see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Selasa, 18 Maret 2014

KEBERHASILAN MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA

KEBERHASILAN MISI ISLAMISASI DI DISTRIK WALESI KABUPATEN JAYAWIJAYA-PAPUA


                          NAMA MAHASISWA      : EFRAIM MANGALUK
                                           NIM                    : 136322002
                             DOSEN PENGAMPU   : 1. Dr. G. Budi Subanar, S.J.
                                                                          2. A. Bagus Laksana, S.J., Ph.D.
                                                                         
PENGANTAR

Sebuah desa kecil yang terletak di wilayah selatan kabupaten Jayawijaya, memiliki pemandangan yang tidak lazim. Ketika desa-desa yang lain sangat kental dengan bau kekristenan, maka desa yang satu ini tampak berbeda. Suasana keislaman begitu tercium ketika orang-orang berkunjung ke desa tersebut, baik yang hanya sekedar menikmati keindahan alam, bahkan mereka yang memang penasaran dengan keunikan desa tersebut. Inilah desa Walesi, satu-satunya desa di kabupaten Jayawijaya bahkan seantero Papua yang memiliki penduduk pribumi beragama muslim. Ketika berbicara tentang agama di Papua, maka yang terlintas di pikiran adalah kekristenan. Hampir seratus persen kabupaten yang tersebar di provinsi Papua, penduduk pribuminya beragama kristen dan katholik. Maka ketika ada seorang Papua yang menganut agama lain, maka orang tersebut akan tampak berbeda – ibarat sebuah titik hitam yang tampak jelas terlihat disebuah lembar kertas putih.
Memang sangat terlihat aneh ketika melihat penduduk desa tersebut melakukan aktifitas keagamaannya, kaum pria memakai peci dan yang wanita memakai jilbab, berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan ibadah. Mungkin bagi sebagian orang pendatang yang sudah mengetahui keislaman orang-orang kulit hitam di daerah Afrika, memiliki kesan yang biasa ketika melihat masyarakat di Walesi yang “islam”. Tetapi bagi orang-orang Papua sendiri, juga termasuk pendatang yang memang lahir dan besar di Papua pasti memiliki kesan yang aneh melihat masyarakat Walesi yang “islam” tersebut.

Pada tahun 1954 seorang penginjil asal Amerika, menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Wamena kabupaten Jayawijaya dengan misi utama menginjili orang-orang  pribumi yang pada saat itu merupakan penganut dinamisme. Tidak mudah bagi sang penginjil untuk menaklukan orang-orang pribumi Jayawijaya, karena selain penolakan, masalah keterbelakangan masyarakat juga menjadi kendala utama dari misi tersebut. Akan tetapi ditengah-tengah tantangan yang dihadapi selama proses penginjilan, ada hal positif yang diperoleh oleh para penginjil tersebut, yaitu semakin dekatnya mereka dengan kebudayaan asli masyarakat setempat yang secara otomatis semakin memudahkan misi tersebut.
Dalam paper ini penulis mencoba menguraikan dinamika kehidupan keagamaan masyarakat Wamena, terlebih khusus di distrik Walesi. Jikalau para penginjil mengalami lebih banyak kemudahan dibandingkan kesulitan selama proses penginjilan, maka muncul pertanyaan mengapa iman kristiani yang sempat ditanamkan dalam masyarakat telah luntur bahkan hilang sama sekali – digantikan dengan iman islam yang tampaknya mustahil di tengah-tengah lingkungan Papua yang beridentitaskan kekristenan.



BAB I
PENDAHULUAN

Diskursus mengenai persoalan lebih dulu mana agama yang masuk ke Papua antara Islam dengan Kristen masih menjadi polemik. Namun demikain mainstrem yang berkembang menunjukkan bahwa agama Islamlah yang pertama kali masuk ke Papua. Pendapat ini didasarkan pada hasil penelitian seorang berkebangsaan Belanda Van der Leeder  (1980). Ia mengatakan bahwa Islam masuk di kepulauan Raja Ampat setelah mendapat pengaruh dari kesultanan Tidore tidak lama sesudah agama tersebut masuk di Maluku pada abad ke 13 silam.  Sementara, J. R. Mansoben (1997) mengatakan bahwa Agama besar pertama yang masuk ke Irian Jaya (Papua) adalah Islam. Agama Islam masuk di Irian Jaya  (Papua) pertama di daerah Kepulauan Raja Ampat dan Fak-Fak berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan melalui hubungan perdagangan yang terjadi diantara kedua daerah tersebut.
Kendati Islam masuk pertama ke Papua, namun penginjilan (kristenisasi) di Kabupaten Jayawijaya (Lembah Beliem) ditengarai pertama kali dilakukan oleh sekelompok penginjil Amerika  di bawah pimpinan Lioyd Van Stone dari Christian & Missionary Association (CAMA). Pada bulan Januari 1958, seorang pastor dari orde Fransiskan bernama Arie Bokdijk, melakukan perjalanan orientasi ke lembah Baliem. Dalam historisitas persebaran agama-agama di wilayah ini menunjukkan bahwa hingga tahun 1969 misionaris Katolik dan kaum penginjil masih menjadi satu-satunya warga asing yang berdiam di Lembah Baliem. Baru pada tahun 1978 kedudukan mereka digantikan oleh suster-suster Indonesia (P. J. Drooglever, 2010).
Kemudian setelah penyerahan Nieuw-Guinea oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia sejumlah suster mengalihkan kewarganegaraannya dan menjadi guru sekolah dasar sampai akhir dekade 70-an. Setelah pengintegrasian Papua dengan Indonesia, banyak penduduk asal Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah sekitar Papua berpindah ke Papua untuk bekerja sebagai guru, pegawai sipil atau militer. Para pendatang yang berasal dari berbagai latar belakang profesi ini, umumnya beragama Islam.
Baru setelah proses interaksi yang intensif antara penduduk pendatang dengan penduduk lokal terjadi, masyarakat lokal mulai mengenal Islam. Dalam waktu yang lama bahwa pemeluk Islam terbatas dikalangan urban atau pendatang, tanpa usaha menyebarkan ke penduduk asli. Namun demikian, ada sejumlah masyarakat yang menjadi binaan sebuah yayasan pendidikan Islam (YAPIS). Hal ini dikemukakan oleh oleh JR. Mansoben, seorang antropolog utama Papua. Interaksi yang intensif tersebutlah yang membuka peluang terjadinya perubahan agama para penduduk lokal ini. Di Distrik Walesi, Agama Islam relatif cepat berkembang ketimbang di daerah lain. Hal ini disebabkan oleh terjadinya proses Islamisasi yang berlangsung dengan pola-pola yang cukup sistematis.
Untuk membedah proses islamisasi yang ada di Distrik Walesi, penulis menggunakan teori islamisasi yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Noorduyn dalam Ahmad Sewang.




BAB II
PEMBAHASAN

Proses Islamisasi dalam suatu wilayah pada dasarnya memiliki pola tersendiri. Pola-pola tersebut sebagaimana dikemukakan dan dikembangkan oleh Noorduyn dalam mengkaji proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Menurutnya, dalam proses Islamisasi terjadi dalam tiga tahapan yaitu awal pertama kedatangan Islam, penerimaan Islam oleh masyarakat lokal dan penyebaran Islam dalam wilayah yang lebih luas (Sewang, 2008:80-81). Teori proses Islamisasi ini akan digunakan penulis dalam membedah fenomena islamisasi yang terjadi di Distrik Walesi Kabupaten Jayawijaya-Papua.
A.    Fase Kedatangan Islam di Distrik Walesi
Menrut Noorduyn fase ini ditandi dengan kedatangan para mubalig atau dai pertama kali ke daerah sasaran untuk melaksanakan dakwah Islam (Sewang, 2005:80-81). Dalam konteks kedatangan Islam di Distrik Walesi, kedatangan Islam tidak diawali oleh datangnya sejumlah da’i, melainkan adanya interaksi antara para pendatang yang beragama Islam dengan penduduk lokal yaitu Suku Dani Jayawijaya yang bermukim di wilayah Wamena. Hal ini mulai terjadi sejak akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an, di kota Wamena Kabupaten Jayawijaya banyak datang penduduk pindahan dari Jawa (transmigrasi), dan para perantau asal Indonesia Timur, terutama orang Madura, Bugis, Buton dan Makasar.
Hal yang mendukung terjadinya intensitas interaksi antara pendatang dan penduduk juga dipengaruhi oleh pendirian Sekolah Dasar Inpres Megapura pertama di Wamena. Para guru dari Jawa - Madura dan transmigran yang pada akhirnya dipindahkan ke daerah Paniai tahun 1970-an, menyisakan pengaruh bagi Suku Dani terutama anak-anak siswa SD Inpres Megapura.
Jika diamati dari awal kedatangan Islam di Distrik Walesi, terlihat bahwa Proses islamisasi tersebut terjadi dalam proses yang panjang. Pada tahun 1978 dimulai dengan hubungan pribadi antara penduduk lokal dengan beberapa keluarga muslim pendatang. Selain adanya hubungan intensif juga adanya peran-peran dari beberapa pihak yang telah lama terjalin seperti unsur pemerintahan yang ada di Kabupaten Jayawijaya. Tokoh-tokoh yang secara langsung terlibat dalam proses Islamisasi ini antara lain: pegawai misalnya Kolonel  Thahir yang berprofesi sebagai tentara; Abu Yamin yang berprofesi sebagai Polisi; Hasan Panjaitan yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Jawawijaya; dan Paiyen pejabat Depag RI. Mereka menjadi katalisator dari proses Islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi.
Seiring waktu berjalan, hubungan kekeluargaan dan intensitas pengenalan Islam oleh para da’i semakin lama semakin berkesan di masyarakat lokal. Pada akhirnya beberapa masyarakat lokal tertarik untuk memeluk agama Islam. Keislaman mulai masuk dalam sistem kehidupan keluarga Aipon. Karena kehidupan toleransi yang di tawarkan para da’i-da’I muslim tersebut begitu tinggi hal ini mengakibatkan salah seorang Kepala Suku yang bernama Aipon dan seluruh keluarga besar mengambil keputusan untuk memeluk agama Islam. Inilah awal penting dimana islam masuk di Distrik Walesi Kabupaten Jayawijaya.
Selain melalui proses akulturasi budaya, islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi ini juga terjadi melalui hubungan pernikahan.  Dalam hal ini, salah satu anak kepala suku yaitu Aipon Asso menjalin ikatan pernikahan dengan santri di pesantren. Dengan adanya ikatan-ikatan dan jalinan tersebut berdampak pada semakin kuat keislaman dalam diri keluarga Aipon Asso. Bahkan Aipon Asso telah melaksanakan ibadah haji sebagai salah satu ritual penting yang ada dalam agama Islam (Charles E. Farhadian (ed.), 2005:82).
Jika dilihat dari pola-pola awal dari proses Islamisasi yang terjadi di Distrik Walesi khususnya, dan di kabupaten Jayawijaya pada umumnya tidaklah berbeda dengan pola-pola masuknya islamisasi di tempat lain, bahkan proses Islamisasi secara umum yang terjadi di Nusantara (Marwati Djoenet Poespoenogoro, 2008:161, M. Shaleh Putuhena, 2007:90).[1] Berawal dari interaksi dagang kemudian terjadi proses akulturasi antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal.

B.     Fase Penerimaan Islam di Distrik Walesi
Fase penerimaan Islam dilihat dari perspektif siapa yang pertama kali menerima dakwah Islam tersebut. Teori yang berkembang menunjukkan adanya dua pola dalam penerimaan orang lokal terhadap Islam yaitu: pola pertama yaitu Islam diterima dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian menyebar dan diterima oleh lapisan atas masyarakat tersebut (bottom up); pola kedua, Islam diterima langsung oleh elit penguasa masyarakat, kemudian disosialisasikan, dan berkembang di masyarakat bawah (top down). Jika cara kedua ini terjadi, maka kecenderungan proses islamisasi berjalan lebih optimal dan lebih cepat dibandingkan model pertama. Para elit yang terlebih dahulu masuk Islam pada umumnya menggunakan institusi kerajaan dalam mensosialisasikan dan mengembangkan Islam di daerahnya.
Dalam kasus penyebaran Islam di Distrik Walesi, penerimaan Islam oleh penduduk lokal bukanlah berangkat dari ruang kosong. Masyarakat Distrik Walesi secara umum telah memeluk agama Kristen, namun seiring dengan interaksi yang intensif antara para pendatang yang umumnya beragama Islam berpengaruh pada keputusan penduduk lokal untuk memeluk agama Islam. Penerimaan penduduk lokal terhadap agama Islam selain melalui hubungan dagang dan interaksi intensif antara pendatang dan penduduk lokal, juga tidak terlepas dari peran para pejabat-pejabat yang sekaligus berperan menjadi da’i-da’i dalam menyebarkan agama Islam di Distrik Walesi.
Kemudian hubungan secara lebih intensif sampai dengan sekarang, melalui para urban dari  Indonesia; Sulawesi, Madura, Jawa dan Maluku. Penerimaan Islam oleh penduduk lokal terjadi pada tahun 1975-1977 dengan beberapa orang seperti Merasugun, Firdaus  dan Muhammad Ali Asso, sebagai generasi pertama yang memeluk agama Islam. Dengan adanya para kaum-kaum elit lokal yang masuk Islam tersebut, hal ini memudahkan persebaran agama Islam.
Dalam hal ini, beberapa anggota suku banyak yang memutuskan untuk memeluk agama Islam, misalnya Suku Dani Baliem Tengah dan Baliem Selatan dari Moiety : Asso-Lokowal Asso-Wetipo, Lani-Wetapo, Wuka-wetapo, Wuka-Hubi, Lagowan-Matuan dan Walesi, kini banyak yang sudah memeluk agama Islam. Dari sejumlah sumber saksi penduduk bahwa Esogalib Lokowal orang paling pertama masuk Islam. Kemudian Harun Asso (dari Hitigima/Wesaput), Yasa Asso (dari Hepuba/Wiaima), Horopalek Lokowal, Musa Asso (dari Megapura/Sinata), Donatus Lani (dari Lanitapo). Megapura, Hitigima, Hepuba, Woma, Pugima dan Walesi (kini di Walesi clan Asso-Yelipele seluruh warganya 100% beragama Islam) adalah daerah pertama yang berinteraksi dengan orang Muslim dari berbagai daerah Indonesia.
Jika dilihat dari pola penerimaan Islam oleh penduduk lokal Distrik Walesi, yaitu didahului oleh masuknya para elit suku yaitu keluarga Merasugun Asso, Firdaus  Asso dan Muhammad Ali Asso yang notabene sebagai pemimpin suku. Dalam pandangan pola penerimaan Islam dimulai dari atas, maka akan cenderung lebih mudah diterima oleh anggota suku yang lain. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya pengikut Merasugun yang memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Hal ini pula yang menjadi faktor kesuksesan penyebaran Islam yang terjadi di Distrik Walesi. Namun demikian, dalam keberislaman warga masyarakat yang tinggal di Distrik Walesi ini, nampak berbeda dengan pengikut agama Islam yang lain. Pada keluarga lokal yang telah memutuskan penganut agama Islam masih ada yang mengkonsumsi daging babi. Padahal dalam ajaran agama Islam, mengkonsumsi daging babi merupakan hal yang dilarang.
Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal yang telah memeluk agama Islam tidak total dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Mereka seperti tidak tunduk terhadap larangan-larangan agama yang mereka anut.



C.    Fase Penyebaran Islam di Distrik Walesi
Fase ketiga dalam islamisasi adalah fase penyebaran Islam di wilayah tersebut. Penyebaran Islam di suatu wilayah dilakukan dengan strategi dan teknik tertentu (Sewang, 2005:87). Pada umumnya, penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara-cara perdamaian; diantaranya melalui perdagangan dan perkawinan. Dalam konteks Islamisasi di Distrik Walesi, penyebaran Islam di Distrik Walesi tidak terlepas dari peran para pedagang pendatang dan para pejabat pemerintah, TNI, Polri yang beragama Islam. Mereka ikut membantu melancarkan proses Islamisasi di distrik Walesi.
Selain itu, sukses dan berkembangnya proses Islamisasi ini juga tidak terlepas dari kesuksesan pada tahap kedua, dimana para da’i-da’i ini mampu mempengaruhi dan merubah pandangan kaum elit lokal mengenai agama. Sebut saja misalnya pemeluk Islam awal dari orang lokal seperti keluarga Marasugun Asso yang dibantu oleh para muslim pendatang dan da’i-da’I ikut andil di dalam penyebaran Islam di Distrik Walesi. Para pemeluk Islam generasi awal inilah yang berperan dalam penyebaran Islam yang dikenal oleh masyarakat sekitar Distrik Walesi. Saat ini, Walesi menjadi pusat Islam (Islamic Centre) di Lembah Baliem Wamena. Merasugun dan tokoh-tokoh Tua lainnya yang didampangi  kalangan muda Walesi adalah generasi muslim pertama yang bersemangat mengorganisasi diri serta sukses mengembangkan agama Islam dikalangan keluarga di Walesi dan sekitarnya.
Merasugun, Firdaus dan Ali Asso mengorganir da’wah islam, sehingga diikuti oleh semua masyarakat dari confederasi Asso-Yelipele Walesi. Orang pertama memeluk agama Islam dari Walesi diantaranya adalah; Nyasuok Asso, Walekmeke Asso, Nyapalogo Kuan, Wurusugi Lani, Heletok Yelipele, Aropeimake Yaleget, dan Udin Asso.  Keislaman mereka ini dikemudian hari memiliki pengaruh sangat besar eksistensi Islam Walesi dan Muslim Jayawijaya hingga kini. Kepala Suku Besar, Aipon Asso dan Tauluk Asso awalnya menolak islam, karena ajarannya mengharamkan babi (hewan ternak satu-satunya di Lembah Balim paling utama). Mereka baru masuk Islam dalam tahun 1978 dan mendapat dukungan seorang militer berpangkat Kolonel bernama Muhammad Thohir.
Selain itu, proses percepatan da'wah di Jayawijaya juga sangat di dukung oleh kehadiran militer yang beragama Islam yang bertugas dalam tahun 1960-an akhir di Kota Wamena. Penduduk yang lebih awal masuk Islam menuturkan bahwa Islamisasi sepenuhnya didukung secara individu dari Muslim yang kebetulan anggota Militert yang bertugas di Sinata (kini Megapura, 4 km selatan dari Kota Wamena).
Tingginya pengaruh Islam terhadap daerah lain tidak terlepas dari letak geografis distrik Walesi khususnya dan Kabupaten Jayawijaya yang berada di tengah-tengah Pulau Papua. Secara geografis, letak Kabupaten Jayawijaya berbatasan langsung dengan enam Kabupaten yaitu Kabupaten Mamberamo Tengah dan Kabupaten Yalimo di sebelah utara, Kabupaten Yahukimo di selataan, Kabupaten Lanny Jaya dan Kabupaten Tolikara di Barat, dan Kabupaten Pegunungan Bintang di Timur.
Letak geografis yang cukup strategis inilah yang berpengaruh pada persebaran Islam di wilayah Papua pada umumnya. Persebaran Islam di wilayah ini juga tidak terlepas dari pembangunan pusat-pusat keislaman “Islamic Center”.[2] Islamic Centre adalah organisasi khusus dan fokus untuk memperhatikan kaum muslim pribumi didirikan pada tahun 1978. Letnan Kolonel Dokter Muhammad Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10, Hamadi Jayapura, pencetus dan pelopor utama berdirinya Islamic Centre. Pada mulanya dia datang ke Wamena dalam kesempatan undangan ceramah setelah berjumpa dengan penduduk asli muslim (muallaf) dari Walesi, tergerak hatinya dan mendirikan organisasi da’wah Islam pertama, Islamic Centre yang di ketuai Hasan Panjaitan, (Sekda Jayawijaya kala itu). Islamic Centre dibawah kendali Hasan Panjaitan banyak membantu proses da’wah selanjutnya. Islam di Walesi berkembang pesat dan dikunjungi berbagai kalangan pejabat pemerintah muslim dari Kota Wamena dan Ibukota Jayapura.
Sejarah masuk dan penyebaran Islam di distrik Walesi khususnya dan Kabupaten Jayawijaya pada umumnya tidak terlepas dari lemahnya dasar ke-Kristenan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Lemahnya perserikatan gereja-gereja yang abai terhadap permasalahan umat ikut memberi andil di dalam keputusan umat di dalam mempertahankan iman Kristen. Keadaan ini menjadi peluang bagi aktifis muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan Islam ke wilayah sekitarnya dan menciptakan pusat-pusat keislaman di daerah-daerah papua yang lain.
Namun demikian, sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya dari gereja untuk mengembalikan situasi yeng terjadi saat ini. Dimana Gereja bertekad untuk untuk mengembalikan iman umat Kristiani yang telah masuk Islam. Tetapi hal tersebut mengalami kesulitan karna islam telah menguasai semua sendi-sendi kehidupan masyarakat di Walesi. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penduduk distrik Walesi. Walaupun dalam kenyataannya, tidak semua populasi masyarakat yang berada di distrik Walesi memeluk agama Islam. Di Distrik Walesi juga masih terdapat beberapa gereja yang menjadi tempat ibadah masyarakat yang kristen.



BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa proses Islamisasi yang berlangsung di Distrik Walesi berlangsung dalam tiga fase:
1.      Fase kedatangan Islam yang ditandai dengan datangnya guru, pedagang dan lain-lain asal Jawa, Madura dan Sulawesi. Mereka ini pada umumnya pengikut agama Islam.
2.      Fase Penerimaan Islam yang ditandai dengan diterimanya Islam oleh masyarakat lokal Distrik Walesi. Pada fase ini, Islam diterima sebagai agama oleh para elit masyarakat lokal suku Dani.
3.      Fase Penyebaran Islam. Pada fase ini Islam tidak hanya menjadi kepercayaan kalangan terbatas, melainkan telah disebarkan ke penduduk dan wilayah lainnya. Kesuksesan penyebaran Islam di Distrik Walesi ini disebabkan karena para elit suku lokal lebih dulu memeluk agama Islam. Hal ini berdampak pada para pengikut-pengikut yang ada di bawahnya.
Keberhasilan misi islamisasi di distrik Walesi Kabupaten Jayawijaya secara otomatis menunjukkan gagalnya misi-penginjilan di daerah tersebut. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses pendampingan yang terabaikan setelah proses penginjilan. Tidak adanya tindak lanjut yang dilakukan oleh para penginjil, disebabkan oleh proses integrasi bangsa Indonesia, sehingga implikasinya berdampak pada lunturnya iman kristiani masyarakat setempat.



Referensi

Charles E. Farhadian (ed.), Christianity, Islam, and Nationalism in Indonesia, New York: Routldge, 2005.

Marwati Djoenet Poespoenogoro, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-2,. 2008.

Putuhena, M. Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKiS, cet. ke-1, 2007.


Sewang, Ahmad M. Islamisasi di Kerajaan Gowa, (Abad XVI dan Abad XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. ke-2, 2005.






[1] Berdasarkan bukti-bukti yang ada, para ahli sejarah menjelaskan bahwa orang-orang Nusantara mulai mengenal Islam sekitar abad XII hingga XV M ketika berhubungan dengan orang pendatang yang berasal dari Arab, India dan Cina. Hubungan itu terbentuk melalui perdagangan dan juga perkawinan. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa serombongan orang-orang asing Muslim pada suatu masa menempati wilayah kosong, dan dalam waktu yang cukup lama, mereka kemudian membaur dengan budaya sekitar.
[2] Tersebarnya agama Islam di distrik Walesi ini tidak terlepas dari peran penting penduduk lokal yang pertama memeluk agama Islam yaitu Merasugun. Merasugun inilah yang meminta agar dibangunkan pusat ibadah kaum Muslim di kampungnya sekaligus Sekolah Islam agar anak-anaknya dari clan Assolipele Walesi bisa sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar