Membaca Tuliasan Homi K Bhaba
Presentasi
Kelas Pascakolonial, Rabu 29 Oktober 2013
“The Other Question”
Stereotype, discrimination and The discourse of Colonialism” dan
“Of Mimicry and man: The ambivalence of colonial discourse ”
Oleh: Ajeng Dewanthi/126322013
Kehadiran wacana kolonial di wilayah-wilayah
Afrika, Asia dan Amerika telah
mengubah seluruh formasi kehidupan
manusia yang ada dalam struktur wacana
kolonial (colonial discourse) telah menghadirkan imaji masyarakat yang bersifat “fixity” (masyarakat yang
tertutup) dalam penandaan usur-unsur dalam masyarakat kolonial: kebudayaan
sejarah dan rasial. Masyarakat
kolonial dibentuk secara
artikulasi dalam wacana kolonial (pengetahuan) membentuk konstruksi
masyarakatnya dan subjek yang hidup dan bergerak di dalamnya. Sifat masyarakat kolonial yang kaku, di mana
pembagian kelas hadir dan membagi relasi
antar masyarakat baik itu secara politik
dan ekonomi. Kondisi tersebut membentuk identitas subjek-subjek dalam waktu dan
ruang yang menciptakan pengetahuan kolonial yang kemudian menciptakan identitas
baru.
Pengetahuan wacana kolonial yang membentuk
subjek kolonial adalah pengetahuan akan struktur masyarakat kolonial itu sendiri. Wacana
selalu bekerja dalam sistem Aparatusnya. Dalam sistem aparatus itulah kemudian subjek dibentuk. Apa saja yang membentuk? Menurut Bhabha, Subjek
dibentuk dalam pengetahuan untuk
produktif (The productive knowledge)
hasrat dibentuk dalam sistem aparatus tersebut. Pengetahuan biner antara colonizer dan
colonise inilah yang kemudian
membentuk wacana kolonial.
Aparatus membentuk pengetahuan dan
kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari subjek. Baik itu dalam
kebudayaan dan sejarah. Di sini Bhabha
ingin menunjukan bahwa stereotipe sesungguhnya adalah alat kontrol penguasa untuk
mengatur “populasi koloni”. Melalui kekuasaan kolonial khususnya “ruang ideologi” kolonial di dalam teks yang berupa superioritas Barat.
Bhabha menggunakan Edward W. Said dalam
membaca formasi besar kerangka “wacana kolonial”. Orientalisme teks yang
ditulis oleh mengungkapkan
apa itu yang ada di dalam fantasi kolonial, pengetahuan kolonial digunakan untuk menstabilkan
masyarakat melalui sistem aparatusnya. Rasionalitas barat yang memberikan cetak biru kehadiran
masyarakat kolonial dibangun atas imagi, mimpi, fantasi,
yang mengesensialiskan segala sesuatu sebagai pengetahuan yang menandakan
kesetabilan “signifier of stability”. Menurut Bhabha sejarah dan fantasi
adalah ruang dari hasrat, yang termaktub di dalam teks (sistem operasi
bahasa).
Setereotipe (stereotype) didefinisikan oleh Bhabha bukan
sebagai pengenalan yang salah
atas image yang menjadi praktek
keseharian, melainkan sebagai ambivalensi
teks dari proyeksi sebuah pemahaman dalam metafora dan metonimi
yang membangun jurang dan menutupi
kebenaran untuk masuk ke dalam
wacana rasisme (hlm: 81-82). Stereotipe tidak natural (sudah ada dalam
masyarakat itu sendiri). Wacana ini memiliki
kekuatan dalam pembentukan subjek (subjektification)
melalui pengetahuan gambaran (image): positif atau negatif pada ras atau kelompok tertentu.” Sifat
dari konsep ini sangat diskursif
(menekan) pengetahuan dan politik secara "moralistik" dan “dogmatik” membentuk identifikasi subjek
pada masyarakat kolonial.
Konstruksi kolonial subjek, yang paling mudah
adalah konstruksi “tubuh” yang
menghadirkan ras sebagai penanda utama dalam proses subjectification
subjek melalui wacana kolonial: “the making” dan “Splitting”
dalam membentuk identitas. Penting untuk
melihat konsep hubungan ruang dan waktu untuk melihat dimanakah posisi singularitas subjek sebagai unsur yang
kemudian diartikulasikan di tengah
masyarakat kolonial baik itu dalam hubungan
dengan politik dan ekonomi.
Contoh: Masyarakt kolonial Hindia Belanda dibagi dalam tiga strata kelas. Kelas utama
adalah Belanda dan Eropa, kelas berikutnya adalah Cina, timur asing (Arab,
India, Jepang, etc) dan pada bagian
paling terakhir adalah pribumi. Subjek ditempatkan, digeser, dan
dibentuk dalam sistem kolonial, melalui kelas, gender, ideologi, dan perbedaan formasi sosial—berdasarkan
ras. Diskriminasi berdasarkan poin-poin di atas terkait dengan apa yang
diungkapkan Bhabha tentang konstruksi masyarakat kolonial adalah wacana masyarakat Eropa.
Semua produk dari konstruksi stereotipe hadir
dari wacana teks kolonial (barat) yang
mengkonstruksi tanda-tanda kultural yang kemudian menghadirkan yang lain
sebagai liyan. Liyan diobjekan melalui gaze
yang menghadirkannya other objek. Relasi
hubungan biner antara penjajah
dan terjajah selalu mengandung rasisme (salah satu bentuk praktis stereotipe).
Ras merupakan salah satu konstruksi fisik yang dapat dikategorikan sebagai
sistem teks natural yang mengandung kode-kode kultural yang kuat (nama,
pembagian, karakter, dsb). Dari konstruksi
tersebut muncullah rasisme yang
mengandung hasrat.
Mimikri dan
Wacana Kolonial.
Dua konsep utama
pemikiran Bhabha yaitu mimikri dan ambivalensi. Mimikri adalah tanda
yang hadir dari sebuah proses pendisiplinan kekuatan pengetahuan yang muncul
dari relasi penjajah dan terjajah. Mimikri sangat dekat
dengan wacana kolonial dalam bentuk ambivalensi. Bhabha menyebutnya sebagai partial imitator (hlm: 88).
Tanda yang nampak pada locus “tubuh” sebagai ruang kekuasaan dan
politik. Mimikri dalam masyarakat
kolonial muncul dari hasrat menirukan,
mengingini, menjadi, dan dikenali seperti
objek yang dihasratinya. Hasrat ini adalah repetition presence-di mana lokasi mimikri terdapat dalam patahan kebudayaan dan dalam sejarah (hlm: 88). Mimikri identitas
dan makna diartikulasikan dalam kekuatan metonimi. Namun sebagai metonimi,
mimikri adalah strategi untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah kolonial. Mimikri tidak dapat
sepenuhnya menghacurkan sifat narsistik kekuasaan kolonial, ia hanya mengulangi yang “men-slip-kan” hasrat kolonial.
Mimikri oleh Bhabha dapat disebut sebagai interdiction (inter dicta:
sebuah wacana untuk melintasi batas-batas yang sudah direprentasikan
secara ketat) namun tetap
mempertahankan dua hal yang ada.
Bhabha mengatakan bahwa dalam mimikri
terdapat hasrat (desire) yang
hadir dalam kegiatan manusia (Hlm: 89)
Efek
dari mimikri adalah ambivalensi adalah kondisi di mana terjadi percampuran dari kebudayaan yang
berbeda dalam satu ruang, khususnya subjek yang kemudian merepresentasikan dua
hal itu pada saat yang sama. Peniruan-peniruan yang dilakukan oleh kelompok terjajah biasanya memunculkan sebuah kebudayaan baru.
Contoh adalah kebudayaan Indies yang muncul
pada tahun 1920-1933 (yang pada saat itu kapitalisme dan modernisme Hindia Belanda mencapai puncaknya). Badyak bangsawan-bangsawan pribumi meniru budaya makan
orang-orang Eropa. Nitisumito, seorang pengusaha rokok kretek dari Kudus yang kekayaannya
hampir menyamai orang-orang Eropa, hidup mewah laksana orang Eropa
sendiri. Para kelompok intelektual
terpelajar yang mendapat pendidikan barat hidup di antara kekhasan mereka sebagai pribumi dan sekaligus memiliki
pengetahuan barat. Ambivalensi
semacam ruang ketiga ditengah oposisi biner pembagian masyarakat kolonial.
Tercampurnya
kebudayaan dalam strata
masyarakat kolonial akan mengganggu stabilitas masyarakat kolonial yang mapan
(kisah Minke, Pramodya Ananta Toer). Subjek dalam pengalaman berketubuhannya adalah tubuh-tubuh sadar yang bergerak
aktifitas berketubuhan dalam wacana selalu menghadirkan negasi sebagai
manusia-manusia baru dalam sejarah.
Homi K Bhaba |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar