MANUSIA ‘BERMULUT KECIL’
(Kajian Poskolonial tentang
Perempuan Indonesia Masa Penjajahan Belanda)
Ditulis Oleh Alfons No Embu
Nim 136322011
Nim 136322011
Gambaran Perempuan Pada Masa Penjajahan Belanda |
1.
PENGANTAR
“Can
the subaltern speak?” merupakan pertanyaan mendasar yang diajukan Gayatry
Spivak ketika ia mengecam kebutaan kelas dan rasial yang terjadi di dunia
akademi Barat pada tahun 1985. Spivak memaksudkan subaltern dalam pengertian
Antonio Gramsci, yakni sebagai subyek yang tertindas, tertekan dan inferior.
(Ania Lomba, 2005: 192-193) Dalam konteks kajian poskolonial, subaltern
dipakainya untuk menyebut kelompok bangsa terjajah atau subyek terjajah. Dengan
demikian, pertanyaannya menjadi “Dapatkah subyek terjajah berbicara?”
Pertanyaan ini kemudian ia elaborasikan juga tentang bagaimana subyek terjajah
berbicara dan soal representasi subyek terjajah itu dalam berbicara melalui
kaum intelektualnya.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, Spivak mengangkat tradisi Sati di India sebagai
ilustrasinya. Sati merupakan ritual pengorbanan diri sendiri seorang janda di
atas api pembakaran mayat suaminya, sebagai tanda cinta dan kesetiaan. Tindakan
ini dalam tradisi India dianggap sebagai tindakan yang suci, heroik dan mulia
bagi setiap perempuan. Dan tradisi ini sekian lama dilaksanakan dan diterima
begitu saja oleh orang India, sampai pada masa penjajahan Inggris. Dalam
konteks India, menurut kaca mata Spivak, jelas para perempuan India merupakan
subaltern yang tidak dapat berbicara dan terbungkam. Penjajah Inggris berusaha
untuk meniadakan praktek itu dan hal itu menimbulkan perdebatan. (Ania Lomba,
2005: 194-195) Hal ini kemudian menjadi legitimasi oleh orang Inggris untuk
melakukan kolonialisasi terhadap India, dengan alasan untuk menyelamatkan
“perempuan coklat” dari kebiadaban pria-pria coklat pribumi India.
Bertolak
dari hipotesa ini, saya mencoba untuk menempatkan diskusi Spivak dengan
pertanyaannya “Can the subaltern speak?” di dalam konteks penjajahan Belanda di
wilayah Nusantara. Saya hendak menguji apakah tesis Spivak bahwa “Subaltern can
not speak” juga relevan dalam konteks penjajahan di Hindia Belanda? Hal ini
menjadi penting menurut saya, karena kajian poskolonial tidak boleh
menggeneralisasi dan menyamakan begitu saja kondisi poskolonial subyek-subyek
terjajah. (Ania Loomba, 2005: p. 17) Sebagaimana Spivak coba mengangkat
ilustrasi dari realitas marginalisasi perempuan India, saya juga coba
meneropong marginalitas perempuan pribumi Nusantara pada masa Hindia-Belanda.
Ketika
saya menelusuri cerita tentang penjajahan Belanda di Nusantara, saya menemukan
satu istilah yang biasa dipakai oleh para tentara Belanda untuk menyebut
perempuan pribumi yang menjadi gundiknya, yakni Moentji (munci). Regie
Baay menulis bahwa moentji merupakan
plesetan dari kosa kata bahasa Belanda, yakni Mondje (berarti mulut kecil). Istilah tersebut merujuk pada
kenyataan para perempuan gundik dalam barak-barak tentara Belanda adalah
perempuan penurut, tidak banyak bicara atau protes dengan keadaan dan status
mereka. Mereka juga tidak memberontak ketika mendapat perlakuan kasar oleh para
serdadu dan pegawai Belanda. (2010: p. 58.)
Menurut
saya, pengertian istilah moentji itu
tidak terbatas pada arti harafiahnya, yakni mulut kecil. Moentji atau mulut kecil sekaligus merupakan metafora dari kondisi
marginalitas perempuan pribumi di Hindia Belanda oleh penjajah Belanda dan juga
oleh kaum lelaki pribumi dalam sistem budaya patriarkat. Sebutan Moentji menunjukkan dengan jelas bahwa
kaum perempuan gundik itu dan juga perempuan pribumi umumnya tidak dapat
berbicara. Dalam pemahaman seperti ini, realitas marginalisasi perempuan
pribumi di Hindia Belanda tidak hanya terbatas pada persoalan pergundikan,
tetapi juga berkaitan dengan perbudakan dan pelacuran.
Untuk
mengkaji tesis tentang perempuan Indonesia masa Hindia Belanda ‘bermulut’
kecil, saya mengemukakan tiga pokok permasalahan dengan tiga pertanyaan
mendasar, yakni: Bagaimana kondisi dan posisi perempuan pribumi di masa
penjajahan Belanda? Can Indoneisa women speak? dan Can Indonesian women be
heard? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya akan ditempatkan dalam
konteks masa penjajahan Belanda di Nusantara.
2.
Fakta Sejarah Marginalisasi Perempuan
Pribumi di Hindia Belanda
Praktek
perbudakan, pergundikan, dan pelacuran memang sudah ada dalam sejarah
kerajaan-kerajaan di Nusantara, Kerajaan Mataram di Jawa tengah misalnya. Namun praktek tersebut hanya terjadi dalam
skala kecil dan berlaku untuk sebagian kecil orang, yakni para bangsawan. (Hull,
1997: p. 1, p. 13) Pada masa Hindia Belanda tiga realitas tersebut di atas
menjadi terorganisir dan terlembagakan. (Baay, 2010: p. 104) Terjadi ekploitasi
besar-besaran terhadap perempuan pribumi menjadi budak rumah tangga dan
perkebunan, gundik (nyai) dan juga
pelacur bagi para tentara, pekerja dan pegawai Hindia Belanda.
2.1.
Perbudakan
Pada
masa Hindia Belanda, orang Belanda yang datang ke Nusantara pada umumnya
laki-laki, baik yang sudah kawin di negeri asalnya dan paling banyak adalah
bujangan, baik sebagai pegawai maupun sebagai tentara. Hal ini kemudian
menimbulkan persoalan seputar seksualitas orang-orang ini. Banyak terjadi kasus
sodomi di barak-barak tentara dan pegawai. Gejala lainnya adalah ada tentara
dan pegawai lainnya yang mengambil
wanita pribumi untuk menjadi obyek dan partner seksualnya. Untuk mengatasi hal
itu, VOC membuat kebijakan untuk mendatangkan perempuan-perempuan dari negeri
Belanda ke Nusantara untuk menjadi obyek seksual para tentara dan pegawainya.
Jan Pieterzoen Coen (Gubernur Jendral VOC tahun 1618-1623 dan tahun 1627-1629)
merupakan salah satu yang menentang hubungan di luar perkawinan dan mendukung
kaum perempuan pendatang dari Negeri Belanda ke Nusantara. (Baay, 2010: p. 55)
Namun
pada tahun 1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi
perempuan-perempuan Belanda yang hendak ke daerah jajahan di Nusantara karena
akan membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, VOC membuat kebijakan bahwa
lelaki Belanda diijinkan beristri penduduk Asia. Bahkan untuk mendukung hal
tersebut VOC membeli budak perempuan untuk dijadikan istri para bujangannya.
(Hull, 1997: p. 4) Sejak itu perbudakan perempuan mulai dipraktekkan sebagai
solusi untuk mengurus rumah tangga para pria Eropa, baik yang bujangan maupun
yang berkeluarga, sekaligus menjadi solusi pelampiasan hasrat seksual mereka. Praktek
perbudakan ini terus terjadi juga pada masa penjajahan Hindia Belanda.
Para
budak perempuan ini biasanya berasal dari keluarga rakyat jelata yang miskin.
Mereka menjadi budak karena diserahkan oleh keluarganya atau juga kerena dibeli
di pasar-pasar budak. Tugas para budak ini adalah mengurusi rumah tangga lelaki
kolonial. Di samping itu, para budak perempuan ini juga sekaligus menjadi
pelayan birahi seksual tentara dan pegawai Belanda. Tidak jarang mereka juga
menjadi ibu bagi anak-anaknya. (Baay, 2010: p. 1; Gouda, 2007: p. 198)
Dengan
statusnya sebagai budak, para perempuan ini kerap diperlakukan sewenang-wenang
oleh majikan Eropanya. Lelaki Eropa dapat melakukan apa saja atas diri mereka,
sebagaimana memperlakukan harta bendanya yang lain. Para budak ini tergantung
sepenuhnya kepada para majikannya, tanpa ada negosiasi apapun, termasuk tentang
upah. Mereka pun tidak punya hak suara untuk mengajukan keluhan dan tuntutan
kepada para majikannya. (Helwig, 2007:
p. 36) Banyak dilukiskan bahwa seorang lelaki Eropa dapat memiliki satu
atau lebih pembantu di rumahnya, sekaligus menjadi pelayan seksnya. Ada unsur
keterpaksaan karena upahnya tergantung pada majikannya selain itu sudah pasti
ada hubungan kekuasaan antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi dan relasi
antara majikan dan pekerja. (Baay, 2010: p. 51)
Kondisi
lebih memprihatinkan terjadi pada perempuan di dalam barak-barak tentara
Belanda. Gouda mengutip Kousbroek dalam “de
mems in de koloniale semenlevig” sebagai berikut:
‘ratusan
prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur,
yang bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan yang lainnya. Tanpa
mengindahkan kesopanan mereka bercinta, di hadapan para penghuni lainnya, tidak
ubahnya seperti sapi jantan, kuda jantan, anjing, kucing jantan,….dan berbagai
macam binatang dan makhluk lainnya.”(Gouda, 2007: p. 198)
Selain
sebagai pembantu rumah tangga, banyak perempuan dari berbagai wilayah Nusantara
dideportasi ke berbagai area perkebunan tembakau, kopi, tebu, teh di Sumatera
dan Jawa. Mereka dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah. Bahkan upah itu
sengaja diberikan serendah mungkin supaya tidak mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Dengan demikian supaya berkecukupan, para perempuan ini mesti kerja
rangkap sebagai pelacur di area perkebunan itu bagi banyak pekerja pria, baik
Eropa maupun pribumi. Pekebun Eropa juga boleh memilih di antara wanita pekerja
itu (biasanya orang Jawa) untuk menjadi pembantu rumah tangganya dan menjadi partner
seksnya. (Gouda, 2007: p. 197; Baay, 2010: p. 140-142)
Kondisi
ketidakadilan gender dalam hal upah kerja bahkan terus terjadi hingga masa
menjelang kemerdekaan. Pada tahun 1930, upah buruh yang diterima oleh buruh laki-laki dan perempuan
di perkebunan masih menunjukkan perbedaan. Jumlah gaji yang telah ditetapkan
bagi kuli-kuli kontrak di Sumatera Timur paling rendah 42 sen bagi buruh
laki-laki dan 30 sen bagi buruh perempuan. Pada tahun 1930 perkebunan tembakau
di Jawa sudah membayar 57.5 sen kepada buruh laki-laki dan 44 sen bagi buruh
perempuan, dan pabrik-pabrik gula membayar 46 sen kepada laki-laki dan 37 sen
kepada perempuan. (Furnivall, 1983: 478) Selain dari itu Anthony Reid juga
menulis bahwa pada tahun 1935-1937 upah terendah di Sumatera Timur bagi buruh
laki-laki diberikan 30 sen sehari dan bagi buruh perempuan diberikan 24 sen
sehari. Sementara upah terendah yang diterima oleh pekerja pabrik di Sumatera
Timur masa itu 53.5 sen, sedangkan buruh yang tidak mempunyai kepakaran menerima upah 80 sen. (Reid, 1987: p. 82)
Pada
awal abad ke-19 ada petisi Penghapusan Perbudakan Internasional. Pemerintah
Hindia Belanda menindaklanjuti dengan peraturan pemerintah pada 1818 yang
melarang perdagangan budak di Hindia Belanda. Dengan itu sebenarnya perdagangan
budak rumah tangga di Hindia Belanda sudah semestinya berhenti. Namun
perbudakan di Hindia Belanda baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1860.
(Baay, 2010: p. 21) Dengan itu, banyak pria Belanda beralih ke praktek
pergundikan.
2.2.
Pergundikan
Banyak istilah untuk menamakan seorang
gundik, yang paling umum adalah nyai.
Kata nyai didapati dalam bahasa Bali,
bahasa Sunda dan bahasa Jawa dengan pengertian ‘perempuan (muda), adik
perempuan’, dan juga dipakai sebagai istilah panggilan. (Hellwig 2007. P. 36)
Para gundik juga biasa dipanggil moentji/munci,
yang merupakan plesetan dari kata mondje,
yang berarti mulut kecil. Selain itu gundik sering dipanggil dengan istilah Snaar/Snoer (senar/dawai). Sapaan Snaar,
di Belanda, biasa dipakai untuk para pelacur, wanita panggilan dan penjaja seks
komersial. Para gundik juga disebut meubel
(perabot) atau inventarisstuk (barang
investasi). Dengan dua istilah itu, para gundik diidentikkan dengan
barang-barang, harta benda orang Belanda. Perlakuan terhadap mereka juga sama
dengan perlakuak terhadap barang-barang. Para gundik dapat dijual, dilelang seperti
barang lainnya ketika para serdadu pergi ke Belanda, atau ketika sudah tidak
dikehendaki. Berkaitan dengan peran para gundik yang biasa membantu
menerjemahkan dalam komunikasi tuan Belandanya, mereka sering disebut dan
disamakan dengan boek (buku) atau
woordenboek (kamus). (Baay, 2010: p.58-59)
Moentji
berperan sebagai pembantu, teman tidur, istri dan semua peran yang ada. Soal
status, seorang moentji hanyalah
primus interpares di antara para budak dan pembantu perempuan itu. (Baay, 2010:
p. 100) Sebagai primus interpares, moentji
bertanggung jawab mengatur seluruh urusan rumah tangga tuan Eropanya. Ia
menjadi pemimpin para pembantu rumah tangga. Ketika tuan Eropa meninggalkan
rumah, moentji bertanggung jawab
sepenuhnya atas rumah dan semua pembantu tuannya. Ia berhak mengaturnya.
Latarbelakang perempuan pribumi
Indonesia yang menjadi gundik laki-laki Eropa umumnya diketahui berasal dari
keluarga-keluarga petani miskin di Jawa. (Baay, 2010: p. 51) Saat itu ada gerak
urbanisasi yang intens dengan motifnya untuk memperbaiki taraf hidup di kota.
Menjadi nyai atau gundik merupakan
pilihan untuk memperbaiki taraf hidup. Ada juga yang diambil alih dari rekan
pribumi, ada perempuan yang menawarkan diri, atas permintaan para serdadu, atau
ditawarkan sebagai nyai oleh keluarga
perempuan. (Baay, 2010: p. 100) Hal ini sangat erat berkaitan budaya patriarkhi
di Nusantara yang memungkinkan para perempuan dialihkan, diserahkan bahkan
dijual oleh kaum lelaki.
Pada masa Hindia Belanda para bujangan
diberikan gundik-gundik pribumi. Para gundik ini hanya dipakai sebagai ‘manusia
percobaan’ bagi para bujangan yang akan menikahi seorang perempuan Eropa.
Bersama para gundik ini mereka bereksplorasi tentang kehidupan seksual dan
memperoleh pemahaman tentang hidup berkeluarga. Dengan demikian, hidup bersama
perempuan pribumi dianggap dan dimanfaatkan sebagai jembatan menuju hubungan
ideal dengan calon istri dari Eropa. (Baay, 2010: p. 55) Seorang nyai boleh dikatakan tidak punya hak
apa-apa, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak punya hak atas posisinya
sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan oleh majikannya tanpa bantuan dalam
bentuk apapun. Di kalangan ketentaraan, nyai
kadang diserahkan begitu saja dari seorang tentara kepada lainnya. (Hellwig,
2007: p. 37; Gouda, 2007: p. 205).
Status nyai/gundik bagi seorang pria Eropa dan juga dalam masyarakat
pribumi di Hindia Belanda hampir sama dengan pelacur. (Baay, 2010: p. 52) Dalam
lingkungan Belanda, hal itu sangat tergambar dengan sebutan snaar/snoer yang di Belanda dipakai untuk
para pelacur. Bagi kaum pribumi, menjadi nyai
juga sama dengan menjadi pelacur, karena kehidupan bersama dengan lelaki
Belanda adalah tidak sah. Lebih dari itu, bagi kaum pribumi, mereka dianggap
mengkhianati saudaranya sendiri karena mereka menunjang kebutuhan kolonial.
Mereka juga diaggap mengkianati agama dengan hidup bersama orang kafir, seorang
Kristen. Islam adalah agama kebanyakan pribumi sebelum kedatangan Belanda.
Hidup bersama dengan lelaki Belanda, yang de
facto Kristen tanpa ikatan yang sah menurut agama Islam adalah tindakan
yang haram. Dan mereka dikucilkan dari masyarakatnya.
2.3.
Pelacuran
Selain perbudakan dan pergundikan,
pelacuran dalam lingkungan tentara kolonial Belanda, merupakan bagian dari
realitas yang tidak dapat terpisahkan. (Hellwig, 2007: p. 42) Di mana ada
barak-barak tentara atau pegawai Hindia Belanda pasti di situ terdapat
rumah-rumah bordil atau barak penyedia pelacur. (Baay, 2010: p. 104) Menurut
Terrence Hull, pelacuran menjadi melembaga dan juga menjadi komoditas ketika penjajah
Belanda datang ke Nusantara. Seks menjadi sebuah industri yang dibutuhkan dan
menjadi lebih terorganisir. (Hull, 1997)
Selama pembangunan jalan-jalan kereta
api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur,
Bandung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya tahun 1884, dunia pelacuran telah
menjadi bagian penting penyedia jasa layanan seksual bagi para pekerja jalan
kereta api. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika tempat pelacuran di
beberapa kota tersebut terletak dekat stasiun kereta api. (Syam, 2010: p.
83-84) Beberapa tempat pelacuran yang dekat dengan stasiun kereta api dan punya
keterkaitan sejarah dengan Hindia Belanda, misalnya: di Yogyakarta (Sarkem,
Mbalokan, dan Sosrowijan), di Surabaya ada pelacuran di seputar Stasiun Semut.
(Hull, 1997: p. 7)
Selain berkaitan dengan proyek
pembangunan jalan kereta api, pelacuran zaman Hindia Belanda juga banyak
terdapat di kota-kota pelabuhan dan dekat dengan pelabuhan. Setiap daerah
pelabuhan besar zaman Hindia Belanda, seperti Batavia (Tanjung Priok), Surabaya
(Tanjung Perak), dan beberapa lainnya selalu ada tempat pelacuran, untuk
melayani para pekerja di kapal-kapal milik orang Cina ataupun Belanda. (Hull,
1997: p. 8)
Kebanyakan pelacur itu adalah perempuan
Jawa. Ada juga perempuan yang didatangkan dari luar Jawa, seperti dari
Minahasa, Ambon, Bali dan Makasar. Selain itu, ada juga perempuan yang didatangkan
dari Jepang untuk dijadikan gundik dan juga dipekerjakan di rumah-rumah bordil
milik Hindia Belanda. (Baay, 2010: p.
52). Pelacur dari Jepang atau dari Cina itu biasanya diperuntukkan bagi para
pegawai tinggi dalam pemerintahan Belanda. Sehingga sebenarnya, ada sistem
kelas dalam pelacuran di Hindia Belanda.
Beberapa
tempat pelacuran yang kini masih ada di kota-kota tersebut di atas menempati
area-area dan situs-situs pelacuran Hindia Belanda. Bahkan beberapa lokalisasi
pelacuran bersejarah kolonial hingga kini menjadi begitu terkenal. Beberapa di
antaranya, yakni kompleks pelacuran Dolly, Jarak, Bangun Rejo, Bangun Sari,
Kremil, dan lainnya menjadikan Surabaya pernah tercatat sebagai kota dengan
lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara. (Purnomo, 1985: p. 23; Syam,
2010: p. 71 dan p. 102) Dan lebih mengagetkan kini lokalisasi itu sudah menjadi
salah satu tujuan wisata, domestik maupun luar negeri.
Praktek
pergundikan, pelacuran dan perbudakan ini sebenarnya juga mendapat protes keras
di Hindia Belanda dan juga di Belanda. Di Belanda, protes-protes tersebut
dilancarkan oleh politikus-politikus Katolik, misalnya B.R. van Vlijmen. Dengan
publikasi protes-protesnya orang-orang Belanda mulai banyak membicarakan
tentang tiga hal tersebut di Hindia Belanda. (Baay, 2010: p. 120-121) Inggris
juga pernah coba menghentikan praktek perbudakan dan pergundikan. Namun karena
pergundikan telah menjadi tradisi sepenuhnya di Hindia Belanda pada awal abad
ke-19, maka sekeras apapun usaha orang-orang Inggris untuk menghentikannya dari
kehidupan masyarakat Hindia Belanda, hal itu tidak berhasil. (Baay, 2010: p.19)
3.
Kajian Poskolonial Kondisi Perempuan
Pribumi Masa Penjajahan Belanda
Berdasarkan
tiga persoalan tersebut di atas, yakni perbudakan, pergundikan dan pelacuran,
jelas kelihatan bahwa perempuan pribumi sungguh telah diposisikan terlebih
dahulu berdasarkan gendernya. Posisionalitas
seperti ini telah berlaku umum dan diterima sebagai sesuatu yang mutlak benar.
(bdk. Katrin Bandel, 2013) Posisionalitas perempuan pribumi itu telah dilakukan
pertama oleh para lelaki pribumi sendiri di dalam sturktur budaya patriarkhi.
Perempuan telah lama diposisikan sebagai milik kepunyaan pria, lebih rendah
dari pria dan berada di bawah kekuasaan pria. Ketika berada di dalam keluarga
ia menjadi milik dan dalam penguasaan ayah atau saudara laki-lakinya; setelah
berkeluarga ia menjadi milik kepunyaan dan dalam penguasaan suaminya. Pada masa
kolonial Belanda pemosisian perempuan pribumi berdasarkan gendernya itu semakin
menegaskan perlakuan yang telah ada dalam budaya patriarkhi di Nusantara
umumnya. Lebih dari itu, kolonial Belanda semakin memarginalkan posisi
perempuan pribumi, ketika pada masa itu terjadi eksploitasi perempuan pribumi
menjadi budak rumah tangga, budak perkebunan, gundik dan juga pelacur bagi para
pria Belanda.
Dalam praktek perbudakan, pergundikan dan
pelacuran pada masa Hindia Belanda nampak dengan sangat kasat mata bahwa perempuan pribumi direduksi hanya sebagai
tubuh dan obyek seksual para lelaki Belanda. Para perempuan pembantu rumah
tangga juga mesti merangkap juga tugas untuk menjadi partner seks tuan
Belandanya. Ketika itu tuan Belanda bisa memiliki lebih dari satu pembantu
rumah tangga, dia juga memiliki lebih dari satu alternatif untuk melampiaskan
nafsu seksualnya. Para pekerja perempuan dimobilisasi ke berbagai perkebunan
milik Belanda, dan diberikan upah yang serendah mungkin agar tidak memenuhi
kebutuhan dasarnya. Situasi itu dikondisikan agar para pekerja perempuan ini
mesti melacurkan diri demi memperoleh pendapatan tambahan untuk mencukupi
kehidupannya. Demikian halnya terjadi dengan praktek pergundikan, motif
dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan seksual para lelaki Belanda, baik pekerja,
tentara dan pegawainya. Hal yang sama tentu terjadi di dalam praktek pelacuran,
yang sengaja disediakan untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat seksual para lelaki
Belanda.
Dalam konteks pelacuran khususnya
terdapat tiga isu utama (Truong, 1992: p.31) yang nampak dalam kata dan
tindakan para lelaki Belanda. Pertama, hubungan sosial dan biologis yang
kompleks antara pria Belanda dan wanita pribumi direduksi hanya menjadi sekedar
untuk pemenuhan gairah seksual pria Belanda. Kedua, para perempuan pribumi
hanya dipahami sebagai tubuh, tidak lebh dari itu. Perempuan pribumi dianggap
ada karena mereka mempunyai tubuh
yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek seksual. Dengan kata lain, satu-satunya
yang bernilai dari perempuan adalah tubuhnya. Ketiga, dalam banyak keterangan
dilukiskan perempuan pribumi sebagai penggoda, liar dan penuh nafsu birahi
terhadap lelaki Belanda. Dalam hal itu perempuan pribumi dianggap melakukan
eksploitasi terhadap pria Belanda, bukan sebaliknya.
Selain pereduksian perempuan pribumi
hanya sebagai obyek seksual, mereka juga memperoleh penindasan rasial. Perempuan
pribumi menderita penindasan rasial dan
gender sekaligus. Penderitaan kaum perempuan pribumi ditambahkan lagi
dengan dominasi lelaki (suami). Mereka dikucilkan dari dalam dunia publik dan
dipenjara di rumah. Sehingga, dalam relasi kekuasaan perempuan pribumi
mengalami double penindasan gender oleh dua subyek yang berbeda, yakni oleh
pria pribumi dan oleh pria Belanda. Dan mereka mengalami penindasan rasial dari
pria Belanda. Hal inilah yang oleh Regie Baay (2007: p.51) disebut sebagai Double
marginalisasi. Leela
Gandhi menyebutnya sebagai ‘double
colonisation’ seperti yang dialami oleh perempuan-perempuan di dunia
ke-tiga umumnya, bahwa perempuan pribumi sekaligus menjadi korban ideologi
imperialisme dan ideologi patriarkhi Belanda. (Leela Gandhi, 1998: p. 83)
Bertolak dari
realitas tersebut di atas, dalam benak saya muncul pertanyaan yang senada
dengan Spivak, atau saya mengelaborasikan pertanyaan Spivak “Can the subaltern
speak?” dalam konteks penjajahan Belanda di Nusantara. “Can Indonesian women
speak?” “Dapatkah perempuan Indonesia berbicara?”
Saya
menempatkan pertanyaan ini dalam konteks double
marginalisasi dan double
kolonialisasi. Dalam konteks budaya patriarkhi di Nusantara tidak ada ruang
dan tempat bagi kaum perempuan untuk bernegosiasi dan bersuara, hingga akhir masa
Hindia Belanda. Seluruh aspek kehidupan perempuan pribumi ditentukan oleh
laki-laki pribumi (oleh ayah atau saudara laki-lakinya). Urusan perempuan hanya
seputar ‘dapur, sumur dan kasur’, tidak ada tempat di ruang publik bagi suara
mereka. Dalam konteks kolonialisme Belanda, kaum perempuan semakin dibungkam,
terjadi kekerasan gender dan rasial. Belanda mengkonstruksikan perempuan
pribumi sebagai pelacur, gundik dan budak. Dan setiap perempuan pribumi saat
itu secara potensial dapat dijadikan pelacur, budak dan gundik. Dalam posisi
seperti itu tentunya sangat jelas ketidakberdayaan perempuan pribumi. Jadi,
perempuan pribumi yang tidak sempat mendapatkan dampak perlakuan oleh kolonial
Belanda tetap saja mengalami marjinalisasi oleh lelaki pribumi dalam budaya
patriarkhi yang sudah ada.
Spivak,
berdasarkan analisisnya terhadap kondisi subaltern India, menyimpulkan bahwa ‘the subaltern can not speak’.
Berdasarkan uraian di atas, meminjam esai Spivak, saya sampai pada suatu kesimpulan
bahwa ‘Indonesia Women Can not speak’.
Hal ini terjadi selama masa Hindia Belanda hingga awal abad ke-20. Kaum
perempuan pribumi pertama dibungkam oleh budaya patriarkhi sendiri.
Selanjutnya, mereka dibungkam oleh ideologi patriarkhi Belanda dan oleh
kekuasaan kolonial Belanda. Kondisi ini sungguh membuat perempuan pribumi
Nusantara tidak punya suara dan tidak dapat berbicara.
Persoalan
selanjutnya yang diungkapkan Spivak ketika ‘the
subaltern can not speak’ adalah representasi. Di sini, Spivak menegaskan
posisi kaum intelektual pribumi yang semestinya menjadi representasi suara
subaltern terjajah. Sejak awal tahun 1900-an mulailah ada upaya untuk mendidik
gadis-gadis Bali dan Jawa dengan maksud meningkatkan kedudukan perempuan
pribumi. Hal inilah yang menjadi dasar
dan inspirasi pendirian lembaga-lembaga pendidikan swasta yang dirancang khusus
untuk para gadis. Namun, pendidikan itu hanya mempersiapkan mereka untuk
menghadapi tugas sebagai ibu rumah tangga dan takdir sebagai seorang ibu di
masa depan. Tidak lebih dari itu. (Baay, 2007: p. 137, p. 180) Pendidikan itu
hanya diperuntukkan bagi para perempuan anak priyai Jawa dan Bali, tidak begitu
saja terbuka untuk semua gadis, termasuk yang miskin di pedesaan. Sistem
pendidikannya juga bersifat feodalistik dan bertujuan melanggengkan feodalisme
di Jawa dan Bali. (Baay, 2007: p. 138-139) Meneropong hal tersebut, meminjam
term yang dipakai Katrin Bandel (2013) ‘the subaltern should not speak”, pada
masa Hindia Belanda, Indonesia women
should not speak. Perempuan Indonesia tetap saja dikonstruksikan untuk tidak boleh berbicara dan sudah seharusnya
tidak boleh berbicara.
Kartini
(1879-1904) memulai gerakan emansipasi perempuan pribumi pada masa menjelang
akhir kolonialisme Belanda. (Kartodirdjo. 1975: p. 243-245; Baay, 2007: p. 150) Ia coba menarik simpati kaum
perempuan feminis Belanda dalam pergerakannya. Dalam catatan sejarah, Kartini
sering ditampilkan sebagai representasi suara-suara kaum perempuan pribumi di
Hindia Belanda. Kartini mulai keluar dari kungkungan budaya patriarkhi dengan
mengenyam pendidikan yang sampai pada masanya hanya diperuntukkan kepada
laki-laki, mengingat bias jender hingga saat itu bahwa perempuan tidak layak
untuk dunia akademis. Sesudah mengenyam pendidikan itu, dan dapat menggunakan
bahasa Belanda secara fasih, Kartini mulai berkomunikasi via surat-suratnya
dengan motor-motor gerakan feminisme di Belanda, Stella Zeehandelaar (Baay,
2007: 148), Rosa Manuella Abendanon-Mandri (Baay, 2007: p. 152). Dengan itu
Kartini coba menjadi representasi perempuan pribumi yang terbungkam.
J. Maggio
merumuskan secara baru pertanyaan Spivak “Can
the subaltern speak?” menjadi “Can
the subaltern be heard?” Menurut J. Maggio setiap tindakan mempunyai peran komunikatif, tidak terbatas
pada tindakan berbicara atau mengungkapkan pendapat. Ia mengkritik juga Spivak
yang melihat representasi subaltern itu hanya dapat dilakukan oleh subaltern
lainnya. Menurutnya, yang terpenting adalah ada yang merepresentasikan
subaltern. Dalam hal ini, Maggio sependapat dengan Edward Said (2010) yang
tidak setuju dengan pernyataan bahwa hanya subaltern yang dapat menulis tentang
subaltern atau merepresentasikan subaltern. Maka, lebih tepat menurutnya bahwa
pertanyaan Spivak itu diubah menjadi “Can
the subaltern be heard?” Inti persoalan menurutnya adalah bahwa subaltern
tidak didengarkan, tidak dipedulikan atau diabaikan. (Maggio, 2007)
Gerakan
melawan perbudakan, pergundikan dan pelacuran telah dilakukan juga di Belanda
oleh para politisi Katolik. Namun, mengingat orang Katolik di Belanda hanya
merupakan komponen yang minoritas di Belanda, maka suara mereka juga tidak
membawa dampak yang berarti bagi perbaikan dan penghapusan perbudakan,
pelacuran dan pergundikan di Hindia Belanda. Para politisi Katolik di Belanda sebenarnya,
suka atau tidak suka, telah coba menjadi representasi suara perempuan pribumi
yang terbungkam dan tertindas, serta tidak dapat bersuara. Tetapi, suara mereka
tidak mempengaruhi apapun kebijakan pemerintah Belanda dalam tiga hal itu. Berkaitan
dengan hal ini, dalam persepektif Maggio, saya menyimpulkan bahwa subaltern, perempuan pribumi, can not be
heard and would not be heard. Membaca perempuan pribumi di Hindia Belanda,
representasi baru mulai dilakukan oleh Kartini dan mendapat sedikit dukungan dari
kaum feminis di Belanda. Ketika representasi suara perempuan pribumi tidak
membawa perubahan apa-apa pada perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada
para perempuan pribumi, maka, menurut analisis saya, Indonesian Women should not be heard.
Hal-hal tersebut
di atas, bahwa perempuan Indonesia tidak dapat berbicara, tidak boleh
berbicara, tidak didengarkan, dan seharusnya tidak didengarkan, paling tidak
terjadi hingga awal abad ke-20. Hingga saat itu, perempuan pribumi Indonesia
sungguh ‘bermulut kecil”. Semantara praktek pergundikan, pelacuran dan
perbudakan terus saja terjadi hingga masa akhir penjajahan Belanda.
Pada awal
tahun 1900 upaya representasi suara subaltern perempuan pribumi mengalami
kemajuan. Hal ini sebenarnya merupakan buah dari program pendidikan dari Politik
Etis, yang mulai juga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menimba
pengetahuan. Beberapa tokoh intelektual perempuan mulai mengadakan pergerakan
bersama memperjuangkan emansipasi perempuan pribumi. Pada tahun 1912 muncul pertama
kali organisasi perempuan, yang kemudian disusul oleh berbagai organisasi
perempuan lainnya. Pada
tahun 1916 muncul perkumpulan Putri
Mardika. Selain itu muncul juga berbagai perkumpulan perempuan Indonesia di
samping berbagai perkumpulan umum pemuda, seperti: Wanito Tomo dari Budi Oetomo,
Poetri Indonesia dari Poetra Indonesia, Wanita Taman Siswa dari Taman
Siswa. Selanjutnya muncul juga perkumpulan-perkumpulan seperti; Aisjiah, Wanita Katolik, Ina Tuni dari
Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi
Sedjati, dan lainya. (Kartodirdjo. 1975: p. 245-250; Tita Marlita dan
E.K. Poerwandari, 1998: p. 63)
Perkumpulan-perkumpulan
perempuan ini berhasil mengadakan Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25
Desember 1928 yang diselenggarakan di Mataram (Yogyakarta sekarang). Beberapa
tokoh perempuan yang memelopori kongres tersebut, yakni: Nona Soejatin dari
Poetri Indonesia, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua
Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua. Kongres pertama
itu menghasilkan beberapa keputusan yang sungguh merepresentasikan suara
perempuan pribumi Indonesia. Beberapa keputusan itu, sebagai berikut: Mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial Belanda
untuk menambah sekolah bagi anak perempuan, Pemerintah wajib memberikan surat
keterangan pada waktu nikah (undang-undang perkawinan); dan segeranya mengadkan
peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri
Indonesia, Mendirikan satu wadah musyawarah perempuan yakni Perikatan
Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)
PPPI ini
kemudian mengadakan beberapa kongres menjelang kemerdekaan dan masa akhir
kolonialisme Belanda. Tanggal 28-31 Desember 1929 PPPI mengadakan kongres di
Gedung Thamrin, Gang Kenari, Jakarta, yang diketuai oleh Ny. Mustadjab. Salah
satu keputusan penting dalam kongres tersebut adalah mosi kepada pemerintah
kolonial untuk menghapuskan pergundikan. Pada 13-18 Desember 1930 Perikatan
Perkumpulan Istri Indonesia mengadakan kongres di Surabaya yang diketuai oleh
Ny. Siti Soedari Soedirman. Salah satu keputusan pentingnya: mendirikan Badan
Pemberantas Perdagangan Perempuan dan Anak-Anak (BPPPA), yang bertugas untuk
mengangkat isu-isu buruh perempuan dan sistem penebusan hutang dengan anak
gadis. Lalu perkumpulan-perkumpulan perempuan itu melebur menjadi satu di dalam
Perempuan Indonesia yang kemudian melaksanakan beberapa kongres, yakni pada
Juli 1935, Juli 1938, Juli 1941. Kongres Perempuan Indonesia ini juga
mengangkat berbagai isu dan persoalan perempuan di masa itu, termasuk
pergundikan, perbudakan/perburuhan dan pelacuran. (Kartodirdjo. 1975: p. 245-250)
Dengan kemunculan
berbagai perkumpulan perempuan, isu-isu dan kepentingan untuk memajukan
kesetaraan derajat perempuan dan laki-laki mulai disuarakan. Dalam hal ini,
perempuan Indonesia sebagai subaltern sudah mulai berbicara, bersuara.
Organisasi-organisasi perempuan ini bagi saya adalah representasi kaum
perempuan pribumi. Namun, suara kaum perempuan Indonesia ini tidak membawa
dampak yang besar terhadap perubahan praktek-praktek marginalisasi terhadap
perempuan hingga hengkangnya kolonial Belanda. Persoalan yang tersisa menurut
saya, sebagaimana diungkapkan oleh J. Maggio, adalah bahwa “the subaltern did not be heard”. Perempuan pribumi sebagai
subaltern tidak didengarkan, tidak dihiraukan suaranya.
Ketika Belanda
ditaklukkan oleh Jepang, banyak orang Belanda di Hindia Belanda ditawan dan
selanjutnya pulang ke negeri Belanda. Dalam banyak kisah, para perempuan
pribumi yang menjadi gundiknya hingga saat itu, ditinggalkan begitu saja di
Indonesia, sementara anak-anaknya dibawa serta ke negeri Belanda. Hanya
sebagian kecil saja nyai-nyai yang kemudian dibawa serta dan
tetap menjadi istri para lelaki Belanda di negeri Belanda. Jelas dalam hal ini,
perempuan pribumi hingga pada titik akhir kolonialisme Belanda secara praktis
dan ideologis menjadi subaltern yang tidak banyak berbicara dan tidak
didengarkan.
4.
Penutup
Perbudakan, pelacuran dan pergundikan
merupakan tiga realitas marginalisasi perempuan pribumi pada masa Hindia
Belanda. Perempuan jelas telah direduksikan hanya sebatas tubuh dan obyek
seksual kaum lelaki Belanda dan juga oleh lelaki pribumi. Jadi, selama masa
Hindia Belanda perempuan pribumi mengalami double marginalisasi dan double
kolonialisasi. Dalam kondisi itu, perempuan pribumi tidak dapat berbicara,
seharusnya tidak boleh berbicara, seharusnya tidak perlu didengarkan. Kondisi
ini paling tidak terjadi hingga awal abad ke-20.
Ada satu titik terang ketika para tokoh
perempuan mulai membentuk berbagi organisasi perempuan untuk menyuarakan
kepentingan perempuan pribumi. Tetapi persoalannya adalah ideologi bias gender
itu sudah terlalu mengakar dalam budaya pribumi sendiri dan juga kolonial
Belanda. Dan suara mereka tidak membawa perubahan yang luar biasa. Maka,
perempuan pribumi di masa penjajahan Belanda memang telah diposisikan dan
dikonstruksikan untuk ‘bermulut kecil’ dan tidak bersuara.
DAFTAR PUSTAKA
=========================
Baay,
Reggie. 2007. Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.
Bandel,
Katrin. 2013. Handout makalah “Gender dan
Posisioanlitas: Merumuskan Kerja Akademis yang Sadar Gender” dalam Studium
Generale Program Pascasarjana USD. Yogyakarta, 10 Desember 2013.
Furnivall,
J.S. 1983. Hindia Belanda Satu Pengkajian Ekonomi Majemuk. Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.
Gandhi,
Leela. 1998. Postcolonial Theory: A
critical introduction. Australia: Allen & Unwin.
Gouda,
Frances. 2007. Dutch Culture Overseas:
Praktek Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Jakarta.
Hellwig,
Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan Di
Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Hull,
Terence H. (Et al.). 1997. PELACURAN DI
INDONESIA: Sejarah dan Perkembangnnya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kartodirdjo, Sartono. (Et
al.) 1975. SEJARAH NASIONAL INDONESIA V.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Loomba, Ania. 2005. Colonialism/Postcolonialism. Second Edition.
London and New York: Routledge.
Maggio, J. 2007. “Can the Subaltern Be Heard?”: Political
Theory, Translation, Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak. Alternatives: Global,
Local, Political > Vol. 32, No. 4,
Oct.-Dec. 2007 "Can the Subaltern Be Heard?”. http://www.jstor.org/discover/10.2307/40645229?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21103119882257
Marlita,
Tita dan E.K. Poerwandari.1998. Isu Perempuan Di Balik Perjuangan Bangsa
1928-1965; Suatu Telaah Wacana. Universitas Indonesia, Jakarta.
Purnomo,
Tjahjo dan Ashadi Siregar. 1985. Dolly
(Membedah Dunia Pelacuran di Indonesia). Jakarta: Grafiti Press.
Reid,
Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra.
Jakarta: Sinar Harapan.
Said,
Edward. 1978. Orientalism. New York:
Syam,
Nur. 2010. Agama Pelacur, Dramaturgi
Transendental. Yogyakarta: LKiS.
Truong,
Thanh-Dam. 1992. SEKS, UANG DAN
KEKUASAAN: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3S.
Siapa yang menulis ini? :O
BalasHapus