IMPLIKASI
POSKOLONIALITAS[1]
RELASI
KEKUASAAN
MISI
KATOLIK DAN KOLONIAL BELANDA
Ditulis Oleh Alfons No Embu
Nim 136322011
Abstract:
There are various forms and dynamics of mission and power relationship in the early development of Christianity. By reading the history of Western colonialism of the East, will give clearly description that the mission was presented in conjunction with the colonial. In the Archipelago, the Catholic mission represented along the Portuguese colonization
(1543-1666).[2] Thus, VOC in 1606-1800 amputated this Catholic mission. And then, the mission reanimated in
Nederland Hindia by King Louise Napoleon, the French Catholic of Dutch master in the 1800s. Nevertheless, power relationship of mission and the Dutch colonial government was in suffering situation. Dutch colonial government had a political interest in the presence of the Catholic mission. Conversely, the mission itself took advantages from its proximity of the Dutch colonialism. In fact, there was a kind of symbiotic mutualism between the mission and the Dutch colonial government. It brought the postcolonial impact to the life of Catholic mission during that
time, and
for the
development of Indonesian local Catholic Church in future.
Key
terms: Misi, zending, kolonialisme, poskolonialitas, ambiguitas, ambivalensi, mutualisme.
1.
Pengantar
Sejak awal penyebaran dan perkembangan
kekristenan sudah selalu bersinggungan dengan para penguasa dan kekuasaannya.
Relasi Misi dengan kekuasaan itu sangat dinamis, dari masa ke masa, dari tempat
yang satu ke tempat yang lainnya. Dalam sejarah Gereja kita menyaksikan di satu
sisi ada peristiwa-peristiwa dimana Misi sering dipersulit oleh
penguasa-penguasa, bahkah dimatikan. Tetapi ada banyak juga kisah Misi yang
mendapatkan sokongan penguasa, para raja, kaisar. Dan Misi itu berkembang bersama kekuasaan
para raja dan kaisar tersebut.
Dalam Kisah Para Rasul, kita menemukan bahwa
embrio kekristenan muncul di dalam situasi yang sangat tidak kondusif, bahkan
destruktif. Jemaat perdana tumbuh ‘di bawah tanah’, karena tekanan terutama
dari kekuasaan bangsa dan agama Yahudi dan juga dari kekuasaan kekaisaran Romawi.
Kisah awal Saulus menampilkan kepada kita tentang betapa kekristenan itu dalam
perkembangan awalnya mendapat tekanan dari kekuasaan. Banyak orang Kristen
dibunuh. Stefanus, martir pertama, kematiannya di’amin’i oleh Saulus, sebagai
representasi kebencian dan kekuasaan Yahudi.
Dari Yerusalem kekristenan mulai
tersebar ke berbagai wilayah kekaisaran Romawi. Paulus, yang pernah menjadi
penganiaya orang Kristen, ialah yang mewartakan kekristenan keluar dari dunia
Yahudi. Paulus jugalah yang membawa kekristenan itu sampai ke pusat kekuasaan
Imperium Romawi. Ia sendiri mati di pusat kekuasaan itu, karena kekristenan
dianggap merongrong kekuasaan Imperium Romawi. Di bawah Imperium Romawi banyak
orang Kristen mati dibunuh, bahkan dengan cara-cara yang paling sadis. Tetapi
kekristenan tetap bertumbuh subur, dan menjadi semakin besar.[3]
Pada tahun 312 M,
Konstantinus (306-337), kaisar Roma bertobat dan dibabtis menjadi Kristen. Di
bawah seorang kaisar Kristen, pertumbuhan agama Kristen sangat pesat. Pada saat
itu sudah berlaku prinsip Quius Regio,
quius religio. Agama kaisar atau rajanya harus menjadi agama rakyatnya
juga. Agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, bahkan diwajibkan
kepada seluruh rakyatnya menjadi Kristen. Pertumbuhan agama Kristen mendapat
dukungan penuh dari kekuasaan. Oleh karena itu, kekristenan tersebar seluas
wilayah imperium Romawi. Dan sejak saat itu juga, Roma menjadi pusat Misi kekristenan,
hingga kini.[4]
Ekspansi kekuasaan imperium Romawi pada
saat itu sama dengan ekspansi kekristenan. Wilayah Imperium Romawi luas hingga
separuh Eropa. Kekristenan selanjutnya menyebar ke seluruh Eropa dan kemudian menjadi
identitas Eropa.[5]
Dari Eropa kekristenan menyebar ke seluruh penjuru dunia bersamaan dengan
ekspansi dan okupasi Negara-negara Eropa (Prancis, Inggris, Portugis, Spanyol,
Belanda, dan lainnya) ke wilayah Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Dalam hal
ini, persebaran dan perkembangan kekristenan bersamaan dan memboncengi
kolonialisme. Jadi, kita tidak dapat menyangkal bahwa kekristenan hadir di
seluruh dunia, termasuk Indonesia, bersamaan dengan kolonialisme Eropa.
Sekalipun demikian relasi Misi dan kekuasaan kolonial bukan tanpa masalah. Ada
berbagai dinamika di dalamnya.
Menurut David Hilliard, ada relasi yang
erat antara Misi dan kekuasaan. Ketika berbicara sejarah kekristenan, orang
begitu mudah untuk mengasosiasikannya dengan kekuasaan kolonialisme Barat di
dunia Non-Barat. Bagi sebagian orang, Misi yang hadir bersama ekspansi kolonial
Barat merupakan agresi para Misionaris ke dalam agama dan kebudayaan lokal.
Para Misionaris menjadi agen utama dari infiltrasi budaya dan agama Kristen
Barat, yang menunjang kontrol kekuasaan kolonial.[6]
Jelas bahwa karya Misi di Timur
sebenarnya dibawa, dan/atau memboncengi bangsa kolonial. Gereja hadir di Timur
bersamaan dengan bangsa kolonial. Para Misionaris yang datang bersama bangsa
kolonial itu pertama-tama dan terutama bertugas sebagai pelayan rohani bagi
para tentara dan pegawai kolonial.[7]
A.C. Kruyt, seperti dikutip Van Klinken, menyatakan bahwa: “Misi merupakan bagian penting dari
kolonisasi kita (Belanda)”.[8]
Selanjutnya, mengingat prinsip Quius
Regio, Quius religio, para Misionaris itu dengan dukungan para penjajah
melakukan pewartaan Injil kepada bangsa pribumi. Bahkan ada kalanya
kristenisasi itu terjadi dengan paksaan atau represi oleh tentara kolonial.[9] Dan
dalam banyak hal, sebenarnya ada bantuan pemerintah kolonial juga untuk karya Misi.
Berdasarkan beberapa hal tersebut di
atas, saya tertarik untuk secara khusus membahas hubungan kekuasaan Misi Gereja
Katolik (selanjutnya disebut ‘Misi’ saja)
dan kolonialisme di Nusantara pada masa penjajahan Belanda (sejak VOC hingga
pemerintah kolonial Belanda). Hal ini menarik bagi saya karena kolonial
Belanda, de facto didominasi oleh
kaum Protestan eksklusif dan radikal dengan berbagai denominasinya. Namun, pada
masa penjajahan Belanda inilah Gereja Katolik Indonesia mendapatkan fondasi dan
landasan untuk bertumbuh dan menjadi mandiri.
Pokok persoalan yang hendak dibahas dirumuskan
dalam dua pertanyaan mendasar. Bagaimana dinamika relasi kekuasaan antara
kolonial Belanda dan Misi? Apa implikasi poskolonialitas relasi Misi dan
kolonial Belanda itu terhadap proses awal kemandirian Gereja Indonesia? Kolonial
Belanda yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah penjajahan oleh orang
Belanda, sejak VOC hingga NICA. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya tidak
akan membahas dinamika lainnya yang tidak relevan dengan relasi kekuasaan Misi dan kolonial Belanda secara langsung. Proses
awal kemandirian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah masa sesudah proklamasi
kemerdekaan RI (agama Katolik dalam Negara Indonesia merdeka) sampai pada masa
awal sesudah Konsili Vatikan II, yang telah memulai wacana kemandirian Gereja
Lokal.
.
2.
Dinamika Relasi Kekuasaan Kolonial
Belanda dan Misi
Ada
beberapa bentuk relasi kekuasaan yang akan dipaparkan, yakni: relasi finansial
antara Misi dan pemerintah kolonial Belanda, ketergantungan pembagian wilayah Misi
pada ketetapan pemerintah kolonial, dan tidak adanya kebebasan Misi dalam
berkarya. Dalam tiga ha tersebut, nampak bahwa Misi bergantung pada pemerintah
Belanda.[10]
Saya akan memaparkan relasi kekuasaan itu secara kronologis.
A.
Misi pada Masa VOC
Misi Katolik ke kepulauan Nusantara
datang bersama dengan penjajah Portugis. Portugis dan Spanyol, dalam System Padroado, melaksanakan pesan Paus
untuk memajukan, mendorong, dan melindungi karya suci Injil. Tercatat tahun
1543 Portugis mendarat di Halmahera. Gereja Katolik di Indonesia hadir bersama
mereka.[11]
Sebagaimana umumnya hingga pada masa itu ada semboyan Quius regio, Quius religio.[12]
Portugis juga hendak menjadikan semua bangsa jajahannya menjadi penganut agama
Katolik. Pada tahun 1546-1547, Fransiskus Xaverius, rasul Asia, mulai
mewartakan Injil dan membabtis di sana dan sejak itu Misi agama Katolik pun
dimulai.[13]
Selanjutnya, perkembangan awal Gereja Katolik mengalami pasang surut bersama
kekuasaan Portugis.
Bencana bagi misi mulai terjadi pada
1605, ketika serikat dagang Belanda, VOC, merebut Ambon.[14] VOC
kemudian berhasil mengambilalih seluruh kekuasaan Portugis dan Spanyol pada
tahun 1666. VOC, nota bene membawa Protestantisme
yang keras dan eksklusif dari Belanda dan hanya melindungi, memelihara dan
menghendaki penyebaran Protestantisme. VOC tidak memberikan kebebasan beragama,[15]
khususnya bagi Misi Katolik. Sejak itulah, Misi Gereja Katolik tidak diijinkan lagi
dan terhenti. Para pastor dibuang dan juga dipulangkan ke Belanda. Sementara
itu banyak umat dikonversi secara paksa menjadi Protestan.[16]
VOC juga menganut semboyan Quius regio,
quius religio. Di bawah payung VOC, Protestantisme dengan berbagai
denominasi berkembang pesat dan Misi Gereja Katolik dipersulit, ditekan dan
bahkan dimatikan.
Masa VOC berkuasa di Nusantara Gereja
Katolik di Negeri Belanda juga ditindas. Mereka melarang ordo-ordo yang
berbasis di negeri Belanda untuk menerima anggota baru. Dengan demikian akan
menjadi masalah juga bagi kelanjutan Misi di Nusantara, karena Misionarisnya
semua dari Belanda.[17]
Karena itu jelas bahwa masa VOC (abad 17 dan 18) di Hindia Belanda merupakan
masa kelam dalam pertumbuhan Gereja Katolik di Nusantara.[18]
Pada periode 1600-1800, Misi Katolik, yang dibangun oleh Portugis dan Spanyol,
praktis hancur selama dan oleh VOC.[19]
B.
Misi pada Masa Pemerintah Kolonial
Belanda
Pada
akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran dan mati.[20]
VOC bangkrut akibat dari korupsi oleh para pegawainya dan juga pengeluaran
biaya untuk peperangan yang besar. Selanjutnya, tahun 1800 negara kolonial
Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC, seluruh wilayah kekuasaan dan
aset-asetnya, termasuk tugas pemeliharaan dan pembiayaan zendeling
gereja-gereja Protestan di Indonesia.[21]
Di
Nusantara saat itu sudah ada beberapa agama, yakni Hindu, Budha, Islam, Katolik
dan Protestan yang baru dibawa sejak VOC. Hubungan antar agama-agama ini
berpotensi menimbulkan pertentangan dan konflik. Oleh karena itu, negara
kolonial Belanda menganggap perlu untuk mengatur, mengurus dan mengendalikan
hal ikhwal keagamaan di bawah otoritas tertinggi Negara kolonial.[22]
Lebih dari itu pengaturan dan pengendalian itu bermanfaat dan menunjang
kepentingan Zending/Protestantisme.
Pada awal abad ke-19 Belanda dikuasai Raja Louis
Napoleon dari Prancis yang beragama Katolik. Hal ini menjadi keuntungan dan
peluang tersendiri bagi Misi yang karyanya di Nusantara diamputasi oleh VOC selama
hampir dua abad. Paus Pius VII memanfaatkan situasi itu untuk menghidupkan dan
melanjutkan kembali Misi di Hindia Belanda. Tanggal 8 Mei 1807 Paus Pius VII
mencapai kesepakatan dengan Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Perfektur
Apostolik Batavia. Dengan kesepakatan tersebut karya Misi kembali hadir di Nusantara,
Hindia Belanda.[23]
Pada
1807 dua orang imam pertama kembali dikirim ke Batavia. Berdasarkan keputusan
Kerajaan pada tanggal 4 Maret 1807, kedua imam itu menerima yang disebut ‘radicaal’[24].
Dalam dokumen itu ditetapkan bahwa keduanya berhak menjalankan tugas
kewarganegaraannya terhadap pemerintah. Sejak itu beberapa imam Misionaris lagi
yang didatangkan ke Hindia Belanda. Kepada mereka diberikan tunjangan tahunan
oleh Kerajaan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menggolongkan para imam
tersebut ke dalam kelas tertentu. Mereka menerima tunjangan sekali setahun.
Dengan demikian mereka menjadi pegawai negeri yang digaji pemerintah, sekaligus
menjadi Misionaris. Dalam hal ini para imam itu mendapat perlakuan yang sama
seperti para pendeta Protestan, soal gaji dan biaya perjalanannya.[25]
Sejak itu (tahun 1807) bermula hubungan yang erat
antara Misi dan pemerintah kolonial Belanda, terlebih dalam hal keuangan.
Berbagai kegiatan sosial Misionaris juga dibiayai oleh pemerintah. Selain itu
pemerintah Belanda mengeluarkan biaya juga berkaitan dengan penggajian dan
biaya perjalanan yang diberikan kepada para Misionaris di Hindia Belanda.
Ketentuan tentang gaji ini bisa berubah-ubah dan tergantung sepenuhnya pada
kebijakan pemeritah kolonial Belanda.[26] Perubahan
itu biasanya tergantung pada kondisi perekonomian dan juga kepentingan Belanda.
Hal ini menjadi sebab sebagian konflik di
kemudian hari. Para Misionaris ini telah menjadi pegawai negeri, karena itu
mesti tunduk kepada kebijakan pejabat pemerintah kolonial Belanda yang lebih
tinggi di Hindia Belanda. Dalam melaksanakan tugas pastoral atau Misionernya,
para imam/Misionaris akan diawasi dan dimintai pertanggungjawaban oleh pejabat
pemerintah Belanda di Hindia Belanda.[27] Dalam
hubungan semacam ini, para Misionaris dan juga tokoh-tokoh Katolik dalam
pemerintahan Hindia Belanda terperangkap di antara hirakhi Roma dan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda. Mereka bahkan cenderung hampir sama tunduknya kepada
pemerintah Belanda seperti halnya Protestan.[28]
Hal ini jelas sebagai implikasi dari ketergantungan Misi kepada pemerintah
kolonial Belanda.
Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal, H.W. Daendels
mendapat instruksi dari Raja Louis Napoleon di Belanda untuk memberikan
perlindungan kepada semua agama yang ada di Hindia Belanda.[29]
Sejak itu kebebasan beragama mendapat perlindungan pemerintah kolonial Belanda.
Dua imam pertama yang dikirim akhirnya tiba di Batavia pada tahun 1808. Mereka memulai
lagi karya Misi yang ditinggalkan hampir dua abad.[30]
Dengan kehadiran dan kunjungan para Misionaris ini, umat yang sempat beralih ke
Protestantisme, karena dipaksa atau tidak adanya pelayanan Misionaris Katolik,
kini mulai kembali ke dalam Gereja Katolik.
Ada
perkembangan relasi yang semakin baik antara Tahta Suci dan pemerintah Belanda.
Pada bulan Januari tahun 1847 Tahta Suci mencapai kesepakatan dengan pemerintah
kolonial Belanda yang dituangkan dalam Nota
der Punten. Dalam Nota der Punten
ditetapkan ketentuan penggajian dan perjalanan Vikaris, dan para imam. Vikaris
mengadakan perjalanan dinas dua kali setahun dan seluruh biaya perjalanan
ditanggung oleh pemerintah. Perjalanan Vikaris itu dapat juga diwakilkan kepada
seorang imam.[31]
Selain itu ditetapkan juga bahwa kewenangan untuk menugaskan, menempatkan, dan
memindahkan para rohaniwannya hanya ada pada Waligereja, dalam hal ini Vikaris.
Sekalipun
demikian, Waligereja tetap wajib memberitahukan atau melaporkan hal itu kepada
Gubernur Genderal, disertai dengan permintaan agar rohaniwan bersangkutan
diperbolehkan mempergunakan hak-haknya, beserta gaji sekiranya ada, yang
terkait pada fungsi itu. Lalu Gubernur Genderal memerintahkan kepada residen
setempat supaya menindaklanjuti hal itu. Gubernur Genderal tetap mempunyai hak
untuk memberikan penilaian: apakah rohaniwan yang diangkat dapat menimbulkan
bahaya bagi tata tertib dan ketenteraman di tempat ia ditugaskan. Untuk itu,
Wali Gereja tetap secara intens walaupun tidak resmi mengadakan perundingan dan
negosiasi dengan Gubernur Genderal. Sebagai catatan, Tahta Suci di Roma tidak
pernah menandatangani Nota der Punten
tersebut.[32]
Pada
tahun 1855 terdapat perubahan ketentuan tentang gaji Misionaris. Para Misionaris
dibagi kedalam 2 kelompok kelas gaji, yakni; Vikaris Apostolik menerima skala
gaji kelas I, sedangkan 9 imam menerima skala gaji kelas II.[33] Jumlah
akumulasi gaji para msionaris itu lumayan besar. Bahkan, sampai tahun 1863 gaji
beberapa rohaniwan yang berhak menerima gaji berdasarkan ‘radicaal’ itu menjadi sumber pembiayaan satu-satunya untuk karya-karya
Misi.[34]
Hingga tahun 1880-an pemerintah memberikan gaji
kepada sebagian besar imam/Misionaris. Jumlah itu sangat meningkat mengingat
pada tahun 1810-an hanya beberapa orang imam saja yang mendapatkan gaji. Pada
tahun 1890 Vikaris Apostolik Batavia memperoleh gaji kelas satu dan 22 orang
imam memperoleh gaji kelas dua. Sejak tahun 1890-an pemerintah menetapkan satu
kelas baru lagi dalam penggajian para Misionaris, yakni imam-imam bergaji kelas
tiga, yang meningkat menjadi 14 orang pada awal abad ke-20. Para imam kelas
tiga adalah para imam yang berkarya ditengah umat Katolik pribumi. Sejak itu
keseluruhan jumlah gaji tidak berubah. Imam-imam yang baru datang dari Belanda
berkarya tanpa membebani pemerintah, tidak diberikan gaji.[35]
Pada tahun 1921, pemerintah Belanda menerapkan penghematan anggaran. Sebagian
konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah bahwa jumlah imam yang mendapatkan
gaji tidak ditambah lagi.[36]
Hal
berikutnya yang menarik berkaitan dengan relasi kekuasaan Misi dan pemerintah
kolonial Belanda adalah soal pembagian wilayah Gerejani. Perluasan wilayah
untuk kegiatan Misioner harus berdasarkan ketetapan dan ketentuan pemerintah. Misi
tidak bisa seenaknya memasuki suatu wilayah di bawah kekuasaan pemerintah.
Sebagian pertimbangan untuk menetapkan dan menyerahkan wilayah kepada Misi dan/atau
Zending dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah faktor potensi dan
kekayaan sumber daya alam wilayah tertentu, apakah dapat mendatangkan
keuntungan finansial atau tidak. Daerah potensial umumnya diserahkan kepada Zending
Protestan, sedangkan daerah yang tidak memberikan keuntungan finansial bagi
pemerintah kolonial diserahkan kepada Misi. Flores dan Timor, misalnya,
dianggap tidak menguntungkan secara finansial diserahkan kepada Misi Katolik.[37]
Hal inilah juga mungkin juga menjadi sebab mengapa VOC tidak mengambil alih
wilayah ini, yang hingga tahun 1860 masih di bawah penguasaan Portugis.[38]
Untuk
mulai membuka wilayah Misi baru dan pemekaran Vikariat Apostolik Batavia, untuk
pertama kali, pembahasannya antara Vatikan, pemerintah Belanda memakan waktu
selama tujuh tahun (1896-1902). Pada dasarnya, de facto para Gubernur Jenderal di Batavia tidak menghendaki
gagasan tentang pembagian-pembagian wilayah Misi yang terpisah dan independen.
Mereka lebih menghendaki pola sebelumnya, yakni semua kegiatan Misi hanya
terpusat di Batavia, pada satu tempat. Hal ini sebenarnya erat kaitan dengan
upaya pengendalian dan pengontrolan keamanan di seluruh wilayah kekuasaan
Belanda.
Pada tahun 1913 terdapat kesepakatan yang
menjembatani hal di atas, yakni bahwa semua pembahasan dengan Hindia Belanda harus
ditandatangani melalui Vikaris Apostolik Batavia. Hal ini berlaku persis sama
seperti dalam semua regulasi Zending Protestan. Untuk itu Gubernur Genderal
mengeluarkan ketetapan tertanggal 12 Agustus 1913, No. 29. Berdasarkan
ketetapan itu Prefek dan Vikaris harus melaporkan semua kegiatan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini semua kegiatan Misi harus sepengetahuan
Gubernur Jenderal.[39]
Vikaris Apostolik dapat secara resmi mencalonkan imam-imamnya, namun hanya
setelah mereka mendapat radicaal di
Belanda dan mendapat ijin lainnya dari Gubernur Jenderal untuk bekerja di
wilayah tertentu.
Pemekaran
karya Misi di wilayah timur, misalnya, juga mesti atas ijin Gubernur Jenderal.
Tahun 1907, Prefek Neyens mengajukan izin kepada Gubernur Jenderal Idenburg
untuk membuka suatu stasi Misi permanen di Ambon. Permohonan itu pun tidak
langsung ditanggapi. Pada hal di sana masih ada sisa-sisa orang Katolik sejak
pada masa Portugis. Pada tahun 1910 Neyens kembali mengajukan permohonan untuk
mengadakan kunjungan pastoral ke Ambon dan Ternate dua kali setahun.[40]
Selanjutnya, pada tahun yang sama (1910) Prefek Noyen mengajukan permohonan
dengan surat resmi kepada Gubernur Jenderal untuk membuka Stasi Misi Katolik di
Fakfak, Dutch Neu Guinea. Dua tahun kemudian, melalui surat tertanggal 12
januari 1912 Gubernur Genderal menolak permintaan tersebut. Keputusan tersebut
diambil berdasarkan pertimbangan bahwa di sana sudah ada Zending Protestan dan
agar tidak terjadi benturan di antara Gereja-Gereja. Pemerintah kuatir bahwa dubbele Zending akan menimbulkan bahaya
bagi ketertiban dan keamanan.[41] Permohonan
yang sama diajukan juga pada tahun 1919, dan sekali lagi ditolak.[42]
Upaya negosiasi untuk memisahkan karya Misi
dari pengaruh pemerintah kolonial itu sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak
tahun 1860-an.[43]
Dan pada 1920-an Misi di Hindia Belanda coba mulai melepaskan keterikatan
dengan pemerintah Belanda, demi kebebasan karya Misioner. Hak-hak istimewa dari
pemerintah Belanda mulai dihentikan. Namun, dalam kenyataan tidak lepas secara
total, tetap ada subsidi pemerintah yang sangat penting, secara langsung kepada
37 imam yang ditunjuk dan secara tidak langsung melalui tunjangan untuk karya
pemberadaban berupa sekolah-sekolah, karya kesehatan dan beberapa prakarsa
lainnya. Hal ini berkaitan erat dengan program Politik Etis yang dicanangkan
oleh pemerintah Belanda.[44]
Pada tahun-tahun berikutnya yang terjadi
justru sebaliknya, Misi kembali memanfaatkan pemerintah kolonial Belanda. Pada
tahun 1929 seorang bangsawan Katolik, Jonkher Charles Ruys de Beerenbrouk
ditunjuk sebagai Perdana Menteri di Belanda. Misi memanfaatkan itu untuk
meningkatkan jumlah imam yang mendapatkan gaji dari pemerintah. Saat itu,
“Vikaris Apostolik mendapat 1000 gulden perbulan,
sedangkan kebanyakan imam bergaji kelas dua menerima 650-850 gulden perbulan.
Kebanyakan imam bergaji kelas tiga menerima antara 400-450 gulden perbulan.
Sehingga pada tahun 1929 para imam Katolik secara total menerima gaji sebesar
360.358 gulden dan tunjangan pemerintah sebesar 30.530 gulden. Jumlah
keseluruhan gaji dan tunjangan sebesar 390.888 gulden. Angka tersebut masih
lebih kecil jumlahnya dari Zending Protestan yang menerima 1.096.939 gulden.”[45]
Pada
tahun 1930 Gereja Katolik meminta subsidi serupa untuk seorang biarawan
Fransiskan N. Geise di daerah Sunda Tengah. Ada juga tunjangan untuk berbagai
karya Misioner. Gaji para biarawan/biarawati yang berijazah lebih besar dan
menjadi sumber keuangan Misi yang signifikan.[46]
Pada
dekade awal abad ke-20 muncul pelbagai macam Pergerakan Nasional, yang dimotori
oleh kaum intelektual muda Indonesia, hasil dari Politik Etis melalui
pendidikan. Kebangkitan Nasional itu mendapatkan landasannya pada Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928. Munculnya pergerakan Kebangkitan Nasional, membuat
masalah yang dihadapi Misi semakin rumit. Kesadaran nasional itu juga tumbuh di
kalangan orang-orang pribumi Katolik sendiri. Dan justru lulusan-lulusan dari
sekolah-sekolah yang dikelolah oleh Zending dan Misi yang menjadi pelopornya.
Di pihak lain, pemerintah Belanda tetap ingin memperalat Zending dan juga Misi untuk
melanggengkan kekuasaannya. Untuk itu pemerintah bersiasat membujuk mereka
melalui dukungan politis dan keuangan, apalagi bertepatan dengan program
pemerintah yang telah mencanangkan Politik Etis. Pemerintah memberikan subsidi
kepada Zending dan Misi agar mengambil bagian dalam meningkakan taraf hidup
orang-orang pribumi melalui pendidikan dan pengobatan. Tujuan itu dimanfaatkan
oleh Zending dan Misi, tetapi pemerintah Belanda juga sebenarnya mempunyai
kepentingan politis dan sedang memperalat Gereja-Gereja.[47]
Bahkan menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, pemerintah kolonial menetapkan
peraturan-peraturan baru yang memperkuat kedudukan para klerus/misionaris.[48]
3.
Implikasi Poskolonialitas Relasi Misi
dan Kolonialisme
Relasi
Misi dan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara membawa berbagai implikasi
bagi Gereja Indonesia sejak masa penjajahan dan juga di kemudian hari. Saya
mencoba menguraikan implikasi relasi itu dalam perspektif poskolonialitas. Hal
ini berdasarkan pertimbangan bahwa Misi hadir pada masa dan bersamaan dengan
kolonialisme Belanda. Relasi Misi dan
kolonial Belanda itu terpelihara hingga saat terakhir kekuasaan kolonial itu. Dalam
hal ini saya mengasumsikan adanya implikasi poskolonialitas dari relasi Misi dan
pemerintah kolonial Belanda.
A. Finansial
dan Tenaga Misioner
Pada
awal karya Misi, khususnya kehadiran kembali pada 1807-an hingga akhir abad
ke-19, ada relasi keuangan antara Misi dengan pemerintah kolonial Belanda dan
juga orang Katolik di Belanda. Sebagian imam sekaligus menjadi pegawai negeri
yang digaji oleh pemerintah. Sebagian karya Misi juga disokong oleh keuangan
kolonial. Sumbangsih finansial dari orang Katolik di Belanda juga sangat besar
untuk memulai karya Misi dan kelangsungan karya Misi selama Hindia Belanda,
selain sokongan finansial dari Karya Misi Kepausan dan Claverbond. Oleh karena
itu, ketika Jepang menaklukkan kolonial Belanda di Nusantara (1942-1945), hal
itu berdampak besar pada karya Misi. Misi mengalami kesulitan keuangan, selain
karena krisis ekonomi awal abad ke-20, tetapi juga putusnya aliran uang dari
Barat (dari orang Katolik Belanda, Karya Misi Kepausan dan Claverbond).[49] Dengan
berakhirnya kolonialisme Belanda, berbagai subsidi pemerintah Belanda yang
selama ini dinikmati Misi terhenti. Kondisi itu semakin sulit juga karena
keadaaan ekonomi umat katolik pribumi yang umumnya miskin.[50]
Menyikapi
hal itu, di Keuskupan Agung Semarang misalnya, mulai mencanangkan upaya-upaya swasembada/berdikari,
baik di bidang keuangan dan pembiayaan dan juga hal-hal lainnya untuk karya Misi.
Managemen keuangan Paroki dan keuskupan mulai ditata dengan lebih baik, mulai
dibuatkan Standarisasi Laporan Keuangan dan Rancangan Tahunan Paroki.
Digalahkan juga Dana Solidaritas Paroki, dalam hal ini paroki-paroki yang lebih
mampu di bidang keuangan memberikan subsidi atau bantuan kepada paroki yang
lebih miskin.[51]
Selain
persoalan keuangan, Misi terancam juga karena kekurangan tenaga Misionaris.
Pada masa Jepang, banyak Misionaris Belanda ditahan dan dipenjara/internir.
Hanya rohaniwan bumiputra yang boleh berkarya, sementara jumlah imam,
biarawan-biarawati pribumi masih sangat sedikit. Kekurangan personil itu
diperparah oleh konsentrasi tenaga Misionaris di Batavia, 30 orang: 20 Yesuit,
sisanya MSC dan OFM. Dengan sentimen antikolonial, di kemudian hari banyak Misionaris
Belanda juga yang dipulangkan. Beberapa tahun kemudian pemerintah membatasi
ruang gerak Misionaris asing di Indonesia. Bahkan pada tahun 1953 Kementerian
agama melarang Misionaris asing bekerja di Indonesia. Keputusan yang sama
kemudian diperbaharui tahun 1956.[52] Hal
ini berpengaruh besar bagi pertumbuhan awal Gereja, mengingat para Misionaris
Belanda sekaligus merupakan sumber keuangan Misi. Oleh karena itu, kehilangan Misionaris
Belanda sama dengan kehilangan sumber-sumber keuangan Misi.
Sesudah
kekalahan Jepang dari Sekutu, banyak Misionaris yang dibebaskan dan tidak
sedikit juga yang beralih ke penjara-penjara di bawah pengawasan tentara
Indonesia baru. Selama para Misionaris Belanda dipenjara, seluruh kegiatan
missioner dan juga biara-biara ditangani oleh bumiputra. Dan ketika, pasca
internir terjadi ketegangan antara Misionaris Belanda dengan Misionaris
Bumiputera berkaitan dengan wewenang mengatur dan mengelolah karya Misioner,
juga dalam ordo-ordo dan serikat religius.[53]
Rupanya mentalitas kolonial itu ada juga dalam bawah sadar para Misionaris
Belanda. Mereka merasa terganggu dan tidak mulai mempercayakan karya Misi itu
sepenuhnya kepada kaum bumiputera. Menurut saya problem kepemimpinan ini erat
berkaitan dengan identitas Gereja. Ada keengganan Misionaris Belanda untuk
suatu identitas baru Gereja dan Misi di bawah kaum bumiputera.
B. Hubungan
Antaragama
Persoalan hubungan Gereja Katolik dengan
agama-agama lain di Hindia Belanda sebenarnya sejak awal kehadirannya. Persoalan
yang paling menonjol adalah relasi dengan Islam dan Protestan. De facto
pemerintah kolonial mengakui Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat. Demi keamanan dan ketertiban serta hubungan baik para pemimpin
Islam, Belanda menyatakan beberapa wilayah tertutup untuk karya Zending dan Misi,
yakni di Jawa, Sumatera, Sumbawa, Makasar, Buton, dan beberapa lainnya.
Pemimpin-pemimpin agama mereka juga diberikan gaji oleh Gubernur Jenderal.
Sekalipun demikian pemerintah kolonial
sebenarnya sangat diskriminatif dan tidak adil terhadap Islam. Belanda
memberikan gaji dengan perbedaan yang mencolok antara para Misionaris dengan
para ulama atau pemuka agama Islam. Sampai dengan awal abad ke-20, Misionaris
dan zendeling mendapatkan gaji 600-800 golden setiap bulannya, sedangkan
seorang penghulu atau kepala mesjid Kabupaten hanya diberikan 100-150 golden. Para
pemimpin muslim banyak mempersoalkan gaji-gaji tinggi yang diterima para pastor
dan pendeta ini.[54]
Biaya perjalanan dinas hanya kepada Misionaris dan zendeling, sedangkan
penghulu tidak diberikan. Pemerintah memberikan subsidi yang besar untuk karya Misi
dan Zending, sedangkan kegiatan keagamaan Islam hanya mendapatkan sangat
sedikit.[55]
Selain itu ada juga perbedaan perlakuan terhadap orang Islam di ruang publik
dan bidang pendidikan.
Hal-hal tersebut di atas memicu banyak
ketegangan dan konflik dalam relasi dengan Gereja Katolik juga di kemudian
hari. Diskriminasi oleh pemerintah kolonial, bagi sebagian orang Islam, hanya
menegaskan bahwa agama Kristen (Protestan dan Katolik) adalah antek penjajah. Dampaknya,
misalnya, dalam pergerakan kemerdekaan Misi juga dirongrong oleh ekstrimis
muslim tahun 1945 dan juga 1965. Pemuda Hisboelah membunuh 1 orang Skolastik
dan 1 imam Praja, membakar kompleks Misi Muntilan pada 20 Desember 1948.[56] Seolah
ada pandangan umum bahwa ketika penjajah pergi dan berakhir, mestinya juga Misi
mesti pergi dan diakhiri juga.
Alasan yang sama masih sering
didengungkan dalam berbagai gerakan ekstrimis Islam Indonesia hingga dewasa ini
terhadap Gereja. Susahnya memperoleh IMB untuk gedung gereja baru di tengah
lingkungan mayoritas Islam, teror terhadap kenyamanan ibadah dan gereja,
prasangka kristenisasi terhadap karya-karya sosial karitatif Gereja, dan
lainnya hingga saat ini menurut saya termasuk bagian dari implikasi
poskolonialitas dari hubungan Misi dengan kolonialisme. Begitu mudahnya kaum
ekstrimis Islam sering mengidentifikasikan Gereja dengan Barat. Barat dalam asumsi
yang sering mereka dengungkan bermakna bias; kolonial, imperialis, liberal,
kafir, dan sebagainya.
Ketegangan dan konflik juga terjadi
dengan Zending sejak Misi kembali diijinkan untuk hadir di Nusantara. Persoalan
pokok ketegangan itu, umumnya karena para Misionaris sering tidak menghormati
batas-batas medan kerja pekabaran Injil, sebagimana telah ditetapkan oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk Zending dan Misi.[57] Demi
ketertiban dan keamanan Belanda menetapkan dengan keputusan resmi pembagian
wilayah Misi dan Zending, berdasarkan pasal 123 dari konstitusi kolonial tahun
1854 (regeerings-reglement). Di dalam
pasal tersebut terdapat ketentuan tentang tidak boleh adanya dubbele Zending, tetapi para Misionaris
sering mengabaikannya.[58] Ketegangan
itu terjadi hingga sebelum tahun 1945, bahkan sampai sebelum Konsili Vatikan II.
Hubungan
Gereja Katolik Indonesia dengan Gereja-Gereja Protestan menjadi semakin baik
dan akur segera sesudah Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II sendiri dikenal
sebagai Konsili Ekumenis. Sebagai tindak lanjutnya, di seantero jagat, termasuk
Gereja Indonesia gerakan ekumenisme dengan berbagai denominasi Gereja
digalahkan.
“Dealing with the relationship and
cooperation of the DGI/PGI with the Majelis
Agung Waligereja Indonesia/Konferensi Waligereja Indonesia (MAWI/KWI),
we need to add some more information.14 Before the Second Vatican Council
(1962–1965) the relationship of the Protestant churches and the Roman Catholic
Church was characterized by tension and rivalry.15 But soon aft er the Second
Vatican Council there was a very signifi cant shift in atmosphere. From the
late 1960s up to the present for example, the DGI and the MAWI every year
issued a joint Christmas Message to all churches and to the whole nation. Reflecting
on the participation or role of the church in national life and development,
the DGI and the MAWI through their respective special departments frequently
sat together and formulated their common understanding and plan of action.”[59]
C. Secara
Politis
Ada
pandangan umum saat pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan bahwa agama
Kristen masuk ke Indonesia berkat kekuatan-kekuatan kolonial (Belanda dan
Portugis). Agama Kristen dan orang-orang Kristen adalah antek kolonial Belanda.
Oleh karena itu, ketika kolonialisme itu sudah pergi, maka agama Kristen, yang
termasuk unsur asing kolonial harus
meninggalkan Indonesia, sekalipun dalam kenyataan Agama Kristen telah ada di
Nusantara sebelum Islam hadir, yakni di Baros (yang kini bernama Sumatera) pada
abad ke-7 menurut catatan sejarahwan Islam, Syeik al-Armani.[60]
Hal
ini dipertajam pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang menerapkan
kebijakan untuk menghapus segala bentuk pengaruh kolonial Belanda dan
memobilisasi rakyat untuk kerja paksa dan demi kepentingan militer Jepang yang
sedang berperang. Jepang mengobarkan semangat ‘nasionalisme’. Saat itu, Gereja
tidak dapat dipercayai, umat Katolik dicurigai, Gereja dituduh antinasionalisme
dan musuh bangsa. Hal ini nampak dalam kenangan yang dibuat dalam Surat Gembala
Mgr. Soegijapranata.[61]
Sebagai
tanggapan terhadap hal itu, beberapa tokoh Katolik, misalnya I.J. Kasimo, Frans
Seda dan Mgr. Soegijapranata mengambil sikap untuk menjelaskan dan menempatkan
orang-orang Katolik dalam pergerakan nasional. Frans Seda bergerak berdasarkan
kedekatannya dengan tokoh seperti Soekarno-Hatta. I.J. Kasimo bergerak melalui
organisasi-organisasi pemuda, termasuk Boedi Oetomo.[62]
Sebagai dukungan penuh terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia, Mgr.
Soegijapranata, sebagai seorang pejabat Gereja dan juga seorang pribumi, memaklumkan
agar orang-orang Katolik untuk berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan.
Bagi dia, seorang katolik pribumi itu mesti sungguh-sungguh 100 persen Katolik, 100 persen patriotik.[63]
Sikap ini menjadi sangat signifikan mematahkan asumsi bahwa Gereja adalah antek
penjajah dan anti nasionalisme. Atas dasar seruan inilah, banyak awam Katolik
terlibat dalam berbagai organisasi dan bentuk-bentuk pergerakan nasional dan
perjuangan kemerdekaan.
Selain
itu, tetap saja ada ambiguitas dan ambivalensi sikap para Misionaris yang de
facto orang Belanda dalam masa pergerakan nasional, entah pro Belanda atau pro
kemerdekaan. [64]Hal
ini nampak jelas, ketika Frans Van Lith, SJ. secara nyata mendukung perjuangan
kemerdekaan pribumi dari jajahan Belanda, banyak Misionaris Belanda lainnya
yang sebenarnya tidak setuju dengan hal itu. Kata-kata Van Lith yang selalu
diingat dan menjadi inspirasi Frans Seda dan I.J. Kasimo: “Kamu adalah pribumi di bumi Indonesia, kamu berhak atas kemerdekaan
dan kebebasan Negara dan bangsamu.”[65] Selain itu juga ada ambiguitas dan
ambivalensi di kalangan awam Katolik. Kasimo pernah membuat pernyataan mengenai
kita harus “memerintah negara sendiri”.
Hal ini menimbulkan polemik di antara anggota Partai Katolik. Karena hal itu Partai
Katolik bahkan harus mengeluarkan manifesto partai, bahwa “memerintah Negara sendiri” tidak sama dengan “kemerdekaan”.[66]
Dalam
pemaparan di atas nampak sangat jelas bahwa ada relasi kekuasaan yang sangat
erat antara Misi dengan kolonial Belanda. Sekalipun demikian, sebenarnya Gereja
Katolik berusaha tetap menjaga independensi dan tidak adanya ketergantungan
nyaris total a la Indische Kerk (Zending).[67]
Pola relasi demikian dan implikasi-implikasinya menjadi tidak terhindarkan
karena beberapa hal, yakni:
Pertama;
wilayah Nusantara berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Segala dinamika
yang terjadi di dalam wilayah kekuasaannya tentu sudah sewajarnya ingin
dikendalikan, dikontrol dan ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka
tidak akan mungkin membiarkan unsur-unsur lain, apalagi yang mungkin tidak akan
menunjang kelanggengan kekuasaannya. Otoritas Negara kolonial memiliki kendali
terhadap segala hal. Oleh karena itu, ketika Misi hendak memasuki wilayah
kekuasaan kolonial Belanda, dengan sendirinya akan berada di bawah kontrol dan
pengawasan penguasa kolonial Belanda. Hal ini nampak sangat jelas dalam
kebijakan-kebijakan pemekaran wilayah Vikariat Apotolik dan Prefektur Apostolik
dan pembukaan karya Misi di wilayah baru harus mendapat persetujuan dan dengan
keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[68]
Kedua;
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai kepentingan politis dengan wilayah
kekuasaannya. Dengan demikian, semua hal yang dihadirkan bersama dengan
kekuasaan kolonial Belanda, bagi mereka, selalu bersifat politis. Dalam hal
ini, Misi tidak dapat menghindarkan diri, bahwa pemerintah kolonial Belanda
mempunyai kepentingan politis juga dengan menghadirkan Misi dan juga Zending di
wilayah jajahannya. Berkaitan dengan ini, saya menangkap sekurang-kurangnya ada
dua kepentingan politis pemerintah kolonial atas Misi dan Zending. Pertama: para Misionaris dan zendeling, Misi
dan Zending dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial sebagai jembatan penghubung
antara pemerintah dengan masyarakat pribumi. Dalam pemikiran mereka, pendekatan
para Misionaris dan zendeling lebih mudah dan dapat diterima oleh masyarakat
pribumi, karena para Misionaris dan zendeling dianggap tidak mempunyai
kepentingan politis dan mempunyai tujuan yang luhur dan mulia. Ini merupakan
keuntungan tersendiri bagi pemerintah kolonial Belanda.[69] Kedua: orang-orang pribumi yang berhasil
dikonversi menjadi Kristen (baik Katolik atau berbagai denominasi
Protestantisme) dapat lebih mudah dijadikan alat oleh pemerintah kolonial. Hal
ini menjadi mungkin karena ada satu ikatan yang sama antara pribumi Kristen
dengan orang Belanda, yakni kekristenan itu sendiri. Dalam sejarah kolonial, misalnya,
beberapa daerah atau kerajaan yang dikonversi menjadi Kristen, kemudian menjadi
semacam ‘benteng hidup’ dan sekutu Belanda berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
kerajaan Islam yang berpotensi melakukan pemberontakan dan mengancam keamanan
kolonial Belanda.
Ketiga:
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, Misi juga sebenarnya sedang
memanfaatkan kekuasaan kolonial Belanda demi penyebaran Injil dan Kerajaan
Allah di wilayah Nusantara. Sejarah membuktikan, sebagaimana dipaparkan di
atas, ada beberapa hal yang dimanfaatkan Misi dari pemerintah kolonial. Pertama: para Misionaris memanfaatkan
sarana dan prasarana pemerintah kolonial Belanda dalam mobilitas dan aktivitas
mereka. Kunjungan-kunjungan Misioner ke wilayah tertentu selalu memanfaatkan
fasilitas kolonial. Kedua: para Misionaris mendapatkan keuntungan
finansial dari kedekatannya dengan bangsa kolonial. Para Misionaris awal
(1800-an) sekaligus merupakan pegawai negeri pemerintah kolonial. Mereka
mendapatkan gaji dan tunjangan tahunan. Sampai awal abad ke-20 dan menjelang
akhir masa kolonial Belanda, ada banyak imam yang diberikan gaji dan tunjangan
tahunan. Bahkan seorang Vikaris Apotolik pun diberikan gaji dan tunjangan.
Selain itu, berbagai kegiatan sosial yang bersesuaian dengan kepentingan pemerintah
kolonial seluruhnya dibiayai oleh pemerintah, dan para Misionaris hanyalah
menjadi pengelolah. Benar kata Walbert Buhlman, uang itu penting untuk karya Misi
dan Gereja membutuhkannya.[70]
Dalam hal itu Misi kadang mengambil untung dari kedekatannya dengan kolonial. Ketiga: para Misionaris juga mendapatkan
perlindungan keamanan dari pemerintah kolonial. Bahkan dalam beberapa catatan,
terkadang pewartaan Injil itu terjadi dengan kekerasan dan dengan kekuatan militer
kolonial.
Dari
ketiga hal di atas, menurut saya, terdapat semacam simbiosis mutualisme antara Misi dan pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah Belanda secara sadar memanfaatkan kehadiran Misionaris dan karya Misi
untuk kepentingan politis dan kelanggengan kekuasaannya di Nusantara. Sementara
itu, Misi juga memanfaatkan kehadiran dan dukungan pemerintah kolonial untuk
karya-karyanya dan perluasan pewartaan Injil. Dalam hal ini, pemerintah
kolonial Belanda membutuhkan Misi dan karyanya untuk kepentingannya. Demikian
juga Misi membutuhkan pemerintah kolonial untuk kepentingan karya Misi.
Sekalipun demikian, dalam kenyataannya terdapat dinamika yanag tidak mudah bagi
Misi dalam relasi dengan pemerintah kolonial. Sampai dengan akhir masa
kolonial, ‘rantai emas’ antara pemerintah kolonial Belanda dan Misi tetap
bertahan dan kuat.[71]
4. Penutup.
Dalam
sejarah tercatat bahwa sebenarnya kekristenan telah masuk ke wilayah Nusantara
pada abad ke-7 di Fansur, Baros, Sumatera, sekalipun jejak-jejaknya tidak diketemukan
lagi. Misi kemudian hadir lagi di bawah
kolonial Portugis, selanjutnya di bawah kolonial Belanda dengan berbagai
dinamikanya. Secara singkat, memang kita tidak bisa menolak bahwa kehadiran Misi kembali ke Nusantara itu bersama dengan
kolonialisme. Sangat jelas ada relasi kekuasaan antara Misi dan pemerintah
kolonial.
Dalam
banyak hal Misi bergantung kepada keputusan pemerintah kolonial Belanda,
misalnya soal pembagian dan pemekaran wilayah Misi Apostolik. Pemerintah
kolonial juga mempunyai kepentingan politis dengan kehadiran Misi. Dan
sebaliknya juga Misi mengambil keuntungan dari kedekatannya dengan pemerintah
kolonial demi kepentingan Misi. Sekalipun demikian tetap ada tegangan-tegangan
dalam relasi itu, terutama karena Misi dan para Misionaris selalu berusaha
untuk melampaui batas-batas yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Misi selalu
berusaha menjaga jarak dan independensinya, tetapi hal itu menjadi sangat
ambigu dan ambivalen ketika relasi keuntungan dengan kekuasaan kolonial tidak
sepenuhnya dilepaskan hingga berakhirnya masa kolonialisme Belanda.
Hal
ini juga membawa berbagai implikasi bagi Gereja Indonesia. Ketika rantai relasi
itu secara mendadak terputus oleh invasi Jepang keaadaan Misi memprihatinkan;
terputusnya, kekurangan dan kehilangan dukungan finansial, kekurangan tenaga Misioner,
Gereja Lokal belum disiapkan secara matang. Ada ambiguitas dan ambivalen di
kalangan para Misionaris dan juga di kalangan umat berhadapan dengan pergerakan
nasional untuk kemerdekaan, serta banyak pandangan miring lainnya karena
kedekatan Misi dengan pemerintah kolonial. Implikasi-implikasi tersebut tidak
hanya terjadi dan berlaku hingga masa awal Gereja Indonesia, tetapi hingga kini
masih tampak nyata asumsi-asumsi dan kebijakan-kebijakan yang sering
diskriminatif terhadap Gereja Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
=================
Aritonang,
J.S. and Kareel Steenbrink. 2008. A
History of Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV.
Boelaars,
Huub J.W.M. 2005: INDONESIANISASI: Dari
Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Bonk,
Jonathan. 1991. Mission and Money.
New York: Orbis Book.
Dua,
Mikhael. Et al. [Ed.], 2008: Politik
Katolik, Politik Kebaikan Bersama: Sejarah dan refleksi Keterlibatan
Orang-Orang Katolik dalam Politik Indonesia. Jakarta: Obor.
Hartono,
Budi dan M. Purwatma [ed.], 2004. DI
JALAN TERJAL: Mewartakan Yesus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko.
Yogyakarta: Kanisius.
Heuken,
A. 2010: Umat Kristen di Asia. Jilid II.
Dari Abad Ke-16 Hingga Sekarang. Jakarta: Yayasan Ciptaloka Caraka.
Odahl,
C. M. 2010: Constantine and the Christian Empire. New York: Routledge.
Robert,
Dana L. 2009: Christian Mission-How
Christianity Became a World Religion. USA: A John Wiley & Sons, Ltd.,
Publication
Steenbrink,
Karel. 2003: ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1903. Jilid I.
Maumere: Penerbit Ledalero.
Steenbrink,
Karel. 2006: ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1942. Jilid II.
Maumere: Penerbit Ledalero.
Subanar,
G.B. 2005: Menuju Gereja Mandiri, Sejarah
Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup, 1940-1981. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Van
den End, Th. 1993: RAGI CARITA 2: Sejarah
Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang . Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Van
Klinken, Gerry. 2010: Lima Penggerak
Bangsa yang Terlupa. Nasionalisme Minoritas Kristen. Yogyakarta: LKiS.
Van
Schie. 1995: Rangkuman Sejarah Gereja
Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain. Jakarta: Obor.
Vriens,
G. 1972: Sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Wilayah Tunggal Prefektur Vikariat Abad Ke-19 - Awal Abad Ke-20. JILID II. Jakarta: Bagian Dokumen
Penerangan KWI.
Vriens,
G. 1974: Sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Umat Katolik Perintis ± 645 - ± 1500. Awal Mula Abad Ke-14 - Abad Ke-18.
JILID I. Jakarta: Bagian Dokumen Penerangan KWI
[1] Terminologi poskolonialitas /
pascakolonialitas TIDAK dalam pengertian biasa atau harafiah, yakni ‘sesudah
kolonial”. Poskolonialitas / Pascakolonialitas
di sini dalam pengertian tentang kondisi-kondisi dalam suatu masyarakat
yang terjadi akibat peristiwa-peristiwa historis tertentu, yaitu akibat penjajahan (kolonialisme) dan/atau
kondisi-kondisi yang merupakan kelanjutan dari efek-efek atau dampak
kolonialisme. Dalam kategori waktu, poskolonialitas berkaitan dengan
situasi-situasi yang terjadi sejak adanya kolonialisme, sesudah kolonialisme,
dan hingga saat ini. Kajian Poskolonial/Pascakolonial
(Poskolonialisme/Pascakolonialisme) adalah bidang studi yang berfokus
pada usaha memahami dan menjelaskan kondisi tersebut.
[2] Flores dan Timor sebenarnya
tidak diambilalih oleh VOC. Sampai pada tahun 1860, kedua wilayah tersebut masih
di bawah kekuasaan penuh Portugis. Sesudah tahun 1860, wilayah Flores dan
sebagian wilayah Timor diambilalih oleh kekuasaan NICA (Hindia Belanda),
sedangkan Timor bagian Timur (kini Timor Leste tetap dalam penguasaan
Portugis). Hal ini berimplikasi juga terhadap perkembangan misi di daerah
Flores dan Timor lebih terawat, sekalipun dalam catatan sejarah Gereja
keberhasilan misi di sana (Flores dan Timor) baru memperoleh hasil yang
signifikan pada awal abad ke 20.
[3] Robert, Dana L.
2009: Christian Mission-How Christianity
Became a World Religion. USA: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication:
p. 10-20.
[4] Odahl, C. M.
2010: Constantine and the Christian Empire. New York: Routledge, p. 98.
[5] Robert, 2009: p. 21-22.
[7]Hartono, Budi dan M. Purwatma
[ed.], 2004. DI JALAN TERJAL: Mewartakan
Yesus Yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko. Kanisius, Yogyakarta: p. 319.
[8] Van Klinken,
Gerry. 2010: Lima Penggerak Bangsa yang
Terlupa. Nasionalisme Minoritas Kristen. Yogyakarta: LKiS: p. 16.
[9] Van Schie.
1995: Rangkuman Sejarah gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama
Lain. Jakarta: Obor : p. 115.
[10] Steenbrink,
Karel. 2006: ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1942. Jilid II.
Maumere: Penerbit Ledalero: p. 9.
[11] Hartono [ed.], 2004:
p. 315 ; Van Klinken, 2010: p. 11; Vriens,
G. 1974: Sejarah Gereja Katolik
Indonesia. Umat Katolik Perintis ± 645 - ± 1500. Awal Mula Abad Ke-14 - Abad Ke-18.
JILID I. Jakarta: Bagian Dokumen Penerangan KWI: p. 63-64.
[13] Subanar, G.B. 2005: Menuju Gereja Mandiri, Sejarah Keuskupan
Agung Semarang di bawah Dua Uskup, 1940-1981. Yogyakarta: Penerbit
Universitas Sanata Dharma: p. 19.
[14] van Klinken, 2010: p. 12;
Subanar, 2005: p. 19.
[15] Van Klinken, 2010: p. 12.
[16] Steenbrink, 2006: p. 1-2.
[17] Van den End, Th.
dan Weitjens, 1993: RAGI CARITA 2:
Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang . Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia: p. 388.
[18] van den End dan Weitjens, 1993:
p. 2.
[19] Boelaars, Huub
J.W.M. 2005: INDONESIANISASI: Dari Gereja
Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius; p. 76.
[20] van Klinken, 2010: p. 15.
[21] Steenbrink, 2006: p. 262.
[22] Steenbrink, 2006: p. 5.
[23] Hartono [ed.], 2004:
p. 319.
[24] Radicaal adalah sebuah surat resmi pemerintah Belanda yang menjadi
pengesahan seseorang untuk bekerja sebagai seorang pegawai pemerintahan.
Subanar, 2005: p. 29.
[25] Boelaars, 2005: p. 72.
[26] Vriens, G. 1972: Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Wilayah
Tunggal Prefektur Vikariat Abad Ke-19 -
Awal Abad Ke-20. JILID II. Jakarta:
Bagian Dokumen Penerangan KWI: p. 215.
[27] Boelaars, 2005: p. 72.
[28] Van Klinken, 2010: p. 11, 19.
[29] van Klinken,
2010: p. 19; Heuken, A. 2010: Umat
Kristen di Asia. Jilid II. Dari Abad Ke-16 Hingga Sekarang. Jakarta:
Yayasan Ciptaloka Caraka: p. 86.
[30] Steenbrink, 2006: p. 2.
[31] Vriens, 1972: p. 215 ;
Steenbrink, 2006: p. 709.
[32] Boelaars, 2005: p. 76.
[33] Vriens, 1972: p. 215.
[34] Boelaars, 2005: 79.
[35] Steenbrink, 2006: p. 6.
[36] Vriens, 1972: p. 215.
[37] Steenbrink, 2006: p. 135.
[38] Van Klinken, 2010: p. 12.
[39] Steenbrink, 2006: p. 15.
[40] Steenbrik, 2006: 378.
[41] Vriens, 1972: p. 216; Subanar,
2005: p. 23-24.
[42] Steenbrink, 2006: 429-430.
[43] Van Klinken, 2010: p. 14.
[44] Steenbrink, 2006: P. 710.
[45] Steenbrink, 2006: p.6-8.
[46] Steenbrink, 2006: p.6-9.
[47] van den End, 1993: p. 7.
[48]
Steenbrink, 2006: p.9.
[49] Subanar, 2005: p. 87.
[50] Subanar, 2005: p. 67 dan p. 103.
[51] Subanar, 2005: p. 189-192.
[52] Subanar, 2005: p. 59-60 dan p.
87.
[53] Subanar, 2005: p. 73.
[54] Steenbrink, 2006: p. 11.
[55] Steenbrink,
Karel. 2003: ORANG-ORANG KATOLIK DI
INDONESIA 1808-1903. Jilid I.
Maumere: Penerbit Ledalero: p. 400-401.
[56] Subanar, 2005: p. 72-73.
[57] van den End dan Weitjens, 1993:
p. 373.
[58] Steenbrink, 2003: p. 406.
[59] Aritonang, J.S.
and Kareel Steenbrink. 2008. A History of
Christianity in Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV : p. 856.
[60] Boelaars, 2005: 59; Subanar,
2005: p. 17.
[61] Subanar, 2005: p. 54, p. 81; Van
Klinken, 2010: p. 35.
[62] Dua, Mikhael.
Et al. (Ed.). 2008: Politik Katolik,
Politik Kebaikan Bersama: Sejarah dan refleksi Keterlibatan Orang-Orang Katolik
dalam Politik Indonesia. Jakarta: Obor,
p. 26-28.
[63] Subanar, 2005: p. 87.
[64] Subanar, 2005: p. 75-78.
[65] Dua, et al. (ed.), 2008: p. 35.
[66] Dua, et al. (ed.), 2008: p. 41.
[67] Steenbrink, 2006: 704.
[68] Steenbrink, 2003: p. 394-395.
[69] van Klinken, 2010: p. 37.
[70] Bonk, Jonathan:
1991. Mission and Money. New York:
Orbis Book. p. ix-xii.
[71] Steenbrink, 2003: p. 394-395.