Blog ini copy-left. Silakan mengutip sebagian atau keseluruhan teks, tapi sertakan alamat blog ini sekadar untuk sopan-santun akademis. Selamat membaca.
see no evil, hear no evil, say no evil
Jumat, 04 Oktober 2013
Rabu, 02 Oktober 2013
Rabu, 25 September 2013
Selasa, 24 September 2013
Senin, 23 September 2013
Sabtu, 21 September 2013
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
Salvador Allende ‘dibunuh’ dan mati berkali-kali, tetapi bangkit kembali. Bagaimana mungkin?
MUNGKIN sudah terlampau sering kita dengar kisah klasik tentang Chile di masa Allende dan kudeta militer terhadapnya, ibarat lagu lama yang sering diputar berulang kali. Namun, tidak ada salahnya untuk kembali mengingat cerita ini – siapa tahu berguna di kemudian hari.
Untuk memulai cerita, kita bisa menonton film besutan sutradara asal Chile, Patricio Guzmán, salah satu pengantar termudah mengenai Allende dan kejatuhannya. Tidak hanya itu, kita bisa mengambil beberapa pelajaran darinya. Singkat kata, kira-kira begini ceritanya.
Salvador Allende, seorang dokter yang berkecimpung dengan berbagai isu kesehatan publik, ikut mendirikan dan berkecimpung di Partai Sosialis Chile semenjak muda, sebuah partai pekerja yang independen dari garis komando Moskow. Allende mungkin tidak pernah mempelajari literatur-literatur Kiri dan Marxisme secara ‘resmi’ di bangku perkuliahan, namun dia tahu, ada berbagai cara mempelajari – dan tidak hanya itu, meresapi – prinsip-prinsip politik Kiri. Allende sendiri meresapi prinsip-prinsip itu dengan banyak berkecimpung dengan rakyat biasa – suatu aktivitas politik yang akhir-akhir ini makin langka. Baginya, terdapat banyak pintu menuju tujuan yang sama. Di tengah gelombang revolusi dan gerakan pembebasan nasional yang menyapu negara-negara dunia ketiga, Allende menempuh jalan elektoral demi pembebasan rakyat pekerja.
‘Bagaimana bisa,’ tanya Guzmán, ‘seseorang menjadi revolusioner dan demokrat di saat yang bersamaan?’ Allende mungkin adalah contoh langka seorang demokrat revolusioner. Tak percaya? Buktinya, dengan sabar dan konsisten tiga kali ia kalah pemilu presiden di Chile. Baru di kali ke-empat, tahun 1970, Allende menang tipis, sekitar 36.2 persen, dan dinobatkan menjadi presiden Chile. Berbagai ilmuwan politik terutama mereka yang beraliran borjuis menganggap bahwa sistem pemilu Chile yang dapat meloloskan presiden dengan perolehan suara yang minim merupakan penyebab mengapa Allende dapat menang dan partai-partai Kiri enggan untuk ‘memoderasi’ agenda-agenda politiknya. Beberapa diantara mereka bahkan menyalahkan Allende dan pihak Kiri sebagai pihak yang ‘mengundang malapetakanya sendiri.’ Tentu saja logika ini absurd. Dalam konteks kita, ini semacam menyalahkan orang-orang Muslim Syia’ah atau Ahmadi atau para korban katastrofi 1965 yang ‘mengundang kekerasan’ – ‘salah lu sendiri!,’ begitu kata mereka. Namun, ada baiknya omelan ini kita simpan dulu.
Allende tahu itu, namun dia tetap ngotot. Sekecil apapun peluang yang dimiliki oleh gerakan rakyat dan partai-partai Kiri, peluang tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Allende sendiri bukan orang baru di pemerintahan dan politik – dia sempat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial periode 1938 – 1942 dalam koalisi Front Popular yang berhaluan reformis. Semasa jabatannya, dia mengegolkan berbagai kebijakan progresif, seperti undang-undang keselamatan kerja, tunjangan kehamilan dan penyediaan makan siang gratis di sekolah-sekolah. Ini jelas berbeda dengan para elit di negeri kita misalnya, yang beraksi bak pahlawan kesiangan, seakan-akan dirinya bisa menjadi ratu adil atau juru selamat baru namun enggan untuk mengetahui lebih-lebih menghidupi penderitaan rakyat. Para elit ini juga – yang biasanya memiliki elective affinity atau pertemuan pandangan dengan beberapa segmen kelas menengah Indonesia – adalah mereka yang gemetaran dan ketakutan ketika melihat aksi-aksi massa rakyat dengan alasan ‘stabilitas’. Perubahan tidaklah semudah omongan para ‘motivator,’ konvensi partai yang diadakan beberapa tahun sekali, atau diskusi sembari nongkrong-nongkrong di warung kopi dan merasa sudah mengubah keadaan. Perubahan mestilah diusahakan dan hanya mungkin dilakukan oleh massa yang sadar. Allende tahu bahwa, ibarat Roma, Sosialisme tidak dapat dibangun dalam satu malam, melainkan membutuhkan kerja keras dan perencanaan yang panjang di jalan yang kerap kali tidak mudah.
40th anniversary of Pinochets coup marked at Chilean embassy
40 tahun peringatan atas kudeta militer terhadap Salvador Allende. Photo by Aimee Valinski
Tentu saja, di masa itu, Sosialisme masih menjadi harapan bagi banyak rakyat dan kaum tertindas lainnya di berbagai belahan dunia. Sosialisme tidak serta merta diidentikkan dengan tiang gantungan, Stalinisme dan gulag-gulag Soviet. Sosialisme juga bukan berarti sekedar ‘sosial demokrasi’ atau ‘jalan ketiga’ ala kaum neolib berbaju sosdem dewasa ini. Pada waktu itu, masih ada tokoh-tokoh seperti Olof Palme dan tentunya Allende, reformis revolusioner yang menyerukan sebuah visi akan masyarakat yang egaliter di dalam negeri dan menentang
aksi-aksi jingoisme imperial di luar negerimacam Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) maupun penumpasan protes rakyat oleh berbagai rejim Stalinis.
Setelah menjadi presiden, Allende memenuhi berbagai janjinya. Dia menasionalisasi berbagai cabang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tembaga dan perbankan. Sekarang, kita mungkin bisa mencibir nasionalisasi sebagai kebijakan ekonomi yang tidak efisien dan rawan korupsi. Memang, lebih mudah untuk menilai segala sesuatunya dari kacamata zaman kita. Namun, ada kondisi-kondisi yang khas dari tiap zaman yang perlu ditempatkan dalam konteks waktunya. Kebijakan nasionalisasi Allende adalah terobosan yang progresif. Lagipula, Allende tidak hanya sekedar memindahkan kontrol sektor-sektor produksi itu ke tangan negara. Lebih dari itu, dia mencoba memperluas kontrol buruh secara langsung atas sektor-sektor produksi tersebut. Menurut Victor Wallis, salah seorang pengkaji Chile, kebijakan-kebijakan Allende ‘memberikan kesempatan bagi mayoritas kaum buruh untuk menunjuk wakil-wakil yang mereka pilih di dewan administratif di tiap-tiap cabang usaha.’ Tidak hanya itu, meningkatnya level partisipasi buruh dalam aktivitas-aktivitas produksi juga diikuti dengan naiknya performa ekonomi – dan dampak ini tidak terbatas hanya pada sektor-sektor atau cabang-cabang industri tertentu, melainkan terasa lintas-sektoral dan secara umum. Bahkan, konon kabarnya, Project Cybersyn, sistem komunikasi dan manajemen yang dicetuskan Allende, disebut-sebut sebagai embrio ‘internet sosialis’ yang memungkinkan kontrol pekerja secara langsung yang lebih luas terhadap pengelolaan ekonomi. Selain mengurusi industri dan perburuhan, Allende juga melaksanakan reformasi agraria, mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, mengurangi inflasi dan memperluas akses ke pendidikan.
Tetapi, ada yang tidak senang dengan semua ini, yaitu kaum borjuis, para tuan tanah dan berbagai kelompok dan partai Kanan. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk kemudian membangun aliansi dengan AS terutama CIA dan militer. Poster-poster propaganda anti-Allende dari CIA bergambar tank-tank Soviet tersebar di Chile. Para pengusaha bus dan transportasi melakukan pemogokan – untungnya gerakan buruh dan rakyat di Chile cukup militan untuk menghadang pemogokan tersebut dengan tetap bekerja dan berakvititas seperti biasanya, meskipun di kemudian hari perbedaan pandangan dan sektarianisme di gerakan Kiri makin mengemuka. Agustus 1973 ada upaya untuk memakzulkan Allende, namun gagal di parlemen. Betapa dongkolnya kaum borjuis. Di film Guzman, terdapat satu adegan di mana seorang oposan borjuis berkata bahwa pemerintahan Allende ‘penuh kotoran’ dan Chile dipenuhi oleh ‘para Komunis Marxis yang menjijikan.’ Di adegan lain, terungkap bahwa Richard Nixon, presiden Amerika Serikat kala itu, menjuluki Allende sebagai ‘si bangsat.’ Ini semua tidak jauh berbeda dengan label-label yang disematkan terhadap siapapun yang diasosiasikan dengan PKI, gerakan rakyat dan ide-ide Kiri-progresif di Indonesia semenjak tahun 1965 sampai sekarang.
Akhirnya kita tahu. 11 September 1973, militer membombardir La Moneda, istana kepresidenan Chile. Setelah itu, Augusto Pinochet, darling of the West yang dibangga-banggakan dedengkot ekonom neoliberal Milton Friedman dan Friedrich Hayek, menjadi diktator Chile. Rejimnya meningkatkan kesenjangan ekonomi di Chile sekaligus mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi tahanan politik, disiksa, menghilang dan bahkan tewas. Tetapi rakyat Chile tidak pernah lupa. Tahun 1989 demokrasi direstorasi. Semenjak itu hingga sekarang, satu demi satu dosa-dosa rejim Pinochet diungkap.
Seringkali kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan. Mereka mendukung Allende karena ‘Allende mencetuskan utopia akan sebuah dunia yang lebih adil,’ kata berbagai aktivis pendukungnya.
Salvador Allende mungkin telah mati, namun namanya tetap abadi. Namanya akan selalu diingat oleh rakyat yang tertindas dan menderita di gang-gang sempit nan kumuh dari Santiago hingga Valparaiso, dari Jakarta hingga Ramallah, kini dan nanti.***
Film Patricio Guzmán dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=FTkY0mgvK7k
Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc
Kamis, 19 September 2013
Rabu, 18 September 2013
Tong Sam Cong
Windu W. JusufSEORANG teman suatu hari mengirim kabar gembira: foto-foto yang dijepretnya di Tibet akan dimuat di brosur promosi penerbangan ke sana. Bagi saya pribadi tempat itu tidak terlalu istimewa, mungkin kecuali sebagai wilayah yang mau merdeka.
Singkat kata, teman saya ini gandrung dengan ‘Spiritualitas Timur.’ Dan Tibet—yang sering dipertentangkan dengan ‘dogmatisme komunis Tiongkok’—mewakili itu. Layaknya faksi tertentu kelas menengah Jakarta yang berpikiran ‘maju’ dan ‘bebas,’ ia membenci ‘ormas-ormas radikal,’ sadar haknya sebagai perempuan, memilih yoga sebagai pengisi waktu senggang, bercocok tanam organik di kebun belakang rumahnya, dan tak mau makan daging. Familiar? Setelah ofensif FPI makin kencang, Tong Sam Cong musiman seperti ini bertambah banyak—dan kalau tak mampu beli tiket ke Tibet, ke Bali saja sudah cukup.
Saya sempat iseng bertanya: Sebelum orang Cina datang ke sana, bukannya masyarakat Tibet sangat feodal, dengan mayoritas tanah dikuasai para biksu dan tuan tanah? Jangan-jangan, sadar atau tidak, yang mengajarkan orang Tibet untuk merdeka adalah komunis Cina sendiri? Walhasil teman saya, yang sudah bolak-balik ke sana pun dongkol bukan main.
Saya ingat ada satu tulisan dari Susan Sontag, Questions on Travel, yang membahas tentang bagaimana narasi perjalanan membentuk imajinasi tentang tempat asing. Bukan sesuatu yang baru memang. Para pendekar poskolonial sudah lama bergelut dengan topik ini, dan tak selesai-selesai mempertanyakan konstruksi ‘Barat’ atas ‘Timur’—Timur yang dalam catatan perjalanan pelancong Eropa dipersepsikan eksotik, polos, malas, jorok, irasional, gila kawin, tukang piara budak, pecandu, dan seterusnya.
Penekanan Sontag berbeda. Ia bicara tentang idealisasi—dua sisi dari mata uang yang sama dengan penggambaran buruk—atas Timur. Pembayangan tentang Timur justru hadir sebagai kritik moral terhadap Barat. ‘Narasi-narasi perjalanan lahir,’ tulis Sontag, ‘ketika batasan antara mana yang beradab dan biadab semakin kabur.’
Orang Prancis sekitar abad 18 gandrung akan Tiongkok, yang konon sudah bisa membangun istana dari pualam di saat orang Eropa masih makan cacing. Kini kalangan neokonservatif di Amerika sana, membayangkan Iran sebagai Setan Besar, yang konon bersumpah akan mengerahkan 40.000 martir untuk mengenyahkan Israel. Namun, percaya atau tidak, satu roman yang laku keras di abad itu adalah Surat-Surat Persia karangan Montesquieu. Dalam satu bagian, si pelancong Persia terkaget-kaget menyaksikan toleransi agama diinjak-injak oleh Jesuit, sesuatu yang tak pernah ia saksikan di kampung halamannya. Tentu saja si orang bijak asal Persia itu adalah murni rekaan si pengarang. Montesqieu tak pernah menginjakkan kaki di Persia. Karakter-karakter dari negeri asing yang dikarangnya boleh jadi tercipta berdasarkan tulisan-tulisan orang lain.
Tapi Sontag juga tak hanya membahas kisah-kisah perjalanan di mana masyarakat antik Asia waktu itu dipersepsikan stabil, maju, dan makmur. ‘Timur’ dalam catatannya sekaligus mewakili ‘negeri-negeri merdeka,’ yang menghasilkan masyarakat baru setelah pergolakan politik yang keras. Jika di jaman Montesquieu si orang Timur dikisahkan melancong ke Barat, di era-era setelahnya, para penulis sengaja melancong ke luar untuk mencari model tatanan masyarakat yang dirasa pas. Imajinasi moral pun berkembang menjadi imajinasi politik.
Ketika negerinya bolak-balik dilanda arus revolusi dan reaksi, Alexis de Tocqueville melancong ke Amerika dan menyaksikan asosiasi-asosiasi bebas, kemerdekaan dari masa silam yang feodal, dan kebebasan beragama sebagai syarat mutlak demokrasi. Dan dalam hal melancong dan mencatat, Tocqueville punya banyak murid, baik dari kiri maupun kanan. Yang ada di kanan, di Indonesia misalnya, kembali ke negeri mereka dengan resep yang sudah jadi: tak ada demokrasi tanpa pembangunan,tanpa kelas menengah, tanpa pasar bebas, atau yang paling mutakhir: tanpa facebook dan twitter.
Banyak pula yang berasal dari kubu kiri. Setelah kemenangan Bolshevik, para penulis Eropa berbondong-bondong ke Rusia, penasaran ingin menyaksikan eksperimen ‘kuasa soviet plus elektrifikasi.’ Di era Perang Dingin, jumlahnya bertambah. Namun ada juga yang kecewa melihat rakyat Rusia semakin tak berkutik di hadapan birokrasi. Dikompor-kompori lagi oleh serbuan Rusia ke Hungaria, sebagian dari yang kecewa ini jadi anti-komunis. Mereka batal menghasilkan laporan gemilang tentang prestasi masyarakat soviet. Sementara beberapa lainnya, ketika mendengar Republik Rakyat China diproklamirkan, menggeser kiblat dari Moskwa ke Peking. Konon sosialisme gaya Peking lebih demokratis.
Anehnya, catat Sontag, setelah Revolusi Kebudayaan yang gagal, apa yang mereka laporkan tidak hanya mirip, tapi juga identik: ‘Komune petani teh di Hangchow yang sama, pabrik sepeda di Peking yang sama …’. Kabarnya, Partai mengontrol tempat mana yang boleh dikunjungi penulis asing. Setelah Rusia, lalu Cina—dan seiring Perang Dingin reda—catatan-catatan ini menghilang, digantikan buku-buku yang melaporkan ‘kejahatan komunis’ semacam Buku Hitam Komunisme, yang tidak sekali-dua kali ditulis oleh orang-orang yang mencantumkan biodata: ‘Di masa mudanya, ia seorang anggota Partai Komunis.’
Satu gejala umum yang agaknya mampu menjelaskan mengapa penulis-penulis ini gampang mengalami demoralisasi lalu berpindah kiblat: mereka hanya peduli dengan letupan-letupan di awal, romantisisme ‘perlawanan rakyat’, dan sejenisnya. Ketika tatanan politik yang lahir dari proses-proses tersebut mulai terbentuk—dan tak jarang harus mengambil jalur kekerasan untuk mengenyahkan sisa-sisa rejim lama yang masih menguasai senjata dan tentara—mereka pun langsung kecewa berat tanpa mau tahu detil prosesnya. Sisanya ialah episode yang terus berulang: mencari kiblat baru. Mereka pertama-tama memandang sosialisme tidak sebagai proyek, alih-alih sebagai sebuah oase ‘kearifan’ (‘wisdom’) di tengah masyarakat kapitalis yang kian ‘jahiliyyah’ dan konsumeris—tak beda-beda jauh dari mereka yang berkoar-koar ‘Khilafah solusinya!’
Entahlah, mungkin saya pun harus koreksi diri supaya tidak memperlakukan Venezuela layaknya teman saya memandang Tibet.***
Rabu, 11 September 2013
Sejarah intelektual Kajian Pascakolonial
Lord Thomas Babington Macaulay
Minute
on Indian Education (1835)
- satu rak saja sastra Inggris jauh lebih bernilai daripada seluruh “sastra
oriental”
lewat pendidikan Inggris pribumi
India akan dijadikan
“English in taste, in opinions, in morals, and in intellect” (Inggris dalam hal selera, pandangan, nilai
moral dan intelek)
- kelas terdidik itu akan membantu membela kepentingan Inggris di
India
Thilo Sarrazin (politikus Jerman,
SPD), 2010
Jerman sedang membatalkan dirinya: betapa kita sedang mempertaruhkan negara kita
pesan utama:
Masyarakat Jerman makin lama
makin bodoh karena makin banyak
orang yang berinteligensi rendah dan tidak mendapat pendidikan yang
baik. Penyebabnya adalah membesarnya kelas bawah, dan banyaknya migran, terutama migran dari dunia
Islam (Turki dan
Arab).
asumsi
Pendidikan yang
dimaksudkan adalah pendidikan Jerman (bahasa Jerman, pengetahuan standar
Barat). Pengetahuan lain
(bahasa non-Eropa, pengetahuan budaya dan
agama yang dianggap asing, dsb) tidak diperhitungkan.
Identitas Jerman dikaitkan dengan pengetahuan itu. Migran bisa (dan dianjurkan) “menjadi Jerman”/”berintegrasi” dengan cara mengadopsi pengetahuan itu.
Kalau pengetahuan dan nilai “standar
Barat” itu hilang, maka Jerman telah “membatalkan dirinya” – artinya, identitas Jerman yang
berbeda (di mana, msl., bahasa Turki,
agama Islam, dst menjadi bagian dari kejermanan) tidak terbayangkan.
Hilangnya identitas Jerman itu dipahami sebagai sebuah ancaman dan sebagai kemunduran: budaya Jerman/Eropa dianggap
superior, maka sangat rugi kalau digeser/dikalahkan oleh budaya-budaya non-Eropa yang
“inferior”.
Apa dasar keyakinan tentang superioritas pengetahuan dan cara hidup
Barat itu?
Dan bagaimana cara mengkritik dan melawannya?humanisme
universalisme
modernitas
kemajuan
eurosentrisme
Pencerahan
Tradisi pemikiran
Barat bersifat universalis, dalam arti menempatkan manusia
Barat (laki-laki
Barat) di pusat, sebagai standar.
Nilai-nilai seputar kemanusiaan, hakekat manusia, tujuan hidup manusia, etika dsb, diutarakan secara umum (berlaku untuk semua
orang, di mana
pun), meskipun nilai-nilai tersebut lahir dalam konteks budaya tertentu (yaitu Eropa).
Pada kenyataannya, ada manusia yang
dipandang “lebih manusia” daripada yang
lain, yaitu
orang Eropa (kulit putih).
Seluruh umat manusia dibayangkan mesti melalui perkembangan yang
sama, dari primitif menjadi
modern. Dengan narasi semacam itu, otomatis
orang Barat terlihat
paling maju,
paling modern. Budaya lain
diyakini berada pada
stadium yang sudah dilalui oleh budaya
Barat.
Dengan demikian, kolonialisme dapat dipandang (dan dilegitimasi) sebagai gerak dari tahyul menuju rasionalitas.
marxisme
Apa yang
dipikirkan manusia justru ditentukan oleh kondisi materialnya – tidak ada pengetahuan yang
netral dan tanpa kepentingan.
psikoanalisis
Manusia otonom yang
merasa sepenuhnya sadar diri dan menentukan dengan bebas apa yang
ingin dikerjakannya (= manusia rasional ala Pencerahan), adalah ilusi. Tindakan manusia kerapkali ditentukan oleh bawah sadarnya.
semiotika/(pasca)strukturalisme
Untuk berpikir, manusia selalu menggunakan bahasa yang
sudah ada sebelumnya, dan pikirannya selalu terjadi dalam kerangka wacana yang
sudah ada.
feminisme
Manusia
“universal” dalam tradisi pengetahuan
Barat selalu merujuk pada laki-laki, dan dengan demikian pengetahuan yang
konon netral itu sudah gendered.
Langganan:
Postingan (Atom)