see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Jumat, 07 Maret 2014

Menertawakan Indonesia Melihat Kolonialisme Indonesia dari Stand Up Komedi Arie Kriting




Menertawakan Indonesia
Melihat Kolonialisme Indonesia dari Stand Up Komedi Arie Kriting
Oleh: Anne Shakka Ariyani H.
NIM: 136322013





Latar Belakang
Sebelum tahun 2010-an komedi di Indonesia didominasi oleh komedi yang banyak mengetengahkan adegan-andegan slapstick untuk memancing tawa penonton, seperti adegan jatuh dari kursi dengan gaya Srimulat, grup komedi yang sangat legendaris di Indonesia itu. Lawakan saat itu juga banyak didominasi oleh lawakan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Dapat kita sebutkan ada banyak grup lawak seperti Warkop DKI yang sangat terkenal di era 80-an, Bagito, Patrio, Cagur, Serimulat, dan banyak yang lain.
Beberapa tahun terakhir ini ada tren baru dalam dunia perkomedian di Indonesia. Genre baru dari komedi ini adalah Stand Up Comedi (Stand Up). Stand Up adalah lawakan tunggal yang dibawakan oleh seorang comic dengan membawakan atau memotret fenomena-fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitar, dan membawakannya dengan monolog yang lucu.[1]
Salah satu yang membuat genre dari lawakan ini menjadi tren adalah dengan munculnya stand up di televisi, yaitu di Metro TV dengan acara Stand Up Comedy Show dan Kompas TV yang membuat kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) yang diadakan sejak tahun 2011. Saat ini SUCI sendiri sudah memasuki audisi season keempatnya.
Salah satu yang khas dari stand up adalah lawakannya yang cerdas dan banyak memotret fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat. Seperti Pandji Prangiwaksana yang pernah membahas mengenai bahaya merokok dan mengangkatnya dalam lawakan yang menghibur. Tidak sedikit yang pula comic yang mengangkat isu SARA yang ada dalam masyarakat, seperti Ernest Prakasa. Ernest adalah seorang comic keturunan Cina dan ia banyak mengangkat mengenai stereotipe mengenai orang-orang Cina dan pengalaman kecinaan yang dia alami.
Tulisan ini akan melihat bit-bit—bahan lawakan—yang dibawakan oleh seorang comic bernama Arie Satriadin atau yang dikenal dengan nama Arie Kriting. Arie adalah seorang comic yang naik daun melalui kompetisi SUCI season 3. Ia mendapatkan juara ketiga dalam kompetisi tersebut. Arie sendiri berasal dari Wakatobi dan berkuliah di ITN, Malang.[2] Arie banyak mengangkat mengenai tipikalisasi yang melekat atau dilekatkan pada orang-orang Indonesia Timur. Selain itu ia juga mengangkat permasalahan ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian di daerah Indonesia Timur. Saya akan melihat bahan-bahan stand up dari Arie Kriting tersebut dari kacamata pascakolonial. Materi yang akan saya gunakan adalah materi stand up dari Arie yang saya dapatkan dari youtube. Selain itu saya juga akan melihat ketimpangan pembangunan perekonomian di Indonesia dan marginalisasi yang dilakukan oleh pusat kepada daerah, terutama daerah Indonesia bagian timur.
http://assets.kompas.com/data/photo/2013/04/01/2019416-ari-keriting-620X310.jpg


Dari Barat Memandang Timur
Ketika kita melihat wacana kolonial yang banyak diwacanakan dalam dunia saat ini, kita akan selalu melihat bahwa Barat atau Eropa selalu dianggap lebih maju dari pada kita-kita ini yang berada di daerah Timur atau Asia. Pandangan global ini ternyata juga dibawa ke Indonesia. Indonesia bagian Timur sampai saat ini selalu dianggap sebagai daerah yang lebih terbelakang dari saudara-saudaranya di bagian Barat. Indonesia bagian timur sendiri simengerti sebagai suatu wilayah geo-ekologis yang terletak di sebelah timur “garis Wallace” yang meliputi kepulauan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua[3]. Sampai sekarang ini, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti berpikiran bahwa daerah Indonesia bagian timur itu lebih primitif, miskin, minim fasilitas, orang-orangnya juga lebih tidak berpendidikan. Hal-hal inilah yang banyak diangkat oleh Arie Kriting dalam bit-bit atau materi stand up-nya.

"Jadi, suatu saat, temanku ngajak berwisata, wisata ke jalan baru. Aku pikir, ada tempat wisata yang bernama Jalan Baru. Ternyata, Jalan Baru itu ya jalan baru, jalan yang tadinya tanah, terus diaspal, jadilah jalan baru. Di sana, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak berwisata semua. Ini wisata apa? Apa mungkin karena pembangunan jarang-jarang di Indonesia Timur, jadi orang wisata ke jalan baru. Bisa dibayangin, kalau besok ada selokan baru, orang-orang wisata di selokan. Jarang lihat yang namanya pembangunan ya. (Youtube, SUCI 3)

Permasalahan mengenai ketertinggalan Indonesia bagian timur dari barat adalah persoalan klasik dari Indonesia. Sejak zaman kemerdekaan sampai Orde Baru, tidak banyak perubahan yang terjadi di Indonesia. Pada era kolonial, sejarah telah mencatat bahwa kepulauan Maluku merupakan salah satu jaringan penting dalam perdagangan rempah internasional, yaitu sejak kedatangan Portugis dan Spanyol pada awal abad ke-16. Pada abad berikutnya, Belanda masuk ke Indonesia dan melakukan monopoli perdagangan, yang kemudian terjadi mata rantai eksploitasi center periphery yang menempatkan daerah Indonesia timur dalam posisi yang bergantung dan terbelakang.[4] Dalam perkembangan, ketika hasil ekspor didominasi oleh hasil-hasil perkebunan, maka bergeserlah kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia lainnya. Banyaknya perkebunan yang ada di wilayah Jawa dan pusat pemerintahan yang terletak di Batavia membuat semakin timpangnya pembangunan infrastruktur yang melestarikan kesenjangan di antara kedua wilayah tersebut.[5]
Hal yang masih tidak berubah ketika memasuki masa Orde Baru, bahkan sampai sekarang ini. Fasilitas mulai dari infrastruktur, listrik, sampai pada fasilitas pendidikan dan kesehatan masih merupakan sesuatu yang sangat minim di Indonesia bagian timur.
Setelah ikut stand up comedy ini keluarga saya jadi lebih perhatian. Kemarin ini saya punya Om telepon dari sana. “Anak, kau kirim ini dulu, rekaman kau stand up comedy.”
“Ok Om, saya kirim bagaimana ini?”
“Kau kirim lewat pos.”
“Lebih baik Om lihat lewat youtube.”
“Jangan, Anak. Lebih baik lewat pos.”
“Kenapa Om?”
“Kalau lewat pos, tiga hari sudah sampai, kita sudah bisa tonton. Kalau lewat youtube, itu bufferingnya bisa satu minggu. Belum lagi kita tunggu sudah buffering sudah empat hari tiba-tiba mati lampu.”
(Youtube, Grand Final SUCI 3)

Orang sekolah sekarang itu tambah aneh-aneh ya. Tiba-tiba di kota-kota besar itu ada yang bikin sekolah, sekolah alam. Saya perhatikan sekolah alam konsepnya apa, sekolah di hutan-hutan. Omong kosong! Bukanya apa-apa, kalian di kota itu tidak bersyukur. Sudah sukur-sukur dapat gedung malah sekolah di hutan lagi. Hei saya kasih tahu, di Indonesia Timur itu banyak yang sekolah di hutan karena tidak bisa dapat gedung. Coba bersyukur. Kalau memang kau mau sekolah di hutan tidak usah kau bikin sekolah alam itu. Lebih bagus kita tukaran aja kan? Kita datang di kota sekolah di gedung, kamu yang mau sekolah di alam datang saja ke Indonesia Timur. Sekolah dengan kasuari-kasuari sekalian sana. (Youtube, Tour SUCI 3, Solo)

Selain kurangnya fasilitas yang ada di Indonesia timur, Arie juga menyoroti akan adanya ketimpangan perlakuan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain tidak meratanya pembangunan yang terjadi di Indonesia timur dibandingkan yang lain, adanya perusahaan asing yang menguasai sumber alam juga menjadi salah satu hal yang diangkat Arie.
Saya ini asli Wakatobi. Wakatobi itu tempat yang sangat indah, pantainya luar biasa bagus. Dan dia jadi destinasi wisata. Saya tetap salahkan pemerintah, masa setelah bertahun-tahun tidak bisa bangun 1 MCK umum di tempat saya. (Youtube, Tour SUCI 3 Semarang)

Kalau di Indonesia Timur itu tidak butuh super hero. Nggak butuh. Karena masalah di sana apa sih yang butuh super hero. Masa pencurian kelapa butuh super hero. Nggak mungkin kan. Kalau musuhnya superhero itu pasti ingin menguasai sesuatu. Menguasai dunia, atau menguasai negara. Kalau di Indonesia Timur apa yang mau dikuasai? Tambang? Tembaga? Emas? Sudah dikuasai negara asing semua. Jangankan penjahat, masyarakat sekitar saja tidak kebagian. (Youtube, SUCI 3)

Contoh paling nyata dari permasalahan yang diangkat Arie di atas adalah Freeport. Pertambangan emas milik Amerika ini dianggap sudah sangat banyak merugikan masyarakat asli di Timika, Papua. Freeport menggali dan merusak gunung yang dianggap sakral oleh penduduk asli, selain itu mereka juga membuang limbah pertambangan dengan mengalirkannya ke sungai-sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat yang tinggal di sana. Bahkan sampai sekrang konfilk antara Freeport dan penduduk asli masih terjadi dengan banyaknya penembakan yang terjadi di areal jalan tambang PT. Freeport.[6]
Kondisi oposisi biner antara Indonesia barat dan timur ini kemudian menjadi sesuatu yang semakin menetap. Ditambah lagi pemerintah tampat tidak berhasil membuat banyak perubahan setelah 68 tahun Indonesia merdeka. Adanya pandangan khas kolonialis juga menjadi suatu hal yang mau tidak mau menjangkiti orang-orang Indonesia kepada Indonesia bagian timur. Seperti adanya pandangan bahwa Indonesia barat lebih maju dan lebih modern sedangkan Indonesia bagian timur masih belum maju dan belum modern sehingga suatu saat nanti akan menjadi lebih modern atau lebih barat.
Kita pergi ke pasar barang antik Triwindu. Tapi pas saya masuk, saya lihat barang-barangnya. Pasar antik? Saja jalan, saya lihat ada radio. “Pak ini radionya? Barang antik? Antiknya di mana Pak?”
“Oh, ini masih pakai batre.” Tempat saya juga kaya gitu.
Lalu saya jalan lagi, saya lihat lagi ada setrikaan. Pakai ayam-ayaman.
“Pak ini setrikaan? Barang antik? Antiknya dari mana?”
“Oh ini masih pakai bara api.”
Lah di tempat saya juga kaya gitu. Itu kaya pulang ke kampung halaman masuk ke dalam pasar. Barangnya itu masih barang-barang baru kalau di tempat saya itu. Di sana masih pakai bara api kalau setrika. Setrika, lalu dikipas-kipas sebentar. Masih pakai yang begitu. Ada memang yang pakai setrika listrik, tapi kan tidak ada listrik di sana. Terus pakainya bagaimana? Ya sama aja pakai bara api, bikin bara api, kasi panas setrikanya. Sama saja bohong ya. (Youtube, Tour SUCI 3 Solo)

Ketiadaan fasilitas seperti yang diungkapkan di atas memang kenyataan sehari-hari yang harus dihadapi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Seperti masalah listrik, hal itu tidak saja menjadi monopoli masalah daerah bagian timur saja, di Jawa sendiri masih ada daerah yang baru mendapatkan listrik di tahun 2000an. Ketimpangan dan ketidakmerataan ini menjadi semakin jelas terlihat jika diperbandingkan dengan kehidupan di kota-kota besar di Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti air dan listrik dapat diakses hanya dengan menekan satu tombol, sedangkan di banyak tempat, untuk mendapatkan air bersih saja seseorang harus berjalan berkilo-kilo meter. Listrik pun sangat terbatas dan hanya menyala pada jam-jam tertentu saja, di beberapa tempat bahkan tidak ada sama sekali.
Selain itu adanya stereotipe dan perbedaan ras membuat garis batas antara Indonesia bagian timur semakin terasa berbeda dengan orang-orang di Indonesia barat yang didominasi etnis melayu. Adanya pandangan stereotipik yang memandang orang Indonesia bagian timur itu lebih terbelakang dan senang dengan kekerasan juga menjadi salah satu hal yang menjadi sorotan oleh Arie Kriting.
Kadang orang timur itu suka dipandang beda. Saya tidak tau kalau di Bali. Kalau di tempat lain orang timur itu pasti dianggap tukang rusuh, keras, buas, membuat semua orang menjadi gempar. Dan di acara-acara televisi juga begitu. Jujur saya agak sakit hati dengan siaran-siaran televisi ci Indonesia, sejak zaman dahulu kala! Indonesia Timur ini fakta, orang-orang pasti berpikir kalau Indonesia timur itu tempat paling ketinggalan. Makin ke sini makin aneh beritanya. Beritanya pasti tentang kekerasan. Kalau tentang yang lain tidak pernah, pasti tentang kekerasan. Baku pukul, baku pukul baku pukul. Iya to? Itu bikin orang jadi khawatir.
Saya itu sering ditanya sama temannya saya, “Arie, Indonesia timur itu rusuh sekali kah?”
Saya bilang, “tidak bro, santai saja, di sana itu aman.”
Besoknya dia tanya lagi, “Bro, saya barusan nonton berita, itu pada berkelahi, banyak yang mati. Di sana itu rusuh sekali kah?”
“Tidak, bro. Aman saja.”
Besoknya tanya lagi, “Bro, di sana itu rusuh ya?” Karena saya jengkel, saya jawab, “Iya Bro, di sana itu rusuh. Di sana itu rusuh sekali. Kalau kau datang di sana itu, kau tanya alamat sama orang lain,itu tidak akan di jawab. Tanya apa, tanya apa?” (Arie menampilkan gerakan memukul dan menendang). Jangan berprasangka buruk. Ke sana saja dulu, nanti sampai sana baru tanya alamat…” (Youtube, Tour SUCI 3 Bali)

Pengalaman mendapatkan perilaku rasis dan berdasarkan stereotipe di atas membuat saya teringat dengan pengalaman dari Franz Fanon. Pengalamannya saat berjumpa dengan orang-orang kulit putih yang selalu memperlakukannya secara berbeda dan berdasarkan stereotipe yang ada saat itu. Dipandang sebagai seorang yang kasar dan bodoh. Bahkan ada anak-anak yang menangis ketakutan ketika melihatnya.[7]
Homi K. Bhabha juga menyatakan bahwa salah satu wacana kolonial yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan kolonial yang ada adalah dengan melanggengkan suatu konsep yang yang meliyankan suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini adalah kelompok rasial. Stereotipe yang ada membuat pihak yang diliyankan itu akan selalu menjadi berbeda dari yang mengkoloni, tetap berada di tempatnya, dan stereotipe itu akan digunakan terus menerus.[8]
Di Indonesia orang timur dipandang sebagai orang yang identik dengan kekerasan. Adanya jargon “pukul dulu baru bicara” seakan memperkuat stereotipe tersebut. Stereotipe itu juga diperkuat dengan adanya kejadian-kejadian yang seakan membenarkan pandangan akan orang timur yang senang dengan kekerasan. Di Jogja sendiri belum lama ini terjadi pertikaian antara pihak militer dengan orang dari Indonesia timur yang dianggap sebagai preman. Pandangan dan stereotipe yang kita terima begitu saja seakan memang seperti itu adanya. Kita tidak mempertimbangkan dari kacamata apa kita melihat, dalam budaya dan kebiasaan apa kita berasal, dan bagaimana mereka sebenarnya dalam adat dan kebudayaan mereka sehari-hari. Seperti kata Arie di atas, “Jangan berprasangka buruk. Ke sana saja dulu…”
Selain rasisme yang dialami oleh orang Indonesia timur, mereka juga mendapatkan perlakuan yang tidak berpihak dari pemerintah Indonesia sendiri. Sudah banyak diketahui kalau Indonesia memiliki kecenderungan yang jawasentris bahkan jakartasentris. Kecenderungan ini membuat orang-orang dari wilayah di luar Jawa sering tidak terepresentasikan. Hal ini juga diperkuat dengan media yang tidak banyak menampilkan orang dari Indonesia timur dalam tayangan-tayangannya. Tidak hanya dari sisi berita yang sering hanya memberitakan  kekerasan yang terjadi di Indonesia Timur, tetapi juga dalam acara lain seperti sinetron atau film yang ada di Indonesia. Sangat jarang sekali kita melihat adanya orang dari Indonesia timur yang berperan di dalamnya, jikalau ada biasanya menjadi tokoh penjahat atau malah menegaskan stereotipe negatif yang memang sudah menempel pada mereka.
Malam ini kita membicarakan tentang Raden Ajeng Kartini. Sebenarnya saya masih bingung tentang raden ajeng kartini, mengapa dia diposisikan sebagai puteri Indonesia. Hanya satu. Kalau misalnya Raden Ajeng Kartini puteri Indonesia, terus Cut Nyak Dien dan Kristina Marta Tiahahu puterinya siapa coba? Bukanya apa-apa sih, kalau misalnya putri-putrian. Kita kan Indonesia, bhineka tunggal ika. Seharusnya jangan hanya satu. Harusnya Raden ajeng Kartini putri Indonesia, Cut Nyak Dien juga. Kristina Marta Tiahahu juga. Biar jadi satu kan. Kalau perlu setiap propinsi punya masing-masing, jadi ada 33. Kalau semua diperingati kan ada tambahan 33 hari libur lagi kan asik. (Youtube, SUCI 3)

Budaya juga suka rasis sama orang timur. Di sini ada yang tau budaya wayang orang. Saya berpikir rasis seperti apa yang menciptakan budaya wayang orang. Coba kalian perhatikan budaya wayang orang. Itu ceritanya pasti Ramayana, Mahabaratha dan sebagainya. Itu pasti personilnya cakep-cakep. Pandawa lima itu kan, boyband pertama di muka bumi. Berlima cakep-cakep semua. Giliran musuhnya. Coba perhatikan musuhnya. Musuhnya itu pasti personilnya itu, hitam, besar, mata menyala, rambut keriting, tukang mabuk, tukang pukul perempuan. Ini pasti orang timur ini. Dan lagi mereka itu pasti pakai plesetan itu. Kan namanya penjahatnya itu siapa? Buto. Ini saya curiga ini pasti plesetan aja ini. Ini aslinya pasti “beta” ini. (Youtube, Tour SUCI 3 Bali)

Keberadaan Raden Ajeng Kartini sebagai putri Indonesia sekali lagi menegaskan adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Kartini yang memang sengaja diwacanakan sebagai sosok ibu ideal dan dianggap merepresentasikan sosok wanita Indonesia sesungguhnya malah menimbulkan adanya banyak pertanyaan. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri terdiri dari banyak latar belakang budaya, dan sosok wanita ideal di dalamnya pastilah juga beragam sesuai dengan budayanya masing-masing. Dari materi mengenai Kartini di atas Arie sempat menambahkan bahwa bagaimana kalau Kristina Martha Tiahahu itu juga ingin direpresentasikan sebagai putri Indonesia dan ia menyesal sudah mengangkat senjata dan ingin menulis surat saja seperti Kartini.
Apa yang dikatakan oleh Arie ini memang tidak semuanya adalah kenyataan yang ada di Indonesia timur. Selalu ada unsur hiperbola yang ditambahkannya untuk memancing tawa penonton. Tentu saja karena ini memang dalam rangka melakukan stand up comedy yang bertujuan untuk menghibur. Tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa adanya olok-olok dan gugatan kepada pemerintah dan kepada orang-orang di Indonesia di bagian barat terutama tentang perlakuan mereka yang dianggap tidak adil kepada masyarakat di Indonesia bagian timur.
Arie di sini tidak berusaha untuk menjadi orang-orang dari kota, ia yang pada dasarnya sudah menjadi orang Indonesia dan tidak lagi perlu untuk melakukan mimikri dengan kaum yang dianggap sudah menjajahnya. Di sisi lain Arie juga merasa sebagai orang Indonesia dia juga sudah mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Apa lagi dia sebagai seorang mahasiswa yang merasakan kuliah dan fasilitas yang ada di Jawa. Tentu Arie sangat menyadari dan merasakan sendiri ketimpangan fasilitas yang ada di Jawa dan di daerahnya. Dalam melihat ketimpangan ini Arie lebih memilih untuk melakukan mockery, suatu olok-olok dan gugatan langsung yang dikemasnya dalam candaan dan menertawakannya bersama dengan para penonton.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Angela McRobbie, acara televisi Father Ted dan Goodes Gracious Me adalah suatu cara untuk menggunakan stereotipe yang ada untuk menggugat dan menyadarkan pandangan masyarakat selama ini. Bukan dengan menyangkal atau menentangnya, melainkan dengan menggunakannya bahkan secara berlebihan untuk ditertawakan, untuk menyadarkan bahwa apa yang dipikirkan itu hanyalah sekadar stereotipe.
Di Amerika, stand up comedy sudah sejak lama menjadi sarana untuk melakukan kritik sosial. Beberapa comic seperti Redd Foxx dan Dick Gregory, Melalui materi stand up-nya mereka mengungkapkan banyak hal mengenai rasisme dan perbudakan yang kala itu masih marak ada di Amerika. Mereka mengajarkan kita, sambil tertawa, tetapi kita juga menjadi berpikir bahwa ada yang salah dengan tatanan di dalam masyarakat. Mereka mengungkapkan hal-hal tabu yang terkadang lebih senang disembunyikan dan mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat satir yang mengundang tawa.[9] Dan Amerika berhasil sembuh dari luka akan perbudakan dan rasisme itu dengan menertawakannya. Mungkin Indonesia juga bisa suatu saat nanti.

Penutup
Banyak cara yang bisa kita gunakan untuk melihat dan mengungkapkan fenomena sosial di sekitar kita. Di sini, Arie Kriting melalui stand up comedy yang dilakukannya mengajak kita untuk melihat dan menertawakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi antara pusat dengan daerah, terutama di Indonesia bagian timur. Saat kita yang di Jawa ini sudah bisa mengakses internet setiap detik, mereka yang di Indonesia timur masih harus berkutat dengan setrika yang menggunakan arang. Saat kita yang di kota ini sudah mulai merasa terpisah dari alam dan membangun sekolah alam, mereka yang di Indonesia timur masih tidak bisa merasakan gedung dan fasilitas pendidikan yang layak. Stereotipe-setereotipe yang ada juga tidak seharusnya kita terima begitu saja seakan-akan memang sudah dari sononya. Kita memang harus lebih banyak bertanya, apakah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu memang sudah terjadi. Apakah bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memang sudah digunakan semaksimal mungkin untuk kemakmuran rakyat. Atau malah seperti yang terjadi saat ini, rakyat yang memiliki sumber kekayaan alam itu malah menjadi korban yang paling menderita dan keuntungannya masuk ke pemerintah pusat, bahkan pada perusahaan-perusahaan asing. Rakyat hanya mendapatkan sisa limbah, alam yang rusak, dan penyakitnya saja.
Banyak cara untuk mempertanyakan Indonesia. Salah satunya ya seperti yang dilakukan Arie dan para pelaku stand up lainnya, dengan Menertawakan Indonesia. Mungkin dengan lebih banyak tertawa kita tidak akan terlalu sakit untuk menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia masih terjajah. Terjajah oleh pemerintahanya sendiri.




Daftar Pustaka

Bhabha, Homi K., “The Other Question: Stereotype, discrimination and the discourse of colonialism” dan “Of mimicry and man: The ambivalence of colonial discourse”, The Location of Culture, Routledge: London, 1994, hlm. 66-92

Fanon, Frantz. 2008, Black Skin, White Mask. USA: Grove Press, 2008

McRobbie, Angela, “Look Back in Anger: Homi Bhabha’s Resistant Subject of Colonial Agency”, The Uses of Cultural Studies, Sage Publications: London dll, 2005, hlm. 97-210

E-book:

Prangiwaksana, Pandji, Merdeka dalam Bercanda












[1] E-book, Merdeka dalam Bercanda, Pandji Prangiwaksana
[3] Moeljarto Tjokrowinoto, 2007, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, hlm. 143
[4] Bid. hlm 148
[5] Ibid
[6] Kompas.com, Penembakan Tak Terungkap, Komnas HAM akan Minta Rekaman CCTV Freeport, (9 Januari 2014)
[7] Lihat Franz Fanon, Black Skin, White Masks
[8] Homi K. Bhabha, The Other Question, hlm. 66
[9] Pandji, Merdeka dalam Bercanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar