see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Kamis, 06 Maret 2014

Ringkasan Buku Mythologies dari Roland Barthes Bagian Myth Today

Ringkasan Buku Mythologies dari Roland Barthes
Bagian Myth Today
Oleh: Anto, Hans, Koko

Mitos sebagai Tipe Wicara (hlm. 109)
         Mitos adalah suatu alat komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan. Mitos mempunyai cara tersendiri dalam menyampaikan pesan sehingga tidak tergantung oleh objek. Caranya adalah dengan menghadirkan mitos yang terlihat alamiah atau terjadi secara alami sesuai dengan realitas yang ada. Segala sesuatu dapat menjadi objek mitos karena segala sesuatu memiliki keterbukaan untuk dibicarakan dalam masyarakat. Hanya saja semua objek tidak dapat diungkap secara bersamaan melainkan silih berganti. Mitos memiliki landasan historis karena telah dipilih oleh sejarah sebagai tipe wicara. Dan pada dasarnya mitos termasuk kedalam ilmu umum, yaitu semiologi. Untuk memperjelas hubungan mitos dengan semiologi maka di bawah ini akan dipaparkan mengenai mitos sebagai suatu sistem semiologi.

Mitos sebagai Sistem Semiologi (Semiological system) (hlm. 111)
         Semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan penanda. Pertama kali istilah ini diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure. Mitos termasuk dalam wilayah semiologi, sebab mitos merupakan tipe wicara yang membahas mengenai tanda. Dalam semiologi yang dianut oleh Ferdinand de Saussure ada dua istilah di dalamnya yaitu signifier dan signified atau yang disebut dengan penanda dan yang ditandakan (petanda). Hubungan keduanya bersifat ekuivalen karena objek yang menjadi bagian dari kategori berlainan. Namun menurut Barthes dalam semiologi terdapat tiga istilah yaitu signifier, signified, dan sign atau penanda, petanda, dan tanda. Ketiganya memiliki implikasi fungsional yang erat serta berperan penting dalam menganalisa mitos sebagai bentuk semiologi. Ketiga hal ini sebenarnya hanyalah formalitas sebab intinya akan berbeda seperti pada Saussure petanda adalah konsep, sedangkan penanda adalah gambaran akustik dan tanda adalah hubungan konsep dan citra. Dalam mitos ditemukan tiga istilah tersebut, namun mitos adalah suatu sistem khusus yang terbangun dari serangkaian rantai semiologis yang ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda pada sistem pertama, menjadi penanda pada sistem kedua. Dalam mitos terdapat dua sistem semiologis yaitu linguistik yang disebut sebagai bahasa objek dan mitos disebut dengan metabahasa. Untuk lebih memperjelasnya akan digunakan tabel sebagai berikut:

         Dalam mitos, penanda dapat dilihat dari dua sudut pandang: sebagai istilah akhir sistem linguistik atau sebagai istilah pertama dari sistem mitis. Dalam taraf bahasa disebut penanda makna dan pada tingkat mitos disebut dengan bentuk. Adapun dalam petanda, tidak mungkin ada ambiguitas sehingga digunakan nama konsep. Kemudian dalam tingkat ketiga yang merupakan korelasi dari keduanya dalam sistem linguistik disebut dengan tanda namun kata ini tidak dapat dipakai tanpa ambiguitas, karena dalam mitos penanda telah dibentuk oleh beberapa tanda bahasa. Istilah ketiga ini disebut dengan pemaknaan. Kata ini digunakan, sebab mitos dalam kenyatannya mempunyai fungsi ganda. Mitos dapat menunjukkan dan memberitahu, membuat kita dapat memahami suatu hal dan membebani kita dengan suatu hal yang lain.

Bentuk (The Form)
         Dalam mitos penanda (signifier) bersifat ambigu karena penanda itu adalah makna sekaligus bentuk. Penanda ini memiliki realitas sensorik, di mana di dalamnya terdapat nilai tersendiri yang bersifat historis. Ketika penanda menjadi makna, terbentuk suatu pemaknaan yang memenuhi dirinya asalkan mitos tidak tergantung dan menjadikannya sebagai bentuk yang kosong dan parasitis. Kemudian saat menjadi bentuk, mitos meninggalkan kemungkinan makna yang mengitarinya sehingga menghasilkan kekosongan, kemiskinan, penguapan sejarah, dan yang disisakan hanya huruf-huruf.

Pada dasarnya bentuk tidaklah menyembunyikan makna, hanya saja ia memiskinkan makna yang menempatkannya pada jarak tertentu, dan bentuk juga memiliki makna yang telah siap untuk digunakan. Intinya, makna tidak akan sirna, hanya saja ia menjaga dirinya dengan menggunakan bentuk dalam mitos, karena makna selalu ada untuk bentuk. Contoh sederhana dari bentuk adalah bunga mawar merah sebagai ungkapan cinta.

Konsep (The Concept)
         Konsep adalah petanda (signified) dari mitos yang bersifat historis sekaligus intensional. Konsep adalah suatu motivasi yang mengakibatkan terungkapnya mitos, ia tidak abstrak, digunakan sebagai alat menempatkan sejarah dalam mitos. Konsep memiliki suatu kecenderungan karena terkait dengan suatu fungsi. Ia juga masih menampung penanda, akan tetapi lebih miskin dari penanda karena petanda kerap menghadirkan dirinya kembali.
Bentuk dan konsep memliki perbandingan terbalik dalam hal kekayaan dan kemiskinan makna.
to the qualitative proverty of the form, which is the repository of a rarefied meaning, there corresponds the richness of the concept if the open of the whole history; and to the quantitative abudance of the forms there corresponds a small number of concept (Mythologies:120)

Kemiskinan bentuk secara kualitatif yang kandungan maknanya dikurangi sejalan dengan konsep yang memiliki keterbukaan terhadap sejarah, dan secara kualitatif bentuk sejalan dengan sedikitnya jumlah konsep

Dalam konsep tidak ada rasio antara isi dari petanda dan penanda. Pada bahasa rasio berbanding lurus sehingga memiliki kesatuan yang nyata. Sedangkan pada mitos, konsep dapat tersebar keseluruh penanda. Konsep mitis tidak memiliki kepastian, ia bisa berwujud, tercerai berai lalu menghilang. Hal ini dikarenakan konsep bersifat historis sehingga dapat dikubur dengan mudah oleh sejarah begitu saja. Ketidakstabilan ini memaksa mitolog untuk menggunakan terminologi yang telah disesuaikan dengannya. Konsep adalah unsur yang membentuk mitos, di mana sebelum kita ingin menguraikan mitos kita juga harus bisa memberi nama sejumlah konsep. Contoh: mawar sebagai ungkapan cinta kemudian diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis. Mawar adalah bentuk dan konsepnya adalah diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis.

Pemaknaan (The Signification)
Pemaknaan adalah tanda (sign) dalam semiologi Roland Barthes merupakan gabungan dari penanda dan petanda (bentuk dan konsep) yang disajikan secara utuh sesuai dengan fakta aktual. Untuk melangkah menuju pemaknaan diperlukan refleksi antara bentuk dan konsep. Pertama yaitu memeriksa bahwa bentuk dan konsep benar-benar nyata dalam mitos. Keduanya tidak ada yang tersembunyi sehingga mitos tidak menyembunyikan apapun, tujuannya adalah untuk mendistorsi bukan untuk menghilangkan makna. Dalam linguistik pemaknaan atau meaning bersifat arbitrer, namun terbatas. Dalam mitos pemaknaan (signification) tidak bersifat arbitrer, sebab sebagian dari pemaknaan didorong oleh suatu motivasi yang mengakibatkan mitos mengandung analogi. Analogi yang dimaksud adalah antara makna dan bentuk yang termotivasi.

Mitos merupakan sistem ideografis murni, di mana beberapa bentuknya masih termotivasi oleh konsep yang mereka hadirkan meskipun dalam jangka panjang belum mencakup kehadiran kemungkinan-kemungkinan lain. Dan saat historis ideograf meninggalkan konsep secara perlahan-lahan dan terasosiasikan dengan bunyi, maka perkembangannya semakin lama semakin kurang motivasi. Ini mengakibatkan mitos menjadi usang yang ditengarai dengan kesewenang-wenangan pemaknaannya.
Sebagai contohnya, meneruskan contoh dari bentuk dan konsep, yaitu mawar merah sebagai ungkapan cinta diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis. Yang dimaksud dengan pemaknaan adalah bunga mawar yang diberikan kepada gadis itu adalah tanda jika pria tersebut cinta terhadap sang gadis.

Pembacaan dan Penguraian Mitos
Dalam Mythologies, Barthes mengemukakan cara pembacaan dan penguraian mitos yang dibagi kedalam tiga bagian:
1. Fokus pada penanda kosong
         Tipe pembacaan ini adalah dengan membiarkan konsep mengisi bentuk mitos tanpa ambiguitas atau menyampaikan dengan gamblang maksud dari suatu mitos. Dari contoh bunga mawar merah maka pembaca mitos memusatkan pembacaannya pada bunga mawar merah sebagai tanda cinta.
2. Fokus pada penanda penuh
         Pembacaan ini membedakan antara makna dari bentuk, dengan kata lain membuka mitos sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Pembacaan seperti ini mengakibatkan adanya distorsi terhadap pihak lain sehingga pembaca melepaskan pemaknaan mitis dan menerima penipuan. Mengikuti contoh bunga mawar maka pembaca mitos memfokuskan pembacaannya pada pemberian bunga mawar merah dari seorang pria kepada seorang gadis.
3. Fokus pada penanda mitis
         Pembacaan tipe ini adalah pembacaan yang menerima makna ambigu dari penggabungan antara makna dan bentuk. Tipe yang ketiga memungkinkan untuk pembaca memaknai mitos sesuai kemampuan dirinya. Melanjutkan contoh bunga mawar maka penanda ditingkat ini adalah penanda mitis, sehingga pembaca memaknai jika bunga mawar diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis maka pembaca dapat memaknai bahwa sang pria cinta terhadap sang gadis ataupun yang lain sesuai dengan penafsiran si pembaca.

Untuk mempelajari mitos dalam sejarah secara umum yang memiliki hubungan dengan masyarakat maka pembaca harus menempatkan dirinya dalam pembacaan tingkat ketiga. Hal ini dilakukan agar pembaca menggunakan kemampuan dalam dirinya untuk menelaah mitos. Bagaimana ia dapat menerima mitos tersebut? Bila dia menerimanya secara naïf, lalu apa tujuan ditawarkannya mitos tersebut kepadanya? Dan seandainya ia membaca mitos menggunakan kekuatan refleksinya, seperti seorang mitolog, alibi mana yang akan dihadirkan menjadi sesuatu yang penting? Menurut Barthes ini hanyalah dilema palsu, menurutnya mitos tak menyembunyikan apapun dan tak memamerkan apapun: ia hanya mendistorsi; mitos bukanlah suatu dosa atau pengakuan ia hanyalah sebuah infeksi. Ketika ditempatkan dalam dilemma tersebut mitos menemukan jalan ketiga dan akhirnya akan menuju pada prinsip dasar mitos yang mengubah sejarah menjadi sesuatu yang alamiah (mengubah sesuatu yang sengaja dibuat dalam sejarah menjadi sesuatu yang diyakini terjadi secara alamiah).



Wicara yang Didepolitisasi (Depoliticized Speech) (hlm. 142)

Dalam semiologi mitis kalangan masyarakat borjuis menganggap mitos adalah wicara yang didepolitisasi. Maksud dari depolitisasi adalah dalam mitos dilepaskan dari hal-hal yang bersifat/berbau politis. Oleh karena itu mitos membicarakan berbagai hal kemudian membuat hal-hal itu menjadi sesuatu yang alamiah dan bersifat abadi. Akan tetapi, mitos tidak selalu menjadi wicara yang didepolitisasi karena seperti dalam teori Marx:

that the most natural object contains a political trace, however faint and deluted, the more or less memorable presence of the human act which has produced, fitted up, used, subjected or rejected” (Barthes:143)

objek yang sangat natural sekalipun memuat jejak politik, walaupun lemah dan cair, kurang atau lebih menghadirkan tindakan manusia yang telah menghasilkan, memperbaiki, menggunakan, menundukkan atau menolaknya

Depolitisasi yang dibentuk oleh mitos sering menyinggung sesuatu yang telah dinaturalisasi. Ada dua tipe mitos: mitos yang kuat dan mitos yang lemah. Pada tipe yang pertama, kuantum politik ada di titik antara, depolitisasinya bersifat kasar atau mendadak.
Tipe kedua, kualitas politisnya telah luntur seperti halnya warna, namun sesuatu yang amat halus bisa mengembalikan kekuatannya secara brutal. Hal ini memperlihatkan bahwa metabahasa membentuk suatu perlindungan terhadap mitos. Sebab dengan mitos, manusia memiliki hubungan berdasarkan manfaat bukan atas kebenaran.

Mitos Aliran Kiri (Myth of the Left) (hlm. 145)
         Karena mitos ada yang didepolitisasi maka ada tipe mitos yang bersifat politis. Mitos ini biasanya digunakan oleh kaum proletar (kelas bawah bisa disebut juga kaum buruh) berbentuk bahasa politis yang digunakan untuk menciptakan dunia. Sayap mitos ini tercipta ketika makna menggunakan kedok dengan menyembunyikan namanya yang menghasilkan metabahasa yang naif sehingga mendistorsi dirinya sebagai sesuatu yang alamiah.
         Mitos ini sangat miskin karena tidak mengetahui bagaimana cara agar bisa berkembang. Ia merupakan mitos kaum tertindas yang berusaha mencipta dunia dengan tujuan untuk melakukan transformasi. Ini adalah suatu bentuk bahasa yang bersifat politis, akan tetapi mitos ini tidak dapat berkembang secara luas seperti yang dilakukan mitos sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan mitos yang dimunculkan tidak cukup kuat untuk melawan mitos yang ada.

Mitos Aliran Kanan (Myth on the Right) (hlm. 148)
         Mitos ini sering digunakan oleh kaum borjuis untuk mengabadikan kekuasaan. Mitos ini pada dasarnya berisi tentang hal-hal yang bersifat esensial dan memanfaatkan segala sesuatu untuk menjaga kekuasaan borjuis. Kaum borjuis ingin menjaga realitasnya dengan menciptakan mitos. Borjuis disini disebut oleh Barthes sebagai penindas yang memiliki segala-galanya dan memiliki hak istimewa atas meta-bahasa. Adapun ciri-cirinya adalah imunisasi, privatisasi sejarah, identifikasi, tautologi, neither-norisme, kuantifikasi kualitas, pernyataan tentang fakta.
1. Imunisasi (The Inaculation),
penerimaan atas kejahatan dari suatu institusi yang terikat kelas yang lebih baik dalam menyembunyikan kejahatan utamanya. Seseorang mengimunisasi kandungan imajinasi kolektif dengan alat suntik kecil kejahatan yang diakui, sehingga orang tersebut melindunginya agar tidak menghadapi resiko berupa subversi yang digeneralisasikan. Lantas kebaikan borjuis tidak berkompromi dengan apa pun, ia menjadi luwes kembali karena aliran imunisasi ini dapat dicontohkan dengan tindakan.
2. Privatisasi Sejarah (The Privatization of History),
di mana mitos menghilangkan sejumlah objek yang membicarakan keseluruhan sejarah agar pembaca mitos memaknainya sesuai dengan keinginan pencipta mitos.
3. Identifikasi
4. Tautologi
5. Bukan ini dan bukan itu (Neither-Norism)
6. Kuantifikasi dari kualitas
7. Pernyataan tentang Fakta (The Statement of Fact),
Mitos cenderung mengarah kepada peribahasa. Ideologi borjuis menanamkan modal ke dalam cirinya yang sangat terikat kepada esensi. Disini mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita dapat menerimanya sebagai kebenaran yang tak perlu untuk diperdebatkan lagi.

Ciri-ciri tersebut kemudian oleh Barthes dibagi menjadi dua kategori besar yaitu esensi dan skala. Ideologi borjuis secara terus menerus mentransformasikan produk sejarah menjadi tipe-tipe esensial. Pada dasarnya moralitas borjuis bisa menjadi proses pertimbangan, esensi akan ditempatkan pada skala di mana orang borjuis akan tetap menjadi cahaya yang tak pernah bergerak.

Beberapa Catatan
         Mitos adalah tipe wicara baru yang fungsinya mendistorsi, mendeforma, menaturalisasi, dan menghistorisasi. Barthes mengungkapkan teori ini untuk melakukan kritik terhadap ideologi media masa. Mitos sendiri terdiri dari tiga bentuk yaitu penanda, petanda, tanda. Namun Barthes memakai istilah lain untuk tiga hal ini yaitu bentuk, konsep, dan pemaknaan.
         Pemikiran Roland Barthes mengenai mitos, memungkinkan pembaca menganalisa mitos secara sinkronik dan diakronik. Yang dimaksud dengan sinkronik di sini adalah makna terantuk pada suatu sejarah dan seolah terhenti di situ. Hal ini memungkinkan dilakukannya pencarian pola-pola tersembunyi yang ada dalam teks. Kemudian diakronik, ini memungkinkan untuk melihat kapan, di mana, dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis dipergunakan. Mitos yang di pilih diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca namun juga dapat dilihat dari mitos kemarin sore yang akan menjadi founding perspective histories.
Pada dasarnya mitos diciptakan oleh para borjuis untuk melanggengkan kekuasaanya terhadap kaum proletar. Yang jumlahnya lebih banyak agar harta para borjuis itu tidak berkurang, bahkan kalau bisa tetap bertambah. Walaupun para kaum borjuis ini mau bergaul ataupun hidup layaknya rakyat biasa namun tetap saja mereka mempunyai hak eksklusif yang tidak dimiliki oleh rakyat biasa. Dari tindakan borjuis tersebut, menurut penulis dapat diartikan sebagai tindakan dari penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaannya dengan cara mendekati rakyat biasa. akan tetapi tetap saja mereka memberi jarak agar kekuasaannya tetap terjaga. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai pemanfaatan rakyat untuk kepentingan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar