KEBERHASILAN
MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA
NAMA MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK
NIM : 136322002
DOSEN
PENGAMPU : 1. Dr. G. Budi Subanar,
S.J.
2. A. Bagus Laksana, S.J., Ph.D.
PENGANTAR
Sebuah
desa kecil yang terletak di wilayah selatan kabupaten Jayawijaya, memiliki
pemandangan yang tidak lazim. Ketika desa-desa yang lain sangat kental dengan
bau kekristenan, maka desa yang satu ini tampak berbeda. Suasana keislaman
begitu tercium ketika orang-orang berkunjung ke desa tersebut, baik yang hanya
sekedar menikmati keindahan alam, bahkan mereka yang memang penasaran dengan
keunikan desa tersebut. Inilah desa Walesi, satu-satunya desa di kabupaten
Jayawijaya bahkan seantero Papua yang memiliki penduduk pribumi beragama
muslim. Ketika berbicara tentang agama di Papua, maka yang terlintas di pikiran
adalah kekristenan. Hampir seratus persen kabupaten yang tersebar di provinsi
Papua, penduduk pribuminya beragama kristen dan katholik. Maka ketika ada
seorang Papua yang menganut agama lain, maka orang tersebut akan tampak berbeda
– ibarat sebuah titik hitam yang tampak jelas terlihat disebuah lembar kertas
putih.
Memang
sangat terlihat aneh ketika melihat penduduk desa tersebut melakukan aktifitas
keagamaannya, kaum pria memakai peci dan yang wanita memakai jilbab,
berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan ibadah. Mungkin bagi sebagian
orang pendatang yang sudah mengetahui keislaman orang-orang kulit hitam di
daerah Afrika, memiliki kesan yang biasa ketika melihat masyarakat di Walesi
yang “islam”. Tetapi bagi orang-orang Papua sendiri, juga termasuk pendatang
yang memang lahir dan besar di Papua pasti memiliki kesan yang aneh melihat
masyarakat Walesi yang “islam” tersebut.
Pada
tahun 1954 seorang penginjil asal Amerika, menginjakkan kaki untuk pertama kalinya
di Wamena kabupaten Jayawijaya dengan misi utama menginjili orang-orang pribumi yang pada saat itu merupakan penganut
dinamisme. Tidak mudah bagi sang penginjil untuk menaklukan orang-orang pribumi
Jayawijaya, karena selain penolakan, masalah keterbelakangan masyarakat juga
menjadi kendala utama dari misi tersebut. Akan tetapi ditengah-tengah tantangan
yang dihadapi selama proses penginjilan, ada hal positif yang diperoleh oleh
para penginjil tersebut, yaitu semakin dekatnya mereka dengan kebudayaan asli masyarakat
setempat yang secara otomatis semakin memudahkan misi tersebut.
Dalam
paper ini penulis mencoba menguraikan dinamika kehidupan keagamaan masyarakat
Wamena, terlebih khusus di distrik Walesi. Jikalau para penginjil mengalami
lebih banyak kemudahan dibandingkan kesulitan selama proses penginjilan, maka
muncul pertanyaan mengapa iman kristiani yang sempat ditanamkan dalam
masyarakat telah luntur bahkan hilang sama sekali – digantikan dengan iman
islam yang tampaknya mustahil di tengah-tengah lingkungan Papua yang
beridentitaskan kekristenan.
BAB I
PENDAHULUAN
Diskursus mengenai
persoalan lebih dulu mana agama yang masuk ke Papua antara Islam dengan Kristen
masih menjadi polemik. Namun demikain mainstrem yang berkembang menunjukkan
bahwa agama Islamlah yang pertama kali masuk ke Papua. Pendapat ini didasarkan
pada hasil penelitian seorang berkebangsaan Belanda Van der Leeder
(1980). Ia mengatakan bahwa Islam masuk di kepulauan Raja Ampat setelah
mendapat pengaruh dari kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut
masuk di Maluku pada abad ke 13 silam. Sementara, J. R. Mansoben (1997)
mengatakan bahwa Agama besar pertama yang masuk ke Irian Jaya (Papua) adalah
Islam. Agama Islam masuk di Irian Jaya (Papua) pertama di daerah
Kepulauan Raja Ampat dan Fak-Fak berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan
melalui hubungan perdagangan yang terjadi diantara kedua daerah tersebut.
Kendati Islam masuk
pertama ke Papua, namun penginjilan (kristenisasi) di Kabupaten Jayawijaya
(Lembah Beliem) ditengarai pertama kali dilakukan oleh sekelompok penginjil
Amerika di bawah pimpinan Lioyd Van
Stone dari Christian & Missionary Association (CAMA). Pada bulan Januari
1958, seorang pastor dari orde Fransiskan bernama Arie Bokdijk, melakukan
perjalanan orientasi ke lembah Baliem. Dalam historisitas persebaran
agama-agama di wilayah ini menunjukkan bahwa hingga tahun 1969 misionaris
Katolik dan kaum penginjil masih menjadi satu-satunya warga asing yang berdiam
di Lembah Baliem. Baru pada tahun 1978 kedudukan mereka digantikan oleh
suster-suster Indonesia (P. J. Drooglever, 2010).
Kemudian
setelah penyerahan Nieuw-Guinea oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia sejumlah
suster mengalihkan kewarganegaraannya dan menjadi guru sekolah dasar sampai
akhir dekade 70-an. Setelah pengintegrasian Papua dengan Indonesia, banyak
penduduk asal Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah sekitar Papua berpindah ke
Papua untuk bekerja sebagai guru, pegawai sipil atau militer. Para pendatang
yang berasal dari berbagai latar belakang profesi ini, umumnya beragama Islam.
Baru
setelah proses interaksi yang intensif antara penduduk pendatang dengan
penduduk lokal terjadi, masyarakat lokal mulai mengenal Islam. Dalam waktu yang
lama bahwa pemeluk Islam terbatas dikalangan urban atau pendatang, tanpa usaha menyebarkan
ke penduduk asli. Namun demikian, ada sejumlah masyarakat yang menjadi binaan
sebuah yayasan pendidikan Islam (YAPIS). Hal ini dikemukakan oleh oleh JR.
Mansoben, seorang antropolog utama Papua. Interaksi yang intensif tersebutlah
yang membuka peluang terjadinya perubahan agama para penduduk lokal ini. Di
Distrik Walesi, Agama Islam relatif cepat berkembang ketimbang di daerah lain.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya proses Islamisasi yang berlangsung dengan
pola-pola yang cukup sistematis.
Untuk
membedah proses islamisasi yang ada di Distrik Walesi, penulis menggunakan
teori islamisasi yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Noorduyn dalam Ahmad
Sewang.
BAB II
PEMBAHASAN
Proses Islamisasi dalam
suatu wilayah pada dasarnya memiliki pola tersendiri. Pola-pola tersebut
sebagaimana dikemukakan dan dikembangkan oleh Noorduyn dalam mengkaji proses islamisasi
di Sulawesi Selatan. Menurutnya, dalam proses Islamisasi terjadi dalam tiga
tahapan yaitu awal pertama kedatangan Islam, penerimaan Islam oleh masyarakat
lokal dan penyebaran Islam dalam wilayah yang lebih luas (Sewang, 2008:80-81). Teori
proses Islamisasi ini akan digunakan penulis dalam membedah fenomena islamisasi
yang terjadi di Distrik Walesi Kabupaten Jayawijaya-Papua.
A.
Fase
Kedatangan Islam di Distrik Walesi
Menrut Noorduyn fase ini ditandi dengan kedatangan
para mubalig atau dai pertama kali ke daerah sasaran untuk melaksanakan dakwah
Islam (Sewang, 2005:80-81). Dalam konteks kedatangan Islam di Distrik Walesi,
kedatangan Islam tidak diawali oleh datangnya sejumlah da’i, melainkan adanya
interaksi antara para pendatang yang beragama Islam dengan penduduk lokal yaitu
Suku Dani Jayawijaya yang bermukim di wilayah Wamena. Hal ini mulai terjadi
sejak akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an, di kota Wamena Kabupaten
Jayawijaya banyak datang penduduk pindahan dari Jawa (transmigrasi), dan para
perantau asal Indonesia Timur, terutama orang Madura, Bugis, Buton dan Makasar.
Hal yang mendukung terjadinya intensitas interaksi
antara pendatang dan penduduk juga dipengaruhi oleh pendirian Sekolah Dasar Inpres
Megapura pertama di Wamena. Para guru dari Jawa - Madura dan transmigran yang
pada akhirnya dipindahkan ke daerah Paniai tahun 1970-an, menyisakan pengaruh
bagi Suku Dani terutama anak-anak siswa SD Inpres Megapura.
Jika diamati dari awal kedatangan Islam
di Distrik Walesi, terlihat bahwa Proses islamisasi tersebut terjadi dalam proses
yang panjang. Pada tahun 1978 dimulai dengan hubungan pribadi antara penduduk
lokal dengan beberapa keluarga muslim pendatang. Selain adanya hubungan
intensif juga adanya peran-peran dari beberapa pihak yang telah lama terjalin
seperti unsur pemerintahan yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Tokoh-tokoh yang
secara langsung terlibat dalam proses Islamisasi ini antara lain: pegawai
misalnya Kolonel Thahir yang berprofesi sebagai tentara; Abu Yamin yang
berprofesi sebagai Polisi; Hasan Panjaitan yang menjabat sebagai Sekretaris
Daerah Kabupaten Jawawijaya; dan Paiyen pejabat Depag RI. Mereka menjadi
katalisator dari proses Islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi.
Seiring waktu berjalan, hubungan
kekeluargaan dan intensitas pengenalan Islam oleh para da’i semakin lama
semakin berkesan di masyarakat lokal. Pada akhirnya beberapa masyarakat lokal
tertarik untuk memeluk agama Islam. Keislaman mulai masuk dalam sistem
kehidupan keluarga Aipon. Karena kehidupan toleransi yang di tawarkan para
da’i-da’I muslim tersebut begitu tinggi hal ini mengakibatkan salah seorang
Kepala Suku yang bernama Aipon dan seluruh keluarga besar mengambil keputusan
untuk memeluk agama Islam. Inilah awal penting dimana islam masuk di Distrik
Walesi Kabupaten Jayawijaya.
Selain melalui proses akulturasi budaya,
islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi ini juga terjadi melalui hubungan
pernikahan. Dalam hal ini, salah satu anak
kepala suku yaitu Aipon Asso menjalin ikatan pernikahan dengan santri di
pesantren. Dengan adanya ikatan-ikatan dan jalinan tersebut berdampak pada semakin
kuat keislaman dalam diri keluarga Aipon Asso. Bahkan Aipon Asso telah
melaksanakan ibadah haji sebagai salah satu ritual penting yang ada dalam agama
Islam (Charles E. Farhadian (ed.), 2005:82).
Jika dilihat dari pola-pola awal dari
proses Islamisasi yang terjadi di Distrik Walesi khususnya, dan di kabupaten
Jayawijaya pada umumnya tidaklah berbeda dengan pola-pola masuknya islamisasi
di tempat lain, bahkan proses Islamisasi secara umum yang terjadi di Nusantara (Marwati
Djoenet Poespoenogoro, 2008:161, M. Shaleh Putuhena, 2007:90).[1] Berawal
dari interaksi dagang kemudian terjadi proses akulturasi antara masyarakat
pendatang dengan masyarakat lokal.
B.
Fase
Penerimaan Islam di Distrik Walesi
Fase penerimaan Islam dilihat dari
perspektif siapa yang pertama kali menerima dakwah Islam tersebut. Teori yang
berkembang menunjukkan adanya dua pola dalam penerimaan orang lokal terhadap
Islam yaitu: pola pertama yaitu Islam
diterima dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian menyebar dan diterima
oleh lapisan atas masyarakat tersebut (bottom
up); pola kedua, Islam diterima langsung oleh elit penguasa masyarakat,
kemudian disosialisasikan, dan berkembang di masyarakat bawah (top down). Jika cara kedua ini terjadi,
maka kecenderungan proses islamisasi berjalan lebih optimal dan lebih cepat
dibandingkan model pertama. Para elit yang terlebih dahulu masuk Islam pada
umumnya menggunakan institusi kerajaan dalam mensosialisasikan dan
mengembangkan Islam di daerahnya.
Dalam kasus penyebaran Islam di Distrik
Walesi, penerimaan Islam oleh penduduk lokal bukanlah berangkat dari ruang
kosong. Masyarakat Distrik Walesi secara umum telah memeluk agama Kristen,
namun seiring dengan interaksi yang intensif antara para pendatang yang umumnya
beragama Islam berpengaruh pada keputusan penduduk lokal untuk memeluk agama
Islam. Penerimaan penduduk lokal terhadap agama Islam selain melalui hubungan
dagang dan interaksi intensif antara pendatang dan penduduk lokal, juga tidak
terlepas dari peran para pejabat-pejabat yang sekaligus berperan menjadi da’i-da’i
dalam menyebarkan agama Islam di Distrik Walesi.
Kemudian hubungan secara lebih intensif
sampai dengan sekarang, melalui para urban dari Indonesia; Sulawesi,
Madura, Jawa dan Maluku. Penerimaan Islam oleh penduduk lokal terjadi pada
tahun 1975-1977 dengan beberapa orang seperti Merasugun, Firdaus dan
Muhammad Ali Asso, sebagai generasi pertama yang memeluk agama Islam. Dengan
adanya para kaum-kaum elit lokal yang masuk Islam tersebut, hal ini memudahkan
persebaran agama Islam.
Dalam hal ini, beberapa anggota suku banyak
yang memutuskan untuk memeluk agama Islam, misalnya Suku Dani Baliem Tengah dan
Baliem Selatan dari Moiety : Asso-Lokowal Asso-Wetipo, Lani-Wetapo,
Wuka-wetapo, Wuka-Hubi, Lagowan-Matuan dan Walesi, kini banyak yang sudah
memeluk agama Islam. Dari sejumlah sumber saksi penduduk bahwa Esogalib Lokowal
orang paling pertama masuk Islam. Kemudian Harun Asso (dari Hitigima/Wesaput),
Yasa Asso (dari Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (dari
Megapura/Sinata), Donatus Lani (dari Lanitapo). Megapura, Hitigima, Hepuba,
Woma, Pugima dan Walesi (kini di Walesi clan Asso-Yelipele seluruh warganya
100% beragama Islam) adalah daerah pertama yang berinteraksi dengan orang
Muslim dari berbagai daerah Indonesia.
Jika dilihat dari pola penerimaan Islam
oleh penduduk lokal Distrik Walesi, yaitu didahului oleh masuknya para elit
suku yaitu keluarga Merasugun Asso, Firdaus Asso dan Muhammad Ali Asso
yang notabene sebagai pemimpin suku. Dalam pandangan pola penerimaan Islam
dimulai dari atas, maka akan cenderung lebih mudah diterima oleh anggota suku
yang lain. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya pengikut Merasugun yang
memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Hal ini pula yang menjadi faktor
kesuksesan penyebaran Islam yang terjadi di Distrik Walesi. Namun demikian,
dalam keberislaman warga masyarakat yang tinggal di Distrik Walesi ini, nampak
berbeda dengan pengikut agama Islam yang lain. Pada keluarga lokal yang telah
memutuskan penganut agama Islam masih ada yang mengkonsumsi daging babi.
Padahal dalam ajaran agama Islam, mengkonsumsi daging babi merupakan hal yang
dilarang.
Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan
bahwa sebenarnya masyarakat lokal yang telah memeluk agama Islam tidak total
dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Mereka seperti tidak tunduk terhadap larangan-larangan
agama yang mereka anut.
C. Fase Penyebaran Islam di Distrik
Walesi
Fase ketiga dalam islamisasi adalah fase penyebaran
Islam di wilayah tersebut. Penyebaran Islam di suatu wilayah dilakukan dengan
strategi dan teknik tertentu (Sewang, 2005:87). Pada umumnya, penyebaran Islam
di Indonesia dilakukan dengan cara-cara perdamaian; diantaranya melalui
perdagangan dan perkawinan. Dalam konteks Islamisasi di Distrik Walesi, penyebaran
Islam di Distrik Walesi tidak terlepas dari peran para pedagang pendatang dan
para pejabat pemerintah, TNI, Polri yang beragama Islam. Mereka ikut membantu
melancarkan proses Islamisasi di distrik Walesi.
Selain itu, sukses dan berkembangnya proses
Islamisasi ini juga tidak terlepas dari kesuksesan pada tahap kedua, dimana
para da’i-da’i ini mampu mempengaruhi dan merubah pandangan kaum elit lokal
mengenai agama. Sebut saja misalnya pemeluk Islam awal dari orang lokal seperti
keluarga Marasugun Asso yang dibantu oleh para muslim pendatang dan da’i-da’I
ikut andil di dalam penyebaran Islam di Distrik Walesi. Para pemeluk Islam
generasi awal inilah yang berperan dalam penyebaran Islam yang dikenal oleh
masyarakat sekitar Distrik Walesi. Saat ini, Walesi menjadi pusat Islam (Islamic
Centre) di Lembah Baliem Wamena. Merasugun dan tokoh-tokoh Tua lainnya yang
didampangi kalangan muda Walesi adalah generasi muslim pertama yang
bersemangat mengorganisasi diri serta sukses mengembangkan agama Islam
dikalangan keluarga di Walesi dan sekitarnya.
Merasugun, Firdaus dan Ali Asso
mengorganir da’wah islam, sehingga diikuti oleh semua masyarakat dari
confederasi Asso-Yelipele Walesi. Orang pertama memeluk agama Islam dari Walesi
diantaranya adalah; Nyasuok Asso, Walekmeke Asso, Nyapalogo Kuan, Wurusugi
Lani, Heletok Yelipele, Aropeimake Yaleget, dan Udin Asso. Keislaman
mereka ini dikemudian hari memiliki pengaruh sangat besar eksistensi Islam
Walesi dan Muslim Jayawijaya hingga kini. Kepala Suku Besar, Aipon Asso dan
Tauluk Asso awalnya menolak islam, karena ajarannya mengharamkan babi (hewan
ternak satu-satunya di Lembah Balim paling utama). Mereka baru masuk Islam
dalam tahun 1978 dan mendapat dukungan seorang militer berpangkat Kolonel
bernama Muhammad Thohir.
Selain itu, proses percepatan da'wah di
Jayawijaya juga sangat di dukung oleh kehadiran militer yang beragama Islam
yang bertugas dalam tahun 1960-an akhir di Kota Wamena. Penduduk yang lebih
awal masuk Islam menuturkan bahwa Islamisasi sepenuhnya didukung secara
individu dari Muslim yang kebetulan anggota Militert yang bertugas di Sinata
(kini Megapura, 4 km selatan dari Kota Wamena).
Tingginya pengaruh Islam terhadap daerah
lain tidak terlepas dari letak geografis distrik Walesi khususnya dan Kabupaten
Jayawijaya yang berada di tengah-tengah Pulau Papua. Secara geografis, letak Kabupaten
Jayawijaya berbatasan langsung dengan enam Kabupaten yaitu Kabupaten Mamberamo
Tengah dan Kabupaten Yalimo di sebelah utara, Kabupaten Yahukimo di selataan,
Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Tolikara di Barat, dan Kabupaten Pegunungan
Bintang di Timur.
Letak geografis yang cukup strategis
inilah yang berpengaruh pada persebaran Islam di wilayah Papua pada umumnya.
Persebaran Islam di wilayah ini juga tidak terlepas dari pembangunan
pusat-pusat keislaman “Islamic Center”.[2] Islamic
Centre adalah organisasi khusus dan fokus untuk memperhatikan kaum muslim
pribumi didirikan pada tahun 1978. Letnan Kolonel Dokter Muhammad Mulya
Tarmidzi dari Angkatan Laut 10, Hamadi Jayapura, pencetus dan pelopor utama
berdirinya Islamic Centre. Pada mulanya dia datang ke Wamena dalam kesempatan
undangan ceramah setelah berjumpa dengan penduduk asli muslim (muallaf) dari
Walesi, tergerak hatinya dan mendirikan organisasi da’wah Islam pertama,
Islamic Centre yang di ketuai Hasan Panjaitan, (Sekda Jayawijaya kala itu).
Islamic Centre dibawah kendali Hasan Panjaitan banyak membantu proses da’wah
selanjutnya. Islam di Walesi berkembang pesat dan dikunjungi berbagai kalangan
pejabat pemerintah muslim dari Kota Wamena dan Ibukota Jayapura.
Sejarah masuk dan penyebaran Islam di
distrik Walesi khususnya dan Kabupaten Jayawijaya pada umumnya tidak terlepas
dari lemahnya dasar ke-Kristenan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Lemahnya
perserikatan gereja-gereja yang abai terhadap permasalahan umat ikut memberi
andil di dalam keputusan umat di dalam mempertahankan iman Kristen. Keadaan ini
menjadi peluang bagi aktifis muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan Islam
ke wilayah sekitarnya dan menciptakan pusat-pusat keislaman di daerah-daerah
papua yang lain.
Namun demikian, sebenarnya telah
dilakukan upaya-upaya dari gereja untuk mengembalikan situasi yeng terjadi saat
ini. Dimana Gereja bertekad untuk untuk mengembalikan iman umat Kristiani yang
telah masuk Islam. Tetapi hal tersebut mengalami kesulitan karna islam telah
menguasai semua sendi-sendi kehidupan masyarakat di Walesi. Islam telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari penduduk distrik Walesi. Walaupun dalam
kenyataannya, tidak semua populasi masyarakat yang berada di distrik Walesi memeluk
agama Islam. Di Distrik Walesi juga masih terdapat beberapa gereja yang menjadi
tempat ibadah masyarakat yang kristen.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat penulis simpulkan bahwa proses Islamisasi yang berlangsung di Distrik
Walesi berlangsung dalam tiga fase:
1.
Fase kedatangan Islam yang ditandai
dengan datangnya guru, pedagang dan lain-lain asal Jawa, Madura dan Sulawesi.
Mereka ini pada umumnya pengikut agama Islam.
2.
Fase Penerimaan Islam yang ditandai
dengan diterimanya Islam oleh masyarakat lokal Distrik Walesi. Pada fase ini,
Islam diterima sebagai agama oleh para elit masyarakat lokal suku Dani.
3.
Fase Penyebaran Islam. Pada fase ini
Islam tidak hanya menjadi kepercayaan kalangan terbatas, melainkan telah
disebarkan ke penduduk dan wilayah lainnya. Kesuksesan penyebaran Islam di
Distrik Walesi ini disebabkan karena para elit suku lokal lebih dulu memeluk
agama Islam. Hal ini berdampak pada para pengikut-pengikut yang ada di
bawahnya.
Keberhasilan misi islamisasi di distrik
Walesi Kabupaten Jayawijaya secara otomatis menunjukkan gagalnya
misi-penginjilan di daerah tersebut. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses
pendampingan yang terabaikan setelah proses penginjilan. Tidak adanya tindak
lanjut yang dilakukan oleh para penginjil, disebabkan oleh proses integrasi
bangsa Indonesia, sehingga implikasinya berdampak pada lunturnya iman kristiani
masyarakat setempat.
Referensi
Charles E.
Farhadian (ed.), Christianity, Islam, and
Nationalism in Indonesia, New York: Routldge, 2005.
Marwati
Djoenet Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai
Pustaka, cet. ke-2,. 2008.
Putuhena, M.
Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKiS, cet. ke-1, 2007.
P.
J. Drooglever , Tindakan
pilihan bebas!: orang Papua dan penentuan nasib sendiri, Yogyakarta,
Kanisius, 2010.
Sewang, Ahmad M.
Islamisasi di Kerajaan Gowa, (Abad XVI dan Abad XVII). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, cet. ke-2, 2005.
[1] Berdasarkan bukti-bukti
yang ada, para ahli sejarah menjelaskan bahwa orang-orang Nusantara mulai
mengenal Islam sekitar abad XII hingga XV M ketika berhubungan dengan orang
pendatang yang berasal dari Arab, India dan Cina. Hubungan itu terbentuk
melalui perdagangan dan juga perkawinan. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa
serombongan orang-orang asing Muslim pada suatu masa menempati wilayah kosong,
dan dalam waktu yang cukup lama, mereka kemudian membaur dengan budaya sekitar.
[2] Tersebarnya agama Islam di
distrik Walesi ini tidak terlepas dari peran penting penduduk lokal yang
pertama memeluk agama Islam yaitu Merasugun. Merasugun inilah yang meminta agar
dibangunkan pusat ibadah kaum Muslim di kampungnya sekaligus Sekolah Islam agar
anak-anaknya dari clan Assolipele Walesi bisa sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar