see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Kamis, 06 Maret 2014

Membaca Tuliasan Homi K Bhaba “The Other Question” Stereotype, discrimination and The discourse of Colonialism” dan “Of Mimicry and man: The ambivalence of colonial discourse ”



 Membaca Tuliasan Homi K Bhaba
 Presentasi  Kelas Pascakolonial, Rabu 29 Oktober 2013

“The Other Question”
Stereotype, discrimination and The discourse of Colonialism”  dan
“Of Mimicry and man: The ambivalence of colonial discourse ”

 Oleh: Ajeng Dewanthi/126322013

Kehadiran wacana kolonial di wilayah-wilayah Afrika, Asia dan Amerika telah mengubah seluruh formasi kehidupan manusia yang ada dalam struktur wacana kolonial (colonial discourse) telah menghadirkan imaji  masyarakat yang  bersifat “fixity” (masyarakat yang tertutup) dalam penandaan usur-unsur dalam masyarakat kolonial: kebudayaan sejarah dan rasial. Masyarakat kolonial dibentuk secara artikulasi dalam wacana kolonial (pengetahuan) membentuk konstruksi masyarakatnya dan subjek yang hidup dan bergerak di dalamnya. Sifat masyarakat kolonial yang kaku, di mana pembagian kelas hadir dan membagi relasi antar masyarakat baik itu secara politik dan ekonomi. Kondisi tersebut membentuk identitas subjek-subjek dalam waktu dan ruang yang menciptakan pengetahuan kolonial yang kemudian menciptakan identitas baru.
Pengetahuan wacana kolonial yang membentuk subjek kolonial adalah pengetahuan akan struktur masyarakat kolonial itu sendiri. Wacana selalu bekerja dalam sistem Aparatusnya. Dalam sistem aparatus itulah kemudian subjek dibentuk. Apa saja yang membentuk? Menurut Bhabha, Subjek dibentuk dalam pengetahuan untuk produktif (The productive  knowledge) hasrat dibentuk dalam sistem aparatus tersebut. Pengetahuan biner antara colonizer dan colonise inilah yang kemudian membentuk  wacana kolonial. Aparatus membentuk pengetahuan dan  kekuasaan  dalam  kehidupan sehari-hari subjek. Baik itu dalam kebudayaan dan sejarah. Di sini Bhabha ingin menunjukan bahwa stereotipe sesungguhnya adalah alat kontrol penguasa untuk mengatur “populasi koloni”. Melalui kekuasaan kolonial khususnya “ruang ideologi” kolonial di dalam teks yang berupa superioritas Barat.
Bhabha menggunakan Edward W. Said dalam membaca formasi besar kerangka “wacana kolonial”. Orientalisme teks yang ditulis oleh mengungkapkan apa itu yang ada di dalam fantasi kolonial, pengetahuan kolonial digunakan untuk menstabilkan masyarakat melalui sistem aparatusnya. Rasionalitas barat yang memberikan cetak biru kehadiran masyarakat kolonial dibangun atas imagi, mimpi, fantasi, yang mengesensialiskan segala sesuatu sebagai pengetahuan yang menandakan kesetabilan “signifier of stability”. Menurut Bhabha sejarah dan fantasi adalah ruang dari hasrat, yang termaktub di dalam teks (sistem operasi bahasa).
Setereotipe (stereotype) didefinisikan oleh Bhabha bukan  sebagai pengenalan yang salah atas image yang menjadi praktek keseharian, melainkan sebagai ambivalensi teks dari proyeksi sebuah pemahaman dalam metafora dan metonimi yang membangun jurang dan menutupi kebenaran untuk masuk ke dalam wacana rasisme (hlm: 81-82). Stereotipe tidak natural (sudah ada dalam masyarakat itu sendiri). Wacana ini memiliki kekuatan dalam pembentukan subjek (subjektification) melalui pengetahuan gambaran (image): positif atau negatif pada ras atau kelompok tertentu.” Sifat dari konsep ini sangat diskursif (menekan) pengetahuan dan politik secara "moralistik" dan “dogmatik” membentuk identifikasi subjek pada masyarakat kolonial.
Konstruksi kolonial subjek, yang paling mudah adalah konstruksi “tubuh” yang menghadirkan ras sebagai penanda utama dalam proses subjectification subjek melalui wacana kolonial: “the making” dan “Splitting” dalam membentuk identitas. Penting untuk melihat konsep hubungan ruang dan waktu untuk melihat dimanakah posisi singularitas subjek sebagai unsur yang kemudian diartikulasikan di tengah masyarakat kolonial baik itu dalam hubungan dengan politik dan ekonomi. Contoh: Masyarakt kolonial Hindia Belanda dibagi dalam tiga strata kelas. Kelas utama adalah Belanda dan Eropa, kelas berikutnya adalah Cina, timur asing (Arab, India, Jepang, etc) dan pada bagian paling terakhir adalah pribumi. Subjek ditempatkan, digeser, dan dibentuk dalam sistem kolonial, melalui kelas, gender, ideologi, dan perbedaan formasi sosial—berdasarkan ras. Diskriminasi berdasarkan poin-poin di atas terkait dengan apa yang diungkapkan Bhabha tentang konstruksi masyarakat kolonial adalah wacana  masyarakat Eropa.
Semua produk dari konstruksi stereotipe hadir dari wacana teks  kolonial (barat) yang mengkonstruksi tanda-tanda kultural yang kemudian menghadirkan yang lain sebagai liyan. Liyan diobjekan melalui gaze yang menghadirkannya other objek. Relasi hubungan biner antara penjajah dan terjajah selalu mengandung rasisme (salah satu bentuk praktis stereotipe). Ras merupakan salah satu konstruksi fisik yang dapat dikategorikan sebagai sistem teks natural yang mengandung kode-kode kultural yang kuat (nama, pembagian, karakter, dsb). Dari konstruksi tersebut muncullah rasisme yang mengandung hasrat.

Mimikri dan  Wacana  Kolonial.
Dua konsep utama pemikiran Bhabha yaitu mimikri dan ambivalensi. Mimikri adalah tanda yang hadir dari sebuah proses pendisiplinan kekuatan pengetahuan yang muncul dari relasi penjajah dan terjajah. Mimikri sangat dekat dengan wacana kolonial dalam bentuk ambivalensi. Bhabha menyebutnya sebagai partial imitator (hlm: 88). Tanda yang nampak pada locus “tubuh” sebagai ruang kekuasaan dan politik. Mimikri dalam masyarakat kolonial muncul dari hasrat menirukan, mengingini, menjadi, dan dikenali seperti objek yang dihasratinya. Hasrat ini adalah repetition presence-di mana lokasi mimikri terdapat dalam patahan kebudayaan dan dalam sejarah (hlm: 88). Mimikri identitas dan makna diartikulasikan dalam kekuatan metonimi. Namun sebagai metonimi, mimikri adalah strategi untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah kolonial. Mimikri tidak dapat sepenuhnya menghacurkan sifat narsistik kekuasaan kolonial, ia hanya mengulangi yang “men-slip-kan” hasrat kolonial. Mimikri oleh Bhabha dapat disebut sebagai interdiction (inter dicta: sebuah wacana untuk melintasi batas-batas yang sudah direprentasikan secara  ketat) namun tetap mempertahankan dua hal yang ada. Bhabha  mengatakan bahwa dalam mimikri terdapat hasrat (desire) yang hadir dalam  kegiatan manusia (Hlm: 89)
Efek dari mimikri adalah ambivalensi adalah kondisi di mana  terjadi percampuran dari kebudayaan yang berbeda dalam satu ruang, khususnya subjek yang kemudian merepresentasikan dua hal itu pada saat yang sama. Peniruan-peniruan yang dilakukan oleh kelompok terjajah biasanya memunculkan sebuah kebudayaan baru. Contoh adalah kebudayaan Indies yang muncul pada tahun 1920-1933 (yang pada saat itu kapitalisme dan modernisme Hindia Belanda mencapai puncaknya).  Badyak bangsawan-bangsawan pribumi meniru budaya makan orang-orang Eropa. Nitisumito, seorang pengusaha rokok kretek dari Kudus yang kekayaannya hampir menyamai orang-orang Eropa, hidup mewah laksana orang Eropa sendiri. Para kelompok intelektual terpelajar yang mendapat pendidikan barat hidup di antara kekhasan mereka sebagai pribumi dan sekaligus memiliki pengetahuan barat. Ambivalensi semacam ruang ketiga ditengah oposisi biner pembagian masyarakat kolonial.
Tercampurnya kebudayaan dalam strata masyarakat kolonial akan mengganggu stabilitas masyarakat kolonial yang mapan (kisah Minke, Pramodya Ananta Toer). Subjek dalam pengalaman berketubuhannya adalah tubuh-tubuh sadar yang bergerak aktifitas berketubuhan dalam wacana selalu menghadirkan negasi sebagai manusia-manusia baru dalam sejarah.



Homi K Bhaba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar