see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Jumat, 21 Agustus 2015

Pendidikan Tinggi Pemasok Buruh Ahli

Disusun Oleh:
Martinus Radityo Adi
Pengantar                 
            Kakak saya cukup berpengaruh pada keputusan saya untuk kuliah dengan cerita-cerita seputaran dinamika kampus yang sedang dia jalani waktu itu. Sejak tahun 2002 saya sudah mendapatkan kesempatan untuk mengenyam atmosfir pendidikan tinggi di Universitas Sanata Dharma. Ketika sambil lalu saya perhatikan dinamika mahasiswa di Universitas Sanata Dharma, ada beberapa fenomena yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mahasiswa di universitas ini memang sangat beragam, dari latar belakang yang bisa dikatakan Indonesia kecil, mungkin dari Sabang sampai Merauke semua ada. Perilaku mahasiswanya pun sangat beragam. Dari yang disiplin sampai yang leda-lede pun ada. Namun saya yakin, bahwasannya fenomena di Universitas Sanata Dharma bisa sedikit banyak mewakili apa yang terjadi di universitas-universitas lain. Bahkan mungkin saja di universitas lain lebih dinamis.
            Ada pola yang berbeda dari perilaku akademis mahasiswa dari masa ke masa. Sampai pada tahun 2000-an, mahasiswa cenderung santai dan rileks dalam menempuh masa studinya sehingga banyak dari mahasiswa ini yang menyandang gelar 'Mapala' yang mempunyai maksud 'mahasiswa paling lama'. Uniknya, mahasiswa yang tergabung dalam UK Mapala (Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam) kebanyakan akan menyandang gelar yang sama -Mapala (Mahasiswa Paling Lama). Sedang pada tahun setelah 2000, mahasiswa cenderung lulus dengan lebih cepat.
            Pola mahasiswa yang berubah ini sedikit banyak terpengaruh dari kebijakan kampus itu sendiri. Di Universitas Sanata Dharma misalnya, kalau tidak salah ingat, semenjak tahun 2004 mahasiswa diberikan waktu studi maksimal 5 tahun. Jika mahasiswa tidak mampu menyelesaikan studi mereka dalam waktu yang disediakan oleh pihak kampus, maka mereka harus mempersiapkan diri untuk menyandang gelar 'DO' atau Drop Out (walau banyak dari mahasiswa ini menerima “kebebasan bersyarat” dari kampus). Biasanya, untuk mahasiswa yang mengalami peristiwa naas tersebut pihak kampus akan memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk mengundurkan diri. Cara ini dianggap lebih persuasif, manusiawi, dan egaliter dari pada pihak kampus menjatuhkan vonis 'DO' yang mengerikan kepada mahasiswa naas tersebut.
            Kebijakan kampus yang dikeluarkan dalam rangka pendidikan ini terkait di beberapa wilayah antara lain; masyarakat, pemerintah dan permintaan pasar. Dalam arti lain, pendidikan menjadi bahan tarikan di ke-tiga wilayah tersebut. Sedangkan, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan pendidikan nasional. Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah euforia tentang pasar bebas, yang memang tidak bisa dipungkiri, pemerintah merespon positif akan hal tersebut.
            Pasar bebas sangat membutuhkan tenaga-tenaga ahli siap pakai untuk mengikuti bahkan berakselerasi dalam sistem pasar antara lain produksi, distribusi, dan konsumsi dalam persaingan tingkat internasional. Oleh karena itu, negara-negara pemuja pasar bebas akan mengkonstruksi kebijakan-kebijakan dalam negeri, salah satunya dalam bidang pendidikan, sebagai upaya untuk membangun daya saing.
            Menurut Drijarkara, pendidikan itu harusnya semakin memanusiakan manusia muda. Tantangan pendidikan saat ini bukanlah pada bagaimana mencetak tenaga-tenaga ahli yang siap kerja saja, namun juga membentuk intelektual publik yang siap menjadi oposisi dari intelektualitas yang semakin condong mengarah ke pasar bebas.
            Negara semakin maju akan cenderung makin masuk ke dalam percaturan pasar bebas. Indonesia tergabung dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area). Indonesia juga mengarahkan pendidikan nasional melalui perundangan, kemendiknas, dan sebagainya. Dari kebijakan-kebijakan yang ada kita bisa mengetahui apakah pendidikan yang diselenggarakan oleh Indonesia masih bisa dikatakan “Pendidikan” atau sudah bergeser menjadi lembaga pelatihan, kursus atau bahkan kaderisasi.

Pembahasan
            WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangn Dunia merupakan satu-satunya badan dunia yang yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Tujuannya adalah membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam kegiatan perdagangan. WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995.
            Ada sebuah perjanjian di bawah WTO yang disebut GATS (General Agreement Trade in Services) yang mengatur secara umum untuk sektor jasa. Tujuan GATS adalah untuk memperluas tingkat liberasi sektor jasa di antara negara-negara anggota, sehingga diharapkan perdagangan di sektor jasa semakin berkembang.
            Pelayanan pendidikan dimasukkan dalam golongan jasa atau services. Semenjak pelayanan pendidikan dimasukkan dalam kategori jasa, terbentuklah dua wacana besar yang saling berseberangan antara pendidikan adalah layanan publik (publik good) dan pendidikan adalah jasa (services). GATS mempunyai potensi melemahkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional karena semua layanan publik harus terbuka untuk persaingan asing. Dampak GATS pada pendidikan tinggi meliputi subsidi, dana negara, akreditasi, jaminan kualitas, dll.
            Jika pendidikan masuk dalam dimensi ekonomi dan atau jasa, maka pendidikan merupakan layanan yang dapat diperdagangkan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Sekolah maupun perguruan tinggi bisa menawarkan apa yang mereka punyai sebagai komoditas. Iming-imingnya adalah ketrampilan pada bidang tertentu dan kesempatan kerja yang akan didapat oleh para calon peserta didik. Bahkan, sebuah institusi bisa menawarkan sebuah fasilitas tertentu bagi peserta didik yang diterima. Misalnya pemberian laptop gratis bagi yang diterima. Hal ini tentu saja menimbulkan persaingan bisnis dalam dunia pendidikan.
            Pasca Perang Dunia II, muncul kesadaran bahwa tenaga kerja yang berkualitas sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah peserta didik. Karena jumlah siswa atau peserta didik meningkat, maka permintaan akses untuk perguruan tinggi juga meningkat. Hal ini sejalan karena tenaga kerja di bursa lapangan kerja membutuhkan gelar universitas.
            Globalisasi didukung oleh keberhasilan Bahasa Inggris dalam mengambil alih bahasa nasional dalam pendidikan tinggi. Saat ini di Indonesia, Bahasa Inggris bahkan mulai dikenalkan sampai ke jenjang Sekolah Dasar. Pertukaran pelajar pun sebagai pintu masuk konsep budaya mancanegara. Baik swasta maupun pendidikan tinggi publik melihat bahwa mahasiswa asing merupakan sumber pendapatan.
            GATS mempunyai pengaruh dalam sistem pendidikan tinggi. Menurut Knight, internasionalisasi pada pendidikan tinggi adalah ketika pada saat yang sama dipengaruhi oleh globalisasi. Istilah nasionalisasi menggambarkan hubungan pertumbuhan antar bangsa dan antar budaya. Globalisasi tidak menciptakan satu dunia politik atau menghapuskan negara-bangsa. Tetapi mengubah kondisi negara-bangsa yang beroperasi (Marginson, 2000). Negara-bangsa yang telah terpengaruh oleh globalisasi akan merubah pola beroperasi yang lama-kelamaan akan mengikuti pola negara-negara maju.
            Globalisasi ini membuat perguruan tinggi mengalami reformasi. Kehidupan perguruan tinggi menjadi sangat kompleks. Birokrasi menjadi kompleks, massifikasi perguruan tinggi, terjadi privatisasi perguruan tinggi, korporatisasi perguruan tinggi, internasionalisasi perguruan tinggi negeri, dan lain sebagainya.
            Massifikasi perguruan tinggi mengakibatkan kekurangan sumber daya manusia terutama pada bidang staf pengajar. Banyak akademisi muda yang baru bergelar master direkrut untuk menjadi staf pengajar di universitas-universitas negeri. Idealnya, staf pengajar di perguruan tinggi yang sudah bergelar doktor. Di perguruan tinggi swasta, hal ini semakin parah. Banyak fresh graduate S1 yang direkrut untuk menjadi dosen. Alhasil, pihak perguruan tinggi harus menanggung biaya studi lanjut mereka agar sesuai dengan regulasi yang diterapkan pemerintah setempat.
            Ketika kekuatan akademik universitas semakin berkembang, pengelolaan institusi dibatasi oleh suatu lapisan birokrat profesional yang memiliki kekuatan besar dalam pelaksnaan administrasi sehari-hari di universitas tersebut (Altbach, 1991). Semua institusi umum didanai oleh pemerintah sehingga institusi-institusi tersebut berjalan sebagaimana departemen-departemen dalam pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menuntut adanya akuntabilitas dengan dana yang sudah dikeluarkan bagi universitas. Para akademisi harus menyerahkan pengendalian fiskal, meningkatkan produktifitas mereka, dan harus tunduk pada peraturan dan regulasi serta prosedur penilaian yang menyeluruh dan detail. Sebagai akibatnya, budaya akademik kehilangan kolegialitas dan menjadi lebih birokratis dan hirarkis dengan konsentrasi kekuasaan di atas.
            Perkembangan perguruan tinggi di Indonesia sangat cepat. Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk melakukan persaingan di antara mereka. Perguruan tinggi yang berkembang ini beberapa berorientasi pada laba yang didirikan oleh pengusaha-pengusaha, perusahaan swasta atau konsorsium, dan PT serta BUMN. Institusi swasta nirlaba didirikan oleh yayasan-yayasan, organisasi-organsasi amal, dan melalui dukungan masyarakat (Lee, 1999). Institusi swasta ini menawarkan berbagai macam program dalam berbagai macam bidang ilmu. Pembukaan sektor swasta juga membuka kesempatan kerja bagi para akademisi, namun kali ini bisa menyebabkan merosotnya etos kerja terutama bagi para akademisi yang bertugas di perguruan tinggi swasta yang kecil dan minim pendanaan.
            Pasar menentukan mata kuliah apa saja yang harus diajarkan, penelitian yang mana yang layak didanai. Dalam budaya korporasi inilah hasil penelitian seorang profesor di universitas mungkin tidak dinilai secara kriteria tradidional “apakah itu valid?”, namun dinilai dengan kriteria komersial “untuk apakah itu?” atau “apakah hal itu bisa dijual?”. Maka pendidikan model ini akan selalu mengacu pada jual-beli. Bukan pada hakikat pendidikan yang sebenarnya.
            Penetrasi budaya korporat ke akademisi tidak terbatas pada institusi swasta tetapi juga ke universitas negeri. Melalui korporatisasi, perguruan tinggi  negeri dibebaskan dari serangkaian supervisi  birokratik pemerintah dan harus beroperasi seperti halnya perusahaan bisnis. Perguruan tinggi swasta dikorporasi dalam pengelolaannya saja, tidak dalam hal pendanaan.
            Pendidikan tinggi dengan cepat terinternasionalisasi ke seluruh dunia dan Indonesia demikian juga. Internasionalisasi ini tercermin dari aliran ilmu pengetahuan, cendekiawan/sarjana, dan mahasiswa ke seluruh penjuru dunia melampaui batas-batas negara. Dengan kemajuan dan teknologi, banyak program pendidikan dihadirkan dan disampaikan dengan cara yang tidak tradisional lagi, misalnya pembelajaran jarak jauh, program lepas, dan pembelajaran elektronik.
            Para akademisi yang bukan menjadi bagian dari tim pengelolaan tidak memiliki suara dalam hal menjalankan institusi. Peran utama mereka adalah mengajar dan memastikan bahwa anak didik mereka lulus ujian. Di beberapa perguruan tinggi swasta bahkan perlakuan kepada mahasiswa justru lebih baik daripada perlakuan terhadap dosen-dosen mereka. Para mahasiswa diperlakukan sebagai konsumen yang sangat bernilai dimana keinginan dan kepuasan mereka diutamakan karena mereka telah membayar.
            Semua institusi dikelola secara manajerial dan bukan kolegial. Sehingga mayoritas akademisi merasa bahwa mereka juga memiliki suara yang lemah terhadap pembuatan keputusan dan sangat tidak mungkin memberikan pengaruh pada kebijakan akademik. Praktik birokratik yang top down termasuk dalam membuat keputusan-keputusan akademik telah memperlemah posisi staf akademik dimana mereka sebenarnya punya hak untuk ditanya.
            Selama lembaga-lembaga tersebut dijalankan secara komersial, sangat sering para dosen diwajibkan untuk memasarkan program-program mereka dan juga merekrut mahasiswa, karena jika ternyata program-program mereka tidak berjalan dengan baik, akan sangat mungkin mereka kehilangan pekerjaan. Untuk sebagian besar, budaya birokrasi akademik ini baik langsung maupun tak langsung telah mempengaruhi peran dan fungsi para akademisi.
            Lebih-lebih kebijakan-kebijakan kampus, padatnya tugas-tugas kuliah, ancaman DO, biaya kuliah yang tinggi, membuat mahasiswa menjadi back to campus, mahasiswa KUPU (habis KUliah Pulang) yang tanpa mereka sadari, kepedulian akan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Mahasiswa lebih memilih untuk stay on the track dari pada mereka tertimpa bencana DO.
            Hal-hal diatas adalah paling mungkin memengaruhi dinamika belajar para mahasiswa sehingga muncul fenomena-fenomena tertentu. Fenomena yang muncul pastilah tidak mungkin muncul begitu saja, namun berkaitan dengan sistem di mana mereka berada. Dalam hal ini ada kemungkinan wacana pasar bebas yang difasilitasi oleh WTO, World Bank dan kroni-kroninya telah berpengaruh pada sistem pendidikan nasional yang cenderung memenuhi kebutuhan pasar, bukan pada arti pendidikan itu sendiri. Bukan pula memenuhi kebutuhan ruang publik, memproduksi intelektual publik sehingga menciptakan manusia-manusia muda yang utuh, cerdas, dan humanis.
           
Kesimpulan
            Indonesia merespon positif pasar bebas dan menjadi member dalam AFTA. Indonesia membuat kebijakan dalam dunia pendidikan yang cenderung mengarah kepada kebutuhan pasar bebas. Pendidikan di Indonesia masih cenderung vokasional. Hal ini menimbulkan efek pada lulusan perguruan tinggi untuk selalu mencari perkejaan (dengan menjadi karyawan, babu).
            Para cendekiawan Indonesia hanya mempunyai tempat sebagai pengamat apapun sesuai bidangnya, paling banter ya cuma dosen. Para cendekiawan Indonesia belum mempunyai tempat strategis dalam pengambilan kebijakan publik demi kemaslahatan bangsa dan negara.




Daftar Pustaka
1. Philip G. Altbach, The Decline of the Guru The Academic Profession in Developing and Middle-Income Countries (2003)
2. Higher Education and GATS, Ales Vlk, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar