see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Senin, 17 Maret 2014

MENGAWINI KORBAN PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI

MENGAWINI KORBAN PEMERKOSAAN SEBAGAI JALAN DAMAI

             NAMA MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK
                  NIM    : 136322002
         DOSEN PENGAMPU  : Dr. KATRIN BANDEL


Pengantar

Akhir-akhir ini kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap perempuan semakin marak. Hampir setiap hari terdapat liputan media tentang liputan pemerkosaan, bahkan pemerkosaan dengan kekerasan atau dengan tindak pidana lainnya. Permerkosaan rata-rata dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Jarang sekali – bukan tidak ada - kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dalam kasus pemerkosaan, yang paling dirugikan sebenarnya adalah perempuan karena pemerkosaan berdampak dan dirasakan langsung oleh perempuan.
Dampak pemerkosaan bagi perempuan adalah dampak fisik, sosial, dan psikologis. Dampak fisik yang dialami adalah rusaknya alat kemaluan dan hilangnya keperawanan yang merupakan organ tubuh yang paling dilindungi oleh perempuan. Sedangkan dampak sosial yang dirasakan langsung oleh perempuan korban pemerkosaan adalah stereotype yang melekat di benak masyarakat adalah adanya anggapan bahwa perempuan korban pemerkosaan tidak berharga dan murahan. Dampak yang tidak kalah hebat yang dirasakan oleh perempuan korban pemerkosaan adalah dampak psikologis dan trauma pasca pemerkosaan.
Pada beberapa kasus pelaku korban pemerkosaan akan menempuh jalur perdamaian dengan jalan menikahi korbannya. Korban dan keluarganya dalam keadaan keterpaksaan tidak jarang akan menerima dalam keputusan pelaku untuk menikahi. Dalam kacamata gender, hal tersebut sangatlah tidak adil karena mendistorsi –terutama- nilai-nilai kebebasan yang melekat pada perepuan “korban perkosaan- sebagai manusia yang merdeka.

BAB I
PENDAHULUAN

Kaum perempuan merupakan golongan yang dipandang rentan mengalami kekerasan seksual. Laporan Komnas Perempuan (2011) menunjukkan selama tahun 2010 di seluruh Indonesia sebanyak 91.311 perempuan mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan ada 15 jenis kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di Indonesia, yaitu (1) perkosaan, (2) intimidasi/ serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, (3) pelecehan seksual, (4) eksploitasi seksual, (5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, (6) prostitusi paksa, (7) perbudakan seksual, (8) pemaksaan perkawinan, (9) pemaksaan kehamilan, (10) pemaksaan aborsi, (11) kontrasepsi/sterilisasi paksa, (12) penyiksaan seksual, (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan (15) kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama (Press Release Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2013).
Perkosaan merupakan suatu bentuk kekerasan seksual. Menurutnya, pandangan perempuan dijadikan sebagai objek seksualitas terkait erat hubungannya antara seks dan kekerasan. Dimana terdapat seks maka kekerasan hampir selalu dilahirkan. Berbagai tindakan seperti perkosaan, pelecehan seksual (penghinaan dan perendahan terhadap lawan jenis), penjualan anak perempuan untuk prostitusi, dan kekerasan oleh pasangan merupakan bentuk dari kekerasan seksual yang kerap menimpa kaum perempuan.
Dalam paper ini, penulis akan membahas tentang jenis kekerasan seksual berupa perkosaan. Menurut Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya.
Menurut Sri Nurherwati (Ketua Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan), tingginya kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak terlepas dari menguatnya budaya patriarki di masyarakat. (http://wolipop.detik.com, diakses pada 5 Januari 2013) Budaya patriarki merupakan istilah dimana laki-laki lebih berkuasa daripada wanita (Edi Kristiyanto, 2005:88), bahkan Simone De Beauvoir, seorang eksistensialis Marxis dalam buku Sylvia Tiwon mengatakan bahwa perempuan selalu menjadi “the other” dalam masyarakat patriarkal (1996:67). Dalam budaya patriarki, kekuasaan perempuan subordinat di bawah kekuasaan laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, perempuan memiliki peluang lebih kecil terhadap pembuatan keputusan (decision making).
Selain karena faktor bercokolnya budaya patriarki yang terjadi dalam masyarakat, kekerasan seksual menurut Sri Nurherawati juga terjadi karena masih banyak wanita yang percaya kalau semua pria memiliki sifat perlindungan dan kasih sayang. Akibatnya, apagila terjadi kasus kekerasan dalam hubungan pacaran, wanita sering berharap kalau setelah menikah pasangannya akan berubah. Kungkungan budaya patriarkhi telah menempatkan perempuan pada situasi yang tidak berdaya.
Dalam kasus pemerkosaan yang pelakunya menempuh jalur damai dengan menikahi korbannya, seringkali korban dan keluarga dihadapkan pada satu pilihan   yaitu menerima pelaku sebagai pasangan keluarga. Hal tersebut diperparah dengan stigma negatif dari masyarakat terhadap korban pemerkosaan. Akibatnya menerima pelaku pemerkosa merupakan satu-satunya pilihan yang seringkali ditempuh oleh korban dan keluarga.
Dalam situasi seperti ini, sebenarnya yang paling dirugikan adalah pihak perempuan. Perempuan yang harus menanggung beban dan dampak dari perkosaan, demikian juga jalan pernikahan yang seringkali diterima dengan keterpaksaan malah akan menjadi malapetaka terhadap anak. Oleh karena itu, menurut Psikolog Anna Surti Ariani (http://female.kompas.com, diakses pada 5 Januari 2013), keputusan untuk menikahkan terlebih lagi korban perkosaan dan pelakunya bukanlah pilihan yang tepat. Bahkan dalam kasus pernikahan yang terjadi karena hamil pranikah, Anna berpendapat pernikahanlah bukanlah satu-satunya solusi, terlebih lagi dalam kasus pemerkosaan. Padahal, pernikahan terpaksa ini dapat membuat anak jauh lebih depresi lagi.
Guna membedah masalah di atas, dalam paper ini akan digunakan perspektif gender. Istilah “gender” pertama kali dikembangkan oleh Ann Oakley pada tahun 1972 sebagai alat analisis ilmu-ilmu social. Sejak saat itu konsep gender menjadi konsep yang dianggap baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum (Narwoko dan Suyanto (ed.), 2007:333).
Konsep gender muncul sebagai pembeda dengan kata sex. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender merupakan perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astuti (2000) mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu ke waktu, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing (Fakih, 2006:8).
Dengan demikian, konsep gender adalah sebuah konstruksi sosial budaya yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir, namun gender dapat diusahakan. Jika saja determinasi kepentingan kelompok tertentu tidak dominan, maka relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan tidak akan terjadi berlangsung lama. Hal tersebut terjadi di seluruh kebudayaan masyarakat dunia. Ada kalanya kaum laki-laki yang mendominasi perempuan dan ada juga perempuan yang mendominasi laki-laki.

BAB II
PEMBAHASAN

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).
Sementara itu, menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).
Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari lakilaki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.
Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat. Perkosaan dinilai sebagai kejahatan dengan derajat kekejaman yang tinggi dan dinilai amat merendahkan harkat manusia. Sementara itu Susanto (dalam Prasetyo, 1997) menyatakan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita yang sangat serius dan mengakibatkan kerugian serta kecemasan dalam masyarakat.
Kekerasan seksual tidak hanya nampak dalam suatu tindakan nyata. Seperti yang diuraikan Komnas Perempuan poin 15, perlakuan diskriminasi terhadap perempuan yang beralaskan moralistas, agama dan adat pun bisa di kategorikan merupakan tindakan kekerasan.  Pada tahun 1990 seorang aktifis gender Jane Monning Atkinson, menuliskan buku yang mendeskripsikan sebuah desa sangat terpencil yaitu desa Wana di Sulawesi Tengah. Uraian Atkinson membongkar dinamika kehidupan seksual masyarakat Wana yang sangat memprihatinkan, dimana alasan untuk memiliki keturunan adalah supaya pasangannya tidak mati sia-sia bahkan ada kecenderungan bagi para duda di desa tersebut untuk menikah perempuan yang lebih muda, bahkan sangat jauh lebih muda. Disana duda lebih cenderung menikah lagi dari pada janda (1996:171).
Kekerasan seksual dapat berdampak yang cukup besar terhadap korbannya, perempuan. Dampak perkosaan bagi korban antara lain dampak sosial, dampak fisik dan dampak psikologis. Secara sosial, korban perkosaan dan keluarganya akan mendapat cibiran dari masyarakat. Dalam masyarakat perkosaan  dianggap suatu aib bagi korban dan keluarga.
Oleh karena itu, seringkali korban dan keluarga tidak berani untuk mengungkapkan kejadian perkosaan yang dialami oleh korban. Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan.
Persepsi masyarakat soal pemerkosaan dan stigma negatif terhadap korban pemerkusaan berakar pada asumsi yang keliru yang selalu menempatkan perempuan pada pihak yang bersalah. Ada asumsi yang menganggap bahwa perempuan korban perkosaan memang menggoda laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Asumsi ini turut berkontribusi pada pembentukan persepsi miring masyarakat terhadap perempuan korban pemerkosaan.
Selain dampak sosial, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma fisik. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.
Korban perkosaan juga berpotensi untuk mengalami guncangan psikologis. Korban bisa mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan.
Sebagai suatu kejahatan, perkosaan sebenarnya adalah suatu masalah yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Namun banyak kejadian perkosaan yang tidak terungkap ke publik atau tidak diselesaikan melalui jalur hukum. menurut data yang dilansir oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012 ada 4.336 kasus kekerasan seksual dari total 211.822 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di ranah publik, dengan 2.920 kasus. Bentuk kekerasan seksual yang terjadi adalah pencabulan dan perkosaan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan trafikking (403). Sebanyak 1.416 kasus kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal.
BerdasArkan jenis-jenis kekerasan seksual tersebut, perkosaan menempati peringkat tertinggi yang dialami oleh perempuan. Namun demikian tingginya angka kejadian perkosaan tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran korban atau keluarga untuk menyelesaikan secara hukum. Banyak keluarga korban yang menyelesaikan dengan cara menikahkan anaknya demi untuk menutupi aib keluarganya. Demikian juga pelaku, menempuh jalur damai dengan cara bersedia menikahi korbannya.
Hal tersebut terkait erat dengan stigma negatif yang akan dialami oleh salah satu mahasiswa UI bernama RW. Dalam kasus tersebut Sitok yang diadukan oleh RW telah melakukan kekerasan seksual akhirnya menyatakan keinginannya untuk berdamai dengan jalan bersedia menikahi korbannya, namun keinginan Sitok tersebut ditolak oleh RW dan keluarga. Kasus pernikahan yang berujung pada pernikahan yaitu terjadi pada seorang pria penderita tunarungu dan tunawicara ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerkosaan. Korbannya juga penderita tunarungu dan tunawicara berusia 17 tahun. Namun dalam kasus ini, pelaku tetap harus menjalani proses hukum. Karena pernikahan tersebut terjadi setelah pelaku telah dinyatakan bersalah dan sedang menjalani proses hukum.
Dari dua kasus tersebut, Menikahkan korban perkosaan dengan pelaku atau pemerkosa merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Dalam banyak kepercayaan agama, bahwa pernikahan merupakan lembaga suci. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun ddapat juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.
Dari pengertian-pengertian perkawinan tersebut, jelaslah bahwa perkawinan merupakan medium untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mencapai bahagia dan kekal tersebut perkawinan harus atas kesadaran dari lubuk hati dari yang paling dalam dari kedua belah pihak. Perempuan sebagai manusia yang seutuhnya memiliki pilihan untuk tidak bersedia dan bersedia untuk dinikahi atau dinikahkan. Perempuan sama halnya dengan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Dalam kasus pernikahan yang dilakukan sebagai jalan perdamaian bagi korban perkosaan sebenarnya telah mendistorsi kedudukan dan harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang bebas dalam menentukan pilihan-pilihannya. Demikian juga orang tua harus menyadari bahwa anak dalam keadaan apapun bukanlah objek dari keputusan yang diambil oleh orang tua. Bagi anak, orang tua memang memiliki hak untuk memberikan saran, nasihat dan masukan. Namun mengenai keputusan soal nasib anak apalagi dalam kasus pernikahan, anak haruslah ditempatkan pada pelaku utama. Pernikahan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa (pernikahan korban perkosaan dan pelaku) hanya akan melanjutkan mata rantai kekerasan kelak di dalam keluarga yang akan dibangun si anak.



BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.      Pada masyarakat yang menganut budaya patriarkhi, perempuan sangat rentan mendapat perlakuan kekerasan seksual dari laki-laki.
2.      Perkosaan merupakan tindakan yang tercela dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Pelaku pemerkosaan pantas mendapatkan hukuman yang berat.
3.      Keputusan untuk menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan merupakan keputusan yang tidak tepat, karena bagaimapun pernikahan harus dilaksanakan dengan kesiapan dan kesadaran kedua belah pihak. Orang tua dari anak korban kekerasan memiliki peran vital di dalam melindungi anak dari tekanan-tekanan dari luar.




REFERENSI


Astuti, Mary. Teknik Participatory Rural Appraisal Berdemensi  Gender. Jogyakarta, 200

Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Media Group. 2004.


Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, 1997.

Hayati, E. N. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000.

Jane Monnig Atkinson, “Quizzing the Sphinx Reflections on Mortality in Central Sulawesi”, Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Duke University Press 1996

Prasetyo dan Suparman Marzuki, ed. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.

Taslim, A. Bila Perkosaan Terjadi. Jakarta: Kalyanamitra, Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1995.

Tiwon, Sylvia. “Models and Maniacs: Articulating the Female in Indonesia”, dalam: Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Duke University Press 1996

Press Release Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar