Hindhuisme
di Indonesia Modern
Martin
Ramstedt (ed.)
Di
Menegosiasi
Identitas - Orang-orang Hindu Indonesia
antara
lokal, nasional, dan kepentingan global
Dipresentasikan Oleh
Yohanes Padmo Adi
Thomas Cahyo Susmawanto
Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
bhinneki rakwa ring apan kena
parwanosen,
mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa
tunggal,
bhinneka tunggal ika tan hana dharmma
mangrwa.
Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Berbeda-beda
tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
(Kakawin
Sutasoma, Canto CXXXIX, 5 - Kutipan ini
berasal dari pupuh 139, bait 5)
Bhinneka
tunggal ika adalah motto dari Republik Indonesia. Diambil oleh Bapa Bangsa dari
warisan Hindu-Jawa, sama seperti lambang negara, Garuda (kendaraan Dewa Wisnu),
untuk menginspirasi persatuan nasional. Motto itu diambil dari Kakawin Sutasoma, sebuah epos Buddhis
dari abad keempat belas, yang dikarang oleh seorang penyair Hindu-Jawa
terkenal, Mpu Tantular, di sebuah Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) yang pusatnya
terletak di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Timur.
Meskipun
imaji kebesaran Majapahit menjadi inspirasi para nasionalis Jawa pada saat itu
ketika membangun konsep Indonesia merdeka, dan meskipun imaji itu berpengaruh
pada perkembangan Hinduisme Indonesia modern, intensi Martin Ramstedt (editor
buku ini) lebih kepada menunjukkan isu “beraneka ragam tetapi tetap satu jua”
yang tak pernah selesai tersebut, yaitu sebuah situasi yang sedang dan terus
berlangsung di mana pluralisme agama dan budaya (penekanan pada
“keanekaragaman”) dikontraskan dengan keseragaman agama dan budaya (penekanan
pada “kesatuan”), sebagai penentu yang paling penting bagi masa lalu dan masa
depan perkembangan Hindu Dharma di negara-bangsa Indonesia modern.