti psikiatris atau bahkan seorang kritikus budaya fiminis. Kedua, saya patah semangat, frustrasi, dengan proyek-proyek sosial dan politis dan argumen-argumen bahwa penderita anoreksia –jelas tidak mengetahui ‘makna’ atau akar-akar penyebab kondisinya—dibuat mampu menghadapinya. Penafsiran-penafsiran anoreksia telah memberi perhatian penting pada sifat-sifat seksis tubuh dan struktur keluarga ideal dan tidak berfungsinya kontrol diri posmodern. Penafsiran-penafsiran tentang anoreksia juga sering kali menegaskan sifat-sifat patologis penderita anoreksia, atau perempuan pada umumnya, sebagai gagal, sangat tergantung pada orang lain dan opini orang lain, dan rentan terhadap keluhan sosial dan konservatisme.

Introduction: Locating Cultural Studies and the Book

Introduction: Locating Cultural Studies and the Book Crosscurrents in cultural studies 4 Reconciliations 6 Outline of the book 8 One of the arguments of this book is that research or research methodologies are never objective’ but always located, informed by particular social positions and historical moments and their agendas. Thus, to locate this book, it has its early origins in my research on the discourses and lived experiences of eating disorders, largely women’s mental dis-eases, characterized by a dangerous pursuit of thinness. I was originally driven to study these conditions, because having been anorexic myself, I was perplexed, or even angered, with the way in which these conditions were studied in two respects. First, I was annoyed with the way in which the studies rendered anorexic women ‘disordered’, or incapable of assessing their thoughts and actions. In many studies, anorexics’ speech was treated as simply a ‘symptom’, from which the ‘true’ meaning, such as a psychological or social pathology, could be read by the expert, such as a psychiatrist or even a feminist cultural critic. Secondly, I was frustrated with the social and political projects and arguments that the anorexic – apparently unaware of the ‘meaning’ or roots of her condition – was made to stand for. The interpretations of anorexia have usefully drawn critical attention to the sexist nature of body ideals and family structures and the dysfunctionality of (post)modern self-control. Still, interpretations of anorexia also often confirm the inherently pathological nature of anorexics, or women in general, as vain, overly dependent on others and their opinions, and prone to buttress general social compliance and conservatism. Thus, driven by these two concerns of mine, I embarked on a research project that aimed both to develop ways of doing justice to the lived experience of anorexia and to critically analyze the discourses that had constituted it.

Lampiran 1 Arena Kekuasaan Dalam Novel Arok Dedes

Intrik Politik Jaman Kerajaan



Intrik Politik Jaman Kerajaan
Analisis Novel Arok-Dedes Karangan Pramoedya Ananta Toer dengan pendekatan Analisa Naratif dan Analisa Arena Wacana dari Pierre Bourdieu
Oleh: Alexander Koko Siswijayanto

A.    Sinopsis Novel Arok-Dedes
Tahun 1215 adalah tahun yang istimewa. Raja John di Inggris mengumumkan maklumat Magna Charta. Magna Charta memberikan kebebasan pribadi dan kebebasan politik pada kawula Inggris, pada umat manusia. Di Jawa, yang pada saat itu genap 1137 Saka (sama dengan 1215 M), Magna Charta belum terdengar. Tetapi, berkaitan dengan kebebasan, Sri Erlangga (1020-1042) telah memaklumkannya di Kediri. Sayang penerusnya yang kelima, Sri Kretajaya malahan melindasnya. Tumapel, dibawah Akuwu Tunggul Ametung, sepenuhnya mengikuti Kediri yang memprovokasi perbudakan yang telah dihapus oleh Erlangga. Seorang bocah dengan nama Arok mengorganisir perlawanan terhadap Tunggul Ametung. Dalam hanya dua bulan, ia gulingkan Tunggul Ametung dan mengembalikan Magna Charta Erlangga pada kedudukan semula. Tahun 1144 Saka, ia gulingkan raja terkuat di Jawa, Sri Kretajaya dan dengan demikian mengembalikan Magna Charta Erlangga untuk seluruh Jawa. (Pengantar xi-xii)

Senin, 10 Maret 2014

Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo

                          Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo
                                                     Oleh :
      Felomena Sunarti/136322005

1.            Pendahuluan

  Termaksud definisi tentang Indo yang ada di Indonesia maupun yang ada di negara Belanda, dimana para Indo mencari posisi mereka di Indonesia maupun di Belanda agar diakui oleh kedua Negara yang mereka tempati nantinya. Dimana perempuan yang hidup dengan laki-laki Eropa selama masa penjajahan Belanda dan dengan demikian juga merupakan ibu dari para Indo. Saya hanya bisa berharap bahwa akan ada sedikit perhatian terhadap para perempuan yang selalu dikebelakangkan dan dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia, kebanyakan keluarga Indo bahkan melupakannya. Padahal, perempuan Indonesia ini, sang nyai, merupakan nenek moyang mereka.
   Para perempuan memberikan pemahaman kepada kita mengenai pola hubungan pada zaman kolonial, dalam proses kemunculan para Indo dan posisi perempuan Indonesia (dan ketidakadilan yang diterimanya). Ini adalah nasib menyedihkan yang dialami banyak perempuan pribumi, pada waktu itu, para nyai, gundik laki-laki Eropa. Kenyataan bahwa hal tersebut merupakan pengalaman traumatis bagi ibu dan anak terlihat dari sikap ayah yang tidak pernah mau atau bisa membicarakan ibunya.
Alasan orang Eropa menikahi perempuan Asia terutama perempuan di Indonesia karena menganggap bahwa perempuan pribumi berkelakuan baik dan perempuan pribumi lebih menguntungkan dari perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa. Disamping itu, perempuan pribumi tidak terlalu serakah dibandingkan perempuan Eropa.  Para laki-laki Eropa memiliki ikatan yang lemah dengan anak-anak dari perempuan pribumi. Demikian sebaliknya, kebanyakan dari anak-anak ini tidak pernah merasa sebagai anak Eropa, seperti yang telah diketahui bahwa banyak dari mereka yang ditelantarkan sejak masa remajanya.
Citra bahwa orang Eropa memiliki anak-anak yang dilahirkan dari gundik perempuan pribumi sebetulnya sangat negatif. Dalam tulisan-tulisan pada waktu itu para gundik sering dijuluki “perempuan-perempuan hitam” yang berkelakuan seperti “ternak yang bersyahwat”. Para gundik, menurut banyak orang Eropa, sangat aktif perihal seks. Mereka juga menikmatinya, bahkan melacurkan diri mereka, tidak perlu menerima uang tapi malah memberi uang.[1]
Selanjutnya mereka malas ( kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan “ dan karena kebenciannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain,” demikian tulis Jan Pieterszoon Coen dalam surat pada 11 Desember 1620.[2] Citra anak-anak yang lahir dari pengundikan juga tidak positif. Orang Eropa umumnya berpendapat bahwa percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat trburuk dari kedua ras tersebut hingga selalu menghasilkan karakter yang lemah. Selai itu, menurut saksi mata Eropa sikap pribumi mereka jauh lebih dominan dari pada sikap Eropa. Hal ini didasari oleh kenyataan mudah dan seringnya mereka jongkik berlama-lama serta sulitnya mereka bergerak ketika mengenakan pakaina Eropa.





2.            Sejarah kemunculan kaum Indo

Semua keanggunan yang bersifat Belanda kuno, sikap kolot dan kaku serta prasangka-prasangka yang didapat dari ibu mereka, tampak di dalam diri makhluk yang lahir ke dunia tanpa diberi izin terlebih dahulu oleh pegawai catatan sipil[3]
Kekhawatiran terhadap hubungan seksual antara-ras merupakan ciri khas masyarakat kolonial di Hindia Belanda. Bukan kekhawatiran terhadap kenyataan mengenai adanya hubungan ini dan kemudian akan lahir anak-anak dari hubungan tersebut, melainkan ketakutan bahwa anak-anak ini dapat membahayakan ketertiban kolonial. Karena hal tersebut, seiring berjalannya waktu, dilakukan upaya dengan intensitas yang berbeda demi mengendalikan yang disebut sebagai “bahaya pengrusakan”. Sehubungan dengan membesarnya bayangan atas bahaya pengrusakan supremasi kolonial, hubungan seksual anatara-ras kian ditolak keras.
Hal ini memberikan berbagai konsekuensi baik bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda yang hidup dalam pergundikan maupun nyai pribumi mereka. Namun konsekuensi terbesar barangkali dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari hubungan semacam itu. Dapat kita katakan , nyai adalah nenek moyang orang-orang Indo-Eropa. Bisa juga disebut “Hajar, ibu dan Ismail”, seperti yang pernah disebut seorang penulis Indies.[4]
Pengundikan bukan sebuah gejala (kaum) marjinal. Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19. Jika tidak terjalin hubungan pergundikan (lagi), maka hal itu lebih  disebabkan oleh sifat lain atau situasi keuangan laki-laki yang bersangkutan yang sangat buruk. Tentu saja hal itu tidak disebabkan oleh norma-norma moral yang menahan diri mereka ( untuk tidak melakukannya). Demikianlah yang dapat dibaca dari sebuah ungkapan lisan dari tahun 1903[5].
Jika ia tidak menemukan nyai yang sesuai diantara para pekerja rumah tangganya, sang laki-laki memberi perintah dengan jelas kepada salah seorang pembantunya (diutamakan yang laki-laki) agar mencarikan seorang gundik.” Setiap orang indies tau apa arti perintah’tjari parempoewan”, tulis seorang wartawan dan penulis, Hendri Borel, dalam salah satu artikelnya mengenai pergundikan[6].
3.            Posisionalitas kaum Indo

Sebagian kecil anak-anak tersebut dilahirkan dari lapisan atas masyarakat kolonial. Ayah mereka merupakan seorang pengusaha sukses, pejabat tinggi atau orang yang memiliki pekerjaan penting. Lagi pula sang ayah memperhatikan dan memberikan namanya kepada anak-anaknya. Ia hidup bersama nyai (yang kadang-kadang telah dinikahinya) dan anak-anaknya layaknya sebuah keluarga Eropa. Anak-anak ini, seperti halnya pada masa VOC, dikirim pada usia muda ( biasanya empat atau lima tahun) ke Belanda untuk mengenyam pendidikan Eropa. Dengan membayar, mereka pun di titipkan kepada salah satu anggota keluarga sang ayah atau tinggal dengan keluarga yang mendapat penghasilan tambahan dengan menampung anak-anak dari Hindia Belanda. Di dalam harian-harian Indies kerap ditemukan iklan seperti yang dimuat di dalam suratkabar Semarang De Locomotief di bawah ini:
Seorang wanita berbudaya (janda perwira) di Den Haag bersama seorang putri berumur sembilan tahun, bersedia diberikan tanggungjawab untuk memelihara dan mendidik satu atau dua anak perempuan yang kira-kira sebaya. Diharapkan untuk berbicara bahsa Prancis dengan anak-anak di rumah, persyaratan-persyaratan yang rasional[7].
          Di dalam edisi lain dimuat iklam sebagai berikut:
          Sebuah keluarga terhormat Belanda (Utrecht) bersedia menerima seorang atau lebih anak-anak Indies dengan uang sewa. Pendidikan dan pelajaran akan diawasi dengan baik[8] .
Yang juga merupakan fenomena khas kolonial adalah sosok gouvernante   Eropa. Para ayah hidup atau pernah hidup dalam pengundikan dan tidak mengirim anak-anak ( Indo-Eropa) mereka ke negara asalnya, lebih sering mencari guru privat Eropa. Dengan memperhitungkan kecilnya kesempatan para Indo-Eropa untuk menanjak di tengah masyarakat, sang guru harus mendidik anak-anak tersebut. Yang terpenting adalah anak-anak harus belajar bahasa Belanda yang baik, sebuah simbol yang dapat didengar dari mereka yang berasal dari Eropa. Perekrutan gouvenante dilakukan terutama lewat koran di Hindia Belanda atau Belanda. Dengan melihat iklan-iklan tersebut diperoleh sebuah kilasan menarik mengenai masyarakat pada waktu itu:
Dicari seorang guru perempuan untuk daerah pendalaman, murni berbahasa Belanda, hanya yang bersedia tinggal serumah dengan seorang ibu pribumi yang akan diterima.[9]
Atau yang dibuat oleh seorang pegawai Eropa di sebuah pabrik gula di Jawa Tengahini”
            Dibutuhkan seorang gouvernante untuk tiga orang anak. Persyaratan: sertifikat pendidikan dasar (Lager Onderwijs) dan bahasa Prancis dasar. Gaji 75 gulden dan semua gratis.[10]
          Jika seseorang memiliki anak-anak dan tinggal di luar Jawa maka sangat dibutuhkan seseorang gouvernante Eropa karena ketiadaan sekolah Eropa di daerah tersebut. Hal itulah yang dialami oleh para pengusaha perkebunan di Deli:
            Dibutuhkan: secepat mungkin seorang guru Eropa untuk seorang anak perempuan berusia empat tahun di sebuah keluarga di Deli. Syarat: geratis penyeberangan dari Jawa ke Deli dan setelah dua tahun juga kembali lagi. Gaji dirundingkan kemudian.[11]
Kadang-kadang juga terdapat iklan-iklan pernikahan yang terselubung seperti dibawah ini. Dari sini masih terlihat bayangan nyai yang telah diusir:
Seorang laki-laki lajang bertempat tinggal di luar Jawa mencari seorang wanita Eropa berbudaya untuk mendidik putrinya yang berumur empat tahun dan juga mengurus rumah tangga.[12]
a.            Waktu penjajahan Belanda
Pada 1842, keadaan diperburuk oleh peraturan yang disebut Delftse Prerogatief  (hak prerogatif Delft). Peraturan ini menentukan bahwa tidak seorangpun di Hindia Belanda dapat menduduki jabatan lebih tinggi tanpa melakukan ujian pegawai di Akademi Delft. Akademi yang didirikan pada 1842 ini merupakan tempat pendidikan bagi para pegawai pemerintah yang akan ditempatkan di Hindia Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini merupakan jaminan bahwa kedudukan yang lebih baik di dalam koloni telah disediakan bagi “ orang-orang Eropa yang didatangkan”. Sementara itu, konsekuensi langsung dari hal tersebut ditunjukan bagi mereka yang lahir dan besar di dalam koloni. Salah satu keturunan keluarga pengusaha perkebunan Eropa yang terkenal di Jawa menulis”
Hindianisasi cabang keluarga A dan B telah mengakibatkan kemunduran di dalam tatanan kemasyarakatan. Anak-anak tinggal di Hindia Belanda dan karena itu hanya bersekolah di sana. Itu berarti mereka hanya akan memperoleh pekerjaan berpendapatan rendah di pasar tenaga kerja karena pekerjaan-pekerjaan tinggi (di pemerintahan) tetap disediakan bagi yang mengenyam pendidikan di Belanda dan/ atau memiliki Radikaal.[13]   
Beberapa tahun kemudian, pada 1727, VOC terhambat oleh kekurangan yang besar akan jumlah pegawai. Kemudian menyusun dikeluarkannya sebuah ketentuan yang menetapkan bahwa para pedagang kecil ( Eropa)yang ada dan tidak memiliki kedudukan secepatnya mungkin harus diterima bekerja dan dengan berbagai cara harus lebih diutamakan  di atas “anak-anak Indies”. Anak-anak Indies hanya boleh diterima bekerja dalam keadaan darurat dan jika terjadi kekurangan tenaga ahli lainnya. Selain itu juga terdapat larangan untuk memperkerjakan pemuda-pemuda Indies yang pernah menjadi pegawai pemerintah atau pegawai administrasi.[14]        
Adanya Ras, Kelas dan kolonialisme terdapat dua kecenderungan luas dalam analisis atas ras dan etnisitas: yang pertama, yang berasal dari analisis Marxsis, bisa disebut “ekonomis” karena memandang kelompok-kelompok sosial, termaksud pengelompokan-pengelompokan rasial, itu terutama ditentukan dan dijelaskan oleh srtuktur-struktur dan proses-proses ekonomis[15] oleh tenaga kerja rakyat jajahan. Pendekatan kedua, yang disebut “sosiologis”, dan sebagian berasal dari karya Marx Weber, mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan ekonomis tidak cukup untuk memahami segi-segi rasial dari masyarakat-masyarakat terjajah. Sedangkan pendekatan pertama cenderung fungsionalis dalam pemahaman atas ras, yang kedua cenderung mengabaikan masalah-masalah ekonomis dan sering deskriptif bukanya analitis.
Tentu saja tidak boleh menyederhanakan pendekatan-pendekatan ini menjadi bagian-bagian yang tidak saling memengaruhi, karena masing-masing melibatkan pendebatan-pendebatan yang kompleks dan bernuansa, tetapi secara keseluruhan, pendekatan yang pertama mengutamakan kelas, dan yang terakhir mengutamakan ras dalam memahami formasi-formasi sosial kolonial.
Marxsisime “klasik” mengatakan bahawa efisiensi kapitalis telah menggantikan perbudakan dan bentuk-bentuk pemaksaan yang kasar dengan pasar pekerja “bebas” dalam mana paksaan diterapkan melalui tekanan ekonomi. Tetapi dibawah kolonialisme, menurut Rex, aspek-aspek pengendalian yang katanya sudah kuno ini masih berlanjut, bukan sebagai sisa-sisa dari masa lalu melainkan sebagai aspek integral dari masa kini kapitalis. Ras dan rasisme adalah basis bagi pekerja tidak bebas untuk dipaksa bekerja untuk kolonialis.
Aime Cesaire mengutip Ernst Renan mengenai point: Alam telah menciptakan suatu ras pekerja, ras Cina, yang memiliki keterampilan manual yang menakjubkan dan hampir tidak memiliki kehormatan; perintalah mereka dengan keadilan, pajakilah mereka, sebagai imbalan atas kesejahteraan dari pemerintah, sebuah imbalan yang cukup besar bagi ras penakluk, dan mereka akan puas; suatu ras petani, bangsa Negro..; suatu ras tuan dan tentara, ras Eropa. Jadikalah ras ini bekerja di sawah seperti orang Negro dan Cina, dan mereka akan berontak.. Tetapi kehidupan yang diberontaki oleh para pekerja kita akan membuat orang Cina atau Arab bahagia, karena sama sekali mereka bukan insan militer, Biarlaj mereka masing-masing mengerjakan yang ditakdirkan baginya, dan semuanya akan baik-baik saja. (1972:16)
Ideologi superioritas ras dengan mudah bisa diterjemahkan ke dalam kerangka kelas. Superioritas ras-ras putih, demikian kata seorang kolonis, jelas menyiratkan bahwa “ orang-orang hitam harus selamanya menjadi pekerja murah dan budak”.kelompok-kelompok orang-orang tertentu, dengan demikian secara rasial ditetapkan sebagai kelas pekerja alami. Masalahnya kini adalah bagaimana mengorganisasikan dunia sosial sesuai dengan keyakinan ini, atau memaksa “populasi ke dalam posisi kelas” alaminya dengan perkataan lain, realitas harus disesuaikan dengan gambaran itu untuk menjamin sasaran material dari produksi” (Miles 1989:105).
b.            Masa awal Indonesia merdeka

Didalam Bukunya Leela Gandhi mengenai Teori Poskolonial ada kutipan dari Albert Memmi, mengatakan bahwa dampak kolonial secara fundamental terpedaya dalam harapannya bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara ajaib dari reruntuhan fisik kolonialisme. Memmi menambahkan subjek-subjek yang jaya dalam dampak ini secara tak terhindarkan menganggap remeh keyakinan yang kuat secara psikologis terhadap masa lalu yang kolonial di atas masa kini yang poskolonial. Dalam ungkapannya “Dan pada hari penindasan berhenti, manusia baru diduga akan muncul di hadapan mata kita secara langsung. Saat ini, saya tidak suka mengatkan begitu, tetapi saya harus mengatakannya, karena dekolonisasi telah menunjukkanya : ini bukanlah persoalan cara terjadinya. Kehidupan terjajah untuk waktu yang lama sebelum kita melihat bahwa benar-benar ada manusia baru” ( Memmi,1968; hlm.88).
Pesimisme politik Memmi memberikan sebuah catatan tentang poskolonialitas sebagai suatu kondisi historis yang ditandai oleh aparat kebebasan yang tak tampak dan presisitensi ketidakbebasan yang tersembunyi. Lamanya penentangan dari sisi terjajah sebagian ditumbuhkan oleh hierarki kolonial yang selalu ada tentang pengetahuan nilai yang memaksakan apa yang disebut Edward Said sebagai “dreadful secondariness” (Said,1989;hlm.207) dari masyarakat dan budaya tertentu. Demikian juga kosmetik kemerdekaan nasional menyamarkan kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang dibebankan oleh penduduk kolonial. Penjajah,sebagaimana dikatakan oleh Said, merupakan takdir abadi, suatu hasil yang sungguh-sungguh aneh dan tidak adil. (1989;hlm.207). 
Setelah kemerdekaan, sebuah periode kekacauan dan kelumpuhan (sosial) pun kembali dimulai. Muncul sebuah situasi baru di Hindia Belanda yang dapat dilihat dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini lantas memberikan dampak-dampak fatal kepada keluarga-keluarga campuran di Hindia Belanda. Asal usul keturunan yang berbeda kembali memainkan peran yang menentukan.
Para perempuan Indonesia yang ikut menyeberang kemudian pergi ke Belanda sebelum dan terutama setelah pemindahan kekuasaan pada 1949. Mereka mengikuti suami serta anak-anak Eropa mereka dan berangkat ke Eropa ayang asing. Dengan demikian, sejak akhir tahun 1940-an sudah ada banyak nyai di tengah masyarakat Belanda. “ saya masih mengenali mereka dan masih ada cukup banyak yang tinggal di Belanda, dalam beberapa kasus tanpa kamu sadari mereka juga merupakan kenalanmu,” tulis Tjalie Robinson di sebuah surat kepada Rob Nieuwenhuys pada 1971.[16]
Kita telah mempertimbangkan implikasi-implikasi dari sebuah penjajaran teoretis antara gejala-gejala merugikan dari “masa lalu kolonial” dan “ masa kini poskolonial”. Penting juga , seperti ditulis Gyan Prakash, “ untuk mengakui sepenuhnya sejarah tentang agensi dan pengetahuan lain yang hidup dalam berat beban masa lalu kolonial” (Prakash 1995, hlm.5). tugas “pengakuan penuh” ini menyaratkan bahwa undang-undang resistensi antikolonial tidak hanya dianggap sebagai hal yang bisa diteorikan, seperti yang diungkapkan Prakash, tetapi diperlakukan sperti peristiwa-peristiwa teoritis yang sepenuhnya komprehensif dan sepenuhnya dikonseptualisasikan sesuai dengan hak mereka sendiri.
 Dalam ungkapan Fanon kolonialisme menginginkan segala hal yang berasal darinya. Namun, ciri psikologis yang dominan dari si terjajah harus ditarik sebelum dilakukannya invitasi dari si penakluk ( Fanon 1965, hlm.63). Sedangkan ungkapan Gandhi kita telah membawa inggris dan menjaganyaaa. Mengapa kamu lupa bahwa penerimaan kita atas peradaban mereka membuat kehadiran mereka di India menjadi sangat mungkin? Kebencianmu pada mereka harus dialihkan pada kebencian terhadap peradaban mereka ( Gandhi 1938, hlm. 66).
  Alih-alih melihat dirinya sebagai, atau dalam cerita sang tuan, kini sang budak dipaksa untuk melihat dirinya di samping sang tuan. Ia dipaksa, meminjam ungkapan Bhabha, memimpikan citra manusia paska-pencerahan yang ditambatkan pada, tidak dikonfrontasikan oleh, refleksi gelapnya, bayangan manusia terjajah, yang memecah kehadirannya, mendistorsi kerangka berpikirnya, menerobos batas-batasnya.. menggangu dan mendistorsi saat dari wujudnya yang sesungguhnya ( Bhabha 1994, hlm.44).   
4.            Penutup
Melihat definisi dan sejarah anak-anak Indo di Indonesia maupun di Belanda dari zaman penjajahan serta awal Indonesia merdeka. Memang posisionalitan Indo-Eropa selalu saja bahan pembicaraan dari zaman  Indonesia dijajah oleh Belanda Serta sampai pada jajahan Jepang. Identitas mereka selalu diragukan dan sulit untuk diterima di Indonesia maupun di negara ayah mereka di Belanda. Karena mengaggap anak Indo-Eropa bodoh dan tolol yang sulit untuk menempatkan posisi mereka dimana.
Serta penjelasan mengenai ras, kelas dan kolonialisme yang diungkapkan oleh Ania Loomba, bagaimana pandangan orang Eropa terhadap warna kulit orang Indonesia yang berkulit hitam dan sawo matang dibandingkan warna kulit orang Eropa yang identik dengan kulit putih. Dampak kolonial, serta mengenang poskolonialisme, dan pemulihan budak yang dikutip oleh Leela Gandhi. Analisis ini ingin mempertegaskan posisionalitas Indo dalam pascakolonial.
Serta hukum-hukum yang dibuat Belanda terhadap kaum Indo







Daftar Pustaka
Baay, Reggie.”Beelden van Een Oermoeder.Visies op De Njai in De Indisch Nederlandsch Literatuur”. Dalam Michiel van Kempen, Piet Verkruijsse dan Adrienne Zuiderweg (ed). 2004. Wandelaar onder De Palmen. Opstellen over Koloniale en Postkoloniale Literatuur en Cultuur, hlm.99-111. Leiden.

Paasman, Bert.”De Indisch-Nederlandes Literatuur uit de VOC tijd”. Dalam Theo D’haen (ed).2002. Europa Buitengaats. Koloniale en Poskoloniale Literaturen in Europese Talen,hlm.33-97. Amsterdam
Chijs van der, J.A.(ed). 1885-1900. Nederlandsch –Indisch Plakaatboek 1602-1811.16 jilid dan indeks. S-Gravenhage.
Nieuwenhuys, Rob.1982. Komen en Blijven. Amsterdam
Ming, Hanneke. 1983.” Barracks- Concubinage in The Indies,1887-1920”. Indonesia, No.35,hlm. 65-93. Cornel Southeast Asia Program.
Creusesol dan Hendri Borel. 1913. Een Werkkring in Indie.Pro en Contra. Betreffende Vraagstukken van Algemeen Belang. Baarn.      







[1] Paasman menunjukan bahwa hal ini digambarkan terutama di dalam lagu-lagu pada waktu itu. Dalam: D’haen, Europa buitengaats,65
[2] Van der Chijs, Nederlandsch Indisch Plakaatboek 1602-1811.Jilid 1,82
[3] Foore, Indische Huwelijken,116
[4] Nieuwenhuys, Komen en Blijven,90
[5] Dikutip dalam: Ming,”Concubinage in The Indies”,70. Pernyataan lisan pada 29 Desember 1903.13 Kementerian Penjajahan.
[6] Crusesol dan Borel, Een Werkkring in Indie,27
[7] De Locomotief, 5 Juli 1902
[8] Idem, 12 Agustus 1902
[9] Idem,8 September 1904
[10] Idem, 18 Juli 1902
[11] Idem,21 Juli 1902
[12] Idem,8 Oktober 1902
[13] Van Motman, De Familie Van Motman 1600-2006,65
[14] Van Rees, Het Pauperisme onder De European in Nederlandsch Indie, Bagian pertama,3
[15] Marx,K 1961.capital
[16] Surat Tjalia Robinson kepada Rob Nieuwenhuys, 25 April 1971