see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Rabu, 18 September 2013

Tong Sam Cong

Windu W. Jusuf
SEORANG teman suatu hari mengirim kabar gembira: foto-foto yang dijepretnya di Tibet akan dimuat di brosur promosi penerbangan ke sana. Bagi saya pribadi tempat itu tidak terlalu istimewa, mungkin kecuali sebagai wilayah yang mau merdeka.
Singkat kata, teman saya ini gandrung dengan ‘Spiritualitas Timur.’ Dan Tibet—yang sering dipertentangkan dengan ‘dogmatisme komunis Tiongkok’—mewakili itu.  Layaknya faksi tertentu kelas menengah Jakarta yang berpikiran ‘maju’ dan ‘bebas,’  ia membenci ‘ormas-ormas radikal,’ sadar haknya sebagai perempuan, memilih yoga sebagai pengisi waktu senggang, bercocok tanam organik di kebun belakang rumahnya, dan tak mau makan daging. Familiar? Setelah ofensif FPI makin kencang, Tong Sam Cong musiman seperti ini bertambah banyak—dan kalau tak mampu beli tiket ke Tibet, ke Bali saja sudah cukup.
Saya sempat iseng bertanya: Sebelum orang Cina datang ke sana, bukannya masyarakat Tibet sangat feodal, dengan mayoritas tanah dikuasai para biksu dan tuan tanah? Jangan-jangan, sadar atau tidak, yang mengajarkan orang Tibet untuk merdeka adalah komunis Cina sendiri? Walhasil teman saya, yang sudah bolak-balik ke sana pun dongkol bukan main.
Saya ingat ada satu tulisan dari Susan Sontag, Questions on Travel, yang membahas tentang bagaimana narasi perjalanan membentuk imajinasi tentang tempat asing. Bukan sesuatu yang baru memang. Para pendekar poskolonial sudah lama bergelut dengan topik ini, dan tak selesai-selesai mempertanyakan konstruksi ‘Barat’ atas ‘Timur’—Timur yang dalam catatan perjalanan pelancong Eropa dipersepsikan eksotik, polos, malas, jorok, irasional, gila kawin, tukang piara budak, pecandu, dan seterusnya.
Penekanan Sontag berbeda. Ia bicara tentang idealisasi—dua sisi dari mata uang yang sama dengan penggambaran buruk—atas Timur. Pembayangan tentang Timur justru hadir sebagai kritik moral terhadap Barat. ‘Narasi-narasi perjalanan lahir,’ tulis Sontag, ‘ketika batasan antara mana yang beradab dan biadab semakin kabur.’
Orang Prancis sekitar abad 18 gandrung akan Tiongkok, yang konon sudah bisa membangun istana dari pualam di saat orang Eropa masih makan cacing. Kini kalangan neokonservatif di Amerika sana, membayangkan Iran sebagai Setan Besar, yang konon bersumpah akan mengerahkan 40.000 martir untuk mengenyahkan Israel. Namun, percaya atau tidak, satu roman yang laku keras di abad itu adalah Surat-Surat Persia karangan Montesquieu. Dalam satu bagian, si pelancong Persia terkaget-kaget menyaksikan toleransi agama diinjak-injak oleh Jesuit, sesuatu yang tak pernah ia saksikan di kampung halamannya. Tentu saja si orang bijak asal Persia itu adalah murni rekaan si pengarang. Montesqieu tak pernah menginjakkan kaki di Persia. Karakter-karakter dari negeri asing yang dikarangnya boleh jadi tercipta berdasarkan  tulisan-tulisan orang lain.
Tapi Sontag juga tak hanya membahas kisah-kisah perjalanan di mana masyarakat antik Asia waktu itu dipersepsikan stabil, maju, dan makmur. ‘Timur’  dalam catatannya sekaligus mewakili ‘negeri-negeri merdeka,’ yang menghasilkan masyarakat baru setelah pergolakan  politik yang keras. Jika di jaman Montesquieu si orang Timur dikisahkan melancong ke Barat, di era-era setelahnya, para penulis sengaja melancong ke luar untuk mencari model tatanan masyarakat yang dirasa pas.  Imajinasi moral pun berkembang menjadi imajinasi politik.
Ketika negerinya bolak-balik dilanda arus revolusi dan reaksi, Alexis de Tocqueville melancong ke Amerika dan menyaksikan asosiasi-asosiasi bebas, kemerdekaan dari masa silam yang feodal, dan kebebasan beragama sebagai syarat mutlak demokrasi. Dan dalam hal melancong dan mencatat,  Tocqueville punya banyak murid, baik dari kiri maupun kanan. Yang ada di kanan, di Indonesia misalnya, kembali ke negeri mereka dengan resep yang sudah jadi: tak ada demokrasi tanpa pembangunan,tanpa kelas menengah, tanpa pasar bebas, atau yang paling mutakhir: tanpa facebook dan twitter.
Banyak pula yang berasal dari kubu kiri. Setelah kemenangan Bolshevik, para penulis Eropa berbondong-bondong ke Rusia, penasaran ingin menyaksikan eksperimen ‘kuasa soviet plus elektrifikasi.’  Di era Perang Dingin, jumlahnya bertambah. Namun ada juga yang kecewa melihat rakyat Rusia semakin tak berkutik di hadapan birokrasi. Dikompor-kompori lagi oleh serbuan Rusia ke Hungaria, sebagian dari yang kecewa ini jadi anti-komunis. Mereka batal menghasilkan laporan gemilang tentang prestasi masyarakat soviet. Sementara beberapa lainnya, ketika mendengar Republik Rakyat China diproklamirkan, menggeser kiblat dari Moskwa ke Peking. Konon sosialisme gaya Peking lebih demokratis.
Anehnya, catat Sontag, setelah Revolusi Kebudayaan yang gagal, apa yang mereka laporkan tidak hanya mirip, tapi juga identik: ‘Komune petani teh di Hangchow yang sama, pabrik sepeda di Peking yang sama …’. Kabarnya, Partai mengontrol tempat mana yang boleh dikunjungi penulis asing. Setelah Rusia, lalu Cina—dan seiring Perang Dingin reda—catatan-catatan ini menghilang, digantikan buku-buku yang melaporkan ‘kejahatan komunis’ semacam Buku Hitam Komunisme, yang tidak sekali-dua kali ditulis oleh orang-orang yang mencantumkan biodata: ‘Di masa mudanya, ia seorang anggota Partai Komunis.’
Satu gejala umum yang agaknya mampu menjelaskan mengapa penulis-penulis ini gampang mengalami demoralisasi lalu berpindah kiblat: mereka hanya peduli dengan letupan-letupan di awal, romantisisme ‘perlawanan rakyat’, dan sejenisnya. Ketika tatanan politik yang lahir dari proses-proses tersebut mulai terbentuk—dan tak jarang harus mengambil jalur kekerasan untuk mengenyahkan sisa-sisa rejim lama yang masih menguasai senjata dan tentara—mereka pun langsung kecewa berat  tanpa mau tahu detil prosesnya. Sisanya ialah episode yang terus berulang: mencari kiblat baru. Mereka pertama-tama memandang sosialisme tidak sebagai proyek, alih-alih sebagai sebuah oase ‘kearifan’ (‘wisdom’) di tengah masyarakat kapitalis yang kian ‘jahiliyyah’ dan konsumeris—tak beda-beda jauh dari mereka yang berkoar-koar ‘Khilafah solusinya!’
Entahlah, mungkin saya pun harus koreksi diri supaya tidak memperlakukan Venezuela layaknya teman saya memandang Tibet.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar