MENGAWINI KORBAN
PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI
NAMA MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK
NIM :
136322002
DOSEN PENGAMPU : Dr. KATRIN BANDEL
Pengantar
Akhir-akhir
ini kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap perempuan semakin marak.
Hampir setiap hari terdapat liputan media tentang liputan pemerkosaan, bahkan
pemerkosaan dengan kekerasan atau dengan tindak pidana lainnya. Permerkosaan
rata-rata dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Jarang sekali
– bukan tidak ada - kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap
laki-laki. Dalam kasus pemerkosaan, yang paling dirugikan sebenarnya adalah
perempuan karena pemerkosaan berdampak dan dirasakan langsung oleh perempuan.
Dampak
pemerkosaan bagi perempuan adalah dampak fisik, sosial, dan psikologis. Dampak
fisik yang dialami adalah rusaknya alat kemaluan dan hilangnya keperawanan yang
merupakan organ tubuh yang paling dilindungi oleh perempuan. Sedangkan dampak
sosial yang dirasakan langsung oleh perempuan korban pemerkosaan adalah stereotype yang melekat di benak
masyarakat adalah adanya anggapan bahwa perempuan korban pemerkosaan tidak
berharga dan murahan. Dampak yang tidak kalah hebat yang dirasakan oleh
perempuan korban pemerkosaan adalah dampak psikologis dan trauma pasca
pemerkosaan.
Pada
beberapa kasus pelaku korban pemerkosaan akan menempuh jalur perdamaian dengan
jalan menikahi korbannya. Korban dan keluarganya dalam keadaan keterpaksaan
tidak jarang akan menerima dalam keputusan pelaku untuk menikahi. Dalam
kacamata gender, hal tersebut sangatlah tidak adil karena mendistorsi
–terutama- nilai-nilai kebebasan yang melekat pada perepuan “korban perkosaan-
sebagai manusia yang merdeka.
BAB I
PENDAHULUAN
Kaum perempuan
merupakan golongan yang dipandang rentan mengalami kekerasan seksual. Laporan
Komnas Perempuan (2011) menunjukkan selama tahun 2010 di seluruh Indonesia
sebanyak 91.311 perempuan mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan hasil
pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan ada 15 jenis kekerasan seksual yang
dialami oleh perempuan di Indonesia, yaitu (1) perkosaan, (2) intimidasi/
serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, (3)
pelecehan seksual, (4) eksploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual, (6) prostitusi paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan
perkawinan, (9) pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, (11)
kontrasepsi/sterilisasi paksa, (12) penyiksaan seksual, (13) penghukuman tidak
manusiawi dan bernuansa seksual, (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan (15) kontrol seksual termasuk
aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama (Press Release Kampanye Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, 2013).
Perkosaan merupakan
suatu bentuk kekerasan seksual. Menurutnya, pandangan perempuan dijadikan
sebagai objek seksualitas terkait erat hubungannya antara seks dan kekerasan.
Dimana terdapat seks maka kekerasan hampir selalu dilahirkan. Berbagai tindakan
seperti perkosaan, pelecehan seksual (penghinaan dan perendahan terhadap lawan
jenis), penjualan anak perempuan untuk prostitusi, dan kekerasan oleh pasangan
merupakan bentuk dari kekerasan seksual yang kerap menimpa kaum perempuan.
Dalam paper ini, penulis akan membahas tentang jenis
kekerasan seksual berupa perkosaan. Menurut Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa
korban perkosaan adalah perempuan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada
KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat
laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan
rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya.
Menurut Sri Nurherwati (Ketua Sub Komisi Pemulihan
Komnas Perempuan), tingginya kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak
terlepas dari menguatnya budaya patriarki di masyarakat. (http://wolipop.detik.com,
diakses pada 5 Januari 2013) Budaya patriarki merupakan istilah dimana
laki-laki lebih berkuasa daripada wanita (Edi Kristiyanto, 2005:88), bahkan
Simone De Beauvoir, seorang eksistensialis Marxis dalam buku Sylvia Tiwon
mengatakan bahwa perempuan selalu menjadi “the other” dalam masyarakat
patriarkal (1996:67). Dalam budaya patriarki, kekuasaan perempuan subordinat di
bawah kekuasaan laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, perempuan memiliki peluang
lebih kecil terhadap pembuatan keputusan (decision
making).
Selain karena faktor bercokolnya budaya patriarki
yang terjadi dalam masyarakat, kekerasan seksual menurut Sri Nurherawati juga terjadi
karena masih banyak wanita yang percaya kalau semua pria memiliki sifat
perlindungan dan kasih sayang. Akibatnya, apagila terjadi kasus kekerasan dalam
hubungan pacaran, wanita sering berharap kalau setelah menikah pasangannya akan
berubah. Kungkungan budaya patriarkhi telah menempatkan perempuan pada situasi
yang tidak berdaya.
Dalam kasus pemerkosaan yang pelakunya menempuh
jalur damai dengan menikahi korbannya, seringkali korban dan keluarga
dihadapkan pada satu pilihan yaitu
menerima pelaku sebagai pasangan keluarga. Hal tersebut diperparah dengan
stigma negatif dari masyarakat terhadap korban pemerkosaan. Akibatnya menerima
pelaku pemerkosa merupakan satu-satunya pilihan yang seringkali ditempuh oleh
korban dan keluarga.
Dalam situasi seperti ini, sebenarnya yang paling
dirugikan adalah pihak perempuan. Perempuan yang harus menanggung beban dan
dampak dari perkosaan, demikian juga jalan pernikahan yang seringkali diterima
dengan keterpaksaan malah akan menjadi malapetaka terhadap anak. Oleh karena
itu, menurut Psikolog Anna Surti Ariani (http://female.kompas.com,
diakses pada 5 Januari 2013), keputusan untuk menikahkan terlebih lagi korban
perkosaan dan pelakunya bukanlah pilihan yang tepat. Bahkan dalam kasus
pernikahan yang terjadi karena hamil pranikah, Anna berpendapat pernikahanlah
bukanlah satu-satunya solusi, terlebih lagi dalam kasus pemerkosaan. Padahal,
pernikahan terpaksa ini dapat membuat anak jauh lebih depresi lagi.
Guna membedah masalah di atas, dalam paper ini akan
digunakan perspektif gender. Istilah “gender” pertama kali dikembangkan oleh
Ann Oakley pada tahun 1972 sebagai alat analisis ilmu-ilmu social. Sejak saat
itu konsep gender menjadi konsep yang dianggap baik untuk memahami persoalan
diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum (Narwoko dan Suyanto (ed.),
2007:333).
Konsep gender muncul sebagai pembeda dengan kata sex.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender merupakan
perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi
masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astuti (2000)
mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara
sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup
sehari-hari, dibentuk dan dirubah oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu,
sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dapat pula
berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan
kebudayaan masyarakat masing-masing (Fakih, 2006:8).
Dengan demikian, konsep gender adalah sebuah
konstruksi sosial budaya yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin.
Gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir, namun gender dapat
diusahakan. Jika saja determinasi kepentingan kelompok tertentu tidak dominan,
maka relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan tidak akan terjadi
berlangsung lama. Hal tersebut terjadi di seluruh kebudayaan masyarakat dunia.
Ada kalanya kaum laki-laki yang mendominasi perempuan dan ada juga perempuan
yang mendominasi laki-laki.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere
yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto,
1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang
istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai
melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).
Sementara itu, menurut Rifka Annisa Women’s Crisis
Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan
seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan
atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan
alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat
terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).
Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan
hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual
tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan
seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan
tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.
Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi
pidana yang cukup berat. Perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat
kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara
itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah
satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan
kerugian serta kecemasan dalam masyarakat.
Kekerasan seksual tidak hanya nampak dalam suatu
tindakan nyata. Seperti yang diuraikan Komnas Perempuan poin 15, perlakuan
diskriminasi terhadap perempuan yang beralaskan moralistas, agama dan adat pun
bisa di kategorikan merupakan tindakan kekerasan. Pada tahun 1990 seorang aktifis gender Jane
Monning Atkinson, menuliskan buku yang mendeskripsikan sebuah desa sangat
terpencil yaitu desa Wana di Sulawesi Tengah. Uraian Atkinson membongkar
dinamika kehidupan seksual masyarakat Wana yang sangat memprihatinkan, dimana
alasan untuk memiliki keturunan adalah supaya pasangannya tidak mati sia-sia
bahkan ada kecenderungan bagi para duda di desa tersebut untuk menikah
perempuan yang lebih muda, bahkan sangat jauh lebih muda. Disana duda lebih
cenderung menikah lagi dari pada janda (1996:171).
Kekerasan seksual dapat berdampak yang cukup besar
terhadap korbannya, perempuan. Dampak perkosaan bagi korban antara lain dampak
sosial, dampak fisik dan dampak psikologis. Secara sosial, korban perkosaan dan
keluarganya akan mendapat cibiran dari masyarakat. Dalam masyarakat
perkosaan dianggap suatu aib bagi korban
dan keluarga.
Oleh karena itu, seringkali korban dan keluarga
tidak berani untuk mengungkapkan kejadian perkosaan yang dialami oleh korban.
Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan
adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam
sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban
perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos
yang salah mengenai perkosaan.
Persepsi masyarakat soal pemerkosaan dan stigma
negatif terhadap korban pemerkusaan berakar pada asumsi yang keliru yang selalu
menempatkan perempuan pada pihak yang bersalah. Ada asumsi yang menganggap
bahwa perempuan korban perkosaan memang menggoda laki-laki dengan memakai
pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan
sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Asumsi ini turut
berkontribusi pada pembentukan persepsi miring masyarakat terhadap perempuan
korban pemerkosaan.
Selain dampak sosial, korban perkosaan berpotensi
untuk mengalami trauma fisik. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan
jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini
akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan
tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai
persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya.
Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan
akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.
Korban perkosaan juga berpotensi untuk mengalami guncangan
psikologis. Korban bisa mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa
perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban.
Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.
Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995).
Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun
jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang
mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi
murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan
sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara
satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh
bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang
berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan
antara pelaku dengan korban.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres
paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung
terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi
paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas,
malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala
psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari
pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat
berlebihan.
Sebagai suatu kejahatan, perkosaan sebenarnya adalah
suatu masalah yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Namun banyak
kejadian perkosaan yang tidak terungkap ke publik atau tidak diselesaikan
melalui jalur hukum. menurut data yang dilansir oleh Komnas Perempuan
menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012 ada 4.336 kasus kekerasan seksual dari total 211.822 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus
kekerasan seksual paling banyak terjadi
di ranah publik, dengan 2.920
kasus. Bentuk kekerasan seksual yang terjadi adalah pencabulan dan
perkosaan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan
trafikking (403). Sebanyak 1.416 kasus
kasus kekerasan seksual terjadi di ranah
personal.
BerdasArkan jenis-jenis kekerasan seksual tersebut,
perkosaan menempati peringkat tertinggi yang dialami oleh perempuan. Namun
demikian tingginya angka kejadian perkosaan tersebut tidak dibarengi dengan
kesadaran korban atau keluarga untuk menyelesaikan secara hukum. Banyak
keluarga korban yang menyelesaikan dengan cara menikahkan anaknya demi untuk
menutupi aib keluarganya. Demikian juga pelaku, menempuh jalur damai dengan
cara bersedia menikahi korbannya.
