see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Jumat, 21 Agustus 2015

Pendidikan Tinggi Pemasok Buruh Ahli

Disusun Oleh:
Martinus Radityo Adi
Pengantar                 
            Kakak saya cukup berpengaruh pada keputusan saya untuk kuliah dengan cerita-cerita seputaran dinamika kampus yang sedang dia jalani waktu itu. Sejak tahun 2002 saya sudah mendapatkan kesempatan untuk mengenyam atmosfir pendidikan tinggi di Universitas Sanata Dharma. Ketika sambil lalu saya perhatikan dinamika mahasiswa di Universitas Sanata Dharma, ada beberapa fenomena yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mahasiswa di universitas ini memang sangat beragam, dari latar belakang yang bisa dikatakan Indonesia kecil, mungkin dari Sabang sampai Merauke semua ada. Perilaku mahasiswanya pun sangat beragam. Dari yang disiplin sampai yang leda-lede pun ada. Namun saya yakin, bahwasannya fenomena di Universitas Sanata Dharma bisa sedikit banyak mewakili apa yang terjadi di universitas-universitas lain. Bahkan mungkin saja di universitas lain lebih dinamis.
            Ada pola yang berbeda dari perilaku akademis mahasiswa dari masa ke masa. Sampai pada tahun 2000-an, mahasiswa cenderung santai dan rileks dalam menempuh masa studinya sehingga banyak dari mahasiswa ini yang menyandang gelar 'Mapala' yang mempunyai maksud 'mahasiswa paling lama'. Uniknya, mahasiswa yang tergabung dalam UK Mapala (Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam) kebanyakan akan menyandang gelar yang sama -Mapala (Mahasiswa Paling Lama). Sedang pada tahun setelah 2000, mahasiswa cenderung lulus dengan lebih cepat.
            Pola mahasiswa yang berubah ini sedikit banyak terpengaruh dari kebijakan kampus itu sendiri. Di Universitas Sanata Dharma misalnya, kalau tidak salah ingat, semenjak tahun 2004 mahasiswa diberikan waktu studi maksimal 5 tahun. Jika mahasiswa tidak mampu menyelesaikan studi mereka dalam waktu yang disediakan oleh pihak kampus, maka mereka harus mempersiapkan diri untuk menyandang gelar 'DO' atau Drop Out (walau banyak dari mahasiswa ini menerima “kebebasan bersyarat” dari kampus). Biasanya, untuk mahasiswa yang mengalami peristiwa naas tersebut pihak kampus akan memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk mengundurkan diri. Cara ini dianggap lebih persuasif, manusiawi, dan egaliter dari pada pihak kampus menjatuhkan vonis 'DO' yang mengerikan kepada mahasiswa naas tersebut.
            Kebijakan kampus yang dikeluarkan dalam rangka pendidikan ini terkait di beberapa wilayah antara lain; masyarakat, pemerintah dan permintaan pasar. Dalam arti lain, pendidikan menjadi bahan tarikan di ke-tiga wilayah tersebut. Sedangkan, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan pendidikan nasional. Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah euforia tentang pasar bebas, yang memang tidak bisa dipungkiri, pemerintah merespon positif akan hal tersebut.
            Pasar bebas sangat membutuhkan tenaga-tenaga ahli siap pakai untuk mengikuti bahkan berakselerasi dalam sistem pasar antara lain produksi, distribusi, dan konsumsi dalam persaingan tingkat internasional. Oleh karena itu, negara-negara pemuja pasar bebas akan mengkonstruksi kebijakan-kebijakan dalam negeri, salah satunya dalam bidang pendidikan, sebagai upaya untuk membangun daya saing.
            Menurut Drijarkara, pendidikan itu harusnya semakin memanusiakan manusia muda. Tantangan pendidikan saat ini bukanlah pada bagaimana mencetak tenaga-tenaga ahli yang siap kerja saja, namun juga membentuk intelektual publik yang siap menjadi oposisi dari intelektualitas yang semakin condong mengarah ke pasar bebas.
            Negara semakin maju akan cenderung makin masuk ke dalam percaturan pasar bebas. Indonesia tergabung dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area). Indonesia juga mengarahkan pendidikan nasional melalui perundangan, kemendiknas, dan sebagainya. Dari kebijakan-kebijakan yang ada kita bisa mengetahui apakah pendidikan yang diselenggarakan oleh Indonesia masih bisa dikatakan “Pendidikan” atau sudah bergeser menjadi lembaga pelatihan, kursus atau bahkan kaderisasi.

Pembahasan
            WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangn Dunia merupakan satu-satunya badan dunia yang yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Tujuannya adalah membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam kegiatan perdagangan. WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995.
            Ada sebuah perjanjian di bawah WTO yang disebut GATS (General Agreement Trade in Services) yang mengatur secara umum untuk sektor jasa. Tujuan GATS adalah untuk memperluas tingkat liberasi sektor jasa di antara negara-negara anggota, sehingga diharapkan perdagangan di sektor jasa semakin berkembang.
            Pelayanan pendidikan dimasukkan dalam golongan jasa atau services. Semenjak pelayanan pendidikan dimasukkan dalam kategori jasa, terbentuklah dua wacana besar yang saling berseberangan antara pendidikan adalah layanan publik (publik good) dan pendidikan adalah jasa (services). GATS mempunyai potensi melemahkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional karena semua layanan publik harus terbuka untuk persaingan asing. Dampak GATS pada pendidikan tinggi meliputi subsidi, dana negara, akreditasi, jaminan kualitas, dll.
            Jika pendidikan masuk dalam dimensi ekonomi dan atau jasa, maka pendidikan merupakan layanan yang dapat diperdagangkan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Sekolah maupun perguruan tinggi bisa menawarkan apa yang mereka punyai sebagai komoditas. Iming-imingnya adalah ketrampilan pada bidang tertentu dan kesempatan kerja yang akan didapat oleh para calon peserta didik. Bahkan, sebuah institusi bisa menawarkan sebuah fasilitas tertentu bagi peserta didik yang diterima. Misalnya pemberian laptop gratis bagi yang diterima. Hal ini tentu saja menimbulkan persaingan bisnis dalam dunia pendidikan.
            Pasca Perang Dunia II, muncul kesadaran bahwa tenaga kerja yang berkualitas sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah peserta didik. Karena jumlah siswa atau peserta didik meningkat, maka permintaan akses untuk perguruan tinggi juga meningkat. Hal ini sejalan karena tenaga kerja di bursa lapangan kerja membutuhkan gelar universitas.
            Globalisasi didukung oleh keberhasilan Bahasa Inggris dalam mengambil alih bahasa nasional dalam pendidikan tinggi. Saat ini di Indonesia, Bahasa Inggris bahkan mulai dikenalkan sampai ke jenjang Sekolah Dasar. Pertukaran pelajar pun sebagai pintu masuk konsep budaya mancanegara. Baik swasta maupun pendidikan tinggi publik melihat bahwa mahasiswa asing merupakan sumber pendapatan.
            GATS mempunyai pengaruh dalam sistem pendidikan tinggi. Menurut Knight, internasionalisasi pada pendidikan tinggi adalah ketika pada saat yang sama dipengaruhi oleh globalisasi. Istilah nasionalisasi menggambarkan hubungan pertumbuhan antar bangsa dan antar budaya. Globalisasi tidak menciptakan satu dunia politik atau menghapuskan negara-bangsa. Tetapi mengubah kondisi negara-bangsa yang beroperasi (Marginson, 2000). Negara-bangsa yang telah terpengaruh oleh globalisasi akan merubah pola beroperasi yang lama-kelamaan akan mengikuti pola negara-negara maju.
            Globalisasi ini membuat perguruan tinggi mengalami reformasi. Kehidupan perguruan tinggi menjadi sangat kompleks. Birokrasi menjadi kompleks, massifikasi perguruan tinggi, terjadi privatisasi perguruan tinggi, korporatisasi perguruan tinggi, internasionalisasi perguruan tinggi negeri, dan lain sebagainya.
            Massifikasi perguruan tinggi mengakibatkan kekurangan sumber daya manusia terutama pada bidang staf pengajar. Banyak akademisi muda yang baru bergelar master direkrut untuk menjadi staf pengajar di universitas-universitas negeri. Idealnya, staf pengajar di perguruan tinggi yang sudah bergelar doktor. Di perguruan tinggi swasta, hal ini semakin parah. Banyak fresh graduate S1 yang direkrut untuk menjadi dosen. Alhasil, pihak perguruan tinggi harus menanggung biaya studi lanjut mereka agar sesuai dengan regulasi yang diterapkan pemerintah setempat.
            Ketika kekuatan akademik universitas semakin berkembang, pengelolaan institusi dibatasi oleh suatu lapisan birokrat profesional yang memiliki kekuatan besar dalam pelaksnaan administrasi sehari-hari di universitas tersebut (Altbach, 1991). Semua institusi umum didanai oleh pemerintah sehingga institusi-institusi tersebut berjalan sebagaimana departemen-departemen dalam pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menuntut adanya akuntabilitas dengan dana yang sudah dikeluarkan bagi universitas. Para akademisi harus menyerahkan pengendalian fiskal, meningkatkan produktifitas mereka, dan harus tunduk pada peraturan dan regulasi serta prosedur penilaian yang menyeluruh dan detail. Sebagai akibatnya, budaya akademik kehilangan kolegialitas dan menjadi lebih birokratis dan hirarkis dengan konsentrasi kekuasaan di atas.
            Perkembangan perguruan tinggi di Indonesia sangat cepat. Hal ini mendorong perguruan tinggi untuk melakukan persaingan di antara mereka. Perguruan tinggi yang berkembang ini beberapa berorientasi pada laba yang didirikan oleh pengusaha-pengusaha, perusahaan swasta atau konsorsium, dan PT serta BUMN. Institusi swasta nirlaba didirikan oleh yayasan-yayasan, organisasi-organsasi amal, dan melalui dukungan masyarakat (Lee, 1999). Institusi swasta ini menawarkan berbagai macam program dalam berbagai macam bidang ilmu. Pembukaan sektor swasta juga membuka kesempatan kerja bagi para akademisi, namun kali ini bisa menyebabkan merosotnya etos kerja terutama bagi para akademisi yang bertugas di perguruan tinggi swasta yang kecil dan minim pendanaan.
            Pasar menentukan mata kuliah apa saja yang harus diajarkan, penelitian yang mana yang layak didanai. Dalam budaya korporasi inilah hasil penelitian seorang profesor di universitas mungkin tidak dinilai secara kriteria tradidional “apakah itu valid?”, namun dinilai dengan kriteria komersial “untuk apakah itu?” atau “apakah hal itu bisa dijual?”. Maka pendidikan model ini akan selalu mengacu pada jual-beli. Bukan pada hakikat pendidikan yang sebenarnya.
            Penetrasi budaya korporat ke akademisi tidak terbatas pada institusi swasta tetapi juga ke universitas negeri. Melalui korporatisasi, perguruan tinggi  negeri dibebaskan dari serangkaian supervisi  birokratik pemerintah dan harus beroperasi seperti halnya perusahaan bisnis. Perguruan tinggi swasta dikorporasi dalam pengelolaannya saja, tidak dalam hal pendanaan.
            Pendidikan tinggi dengan cepat terinternasionalisasi ke seluruh dunia dan Indonesia demikian juga. Internasionalisasi ini tercermin dari aliran ilmu pengetahuan, cendekiawan/sarjana, dan mahasiswa ke seluruh penjuru dunia melampaui batas-batas negara. Dengan kemajuan dan teknologi, banyak program pendidikan dihadirkan dan disampaikan dengan cara yang tidak tradisional lagi, misalnya pembelajaran jarak jauh, program lepas, dan pembelajaran elektronik.
            Para akademisi yang bukan menjadi bagian dari tim pengelolaan tidak memiliki suara dalam hal menjalankan institusi. Peran utama mereka adalah mengajar dan memastikan bahwa anak didik mereka lulus ujian. Di beberapa perguruan tinggi swasta bahkan perlakuan kepada mahasiswa justru lebih baik daripada perlakuan terhadap dosen-dosen mereka. Para mahasiswa diperlakukan sebagai konsumen yang sangat bernilai dimana keinginan dan kepuasan mereka diutamakan karena mereka telah membayar.
            Semua institusi dikelola secara manajerial dan bukan kolegial. Sehingga mayoritas akademisi merasa bahwa mereka juga memiliki suara yang lemah terhadap pembuatan keputusan dan sangat tidak mungkin memberikan pengaruh pada kebijakan akademik. Praktik birokratik yang top down termasuk dalam membuat keputusan-keputusan akademik telah memperlemah posisi staf akademik dimana mereka sebenarnya punya hak untuk ditanya.
            Selama lembaga-lembaga tersebut dijalankan secara komersial, sangat sering para dosen diwajibkan untuk memasarkan program-program mereka dan juga merekrut mahasiswa, karena jika ternyata program-program mereka tidak berjalan dengan baik, akan sangat mungkin mereka kehilangan pekerjaan. Untuk sebagian besar, budaya birokrasi akademik ini baik langsung maupun tak langsung telah mempengaruhi peran dan fungsi para akademisi.
            Lebih-lebih kebijakan-kebijakan kampus, padatnya tugas-tugas kuliah, ancaman DO, biaya kuliah yang tinggi, membuat mahasiswa menjadi back to campus, mahasiswa KUPU (habis KUliah Pulang) yang tanpa mereka sadari, kepedulian akan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Mahasiswa lebih memilih untuk stay on the track dari pada mereka tertimpa bencana DO.
            Hal-hal diatas adalah paling mungkin memengaruhi dinamika belajar para mahasiswa sehingga muncul fenomena-fenomena tertentu. Fenomena yang muncul pastilah tidak mungkin muncul begitu saja, namun berkaitan dengan sistem di mana mereka berada. Dalam hal ini ada kemungkinan wacana pasar bebas yang difasilitasi oleh WTO, World Bank dan kroni-kroninya telah berpengaruh pada sistem pendidikan nasional yang cenderung memenuhi kebutuhan pasar, bukan pada arti pendidikan itu sendiri. Bukan pula memenuhi kebutuhan ruang publik, memproduksi intelektual publik sehingga menciptakan manusia-manusia muda yang utuh, cerdas, dan humanis.
           
Kesimpulan
            Indonesia merespon positif pasar bebas dan menjadi member dalam AFTA. Indonesia membuat kebijakan dalam dunia pendidikan yang cenderung mengarah kepada kebutuhan pasar bebas. Pendidikan di Indonesia masih cenderung vokasional. Hal ini menimbulkan efek pada lulusan perguruan tinggi untuk selalu mencari perkejaan (dengan menjadi karyawan, babu).
            Para cendekiawan Indonesia hanya mempunyai tempat sebagai pengamat apapun sesuai bidangnya, paling banter ya cuma dosen. Para cendekiawan Indonesia belum mempunyai tempat strategis dalam pengambilan kebijakan publik demi kemaslahatan bangsa dan negara.




Daftar Pustaka
1. Philip G. Altbach, The Decline of the Guru The Academic Profession in Developing and Middle-Income Countries (2003)
2. Higher Education and GATS, Ales Vlk, 2006

Pendidikan Kita (Renungan Filosofis)

Ditulis Oleh
Padmo Adi


Pendidikan Kita

ketika kampus tak lagi aman
dan kehilangan wibawa akademisnya...
untuk apa ada universitas kalau demikian?

untuk apa kuliah
kalau tak boleh berbicara dan mendengarkan?

untuk apa sekolah
kalau tak boleh berpikir dan berdialektika?

hai, Negara,
apa kausediakan itu sekolah-sekolah
supaya kami cuma jadi Tenaga Kerja cerdas
bagi cukong-cukong itu?

wahai kawan-kawan, mari kita membolos saja!!!
kita sekolah untuk jadi manusia
bukan jadi kerbau yang dicocok hidungnya

Februari-Maret 2015
Padmo Adi


Puisi di atas adalah reaksi spontan saya mendengar bahwa acara diskusi dan menonton bersama yang diadakan oleh Natas (pers mahasiswa Universitas Sanata Dharma) pada tanggal 25 Februari 2015 yang lalu dibubarkan oleh Aparat Kepolisian. Padahal, acara itu merupakan suatu kegiatan akademis yang diadakan di lingkungan kampus, benteng terakhir kebebasan akademis. Aparat Kepolisian membubarkan acara tersebut karena, selain mengadakan diskusi Kebangsaan, Natas mengajak pula hadirin untuk menonton bersama film The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer. Golongan Fasis dan Fundamentalis khawatir bahwa film itu akan membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia. Padahal, film yang berbicara melalui sudut pandang korban itu bermaksud membuka perspektif alternatif di dalam memandang peristiwa Genosida 1965 demi mengupayakan rekonsiliasi.

Memang benar bahwa film Joshua Oppenheimer itu banyak mendapatkan kritik. Golongan Kiri mengatakan bahwa Senyap, tidak jauh berbeda dari The Act of Killing (Jagal), merupakan sebuah film orientalis yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua Oppenheimer, seorang bule Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan Orang-orang Indonesia atas kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap keluarganya sendiri di tahun 1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan (perusahaan-perusahaan) Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di balik panggung drama berdarah tersebut. Selain itu, Golongan Kiri memandang bahwa sudut pandang film itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan faktor kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta aparatus militernya yang didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika Serikat. Sedangkan Golongan Muslim menilai bahwa film Senyap itu islamofobia; film itu menghadirkan tokoh protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi sebagai optometris (tukang kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah tua, rabun, dahulu gemar meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima waktu.

Terlepas dari segala kritik atas film Senyap tersebut, para akademisi sudi menonton dan mendiskusikannya, sebab yang dibicarakan adalah diri kita sendiri sebagai suatu bangsa. Para akademisi dari UAJY, ISI Yogyakarta, UGM, dan USD mencoba mengadakan acara nonton bareng dan diskusi itu di dalam lingkup akademis, kampus mereka masing-masing. Akan tetapi, dari empat kampus itu, hanya UAJY yang berhasil menyelenggarakannya, sementara ISI Yogyakarta, UGM, dan USD gagal. Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Aparatus Negara (AD dan Polri), berhasil menembus tembok kampus dan membubarkan acara itu. Kampus (institusi pendidikan tinggi) telah kehilangan wibawa akademisnya dan sekaligus kehilangan kebebasannya untuk menyumbangkan wacana dan perspektif baru/alternatif kepada masyarakat! Dari sini, kita bisa bertanya, mengapa kita, Bangsa Indonesia, membutuhkan institusi pendidikan tinggi (universitas)? Ada dua jawaban yang akan saya hadirkan di sini: (1) tujuan-tujuan yang seharusnya sebagaimana diidealkan oleh para sarjana pendahulu kita dan (2) tujuan-tujuan yang senyatanya sebagaimana terjadi di depan mata kita.

Douglas S. Paaw di dalam artikel berjudul Universitas-universitas Indonesia: Generasi Pertama (1970) mengatakan,
“Universitas adalah sebuah sarana-kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kemajuan manusia dalam segala bidang dibatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dan digunakan secara efektif oleh masyarakat sebagai keseluruhan. Bila terdapat banyak jalan untuk mendapat pengetahuan, maka adaptasi pengetahuan yang diimpor, dan produksi pengetahuan baru merupakan fungsi utama lembaga-lembaga yang berada pada puncak pendidikan--yaitu universitas yang dipunyai suatu bangsa. Universitas-universitas juga mempunyai suatu tugas pendidikan, yaitu menyebarluaskan pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada para mahasiswa, yang pada gilirannya, akan mendistribusikan pengetahuan itu ke seluruh sistem pendidikan dan menerapkannya dalam seluruh masyarakat luas.”
Raison d’etre (alasan eksistensi) suatu universitas tidak lain adalah pengetahuan dan keahlian yang dihubungkan dengan praksis. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh suatu universitas bagi suatu bangsa antara lain adalah buku-buku (perpustakaan). Akan tetapi, karya fisik semacam itu bisa segera menjadi usang. Kekayaan intelektual yang paling berharga yang bisa disumbangkan oleh suatu universitas kepada suatu bangsa adalah pemikiran-pemikiran para sarjana (manusia) yang hidup, dinamis, terus berkembang, dan tidak pernah usang. Para sarjana diharapkan menjadi batu sendi perkembangan universitas dan sekaligus agen perubahan suatu bangsa. Douglas S. Paauw mengatakan bahwa para sarjana yang ada di dunia sekarang ini sangat mobil dan ide-ide mereka dapat dengan cepat menjadi viral. Di sisi lain, hanya beberapa negara saja yang masih melakukan sensor, baik ke luar maupun ke dalam, terhadap pengetahuan baru.

Dari penjelasan Douglas S. Paaw di atas, kita bisa membayangkan bahwa di dalam universitas terjadi suatu transfer ilmu pengetahuan. Di dalam transfer ilmu pengetahuan tersebut, para akademisi membebaskan dirinya untuk mereproduksi atau menegasi ilmu pengetahuan itu untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gagasan ini akan diabadikan melalui karya-karya ilmiah, jurnal penelitian, buku-buku, dan disampaikan melalui seminar-seminar. Gagasan-gagasan baru ini akan segera menjadi viral seiring dengan pergerakan para sarjana yang semakin bebas dan global. Di dalam lingkungan akademis tersebut kita bisa membayangkan bahwa seorang mahasiswa dibebaskan untuk menjadi dirinya sendiri, memanusiakan dirinya sendiri, semakin menjadi manusia. Di sana kita bisa membayangkan pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia muda (Drijarkara, 2006: 273, 367) dan upaya untuk memanifestasikan kemanusiaan.

Akan tetapi, fungsi universitas seperti yang diidealkan oleh para akademisi pendahulu kita itu harus berkompromi dengan, bahkan dikalahkan oleh, hal-hal lain yang acap kali sama sekali tidak akademis. Pendidikan kita, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dewasa ini berada di dalam konteks Neo-Liberalisme (A. Supratiknya, Membaca Pemikiran Drijarkara Tentang Pendidikan di Zaman Sekarang, 2014). Ada tiga pilar yang menentukan gerak langkah sebuah lembaga pendidikan (universitas): (1) masyarakat, (2) negara, dan (3) pasar. Pilar ketiga, pasar, tak lain adalah pasar global, kerap kali menenggelamkan pilar masyarakat dan negara. Kebutuhan pasar sering mendominasi arah gerak langkah lembaga pendidikan. Sekolah bukanlah sebuah lembaga yang netral. Sekolah adalah arena pertarungan wacana. Dan, wacana dominan, yaitu pasar global selalu berhasil membungkam wacana-wacana lainnya. Negara sendiri pun kerap kali bergandengan tangan dengan kepentingan pasar. Aturan-aturan yang diratifikasi oleh Negara sering kali merupakan pesanan Bank Dunia dan/atau IMF (A. Supratiknya, 2014). Sehingga, di dalam arena sekolah itu kini tinggal dua kubu yang saling berhadap-hadapan, yaitu kepentingan pasar global dan kepentingan masyarakat.

Kapitalisme membutuhkan lembaga-lembaga sekolah untuk mereproduksi ideologi sekaligus tenaga kerja. Althusser menjelaskan bahwa lembaga sekolah merupakan salah satu Ideological State Apparatus (ISA), tempat di mana ideologi dominan direproduksi dan dijejalkan kepada generasi muda. Selain itu, sekolah mereproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme, sehingga sistem itu dapat tetap berjalan. Diharapkan sekolah dapat menaikkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja baru. Dengan kemampuan dan keterampilan yang bertambah, para pekerja itu dapat bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus, sehingga pendapatan mereka pun naik. Dengan pendapatan yang bertambah, diharapkan para pekerja itu mampu mengonsumsi segala komoditas yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme itu sendiri. Jadi, sekolah menjadi tempat reproduksi pekerja dengan ideologi Neo-Liberalnya, sehingga pekerja yang sudah diinterpelasi dengan ideologi Neo-Liberal ini dapat bekerja dengan kecakapan yang lebih, dan dapat memperoleh upah yang lebih sehingga mereka dapat mengonsumsi segala komoditas, supaya sistem Kapitalisme tetap terus berjalan.

Di dalam sistem Neo-Liberalisme ini, peran Negara semakin diminimalisasi. Privatisasi (swastanisasi) di segala bidang, termasuk pendidikan, menjadi ciri khas kebijakan Neo-Liberal. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menawarkan pendidikan terbaik, yang celakanya diidentikkan dengan biaya yang mahal. Baik Universitas Swasta maupun Universitas Negeri yang (ingin) menjadi favorit di mata masyarakat kini mewajibkan para mahasiswanya untuk membayar uang kuliah yang tidak sedikit; hal itu belum termasuk pungutan sana dan pungutan sini. Hak seluruh warga masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas berubah menjadi peluang yang tidak sama untuk merebut pendidikan dan modal budaya tambahan lain, sesuai dengan kemampuan finansial. Hal yang paling ekstrim dari fenomena itu adalah Edu-business. Ada tiga agenda para kapitalis pelaku bisnis pendidikan ini: (1) memproduksi dan mereproduksi angkatan kerja terampil sesuai kebutuhan industri kapitalis dan generasi konsumen yang selaras dengan kepentingan akumulasi modal, (2) mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari menjual jasa pendidikan ini, sehingga seakan-akan pandangan bahwa pendidikan merupakan kegiatan non-profit tidak lagi bisa dipertahankan, (3) mendirikan kampus-kampus/sekolah-sekolah franchise secara global, menjual kurikulum, atau langsung bekerja sama dengan korporasi lokal untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar (A. Supratiknya, 2014). Sekolah dikelola selayaknya korporasi.

Di dalam suasana dan situasi semacam itu kita bisa membayangkan bagaimana tunas muda (saya mengikuti terminologi Drijarkara) dikirim ke sekolah bukan demi proses pemanusiaan manusia muda secara utuh, melainkan semata memburu kecakapan kerja (Drijarkara, 2006: 363). Para mahasiswa itu pergi ke kampus bukan untuk membebaskan dirinya menjadi dirinya sendiri, melainkan untuk menerima proses “normalisasi”. Mereka dicetak, bukan ditempa, untuk semata menjadi tenaga kerja cerdas dan handal, yang hanya boleh menghafal apa yang sudah diajarkan, dan diharamkan untuk memiliki pemikiran sendiri, diharamkan untuk bertanya, dan diharamkan untuk mengkritisi. Mereka tidak perlu memanusiakan diri mereka sendiri sebab sistem kapitalisme (pasar) tidak membutuhkan hal yang demikian. Mereka hanya perlu memenuhi standard nilai, melengkapi diri dengan kemampuan dan kecakapan tertentu yang dibutuhkan, lalu lulus dengan sesegera mungkin, bahkan kalau bisa akselerasi. Di dalam sekolah (baca: arena pertarungan wacana) para mahasiswa itu telah dikalahkan oleh wacana dominan, yaitu Neo-Liberalisme.

Maka, jangan heran jika ormas dari Golongan Fasis dan Fundamentalis, didukung oleh Apparatus Negara, berhasil menembus tembok kampus untuk membubarkan sebuah acara akademis! Bukan karena para mahasiswa itu hendak mengadakan rekonsiliasi nasional, bukan karena mereka menonton film Senyap, bukan karena mereka mempelajari (Neo-/post-)Marxisme, tetapi semata karena mereka dilarang untuk berpikir kritis dan menggalang gerakan sosial supaya tidak mengganggu status quo, yang pada akhirnya mengganggu sistem Kapitalisme yang berjalan. Dalam artikel berjudul Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme(1982) Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) berkata,
“Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu (Marxisme-Leninisme alias Komunisme) sendiri tidak dibiarkan secara hukum negara, melainkan karena di lingkungan bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.”
Negara hanya ingin para mahasiswanya menjadi pelajar yang manis, yang cakap dan cerdas, yang tidak perlu berpikir kritis, sehingga dapat segera lulus tepat waktu, supaya segera dapat memenuhi permintaan pasar (global) dan dapat segera lanjut mengonsumsi kembali komoditas Kapitalisme.

Senin, 11 Mei 2015

Surat Pernyataan Bersama "Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta"

Surat Pernyataan Bersama
Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta*


Melalui surat pernyataan bersama ini, kami mengutuk praktik sewenang-wenang yang dilakukan para pendidik Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) Malang yang telah melakukan pembubaran paksa kegiatan mahasiswa dari Lembaga Pers Mahasiswa DIANNS. Praktik demikian kami nilai telah melanggar marwah institusi pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik dan kebebasan ekspresi mahasiswa. Melalui praktik yang ditunjukkan Dekanat FIA, kami mencap Kampus Brawijaya telah disusupi oleh antek-antek Orbais. Hal ini ditunjukkan melakui praktik sewenang-wenang berupa pembubaran paksa kegiatan mahasiswa dan intimidasi berwujud pemanggilan orangtua oleh pihak kampus sebagai dampak pelaksanaan kegiatan tersebut. Apa yang dilakukan pihak Dekanat FIA ini secara gamblang menunjukkan beroperasinya kembali praktik NKK BKK sebagaimana di era rezim despotik Soeharto.

Argumentasi Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta:

Kami menggalang aksi solidaritas kebebasan akademik di Yogyakarta dengan argumentasi sebagai berikut:
Standar ganda yang diperlakukan oleh para pendidik FIA dalam melarang kegiatan mahasiswa menonton film “Samin Versus Semen” dan “Alkinemokiye” patut dipertanyakan, mengingat film tersebut telah diputar berkali-kali di Yogyakarta, diantaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, dan Universitas Sanata Dharma, termasuk kampus di beberapa kota lainnya. Klaim norma pendidikan seperti apakah yang dipakai Universitas Brawijaya sehingga melarang pemutaran film tersebut? Sungguh mencurigakan.

Acara yang diadakan oleh LPM DIANNS sejak awal sudah mendapat izin dari pihak rektorat Brawijaya yang diterbitkan tanggal 13 April 2015 oleh pihak Pejabat Rektorat bernama Marfuah. Surat izin rektorat pun sudah ditembuskan ke pihak Dekanat FIA Brawijaya. Pertanyaannya, mengapa jawaban atas izin pihak Rektorat tidak dijawab secara tertulis malah mengerahkan pihak keamanan kampus untuk membubarkan acara? Sungguh tidak demokratis.

 Tindakan pelarangan sebagaimana yang berhasil direkam dan diunggah di youtube.com jelas sekali menunjukkan bahwa pelarangan itu berdasarkan alasan yang mengada-ada. Pernyataan dosen FIA bernama Drs. H. Luqman Hakim M.Sc bahwa film yang diputar oleh LPM DIANNS adalah film propaganda jelas tidak berdasar. Hampir semua film pasti memiliki perspektif maupun cara pandang tertentu, karena memang demikian eksistensi film hadir. Karenanya, membedah film adalah wahana pendidikan paling tepat, terutamauntuk mendiskusikan sebuah realitas maupun fenomena yang ada di masyarakat. Jika memang Bapak Luqman Hakim melihat itu sebagai propaganda, maka cara elegan yang sesuai kaidah akademik adalah dengan menunjukkan dititik mana anggapan propaganda itu. Apakah Bapak bisa dan berani berdebat? Karena menjadi pertanyaan besar, dalam kepentingan apakah pihak Dekanat FIA melarang pemutaran film ini, apakah sudah ada keterlibatan korporasi di ruang-ruang kerja dosen-dosen Brawijaya?

Pelanggaran:
Kami menilai, apa yang dilakukan para pendidik di Kampus Brawijaya telah mencederai semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, bahkan menjauhkan para mahasiswanya dari isu-isu yang ada di akar rumput (yang dihadapi rakyat). Pelanggaran ini jauh lebih besar dibanding dengan pelanggaran legal formal seperti UU No 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Jika sebuah kampus sudah menjauhkan para mahasiswanya dari persoalan yang dihadapi masyarakat bawah, artinya universitas itu bukan melangsungkan pendidikan, namun pembodohan.

Tuntutan:
Menuntut Rektor UB, Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS agar menjunjung tinggi marwah akademik dengan memberi jaminan atas kebebasan berekspresi dan berpendapat seluruh sivitas akademika Kampus Brawijaya. Untuk itu, pihak Rektor harus menindak tegas praktik-praktik penuh kesewenang-wenangan ala Orbais sebagaimana dilakukan pihak Dekanant FIA.

Menuntuk pihak dekanat FIA, khususnya Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku Dekan FIA UB untuk meminta maaf pada para mahasiswa karena telah membiarkan jajarannya melakukan praktik penindasan di dunia pendidikan. Selanjutnya memberikan garansi jaminan atas kebebasan berekspresi para mahasiswa untuk melakukan kerja-kerja kreatifnya.

Menyerukan para dosen-dosen Universitas Brawijaya untuk turut bersuara atas ketidakbenaran dan kesemena-menaan yang telah dilakukan oknum-oknum dosen Brawijaya. Sebagaimana Che Guevara pernah sampaikan, “Jika hati Anda bergetar melihat penindasan, maka bersuaralah. Sebab diam adalah bentuk penghianatan”. Diamnya para dosen Brawijaya sama artinya dengan penghianatan terhadap institusi pendidikannya sendiri.

Surat bersama ini merupakan suara solidaritas sebagai sesama mahasiswa. Kami di sini sudah menikmati kebebasan berekspresi seluas-luasnya. Maka, di tengah saudara-saudara kami yang ditindas, maka kami tidak akan tinggal diam. Kebebasan berekspresi harus menjadi norma kehidupan kampus di seluruh wilayah Indonesia. Unduh surat bersama.

Tembusan:
Prof. Muhammad Nasir, Ph.D, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc, Direktur Jenderal Ditjen Pendidikan Tinggi.
Dr. Ir. Illah Sailah MS, Direktur Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti.
Prof. Dr. Supriadi Rustad, M.Si, Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti.
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS, Rektor Universitas Brawijaya.
Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.
Syaukani Ichsan, Pimpinan Umum LPM Dianns.




Solidaritas Kebebasan Akademik Yogyakarta
Satria Virajati I
Ketua HMI MPO Cabang Sleman

Shadri Saputra
Ketua HMI MPO Komisariat Fisipol Universitas Gadjah Mada

Angga Palsewa Putra
Koordinator Umum Gerakan Literasi Indonesia

Himawan Karniadi
Forum Mahasiswa Progresif Revolusioner (FMPR) Yogyakarta

Abdullah bin Zed
Komunitas Turun Tangan Yogyakarta

Arif Novianto
MAP Corner–Klub Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

Rizka Fakhry A.
Pengurus Cabang PMII Sleman

Wahyu Budi Utomo
Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

Faizal Akbar
Ketua HMI Komisariat Fisipol Universitas Gadjah Mada

Elki Setiyo N.
Editor Jaganyala

Erka R. K.
Komunitas Seni Extra Pedas Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Krisna Yulianto
Multiculture Area Universitas Sanata Dharma

Leonardo Budi S.
Pussaka Institute

Dewi Setiyaningsih
IMM Komisariat Fisipol Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Fauzia Fitrianingrum
KOHATI Komisariat Fisipol Universitas Gadjah Mada

M. Iqbal Alallah
Ketua Future Leader Party Universitas Gadjah Mada

Pinto Buana Putra
Ketua Partai Boulevard Universitas Gadjah Mada

Dwicipta
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA) Regional Yogyakarta

Hendra Try Ardianto
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Odent Setyanegara
Forum Mahasiswa Aksi Jalanan (FAM-J)

Bastyo Arsa
Etnohistori

Ahmad Sarkawi
Rumah Baca Komunitas (RBK) Yogyakarta

T. J. ‘Umaruzaman
Kepala Sekolah Bengkel Menulis

Helmy Badar N.
LPM Solid FTSP Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Novianto H. Sihite
Ketua GMNI Komisariat Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Joko Nurbianto
Koordinator Umum Partai Pandawa Universitas Ahmad Dahlan

Fajar B. Mahardika
Gubernur BEM FSBK Universitas Ahmad Dahlan

Nurvianto Basori
Mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Lutfi Zanwar Kurniawan
Komunitas Podjok Baca Yogyakarta

Muharriroh
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Rosa Vania Setowati
Pemimpin Umum LPM Natas Universitas Sanata Dharma

Boby Sidik Dyan Wijaya
Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pemerintahan Masyarakat Desa (STPMD)

Yoga Putra Prameswari
Intitute for Development & Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta

Muchamad Muslich
PMII Komisariat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Prasetyo Wibowo
Kepsek LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta

Muhammad Ibrahim
HMI Komisariat Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Ariesta Budi
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Chika Agustina
Mahasiswa D3 Pengelolalaan Hutan SV Universitas Gadjah Mada

Agus Kusmawanto
Mahasiswa Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Yudho Prdekso
Komunitas Kamusuka Klaten

Heru Prasetya
Gusdurian

Ervina P. Rete
Jangkrik! (Kelompok Belajar Studi Pendidikan Kritis) Universitas Sanata Dharma

Rifqi Khoirul Anam
LPM Loper Aufklarung Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Fariq Firdaus
Madrasah Intelektual Muhammadiyah

Suyoto Arif Friodi
Pushamka A.R. Fachrudin Yogyakarta

Listia Damanik
HMPS Sosiologi Universitas Atmajaya Yogyakarta

Alwi Atama Ardhana
Pengelola mediasastra.com

Y. Jatmiko Yuwono
Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma

M. Hilmy Dzulfaldli
Pengurus Cabang IMM A.R. Fakhruddin Yogyakarta

Padmo Adi
#aliansiBonobo Universitas Sanata Dharma


Rabu, 06 Mei 2015

MITOS KESEJAHTERAAN, Logika Kapitalis dan Negara, dalam Menundukan Rakyat

MITOS KESEJAHTERAAN
Logika Kapitalis dan Negara, dalam Menundukan Rakyat
(Catatan Diskusi Film Samin vs Semen)
Yogyakarta,  6 Mei 2015

Oleh:
Rahmat R. Wali

Alasan mereka (perusahaan) kesejahteraan.
Tapi ketika saya menanyakan ke mereka,
kesejahteraan yang bagaimana?
Yang pabrik semen berikan ke kami.
Sedangkan kami saat ini sudah sejahtera 
dengan pertanian.”
(Testimoni Joko Priatno Petani Rembang)


Kutipan di atas saya ambil dalam film, sengaja menjadikannya sebagai kalimat pembuka dalam tulisan ini. Sebab kalimat di atas sangat berhubungan dengan pola, cara lama dalam bentuk bahasa yang dipakai oleh pemerintah(negara), dan pemilik modal(kapitalis) untuk membujuk masyarakat agar lahan(tanah) beserta isinya dijual ke pemilik modal. Sebab kata kesejahteraan mempunyai daya tarik tersendiri dalam benak masyarakat. Siapa yang tidak mau sejahtera? Mungkin yang muncul paling pertama dalam benak masyarakat yaitu sejahtera dalam bentuk ekonomi. Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah 1). Tingkat pendapatan keluarga; 2) Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3)    Tingkat pendidikan keluarga; 4)    Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5)    Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.

Sedangkan menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan: 1)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya; 2)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya; 3)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; 4)    Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya. Akan tetapi, mungkinkah masyarakat bisa sejahteraan dengan ada tambang?  Kesejahteraan macam apa yang dimaksud oleh perusahaan? Ataukah kata kesejahteraan itu hanyalah kamuflase dalam mengelabui rakyat? Saya tidak tahu pengalaman kalian seperti apa, tapi dari sekian pengalaman saya, yang hidup keluar masuk di wilayah masyarakat tambang dan membaca hasil laporan penelitian, laporan pendampingan masyarakat saya belum menemukan dimana ada tambang beroperasi disitu masyarakat sejahtera.

Film Samin vs Semen, secara pribadi sangat menarik karena film itu menyuguhkan sebuah lanskap perampasan sumber penghidupan masyarakat Samin di Rembang, yang sebelumnya terjadi di Pati oleh PT. Sahabat Mulia Sakti (PT. SMS) anak perusahaan PT. Indocement Tunggal Perkasa tapi kemudian digagalkan oleh masyarakat dan aliansinya Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Dari film tersebut, saya membaginya menjadi 3 bagian; pertama, pegunungan kendeng dengan bentangan yang luas, kemudian sawah rakyat yang luas. Kedua, masyarakat Pati yang juga menolak perusahaan tambang Semen, dan perlawanan masyarakat Rembang terhadap PT. Semen Indonesia yang telah mengeksploitasi kars yang ada di pegunungan tersebut. Ketiga, pabrik semen di Surabaya yang telah berjalan dan sementara beroperasi, dan sejumlah testimoni oleh warga yang menjual lahan mereka dan dijanjikan dengan berbagai alasan, seperti ganti rugi lahan dan sebagainya, namun itu semua tidak pernah terjadi. Jadi ini semua semacam mitos dalam arti yang sebenarnya yang diciptakan oleh kapitalis tentang kesejahteraan.


Peta Konflik Wilayah Tambang

Ketika kita menonton film tersebut, kita kemudian merasa prihatin dan marah, di posisi ini sebenarnya betapa ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Rembang. Akan tetapi, lebih rumit lagi kalau kita berada di lapangan (Rembang). Sebab, kondisi tersebut sudah bisa dipastikan sejak penolakan PT. Semen Indonesia di Rembang, masyarakat sudah mulai terpecah menjadi dua kubu, yaitu pro dan kontra terhadap pembangunan PT. Semen Indonesia tersebut. Ralf Dahrendorf Sosiolog Jerman dalam karyanya Konflik dan Konflik Sosial dalam Masyarakat Industri, mengatakan bahwa dalam masyarakat (quasi group) akan terlahir kelompok kepentingan (interest group) dimana sebuah industri berdiri. Kepentingan ini bisa dalam bentuk kelompok untuk mencari keuntungan di perusahaan sebaliknya masyarakat yang lain berkepentingan mempertahankan sumber-sumber hidup mereka yang selama ini dijalankan sehingga konflik kemudian lahir, karena terpecah belahnya masyarakat dengan kepentingannya masing-masing. Kalau kita melihat lebih jauh lagi, maka bisa dipetakan seperti ini; pertama, pemerintah(negara) beserta aparatus represifnya (tentara dan polisi); kedua, pemilik modal(kapitalis) dengan sejumlah premannya; ketiga, masyarakat Rembang (pro dan kontra); keempat, mahasiswa/pemuda, LSM, Organisasi Agama dan sebagainya. Point pertama dan kedua sangat mesra dalam hubungannya, sehingga aparatus seperti tentara dan polisi yang menjadi alat negara, seharusnya melindungi rakyat, berbalik melindungi kapitalis dan menindas rakyat, kadang juga sampai terjadi pelanggaran HAM berat seperti penembakan terhadap warga yang melakukan perlawanan. Jadi bisa dibilang lewat pemetaan tersebut, ketika terjadi perlawanan rakyat terhadap perusahaan yaitu Rakyat menekan pemilik  modal(kapitalis) kapitalis menekan pemerintah(negara) sehingga negara berbalik menekan masyarakatnya lewat aparatusnya (tentara dan polisi). Penekanan yang dilakukan aparatus tersebut sangat beragam, mulai dari meneror hingga intimidasi yang dialami oleh rakyat, bahkan sampai penghilangan nyawa misalkan kasus yang terjadi di Halmahera pada tahun 2004 awal. Kemudian point ketiga dan empat, masyarakat terbelah dengan kepentingannya masing-masing. Ada yang apatis, ada yang kritis karena menjadi korban dan ada yang mencari untung dengan adanya tambang tersebut.

Ditingkat masyarakat bisa dibayangkan telah terjadi terpecah belah kepentingan, dan dengan kondisi yang demikian itu kita sendiri hampir tidak bisa mengenali siapa kawan, siapa lawan. Sebab dalam perlawanan atau perjuangan, masalah yang paling menyakitkan, ketika kita dikhianati oleh teman seperjuangan sendiri. Itu biasanya sering terjadi di lapangan sehingga perlu untuk merapatkan barisan dan tidak tergoda dengan uang yang nilainya berkisar satu-dua juta rupiah. Karena pemilik modal(kapitalis), selalu berusaha menggagalkan setiap perlawanan yang ada, sampai setingkat pengadilan sekalipun, seperti memakai para akademisi dari kampus tertentu dengan nama kampus yang besar untuk menjadi saksi ahli, misalkan bahwa eksploitasi tersebut tidak membawa dampak buruk bagi perkebunan dan lingkungan lainnya termasuk pada manusia. kejadian ini pernah terjadi ketika masyarakat Buyat Pante menuntut PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang telah mencemari teluk buyat di PTUN yang menyebabkan mata pencaharian warga Ratatotok Buyat Pante sebagai nelayan hilang, sebab limbah perusahaan emas tersebut selalu dibuang ke laut dialiri lewat sungai, begitu juga penyakit aneh-aneh mulai muncul seperti yang terjadi pada kasus Minamata di Jepang. Tapi sayangnya tuntutan warga Ratatotok Buyat Pante di PTUN kalah, karena salah satu akademisi ahli perikanan dari Universitas terbesar di Sulawesi Utara menjadi saksi ahli dari PT. Newmont Minahasa Raya dan akhirnya perkampungan tersebut dibakar oleh warganya sendiri dan pindah ke tempat lain yaitu di duminangan dengan jarak dari perkampungan awal Ratatotok Buyat Pante 120 km untuk menghindari pencemaran dari perusahaan tambang tersebut. Jadi segala cara itu sering terjadi demikian.

Begitu juga terjadi di Maluku Utara, nyata-nyata PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM) membuang limbah di sungai kobok yang kemudian dilaporkan oleh warga yang berkebun di sekitar tambang tersebut, namun tidak berbuat apa-apa sebab para akademisi yang dianggap berpengaruh di daerah sudah menjadi kaki tangan perusahaan dan ketika kasus misalkan pencemaran lingkungan dibawa ke pengadilan, tuntutan rakyat selalu kalah. Sehingga sangat penting bagi saya untuk terus membangun jaringan sekuat-kuatnya, dan melakukan kampanye lewat pemutaran film sampai menulis di koran, sebab bagi saya aksi tidak hanya sekedar demonstrasi tapi lebih dari itu harus juga melalui tulisan, film dokumenter dan sebagainya.

Di tanah Papua sendiri Ngadisah (2003) dalam karyanya Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua,  menguraikan anatomi gerakan sosial di kalangan warga asli Papua, khususnya Suku Amungme (dataran tinggi) di kawasan Mimika dan suku Komoro (dataran rendah), terhadap eksistensi PT. Freeport Indonesia (PTFI) di tanah Papua dan menguraikan bagaimana “aktor-aktor Jakarta” turut bermain dalam riak-riak konflik tersebut. Perang antar suku diciptakan untuk memuluskan eksploitasi PTFI tersebut. Suku Amungme adalah suku yang berpandangan tentang alam, Tuhan dan roh sebagai satu kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia—yang mempunyai makna positif dalam upaya pelestarian alam. Manusia adalah bagian dari alam sehingga kalau ia merusak alam berarti merusak dirinya sendiri. Ditambah lagi, orang Amungme mengindentikan alam dengan orang tua, di mana tanah dianggap sebagai Ibu (mama), dan gunung sebagai adalah bapak. (Ngadisah, 50) sehingga dengan latarbelakang itulah oarang Amungme kemudian menentang PTFI, namun perlawanan yang panjang itu kemudian, warga Papua dianggap Saparatis. 

Pola-Pola Perlawanan
Setiap tempat dimana industri tambang berdiri selalu memicu konflik dan perlawanan dari rakyat. Perlawanan rakyat tersebut sangat berhubungan dengan keterancaman sumber-sumber penghidupan yang telah mereka jalani secara turun-temurun. Kasus semen di Pati, kemudian di Rembang adalah perlawanan rakyat untuk mempertahankan sumber-sumber penghidupan yaitu bertani sebagai jalan hidup dengan mengolah sawah, sedangkan pegunungan kendeng (kars) adalah sumber air untuk sawah dan sangat wajar kalau rakyat harus melawan. Dalam film ini dan juga dalam setiap pemberitaan media televisi proses perlawanan yang dilakukan warga sangat rapi, ibu-ibu sangat sadar dalam melakukan perlawanan, juga melawan dengan menggunakan teatrikal yang dilakukan sejumlah mahasiswa dan pemuda terhadap PT. Semen Indonesia yang mengeksploitasi pegunungan kendeng di bagian Rembang.

Sangat berbeda dengan pola perlawanan di bagian timur yang lebih mengandalkan otot, simbol-simbol yang lebih mengarah pada kekerasan sehingga korban banyak berjatuhan. Hal itu tidak bisa dihindari sebab rakyat dalam konteks tertentu, mereka tidak lagi percaya terhadap nagara.  sebab pemerintah tidak pernah mematuhi janjinya sehingga rakyat juga sudah tidak lagi percaya dengan pemerintah(negara). Masyarakat yang pernah saya amati di Maluku Utara merasa mereka hidup tanpa negara, negara hadir dikala malam hari yaitu ketika listrik dinyalakan 12 jam sehari. Jadi saya tidak akan menguraikan disini pola perlawan secara detail. Tetapi, pola perlawanan tergantung dimana dan siapa yang melakukan perlawanan, sebab misalkan yang pernah yang lihat di video perlawanan masyarakat di Jawa terhadap tambang sangat datar namun sasaran perlawanannya jelas, dan selalu didukung oleh berbagai pihak seperti mahasiswa, juga LSM yang benar-benar LSM yang dalam memperjuangkan hak rakyat, bukan LSM yang menjadi perpanjangan tangan Negara dan modal Asing. Sedangkan di wilayah Timur terutama perlawanan kecenderungan represif, dan memang sesuai dengan kondisinya.

Daftar Bacaan:
Bintarto. 1989. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Dahrendorf, Ralf. 1986.  Konflik dan Konflik Sosial dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali.
Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta. Pustaka Raja.