Membaca
Burung-burung Manyar Mangunwijaya
dalam Perspektif Pascakolonial
oleh:
Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)
Dalam
artikel In Search of the Postcolonial in
Indonesian Literature (1995), Keith Foulcher mencoba mencari jejak-jejak
nafas sastra pascakolonial Indonesia. Sastra Indonesia, sebagai bangsa yang
pernah dijajah, sangat unik jika dibandingkan dengan sastra-sastra bangsa yang
pernah dijajah lainnya. India, sebagai negara bekas jajahan Inggris,
menunjukkan salah satu ciri bangsa pascakolonial, yaitu digunakannya bahasa
penjajah, Bahasa Inggris, di dalam menulis sastra. Demikian pula dengan
bangsa-bangsa di Afrika yang, sebagai bekas jajahan Inggris atau Prancis,
menggunakan bahasa Inggris atau Prancis dalam menulis sastra. Bangsa Indonesia
bisa dikatakan sebagai satu-satunya anomali jika dibandingkan dengan
bangsa-bangsa pascakolonial lainnya. Apa yang terjadi dalam perkembangan sastra
bangsa-bangsa pascakolonial tersebut (seakan-akan) tidak memiliki paralelnya di
dalam perkembangan sastra Indonesia. Secara sederhana, Bangsa Indonesia sama
sekali tidak menggunakan bahasa penjajah sebagai bahasa nasional; tidak Bahasa
Belanda, apa lagi Bahasa Jepang.[1] Jadi,
ketika Bangsa India dan Bangsa-bangsa Afrika turut serta “meramaikan” dunia
Sastra Inggris dan Prancis karena mereka menulis sastra dengan dua bahasa
tersebut, Indonesia (seakan-akan[2]) tidak
pernah masuk ke dalam Sastra Belanda. Dan, ketika bangsa-bangsa pascakolonial
lainnya mengambil dua bahasa itu sedemikian rupa dan menggunakannya dengan
logat mereka sendiri, Bangsa Indonesia membuang jauh-jauh pengaruh kolonial supaya
dapat lahir sebagai bangsa yang nonkolonial.
Fenomena
pascakolonial yang unik tersebut terjadi oleh karena perkembangan sejarah yang
ternyata masih terdapat campur tangan si penjajah itu sendiri. H.M.J. Maier
menelusuri “penciptaan” Bahasa Indonesia ini. Bahasa Indonesia adalah hasil
dari politik bahasa Orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda itu merasa perlu
untuk berkomunikasi dengan pribumi, tetapi mereka kewalahan karena Orang-orang
Nusantara berbicara dengan bahasa yang sangat beragam. Sebenarnya para elit
Nusantara yang mendapatkan pendidikan Belanda telah mahir berbahasa Belanda,
bahkan tidak jarang para elit Nusantara itu justru lebih mahir berbahasa
Belanda dari pada keturunan Belanda itu sendiri. Akan tetapi, oleh karena
arogansi mereka, yang menganggap penduduk pribumi jauh lebih rendah dari pada
mereka, dan untuk menjaga jarak perbedaan antara yang Belanda dengan yang bukan
Belanda, Orang-orang Belanda itu melarang penduduk pribumi berbicara dengan
mereka dalam Bahasa Belanda. Untuk dapat menjembatani perjumpaan tersebut,
Belanda kemudian “menciptakan” Bahasa Indonesia, sebuah modernisasi dari Bahasa
Melayu Tinggi (High Malay), yaitu
Melayu Riau dan Malaka. Walaupun sebenarnya etnis-etnis di Nusantara saling
berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan Bahasa Melayu, yaitu Melayu
pasar, Belanda yang pada saat itu dilandasi positivisme Eropa berkeyakian bahwa
bahasa yang benar adalah yang tertulis. Padahal, Bahasa Melayu yang tertulis
itu, yaitu High Malay itu, justru
tidak dipahami oleh etnis-etnis di Nusantara. Namun demikian, berkembanglah hal
tersebut.
Para
elit Indonesia yang mendapat pendidikan Belanda sebenarnya mahir berbahasa
Belanda. Kartono, kakak Kartini itu, bahkan turut berpidato menggunakan Bahasa
Belanda dalam kongres Bahasa Belanda dan Sastra XXV pada Oktober 1899 di
Belanda sana. Para tokoh nasionalis Indonesia itu pun mematangkan pikiran dan
ide nasionalisme mereka dengan Bahasa Belanda. Tidak mudah bagi para pemuda
ketika pada 1928 mereka bersumpah berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu,
Indonesia. Meskipun secara resmi mereka telah bersumpah pada 1928, baru pada
tahun 1930 para pemuda (Jong Java, Jong
Batak, dan sebagainya) itu memakai nama yang berbahasa Indonesia, Pemoeda Indonesia.[3]
Soebandrio,
salah satu elite Nasional -- menteri pada era Soekarno, ketika masa aksi
polisionil[4]
Belanda (1945-1949) pernah menulis dengan kesadaran suatu keadaan yang oleh
Homi Bhabha disebut sebagai inauthenticity.
Pada September 1947 kala itu dia menulis dengan Bahasa Belanda[5],
I do not want to see my children
suffer in the same way their parents have done. The feeling of a double
consciousness, to see yourself through the eyes of a white person, with all the
inner conflicts bound up with that experience. Two souls, two ways of thinking,
in the one person... .[6]
Foulcher
pun sebenarnya menemukan beberapa karya Sastra Indonesia pada tahun 1928-1949
(era Sumpah Pemuda hingga tahun di mana akhirnya Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia) yang memperlihatkan keadaan inauthenticity a la Homi Bhabha, karena para tokohnya lahir dalam
dua budaya yang berbeda, sehingga karya-karya tersebut memenuhi kerangka
berpikir pascakolonial, meskipun tidak ditulis dengan menggunakan bahasa
penjajah. Foulcher menyebutkan Salah
Asuhan (Abdul Muis, 1928), Belenggu
(Armijn Pane, 1940), dan Atheis
(Achdiat K. Mihardja, 1949). Namun, seakan-akan karya-karya semacam itu lenyap
dari dunia Sastra Indonesia pascamerdeka (atau pasca-1965 kalau ingin lebih
tajam).
Ternyata
karya-karya sastra bernafaskan pandangan pascakolonial tidaklah lenyap.
Sebenarnya para seniman Lekra sejak 1950 mengharuskan wacana “antikolonial”
menjadi agenda kebudayaan. Foulcher pun menemukan Pramoedya Ananta Toer, yang
setelah bertobat dari humanisme universal ke marxisme, berbicara dengan
demikian cerewet tentang tema-tema pascakolonial. Akan tetapi, kemudian dia
dibungkam oleh penguasa (Orde Baru) selama 14 tahun di Pulau Buru. Walaupun
demikian, justru dari camp
pengasingannya itulah lahir tetralogi bernafaskan pandangan pascakolonial yang
melegenda, Tetralogi Pulau Buru.
Empat
tahun kemudian setelah Foulcher menelusuri jejak-jejak sastra pascakolonial
Indonesia, Ward Keeler dalam makalah berjudul Durga Umayi dan Dilema Pascakolonialis[7]
(1999) bertanya, “[A]pakah yang membuat Pramoedya begitu menarik bagi kami
(Akademisi Barat) dan begitu kurang menarik bagi banyak --tentu saja tidak
semua-- pembaca Indonesia?”[8]
Keeler pun bertanya lebih lanjut, “[S]iapa penulis Indonesia sekarang yang
ide-idenya serupa dengan yang menggugah Pramoedya?”[9]
Keeler menemukan sosok Mangunwijaya. Di dalam makalahnya tersebut dia membahas
sejauh apa nafas pandangan pascakolonial Mangunwijaya tersebut dengan mengikuti
dan sekaligus mengkritik kritik Michael Bodden tentang novel terakhir
Mangunwijaya, Durga Umayi.
Saya
pribadi sebenarnya belum pernah membaca Durga
Umayi, tetapi saya sudah membaca beberapa buku Y.B. Mangunwijaya yang lain
baik yang fiksi (sastra) maupun bukan. Pada masa saya membaca buku-buku
Mangunwijaya tersebut, saya belum memiliki kaca mata pascakolonial, sehingga
saya hanya membacanya semata bahwa itu adalah pemikiran-pemikiran seorang
pastor katolik yang humanis antifasis. Kini, setelah memiliki pisau analisa
pascakolonial, dan setelah membaca makalah Keeler tersebut di atas, saya merasa
bahwa ke-pascakolonialitas-an Y.B. Mangunwijaya dapat ditelusuri jauh sebelum
novelnya Durga Umayi[10],
yaitu pada novelnya yang dicetak kali pertama pada Agustus 1981, Burung-burung Manyar.
Burung-burung Manyar
adalah kisah perjalanan hidup yang ambivalen dari seorang bernama Setadewa.
Bahkan, sejak lahirnya dia telah menjadi seorang ambivalen: papinya masih
ningrat Jawa dari Pura Mangkunegaran Sala, berpendidikan Tentara Belanda,
bahkan seorang Kapten KNIL; sedangkan maminya adalah seorang (blasteran[11])
Belanda. Namun, sebelum jauh Mangunwijaya bercerita panjang lebar tentang
Setadewa ini, terlebih dahulu dia melakukan semacam suluk Dalang, yaitu pada bagian singkat yang disebutnya
‘prawayang’. Mangunwijaya bercerita tentang suatu keadaan ambivalen a la Wayang dalam Lakon Baratayudha. Dia
mengingatkan kita akan tokoh bernama Baladewa, yang ketika muda bernama
Kakrasana, yang tak lain merupakan titisan dari Bathara Basuki (dewa naga
penopang bumi raya). Dalam perang Baratayudha, Baladewa yang seta (putih) ini memihak kepada Kurawa
(yang jahat), berbeda dengan saudaranya, Kresna (kresna = hitam) yang membela Pandawa (yang baik). Walaupun
demikian, jauh di lubuk hati Baladewa “kecintaan kepada para Pandawa tidaklah
pernah berhenti berpijar”[12].
Nama-nama
tokoh yang dipakai Mangunwijaya di dalam Burung-burung
Manyar secara sekilas akan membuat kita ingat akan nama-nama wayang yang
dia sebutkan di dalam bagian prawayang itu: Setadewa (Baladewa yang seta), Kapten Brajabasuki -- papi
Setadewa (Bathara Basuki, dewa yang menitis kepada Baladewa), Raden Rara
Larasati (Rarasati/Larasati, putri Antapoga, kelak menjadi istri Arjuna alias
Janaka), dan Janakatamsi -- suami Dr. Rr. Larasati (Janaka/Arjuna). Seakan-akan
Mangunwijaya hendak mendalang tentang ambivalensi pascakolonialitas, hendak
menarasikan kembali cerita sejarah Indonesia dari sudut pandang seorang KNIL,
dengan “mengambil alih” bangunan mitos wayang yang telah mengakar kuat dalam
benak Orang Indonesia (setidaknya Orang Sunda-Jawa-Bali).
Sudah
sejak pada halaman pertama, bagian I (1934-1944), bab 1 (Anak Kolong),
Mangunwijaya menggarisbawahi ambivalensi Setadewa ini. Teto, demikian Setadewa
dipanggil sewaktu masih kecil, malah sudah mengkritisi --untuk tidak mengatakan
mengolok-olok-- keadaan yang melingkunginya tersebut.
“Pernah
dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok.
Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan
aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL. Jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant keluaran akademi Breda
Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegara. Tetapi
Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala
itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja
Inlander, walaupun konon salah seorang nenek canggah atau gantung-siwur
berkedudukan selir Keraton
Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah
sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu pengasuhku,
totok Belanda Vaderland sana. Tetapi
sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan
di garnisun, ya anak-anak kolong yang tersohor kasar dan tak tahu adat itu;
yang blak-blakan sering mengindoktrinasi, bahwa aku ini anak Jawa Inlander
belaka. Sama seperti mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan kulit
Mamiku putih kulit langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab
orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genjik anak babi. Keterangan kawan-kawan brandal itu bahkan
membuatku bangga, sebab untuk anak yang normal, kehidupan brandal anak kolong
Inlander jauh lebih haibat daripada menjadi sinyo Londo yang harus necis pakai sepatu, baju musti harus putih bersih
dan segala macam basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam kurungan.”[13]
Teto bukan seorang
Belanda totok karena papinya yang seorang ningrat Jawa Mangkunegaran, tetapi
pada tahap awal hidupnya, yaitu ketika dia masih anak-anak, dia begitu bangga
ketika diidentifikasikan oleh teman-temannya sebagai sesama Inlander, walaupun
dia masih dipanggil ‘sinyo’ (panggilan untuk anak lelaki Belanda totok) dan
maminya masih berdarah Belanda. ‘Setadewa’ memang adalah nama yang njawani, tetapi panggilan ‘Teto’, apa
lagi dia juga dipanggil dengan sebutan ‘Raden Mas Sinyo’, adalah sisa-sisa dari
kebelandaan maminya tersebut. Maminya sendiri bernama ‘Marice’, sama sekali tidak
ada unsur Jawa. Dan, Teto memanggil orang tuanya dengan sebutan ‘papi’ dan
‘mami’, berbeda dengan Rr. Larasati (Atik) yang memanggil orang tuanya masih
dengan ‘ayah’ dan ‘ibu’. Meskipun hampir tidak keberatan dipanggil ‘Raden Mas
Sinyo’, Teto kecil sangat senang dengan identifikasi Inlandernya itu. Dia
bahkan mencari-cari bukti bahwa maminya bukanlah Belanda totok. Teto menemukan
empat bukti ketidaktotokan maminya tersebut, yang berarti juga bukti bahwa dia
sah mengidentifikasi diri sebagai anak kolong Inlander: (1) kulit maminya
kuning langsat mulus, tidak merah blentong-blentong; (2) maminya tidak punya sistem pendidikan yang
disiplin a la Belanda; (3) maminya
suka pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik; dan (4) maminya
cantik, sebab biasanya nyonya totok tidak cantik. “Barangkali cantik juga,
tetapi untuk ukuran sana, negeri kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri
pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun
biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf, tidak.”[14]
Setidaknya sudah ada empat hal yang dilihat oleh Mangunwijaya, lewat mata Teto,
dalam hubungan Belanda totok dan Inlander ini, mulai dari tubuh (warna kulit),
sistem pendidikan, rasa religiusitas, dan imaji kecantikan. Dua kutub dari
keempat hal tersebut bertemu dan bertabrakan dalam diri Teto kecil. Berbeda
dengan Orang Indonesia pada umumnya yang akan lebih memprioritaskan imaji
Eropa, Teto justru mencemoohnya habis-habisan dan justru lebih bangga menjadi
anak kolong Inlander saja.
Ada
mekanisme yang sedikit berbeda yang terjadi pada diri Teto dengan konsep Homi
Bhabha tentang mimikri. Bhabha menjelaskan tentang mimikri sebagai berikut, “The menace of mimicry is its double vision
which in disclosing the ambivalence of colonial discourse also disrupts its
authority.”[15]
Teto memang setengah (atau mungkin malah sepertiga) Belanda. Dia sama sekali
tidak ingin meniru atau bahkan seperti sinyo-sinyo totok Belanda yang necis.
Kalaupun ‘meniru’, yang ditiru Teto adalah anak-anak kolong Inlander, yang
bahkan berhasil mengidentifikasikan Teto sebagai sesama Inlander Jawa. Akan
tetapi, proses tarik ulur antara kutub kebelandaan dan kutub keinlanderan Teto
tidak berhenti sampai di situ saja. Mangunwijaya tengah menyiapkan kondisi
psikologis Setadewa kecil sehingga sampai dewasa nanti dia tetap merindukan
Indonesia, bahkan merindukannya sebagai pengganti maminya.
Akan
tetapi, proses mimikri yang jelas justru ada pada diri ayah Teto, Kapten
Brajabasuki. Meskipun Legiun Mangkunegaran itu di dalam sejarahnya pernah
langsung berhubungan dengan kekuatan militer Napoleon Bonaparte[16],
sehingga sudah sejak awal bercita-rasa Eropa, Kapten Brajabasuki tidak mau
menjadi tentara di bawah seorang Raja Jawa. Dia memohon untuk menjadi tentara
di bawah Ratu Belanda. Akhirnya dia menjadi kapten di KNIL, bukan KL, sebab dia
Inlander Jawa, walaupun ningrat. Gaya berpakaian Kapten Brajabasuki sangat
Eropa.
“Gagah
memang, beliau itu. Apalagi kalau pada tanggal 31 Agustus, HUT Ratu Wilhelmina,
diadakan parade besar di lapangan Tidar. Papi berpakaian gala, jas tutup putih
dengan kancing-kancing perak berukiran huruf W dan dua bintang perak di kerah.
Bertopi model panci doyong beledu hitam berpelesir kencana serta berjambul bulu-bulu
kasuari yang melambai di angin. Bayangkan! Bangga memang punya Papi begitu.
Lagi pedangnya perak panjang melengkung luwes dengan tali-talinya kuning kilau
bergombyok. Dan tegak dia di samping para perwira Belanda yang menjulang
tinggi, menjawab salut dari pasukan-pasukan berkuda yang berparade membawa
mitrayir di bawah iringan lagu-lagu mars fanfare
peleton musik tentara. Sempurna dah! Asal Anda jangan melihat wajah beliau.
Benar-benar Jowu deh.”[17]
Tidak ada mockery yang ditunjukkan (secara
langsung[18])
oleh Kapten Brajabasuki, berbeda dengan Teto kecil yang selalu enggan dengan
kebelandaan. Yang ada adalah sebuah fenomena hibrid, tentara Kerajaan Belanda
dari golongan Inlander yang berpakaian a
la tentara Eropa, tetapi dengan wajah yang, saya meminjam istilah
Mangunwijaya, sangat Jowu[19]. Sedangkan Marice, mami Teto yang
(blasteran) Belanda itu, justru digambarkan Mangunwijaya dengan tak kalah
campur-aduknya (hibrid). Meskipun ada sisa-sisa kebelandaan dalam diri Marice
--digambarkan pula Marice menulis surat kepada Teto dengan Bahasa Belanda--,
perempuan itu gemar masuk ke Petanen[20]
yang gelap dan bau kemenyan untuk “mengatupkan mata dan diam merenung seperti
melawat sebentar ke dunia “sana”.”[21]
Akan
tetapi, keadaan tersebut di atas berubah ketika Jepang menyerang Hindia Belanda
hingga masa-masa tahun 1945-1950 (bagian II dari buku). Ketika Jepang menyerang
Hindia Belanda, KNIL dibubarkan, Kapten Brajabasuki akhirnya mengidentifikasi
diri sebagai seorang nasionalis yang tidak pro-kooperasi dengan Jepang. Kapten
Brajabasuki itu pun ditangkap oleh Jepang, sedangkan Marice dijadikan gundik
oleh Kepala Kenpetai yang berwenang atas nasib suaminya tersebut.[22]
Sedangkan Setadewa, yang kini lebih suka dipanggil Leo, karena nama ‘Teto’ itu
terdengar infantil, mengetahui nasib orang tuanya yang demikian, akhirnya
menaruh kebenciannya kepada Jepang dan orang-orang nasionalis (Soekarno, Hatta,
dan Sjahrir) yang dianggapnya sebagai pengkhianat bangsa dan kolaborator
Jepang. Jika sewaktu anak-anak Setadewa lebih senang diidentifikasi sebagai
salah satu dari anak-anak kolong Inlander, sejak pendudukan Jepang tersebut dia
dengan mudah mengidentifikasi diri dengan NICA (Belanda).
Mulai
dari sinilah Mangunwijaya menarasikan sudut pandang lain tentang kemerdekaan
Indonesia, yaitu melalui sudut pandang KNIL, sudut pandang orang yang kalah.
Leo, demikian kini dia dipanggil, mendapati dirinya sebagai bukan seorang
Inlander, tetapi juga bukan seorang Belanda totok macam Jendral Simon Hendrik
Spoor. Setadewa, yang sewaktu kecil begitu dekat dengan kutub Jawa, kini
semakin dekat dengan kutub Belanda (Barat). Namun, perjumpaannya dengan Mayor
Verbruggen seperti memberinya semacam rekonsiliasi atas kedua kutub tersebut,
sebab Verbruggen, lelaki yang dulu pernah menjadi rekan seangkatan Kapten
Brajabasuki dan sempat naksir Marice itu, bertingkah tidak seperti Belanda
totok, tetapi lebih seperti bandit dan berbicara tidak selalu dengan Bahasa
Belanda. Verbruggen menganggap enteng perihal pembedaan ras dan kelas semacam
itu. Memang dia pernah berkata bahwa tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda,
sedangkan KNIL cuma segerombolan bandit[23],
sehingga dia bisa enteng saja menghadapi yang Belanda dengan yang Inlander,
sebab dengan menjadi seorang mayor KNIL dia bisa memuaskan hasrat
berpetualangnya dan menjadi bandit. Setelah Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia dan KNIL dibubarkan, Verbruggen sebenarnya memiliki kesempatan untuk
bergabung bersama KL, tetapi akhirnya dia memilih untuk bergabung bersama
pasukan Prancis menggempur Vietnam.
Bagi
Leo yang kini berpangkat letnan, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah suatu
kekeliruan, bahkan pengkhianatan karena para elit pemimpinnya pernah menjadi
kolaborator Jepang. Dia menilai bahwa kaum nasionalis itu keliru. Orang-orang
Indonesia belum matang untuk merdeka. Letnan Leo sebagai seorang yang ambivalen[24]
memandang Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang infantil. Di sini posisi Leo
menarik. Dia bukan saja mengambil posisi ambivalensi, tetapi juga mengambil
alih pandangan Belanda totok yang menganggap bahwa Inlander itu masih infantil.
Akan tetapi, masih tersimpan cinta yang berubah menjadi sedikit rasa kagum pada
Bangsa Inlander yang baru merdeka itu. Ketika dia berhadapan muka dengan
tentara-tentara Indonesia itu, dia terkejut dengan penampilan mereka yang
bahkan jauh lebih baik dari pada prajurit KNIL-nya. Seragam tentara Indonesia
itu bergaya Barat. Hanya satu yang tersisa dari Jepang, yaitu disiplinnya.
Berbeda dengan prajurit KNIL-nya. KNIL tak lebih dari pada kuli Inlander yang
santai dan gontai bergentayangan. Mangunwijaya mulai memberi makna ulang pada
kata “inlander” ini. Kalau pada awalnya kata “inlander” bermakna “pribumi”,
maka kini, lewat mulut Leo, Mangunwijaya memaknainya sebagai bangsa jongos dan
kuli yang memalukan. Sedangkan Jendral Sudirman itu, yang jelas-jelas seorang
pribumi Indonesia, tidak disebut seorang Inlander, sebab dia dan pasukannya itu
tegap dan penuh harga diri.[25]
Di sini Mangunwijaya mengkritik mentalitas Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka. Meminjam sudut pandang Leo, seorang KNIL yang kalah perang,
Mangunwijaya seakan hendak berkata bahwa kemerdekaan itu bukan akhir, mengusir
penjajah kolonial itu bukan akhir, itu semua tidak membuatmu tidak lagi menjadi
seorang ‘inlander’ selama kamu tidak ‘tegap’ dan ‘penuh harga diri’ seperti
Sudirman dan pasukannya.
Pada
bagian III (1968-1978), masa di mana revolusi Indonesia telah “selesai”,
Mangunwijaya mulai menarasikan keadaan Indonesia pascamerdeka, suatu keadaan
Indonesia yang benar-benar pascakolonial. Kita tidak perlu repot-repot bertanya
mengapa masa di antara tahun 1950-1968 tidak diceritakan. Mungkin saja
Mangunwijaya hendak langsung menarasikan keadaan Indonesia ketika Orde
pembangunan itu berlangsung, atau bisa jadi dia tidak ingin terjebak di dalam
polemik peristiwa 1965 yang bisa jadi tidak efisien bagi romannya ini. Yang
jelas, tiba-tiba saja Dr. Setadewa, seorang ahli komputer, kini sudah menjadi
manager di sebuah perusahaan tambang minyak multinasional yang berbasis di
Amerika, Pacific Oil Wells Company. Dia pun menjadi semakin ambivalen: seorang
warga negara Amerika Serikat, blesteran Belanda-Jawa, masih ningrat Jawa,
mantan prajurit KNIL yang begitu membenci kaum nasionalis, bekerja untuk
perusahaan tambang minyak multinasional, tetapi menaruh kerinduan dan cinta
kepada Indonesia.
Mangunwijaya
juga menggambarkan keadaan penduduk Indonesia (di sekitar Gunung Merapi)
pascakolonial tersebut. Benar bahwa Indonesia telah mengalami revolusi, tetapi
revolusi politik, dan bukan revolusi sosial. Struktur masyarakatnya masih sama
seperti dulu, hanya elitnya saja yang berubah. Hal tersebut membuat masyarakat
menjadi apatis, yang penting cari aman.
“Negara
ini boleh PKI, silakan, asal sanggup menyediakan empat itu: Tembakau Kedu
ampeg, kelembak, kemenyan, dan kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Dan,
terserah Bupati Setankopor atau Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu
ampeg, kelembak, kemenyan, dan kertas sigaret merk... Admiral Kumpeni. Tahu?”[26]
Dikatakan pula di sana
bahwa yang menjabat sebagai birokrat pemerintahan setempat tak lain adalah
kepala perampok daerah setempat. Jadi, mudah saja kepala perampok itu
mencalonkan diri; kalau ingin daerah di situ aman, pilih dirinya, tetapi kalau
dia tidak terpilih, daerah itu akan lebih kacau dari sebelumnya. Mental yang
seperti itu bertemu dengan mental rakyat yang apatis, yang penting aman,
menghasilkan keadaan Indonesia pascakolonial yang seperti sekarang ini.
Apa
yang diulas mengenai Durga Umayi oleh
Keeler tersebut di atas sebenarnya dapat dirunut sampai pada Burung-burung Manyar, terutama pada
bagian III ini.
“Pemerintahan
pascakolonial tetap merupakan pemerintahan, dan ketika para pejabatnya
bergabung dengan modal internasional serta militer berperlengkapan canggih
dalam mengejar kepentingan mereka, hasilnya mungkin sekali akan jauh lebih
eksploitatif dan lebih membelenggu... .”[27]
Dr. Seta, manager
perusahaan tambang minyak multinasional tersebut, menemukan kejanggalan di
dalam sistem perhitungan komputer perusahaannya yang membuat Bangsa Indonesia
rugi besar. Dia bisa saja menaruh rasa tidak peduli terhadap bangsa kuli
tersebut --beberapa kali dia masih memaki Orang-orang Indonesia sebagai bangsa
kuli yang tidak tahu bagaimana hidup merdeka dalam negara merdeka-- oleh karena
luka sejarah, tetapi sepertinya Warga Negara Amerika tersebut masih memiliki
rasa cinta terhadap Indonesia yang kini dianggapnya sebagai pengganti Marice,
maminya, yang jadi gila dan akhirnya meninggal dunia. Dia hendak membongkar
“penindasan” dan “penjajahan” halus ini dengan resiko kehilangan posisi dan
pekerjaan.
Janakatamsi,
suami Dr. Larasati (Atik), bersedia membantu Dr. Seta membongkar masalah ini
dan melaporkannya ke pemerintah. Apa yang terjadi? Sepertinya memang sudah ada
kongkalikong antara pemerintah dengan Pacific Oil Wells Company. Janakatamsi
dipecat oleh karena mencoba membantu Dr. Seta melaporkan temuan Warga Negara
Amerika tersebut kepada pemerintah, sedangkan Dr. Seta sendiri pun juga dipecat
dari perusahaan karena membongkar kekeliruan yang disengaja ini. Mereka gagal
membongkar penjajahan model baru ini, yaitu menjajah bangsa-bangsa
pascakolonial melalui ekonomi, bukan fisik. Kalau perlu, pemerintahnya diajak
untuk berkolaborasi melanggengkan keadaan yang ada.
Dengan
kaca mata pascakolonial tersebut saya dapat membaca kembali Burung-burung Manyar secara baru. Dengan
percaya diri saya dapat berkata bahwa roman ini adalah sastra pascakolonial.
Akan tetapi, berbeda dengan karya Pramoedya, sudut pandang Burung-burung Manyar adalah sudut pandang seorang mantan prajurit
KNIL kalah perang yang sangat membenci kaum nasionalis. Mangunwijaya seakan
hendak berkata bahwa ambivalensi itu tidak statis di tengah-tengah, tetapi
selalu dinamis dari kutub ekstrim yang satu kepada kutub ekstrim yang lain.
Mungkin akan beda ceritanya ketika Setadewa tidak ambil pusing dengan keadaan
Indonesia pascamerdeka sebab dia toh sudah makmur sebagai manager perusahaan
multinasional dan sebagai Warga Negara Amerika Serikat. Namun, di sinilah letak
menariknya, si orang ambivalen ini, yang pada awalnya me-mockery (unsur) penjajah (dalam dirinya) tetapi yang akhirnya me-mockery (unsur) terjajah (dalam
dirinya), mengambil langkah berani berpihak kepada mereka yang disebutnya
“bangsa kuli yang tidak tahu bagaimana hidup merdeka dalam negara merdeka”,
karena dia merasakan kerinduan akan maminya yang kini dia temukan di dalam
wajah Bangsa Indonesia, yang sama seperti maminya, dikangkangi oleh kekuatan
asing.
Bibliografi
A. Ferry T. Indratno (ed.), Peziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya,
Jakarta: Kompas, 2009
H.M.J. Maier, “From Heteroglossia
to Polylossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies”, Indonesia Vol. 56 (Oktober 1933)
Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and
Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, The Location of Culture, London: Routledge, 1994
Keith Foulcher, “In Search of the
Postcolonial in Indonesian Literature”, Sojourn
Vol. 10, No. 2 (1995)
Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, Sindhunata (ed.), Menjadi
Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Kanisius,
1999
Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, Jakarta:
Djambatan, 2004
[1] Walaupun demikian, beberapa
kosakata Bahasa Belanda tersebut diserap ke dalam bahasa daerah, misalnya
Bahasa Jawa. Contoh: pit (fiets, sepeda),
prek (preek, khotbah), verboden (verboden, rambu larangan masuk), bal (bal,
bola), loji (loge, rumah orang Belanda),
asbak (asbakje, asbak), drei (schroevedraaier, obeng), sedel (zadel, sadel), dsb.
[2] Keith Foulcher memberi catatan,
“Indonesians of mixed race did indeed contribute
to the substantial tradition of “Dutch Indies” literature, but this represented
a branch of the literature of the Dutch metropole, which came to an end in
Indonesia itself with the transition to independence.” -- Keith Foulcher,
“In Search of the Postcolonial in Indonesian Literature”, Sojourn Vol. 10, No. 2 (1995), 149-150
[3] Keith Foulcher, “In Search of
the Postcolonial in Indonesian Literature”, 163
[4] Saya memakai istilah yang
dipakai oleh Y.B. Mangunwijaya dalam Burung-burung
Manyar lewat mulut Setadewa.
[5] Saya hanya memiliki salinan
Bahasa Inggrisnya.
[6] Keith Foulcher, “In Search of
the Postcolonial in Indonesian Literature”, 147
[7] Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, Sindhunata (ed.), Menjadi
Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta:
Kanisius, 1999
[8] Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, 268
[9] Ward Keeler, “Durga Umayi dan
Dilema Pascakolonialis”, 268
[10] Penelusuran saya terhadap novel Durga Umayi dan kedudukan Y.B.
Mangunwijaya di tengah dunia Sastra Indonesia mengantarkan saya pada sebuah
artikel yang membuat saya tersenyum geli oleh karena konteks jagat Sastra
Indonesia yang tengah digegerkan oleh 33 Sastrawan paling berpengaruh tersebut.
Di dalam artikel tersebut, memang ada beberapa informasi yang saya dapatkan
mengenai Durga Umayi, Burung-burung Manyar, dan posisi
Mangunwijaya itu sendiri. Yang membikin saya tersenyum geli adalah (semacam)
epilog yang mengharapkan ada Kanon Sastra Keindonesiaan dalam arti
“kesusastraan yang wajib dibaca orang-orang sekolahan untuk memahami
keindonesiaan kita”. Si penulis segera mengusulkan tiga nama sastrawan, yaitu
Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, dan tentu saja Y.B.
Mangunwijaya. “Ini saya tuliskan dan impikan, agar jangan lagi generasi berikut
mengalami keterputusan dari khasanah pendahulunya seperti yang saya alami
dulu,” kata si penulis itu, yang lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 2014,
menjadi sastrawan paling berpengaruh ke-32 dari 33 sastrawan tersebut. Jika dia
ingat akan kata-katanya ini, lalu kira-kira apa yang mungkin menjadi
komentarnya? -- A. Ferry T. Indratno
(ed.), Peziarahan Panjang Humanisme
Mangunwijaya, Jakarta: Kompas, 2009
[11] Ada masa di mana Teto, demikian
Setadewa kecil dipanggil, meragukan ketotokan maminya.
[12] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, Jakarta:
Djambatan, 2004, VIII
[13] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 3-4
[14] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 5
[15] Homi K. Bhabha, “Of Mimicry and
Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”, The Location of Culture, London: Routledge, 1994, 88
[17] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 5-6
[18] Katrin Bandel memberi catatan, “Mockery tidak harus terjadi dalam bentuk
yang disengaja/disadari.”
[19] Sangat bersifat Jawa.
[20] Secara harafiah berarti ‘Tempat
Tani’ atau ‘Ruang Sang Tani’. Letaknya di dalem
(ruang dalam) istana Mangkunegara. Di sanalah dipercaya tinggal Dewi Sri, Dewi
Padi itu.
[21] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 7
[22] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 41
[23] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 75
[24] Jawa wurung, Landa durung. (Sudah bukan Jawa, tetapi belum juga
jadi Belanda).
[25] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 101
[26] Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, 190
nice share
BalasHapus