Hal tersebut terkait erat dengan stigma negatif yang
akan dialami oleh salah satu mahasiswa UI bernama RW. Dalam kasus tersebut
Sitok yang diadukan oleh RW telah melakukan kekerasan seksual akhirnya
menyatakan keinginannya untuk berdamai dengan jalan bersedia menikahi
korbannya, namun keinginan Sitok tersebut ditolak oleh RW dan keluarga. Kasus
pernikahan yang berujung pada pernikahan yaitu terjadi pada seorang pria
penderita tunarungu dan tunawicara ditetapkan sebagai tersangka kasus
pemerkosaan. Korbannya juga penderita tunarungu dan tunawicara berusia 17
tahun. Namun dalam kasus ini, pelaku tetap harus menjalani proses hukum. Karena
pernikahan tersebut terjadi setelah pelaku telah dinyatakan bersalah dan sedang
menjalani proses hukum.
Dari dua kasus tersebut, Menikahkan korban perkosaan
dengan pelaku atau pemerkosa merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender.
Dalam banyak kepercayaan agama, bahwa pernikahan merupakan lembaga suci. Pasal
1 UU Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan
bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan
kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti
Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang
perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu
diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup
semati. Namun ddapat juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian
antara pasangan suami dan istri.
Dari pengertian-pengertian perkawinan tersebut,
jelaslah bahwa perkawinan merupakan medium untuk mewujudkan keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk mencapai bahagia dan kekal tersebut perkawinan harus
atas kesadaran dari lubuk hati dari yang paling dalam dari kedua belah pihak.
Perempuan sebagai manusia yang seutuhnya memiliki pilihan untuk tidak bersedia
dan bersedia untuk dinikahi atau dinikahkan. Perempuan sama halnya dengan
laki-laki memiliki hak yang sama untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Dalam kasus pernikahan yang dilakukan sebagai jalan
perdamaian bagi korban perkosaan sebenarnya telah mendistorsi kedudukan dan
harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang bebas dalam menentukan
pilihan-pilihannya. Demikian juga orang tua harus menyadari bahwa anak dalam
keadaan apapun bukanlah objek dari keputusan yang diambil oleh orang tua. Bagi
anak, orang tua memang memiliki hak untuk memberikan saran, nasihat dan
masukan. Namun mengenai keputusan soal nasib anak apalagi dalam kasus
pernikahan, anak haruslah ditempatkan pada pelaku utama. Pernikahan yang dilakukan dalam keadaan
terpaksa (pernikahan korban perkosaan dan pelaku) hanya akan melanjutkan mata
rantai kekerasan kelak di dalam keluarga yang akan dibangun si anak.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di
atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Pada masyarakat yang menganut budaya patriarkhi,
perempuan sangat rentan mendapat perlakuan kekerasan seksual dari laki-laki.
2. Perkosaan merupakan tindakan yang tercela dan
melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Pelaku pemerkosaan pantas mendapatkan
hukuman yang berat.
3. Keputusan untuk menikahkan korban dengan pelaku
pemerkosaan merupakan keputusan yang tidak tepat, karena bagaimapun pernikahan
harus dilaksanakan dengan kesiapan dan kesadaran kedua belah pihak. Orang tua
dari anak korban kekerasan memiliki peran vital di dalam melindungi anak dari
tekanan-tekanan dari luar.
REFERENSI
Astuti, Mary. Teknik
Participatory Rural Appraisal Berdemensi Gender. Jogyakarta, 200
Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko, Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan,
Jakarta: Kencana Media Group. 2004.
Eddy
Kristiyanto, OFM (Editor), Sinar Sabda
Dalam Prisma, Hermeneutika Kontekstual, Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Fakih,
Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Haryanto,
Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita
Universitas Gadjah Mada, 1997.
Hayati,
E. N. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling
Berwawasan Gender. Yogyakarta:
Rifka Annisa, 2000.
Jane Monnig Atkinson, “Quizzing the Sphinx Reflections on
Mortality in Central Sulawesi”, Laurie J. Sears
(ed.), Fantasizing the Feminine in
Indonesia, Duke University Press 1996
Prasetyo
dan Suparman Marzuki, ed. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta:
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.
Taslim,
A. Bila Perkosaan Terjadi.
Jakarta: Kalyanamitra, Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1995.
Tiwon, Sylvia. “Models and Maniacs:
Articulating the Female in Indonesia”, dalam: Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia,
Duke University Press 1996
Press
Release Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar