Menertawakan Indonesia
Melihat Kolonialisme Indonesia dari Stand Up Komedi Arie
Kriting
Oleh: Anne Shakka Ariyani H.
NIM: 136322013
Latar Belakang
Sebelum tahun 2010-an komedi di
Indonesia didominasi oleh komedi yang banyak mengetengahkan adegan-andegan slapstick untuk memancing tawa penonton,
seperti adegan jatuh dari kursi dengan gaya Srimulat, grup komedi yang sangat
legendaris di Indonesia itu. Lawakan saat itu juga banyak didominasi oleh
lawakan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Dapat kita sebutkan ada banyak
grup lawak seperti Warkop DKI yang sangat terkenal di era 80-an, Bagito,
Patrio, Cagur, Serimulat, dan banyak yang lain.
Beberapa tahun terakhir ini ada
tren baru dalam dunia perkomedian di Indonesia. Genre baru dari komedi ini
adalah Stand Up Comedi (Stand Up).
Stand Up adalah lawakan tunggal yang dibawakan oleh seorang comic dengan membawakan atau memotret
fenomena-fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitar, dan membawakannya
dengan monolog yang lucu.[1]
Salah satu yang membuat genre dari
lawakan ini menjadi tren adalah dengan munculnya stand up di televisi, yaitu di
Metro TV dengan acara Stand Up Comedy Show dan Kompas TV yang membuat kompetisi
Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) yang diadakan sejak tahun 2011. Saat ini SUCI
sendiri sudah memasuki audisi season keempatnya.
Salah satu yang khas dari stand up
adalah lawakannya yang cerdas dan banyak memotret fenomena sosial yang ada di
dalam masyarakat. Seperti Pandji Prangiwaksana yang pernah membahas mengenai
bahaya merokok dan mengangkatnya dalam lawakan yang menghibur. Tidak sedikit
yang pula comic yang mengangkat isu SARA yang ada dalam masyarakat, seperti
Ernest Prakasa. Ernest adalah seorang comic keturunan Cina dan ia banyak
mengangkat mengenai stereotipe mengenai orang-orang Cina dan pengalaman
kecinaan yang dia alami.
Tulisan ini akan melihat
bit-bit—bahan lawakan—yang dibawakan oleh seorang comic bernama Arie Satriadin
atau yang dikenal dengan nama Arie Kriting. Arie adalah seorang comic yang naik
daun melalui kompetisi SUCI season 3. Ia mendapatkan juara ketiga dalam
kompetisi tersebut. Arie sendiri berasal dari Wakatobi dan berkuliah di ITN,
Malang.[2]
Arie banyak mengangkat mengenai tipikalisasi yang melekat atau dilekatkan pada
orang-orang Indonesia Timur. Selain itu ia juga mengangkat permasalahan
ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian di daerah Indonesia Timur. Saya
akan melihat bahan-bahan stand up dari Arie Kriting tersebut dari kacamata
pascakolonial. Materi yang akan saya gunakan adalah materi stand up dari Arie
yang saya dapatkan dari youtube. Selain itu saya juga akan melihat ketimpangan
pembangunan perekonomian di Indonesia dan marginalisasi yang dilakukan oleh
pusat kepada daerah, terutama daerah Indonesia bagian timur.
http://assets.kompas.com/data/photo/2013/04/01/2019416-ari-keriting-620X310.jpg |
Dari Barat Memandang
Timur
Ketika kita melihat wacana
kolonial yang banyak diwacanakan dalam dunia saat ini, kita akan selalu melihat
bahwa Barat atau Eropa selalu dianggap lebih maju dari pada kita-kita ini yang
berada di daerah Timur atau Asia. Pandangan global ini ternyata juga dibawa ke
Indonesia. Indonesia bagian Timur sampai saat ini selalu dianggap sebagai
daerah yang lebih terbelakang dari saudara-saudaranya di bagian Barat. Indonesia
bagian timur sendiri simengerti sebagai suatu wilayah geo-ekologis yang
terletak di sebelah timur “garis Wallace” yang meliputi kepulauan Sulawesi,
Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua[3].
Sampai sekarang ini, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti berpikiran bahwa
daerah Indonesia bagian timur itu lebih primitif, miskin, minim fasilitas, orang-orangnya
juga lebih tidak berpendidikan. Hal-hal inilah yang banyak diangkat oleh Arie
Kriting dalam bit-bit atau materi stand up-nya.
"Jadi,
suatu saat, temanku ngajak berwisata, wisata ke jalan baru. Aku pikir,
ada tempat wisata yang bernama Jalan Baru. Ternyata, Jalan Baru itu ya jalan
baru, jalan yang tadinya tanah, terus diaspal, jadilah jalan baru. Di sana,
bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak berwisata semua. Ini wisata apa? Apa mungkin
karena pembangunan jarang-jarang di Indonesia Timur, jadi orang wisata ke jalan
baru. Bisa dibayangin, kalau besok ada selokan baru, orang-orang wisata
di selokan. Jarang lihat yang namanya pembangunan ya. (Youtube, SUCI 3)
Permasalahan mengenai
ketertinggalan Indonesia bagian timur dari barat adalah persoalan klasik dari
Indonesia. Sejak zaman kemerdekaan sampai Orde Baru, tidak banyak perubahan
yang terjadi di Indonesia. Pada era kolonial, sejarah telah mencatat bahwa
kepulauan Maluku merupakan salah satu jaringan penting dalam perdagangan rempah
internasional, yaitu sejak kedatangan Portugis dan Spanyol pada awal abad
ke-16. Pada abad berikutnya, Belanda masuk ke Indonesia dan melakukan monopoli
perdagangan, yang kemudian terjadi mata rantai eksploitasi center periphery yang menempatkan daerah Indonesia timur dalam posisi
yang bergantung dan terbelakang.[4]
Dalam perkembangan, ketika hasil ekspor didominasi oleh hasil-hasil perkebunan,
maka bergeserlah kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia lainnya. Banyaknya
perkebunan yang ada di wilayah Jawa dan pusat pemerintahan yang terletak di
Batavia membuat semakin timpangnya pembangunan infrastruktur yang melestarikan
kesenjangan di antara kedua wilayah tersebut.[5]
Hal yang masih tidak berubah
ketika memasuki masa Orde Baru, bahkan sampai sekarang ini. Fasilitas mulai
dari infrastruktur, listrik, sampai pada fasilitas pendidikan dan kesehatan
masih merupakan sesuatu yang sangat minim di Indonesia bagian timur.
Setelah
ikut stand up comedy ini keluarga saya jadi lebih perhatian. Kemarin ini saya
punya Om telepon dari sana. “Anak, kau kirim ini dulu, rekaman kau stand up
comedy.”
“Ok Om, saya
kirim bagaimana ini?”
“Kau kirim
lewat pos.”
“Lebih baik
Om lihat lewat youtube.”
“Jangan,
Anak. Lebih baik lewat pos.”
“Kenapa
Om?”
“Kalau
lewat pos, tiga hari sudah sampai, kita sudah bisa tonton. Kalau lewat youtube,
itu bufferingnya bisa satu minggu. Belum lagi kita tunggu sudah buffering sudah
empat hari tiba-tiba mati lampu.”
(Youtube,
Grand Final SUCI 3)
Orang
sekolah sekarang itu tambah aneh-aneh ya. Tiba-tiba di kota-kota besar itu ada
yang bikin sekolah, sekolah alam. Saya perhatikan sekolah alam konsepnya apa,
sekolah di hutan-hutan. Omong kosong! Bukanya apa-apa, kalian di kota itu tidak
bersyukur. Sudah sukur-sukur dapat gedung malah sekolah di hutan lagi. Hei saya
kasih tahu, di Indonesia Timur itu banyak yang sekolah di hutan karena tidak
bisa dapat gedung. Coba bersyukur. Kalau memang kau mau sekolah di hutan tidak
usah kau bikin sekolah alam itu. Lebih bagus kita tukaran aja kan? Kita datang
di kota sekolah di gedung, kamu yang mau sekolah di alam datang saja ke
Indonesia Timur. Sekolah dengan kasuari-kasuari sekalian sana. (Youtube, Tour
SUCI 3, Solo)
Selain kurangnya fasilitas yang
ada di Indonesia timur, Arie juga menyoroti akan adanya ketimpangan perlakuan
yang dilakukan oleh pemerintah. Selain tidak meratanya pembangunan yang terjadi
di Indonesia timur dibandingkan yang lain, adanya perusahaan asing yang
menguasai sumber alam juga menjadi salah satu hal yang diangkat Arie.
Saya ini asli Wakatobi. Wakatobi
itu tempat yang sangat indah, pantainya luar biasa bagus. Dan dia jadi
destinasi wisata. Saya tetap salahkan pemerintah, masa setelah bertahun-tahun
tidak bisa bangun 1 MCK umum di tempat saya. (Youtube, Tour SUCI 3 Semarang)
Kalau di Indonesia Timur itu tidak
butuh super hero. Nggak butuh. Karena masalah di sana apa sih yang butuh super
hero. Masa pencurian kelapa butuh super hero. Nggak mungkin kan. Kalau musuhnya
superhero itu pasti ingin menguasai sesuatu. Menguasai dunia, atau menguasai
negara. Kalau di Indonesia Timur apa yang mau dikuasai? Tambang? Tembaga? Emas?
Sudah dikuasai negara asing semua. Jangankan penjahat, masyarakat sekitar saja
tidak kebagian. (Youtube, SUCI 3)
Contoh paling nyata dari
permasalahan yang diangkat Arie di atas adalah Freeport. Pertambangan emas
milik Amerika ini dianggap sudah sangat banyak merugikan masyarakat asli di
Timika, Papua. Freeport menggali dan merusak gunung yang dianggap sakral oleh
penduduk asli, selain itu mereka juga membuang limbah pertambangan dengan
mengalirkannya ke sungai-sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat yang
tinggal di sana. Bahkan sampai sekrang konfilk antara Freeport dan penduduk
asli masih terjadi dengan banyaknya penembakan yang terjadi di areal jalan
tambang PT. Freeport.[6]
Kondisi oposisi biner antara
Indonesia barat dan timur ini kemudian menjadi sesuatu yang semakin menetap.
Ditambah lagi pemerintah tampat tidak berhasil membuat banyak perubahan setelah
68 tahun Indonesia merdeka. Adanya pandangan khas kolonialis juga menjadi suatu
hal yang mau tidak mau menjangkiti orang-orang Indonesia kepada Indonesia
bagian timur. Seperti adanya pandangan bahwa Indonesia barat lebih maju dan
lebih modern sedangkan Indonesia bagian timur masih belum maju dan belum modern
sehingga suatu saat nanti akan menjadi lebih modern atau lebih barat.
Kita pergi
ke pasar barang antik Triwindu. Tapi pas saya masuk, saya lihat
barang-barangnya. Pasar antik? Saja jalan, saya lihat ada radio. “Pak ini
radionya? Barang antik? Antiknya di mana Pak?”
“Oh, ini
masih pakai batre.” Tempat saya juga kaya gitu.
Lalu saya
jalan lagi, saya lihat lagi ada setrikaan. Pakai ayam-ayaman.
“Pak ini
setrikaan? Barang antik? Antiknya dari mana?”
“Oh ini
masih pakai bara api.”
Lah di
tempat saya juga kaya gitu. Itu kaya pulang ke kampung halaman masuk ke dalam
pasar. Barangnya itu masih barang-barang baru kalau di tempat saya itu. Di sana
masih pakai bara api kalau setrika. Setrika, lalu dikipas-kipas sebentar. Masih
pakai yang begitu. Ada memang yang pakai setrika listrik, tapi kan tidak ada
listrik di sana. Terus pakainya bagaimana? Ya sama aja pakai bara api, bikin
bara api, kasi panas setrikanya. Sama saja bohong ya. (Youtube, Tour SUCI 3
Solo)
Ketiadaan fasilitas seperti yang
diungkapkan di atas memang kenyataan sehari-hari yang harus dihadapi sebagian
besar masyarakat di Indonesia. Seperti masalah listrik, hal itu tidak saja
menjadi monopoli masalah daerah bagian timur saja, di Jawa sendiri masih ada
daerah yang baru mendapatkan listrik di tahun 2000an. Ketimpangan dan
ketidakmerataan ini menjadi semakin jelas terlihat jika diperbandingkan dengan
kehidupan di kota-kota besar di Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti
air dan listrik dapat diakses hanya dengan menekan satu tombol, sedangkan di
banyak tempat, untuk mendapatkan air bersih saja seseorang harus berjalan
berkilo-kilo meter. Listrik pun sangat terbatas dan hanya menyala pada jam-jam
tertentu saja, di beberapa tempat bahkan tidak ada sama sekali.
Selain itu adanya stereotipe dan
perbedaan ras membuat garis batas antara Indonesia bagian timur semakin terasa
berbeda dengan orang-orang di Indonesia barat yang didominasi etnis melayu.
Adanya pandangan stereotipik yang memandang orang Indonesia bagian timur itu
lebih terbelakang dan senang dengan kekerasan juga menjadi salah satu hal yang
menjadi sorotan oleh Arie Kriting.
Kadang orang timur itu suka
dipandang beda. Saya tidak tau kalau di Bali. Kalau di tempat lain orang timur
itu pasti dianggap tukang rusuh, keras, buas, membuat semua orang menjadi
gempar. Dan di acara-acara televisi juga begitu. Jujur saya agak sakit hati
dengan siaran-siaran televisi ci Indonesia, sejak zaman dahulu kala! Indonesia
Timur ini fakta, orang-orang pasti berpikir kalau Indonesia timur itu tempat
paling ketinggalan. Makin ke sini makin aneh beritanya. Beritanya pasti tentang
kekerasan. Kalau tentang yang lain tidak pernah, pasti tentang kekerasan. Baku
pukul, baku pukul baku pukul. Iya to? Itu bikin orang jadi khawatir.
Saya itu sering ditanya sama
temannya saya, “Arie, Indonesia timur itu rusuh sekali kah?”
Saya bilang, “tidak bro, santai
saja, di sana itu aman.”
Besoknya dia tanya lagi, “Bro, saya
barusan nonton berita, itu pada berkelahi, banyak yang mati. Di sana itu rusuh
sekali kah?”
“Tidak, bro. Aman saja.”
Besoknya tanya lagi, “Bro, di sana
itu rusuh ya?” Karena saya jengkel, saya jawab, “Iya Bro, di sana itu rusuh. Di
sana itu rusuh sekali. Kalau kau datang di sana itu, kau tanya alamat sama
orang lain,itu tidak akan di jawab. Tanya apa, tanya apa?” (Arie menampilkan
gerakan memukul dan menendang). Jangan berprasangka buruk. Ke sana saja dulu,
nanti sampai sana baru tanya alamat…” (Youtube, Tour SUCI 3 Bali)
Pengalaman mendapatkan perilaku
rasis dan berdasarkan stereotipe di atas membuat saya teringat dengan
pengalaman dari Franz Fanon. Pengalamannya saat berjumpa dengan orang-orang
kulit putih yang selalu memperlakukannya secara berbeda dan berdasarkan
stereotipe yang ada saat itu. Dipandang sebagai seorang yang kasar dan bodoh.
Bahkan ada anak-anak yang menangis ketakutan ketika melihatnya.[7]
Homi K. Bhabha juga menyatakan
bahwa salah satu wacana kolonial yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan
kolonial yang ada adalah dengan melanggengkan suatu konsep yang yang meliyankan
suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini adalah kelompok rasial. Stereotipe yang
ada membuat pihak yang diliyankan itu akan selalu menjadi berbeda dari yang
mengkoloni, tetap berada di tempatnya, dan stereotipe itu akan digunakan terus
menerus.[8]
Di Indonesia orang timur dipandang
sebagai orang yang identik dengan kekerasan. Adanya jargon “pukul dulu baru
bicara” seakan memperkuat stereotipe tersebut. Stereotipe itu juga diperkuat
dengan adanya kejadian-kejadian yang seakan membenarkan pandangan akan orang
timur yang senang dengan kekerasan. Di Jogja sendiri belum lama ini terjadi pertikaian
antara pihak militer dengan orang dari Indonesia timur yang dianggap sebagai
preman. Pandangan dan stereotipe yang kita terima begitu saja seakan memang
seperti itu adanya. Kita tidak mempertimbangkan dari kacamata apa kita melihat,
dalam budaya dan kebiasaan apa kita berasal, dan bagaimana mereka sebenarnya
dalam adat dan kebudayaan mereka sehari-hari. Seperti kata Arie di atas,
“Jangan berprasangka buruk. Ke sana saja dulu…”
Selain rasisme yang dialami oleh
orang Indonesia timur, mereka juga mendapatkan perlakuan yang tidak berpihak
dari pemerintah Indonesia sendiri. Sudah banyak diketahui kalau Indonesia
memiliki kecenderungan yang jawasentris bahkan jakartasentris. Kecenderungan
ini membuat orang-orang dari wilayah di luar Jawa sering tidak terepresentasikan.
Hal ini juga diperkuat dengan media yang tidak banyak menampilkan orang dari
Indonesia timur dalam tayangan-tayangannya. Tidak hanya dari sisi berita yang
sering hanya memberitakan kekerasan yang
terjadi di Indonesia Timur, tetapi juga dalam acara lain seperti sinetron atau
film yang ada di Indonesia. Sangat jarang sekali kita melihat adanya orang dari
Indonesia timur yang berperan di dalamnya, jikalau ada biasanya menjadi tokoh
penjahat atau malah menegaskan stereotipe negatif yang memang sudah menempel
pada mereka.
Malam ini
kita membicarakan tentang Raden Ajeng Kartini. Sebenarnya saya masih bingung
tentang raden ajeng kartini, mengapa dia diposisikan sebagai puteri Indonesia.
Hanya satu. Kalau misalnya Raden Ajeng Kartini puteri Indonesia, terus Cut Nyak
Dien dan Kristina Marta Tiahahu puterinya siapa coba? Bukanya apa-apa sih,
kalau misalnya putri-putrian. Kita kan Indonesia, bhineka tunggal ika.
Seharusnya jangan hanya satu. Harusnya Raden ajeng Kartini putri Indonesia, Cut
Nyak Dien juga. Kristina Marta Tiahahu juga. Biar jadi satu kan. Kalau perlu
setiap propinsi punya masing-masing, jadi ada 33. Kalau semua diperingati kan
ada tambahan 33 hari libur lagi kan asik. (Youtube, SUCI 3)
Budaya juga
suka rasis sama orang timur. Di sini ada yang tau budaya wayang orang. Saya
berpikir rasis seperti apa yang menciptakan budaya wayang orang. Coba kalian
perhatikan budaya wayang orang. Itu ceritanya pasti Ramayana, Mahabaratha dan
sebagainya. Itu pasti personilnya cakep-cakep. Pandawa lima itu kan, boyband pertama di muka bumi. Berlima
cakep-cakep semua. Giliran musuhnya. Coba perhatikan musuhnya. Musuhnya itu
pasti personilnya itu, hitam, besar, mata menyala, rambut keriting, tukang
mabuk, tukang pukul perempuan. Ini pasti orang timur ini. Dan lagi mereka itu
pasti pakai plesetan itu. Kan namanya penjahatnya itu siapa? Buto. Ini saya curiga ini pasti plesetan
aja ini. Ini aslinya pasti “beta” ini. (Youtube, Tour SUCI 3 Bali)
Keberadaan Raden Ajeng Kartini
sebagai putri Indonesia sekali lagi menegaskan adanya ketidakadilan yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru. Kartini yang memang sengaja diwacanakan sebagai
sosok ibu ideal dan dianggap merepresentasikan sosok wanita Indonesia
sesungguhnya malah menimbulkan adanya banyak pertanyaan. Hal ini dikarenakan di
Indonesia sendiri terdiri dari banyak latar belakang budaya, dan sosok wanita
ideal di dalamnya pastilah juga beragam sesuai dengan budayanya masing-masing.
Dari materi mengenai Kartini di atas Arie sempat menambahkan bahwa bagaimana
kalau Kristina Martha Tiahahu itu juga ingin direpresentasikan sebagai putri
Indonesia dan ia menyesal sudah mengangkat senjata dan ingin menulis surat saja
seperti Kartini.
Apa yang dikatakan oleh Arie ini
memang tidak semuanya adalah kenyataan yang ada di Indonesia timur. Selalu ada
unsur hiperbola yang ditambahkannya untuk memancing tawa penonton. Tentu saja
karena ini memang dalam rangka melakukan stand up comedy yang bertujuan untuk
menghibur. Tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa adanya olok-olok dan gugatan
kepada pemerintah dan kepada orang-orang di Indonesia di bagian barat terutama
tentang perlakuan mereka yang dianggap tidak adil kepada masyarakat di
Indonesia bagian timur.
Arie di sini tidak berusaha untuk
menjadi orang-orang dari kota, ia yang pada dasarnya sudah menjadi orang
Indonesia dan tidak lagi perlu untuk melakukan mimikri dengan kaum yang
dianggap sudah menjajahnya. Di sisi lain Arie juga merasa sebagai orang
Indonesia dia juga sudah mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Apa lagi dia
sebagai seorang mahasiswa yang merasakan kuliah dan fasilitas yang ada di Jawa.
Tentu Arie sangat menyadari dan merasakan sendiri ketimpangan fasilitas yang
ada di Jawa dan di daerahnya. Dalam melihat ketimpangan ini Arie lebih memilih
untuk melakukan mockery, suatu
olok-olok dan gugatan langsung yang dikemasnya dalam candaan dan
menertawakannya bersama dengan para penonton.
Hal ini seperti yang dijelaskan
oleh Angela McRobbie, acara televisi Father Ted dan Goodes Gracious Me adalah
suatu cara untuk menggunakan stereotipe yang ada untuk menggugat dan
menyadarkan pandangan masyarakat selama ini. Bukan dengan menyangkal atau
menentangnya, melainkan dengan menggunakannya bahkan secara berlebihan untuk
ditertawakan, untuk menyadarkan bahwa apa yang dipikirkan itu hanyalah sekadar
stereotipe.
Di Amerika, stand up comedy sudah
sejak lama menjadi sarana untuk melakukan kritik sosial. Beberapa comic seperti
Redd Foxx dan Dick Gregory, Melalui materi stand up-nya mereka mengungkapkan
banyak hal mengenai rasisme dan perbudakan yang kala itu masih marak ada di
Amerika. Mereka mengajarkan kita, sambil tertawa, tetapi kita juga menjadi
berpikir bahwa ada yang salah dengan tatanan di dalam masyarakat. Mereka
mengungkapkan hal-hal tabu yang terkadang lebih senang disembunyikan dan
mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat satir yang mengundang tawa.[9]
Dan Amerika berhasil sembuh dari luka akan perbudakan dan rasisme itu dengan
menertawakannya. Mungkin Indonesia juga bisa suatu saat nanti.
Penutup
Banyak cara yang bisa kita gunakan
untuk melihat dan mengungkapkan fenomena sosial di sekitar kita. Di sini, Arie
Kriting melalui stand up comedy yang dilakukannya mengajak kita untuk melihat
dan menertawakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi antara pusat
dengan daerah, terutama di Indonesia bagian timur. Saat kita yang di Jawa ini
sudah bisa mengakses internet setiap detik, mereka yang di Indonesia timur
masih harus berkutat dengan setrika yang menggunakan arang. Saat kita yang di
kota ini sudah mulai merasa terpisah dari alam dan membangun sekolah alam,
mereka yang di Indonesia timur masih tidak bisa merasakan gedung dan fasilitas
pendidikan yang layak. Stereotipe-setereotipe yang ada juga tidak seharusnya
kita terima begitu saja seakan-akan memang sudah dari sononya. Kita memang harus lebih banyak bertanya, apakah “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu memang sudah terjadi. Apakah bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memang sudah digunakan
semaksimal mungkin untuk kemakmuran rakyat. Atau malah seperti yang terjadi
saat ini, rakyat yang memiliki sumber kekayaan alam itu malah menjadi korban
yang paling menderita dan keuntungannya masuk ke pemerintah pusat, bahkan pada
perusahaan-perusahaan asing. Rakyat hanya mendapatkan sisa limbah, alam yang
rusak, dan penyakitnya saja.
Banyak cara untuk mempertanyakan
Indonesia. Salah satunya ya seperti yang dilakukan Arie dan para pelaku stand
up lainnya, dengan Menertawakan Indonesia. Mungkin dengan lebih banyak tertawa
kita tidak akan terlalu sakit untuk menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia
masih terjajah. Terjajah oleh pemerintahanya sendiri.
Daftar
Pustaka
Bhabha, Homi K., “The Other Question: Stereotype,
discrimination and the discourse of colonialism” dan “Of mimicry and man: The
ambivalence of colonial discourse”, The
Location of Culture, Routledge: London, 1994, hlm. 66-92
Fanon, Frantz.
2008, Black Skin, White Mask. USA:
Grove Press, 2008
McRobbie, Angela,
“Look Back in Anger: Homi Bhabha’s Resistant Subject of Colonial Agency”, The Uses of Cultural Studies, Sage
Publications: London dll, 2005, hlm. 97-210
E-book:
Prangiwaksana,
Pandji, Merdeka dalam Bercanda
[1]
E-book, Merdeka dalam Bercanda, Pandji Prangiwaksana
[3]
Moeljarto Tjokrowinoto, 2007, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, hlm. 143
[4]
Bid. hlm 148
[5]
Ibid
[6]
Kompas.com, Penembakan Tak Terungkap, Komnas HAM akan Minta Rekaman CCTV
Freeport, (9 Januari 2014)
[7]
Lihat Franz Fanon, Black Skin, White Masks
[8]
Homi K. Bhabha, The Other Question, hlm. 66
[9]
Pandji, Merdeka dalam Bercanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar