see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Kamis, 20 Maret 2014

Hindhuisme di Indonesia Modern

Hindhuisme di Indonesia Modern
Martin Ramstedt (ed.)
 Di 
Menegosiasi Identitas - Orang-orang Hindu Indonesia
antara lokal, nasional, dan kepentingan global

Dipresentasikan Oleh 

Yohanes Padmo Adi 
Thomas Cahyo Susmawanto


Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
(Kakawin Sutasoma, Canto CXXXIX, 5 - Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5)

Bhinneka tunggal ika adalah motto dari Republik Indonesia. Diambil oleh Bapa Bangsa dari warisan Hindu-Jawa, sama seperti lambang negara, Garuda (kendaraan Dewa Wisnu), untuk menginspirasi persatuan nasional. Motto itu diambil dari Kakawin Sutasoma, sebuah epos Buddhis dari abad keempat belas, yang dikarang oleh seorang penyair Hindu-Jawa terkenal, Mpu Tantular, di sebuah Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) yang pusatnya terletak di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Timur.
Meskipun imaji kebesaran Majapahit menjadi inspirasi para nasionalis Jawa pada saat itu ketika membangun konsep Indonesia merdeka, dan meskipun imaji itu berpengaruh pada perkembangan Hinduisme Indonesia modern, intensi Martin Ramstedt (editor buku ini) lebih kepada menunjukkan isu “beraneka ragam tetapi tetap satu jua” yang tak pernah selesai tersebut, yaitu sebuah situasi yang sedang dan terus berlangsung di mana pluralisme agama dan budaya (penekanan pada “keanekaragaman”) dikontraskan dengan keseragaman agama dan budaya (penekanan pada “kesatuan”), sebagai penentu yang paling penting bagi masa lalu dan masa depan perkembangan Hindu Dharma di negara-bangsa Indonesia modern.

Bhinneka tunggal ika tersebut hingga kini masih menjadi perkara yang belum selesai, juga di dalam proses universalisasi Hindu Dharma India sebagai ‘agama dunia’ (abad XIX), di mana kemunculan dan perkembangan Hindu Dharma Indonesia menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan.
Sebelum membahas perkembangan Hindu Dharma Indonesia, terlebih dahulu Martin Ramstedt membahas tentang latar belakang sosio-politiko-historisnya: proses Indonesianisasi (persatuan dan kesatuan) yang sering kali sulit dan menyakitkan. Latar belakang itulah yang memacu perkembangan Hinduisme Indonesia.
Keanekaragaman bahasa, kosmologi lokal, sistem kepercayaan, ideologi, budaya, dan gaya hidup di seluruh penjuru kepulauan Nusantara menjadi kendala besar bagi persatuan pergerakan kemerdekaan Indonesia pada awal abad XX. Hingga pada 27-28 Oktober 1928 diselenggarakan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi dasar bagi nasionalisme Indonesia. Akhirnya konsep Indonesia merdeka tidak lagi hendak kembali kepada identitas primordial, tetapi justru melanjutkan sejarah muktakhir. Para pemuda bersumpah untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Konsepnya adalah menyatukan seluruh keberagaman yang ada di Nusantara tersebut di dalam Bangsa Indonesia.
Pada tanggal 29 April 1945 BPUPKI membentuk suatu komite yang bertugas menyusun konstitusi Negara Indonesia Merdeka. Dipilih oleh Soekarno, serta disetujui oleh Jepang, 62 orang di dalam komite tersebut merepresentasikan semua faksi politik dan ideologis mayoritas dari pergerakan kemerdekaan. Komite tersebut diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat, salah satu pemimpin Budi Utomo dan anggota Komunitas Teosofi.
Budi Utomo (didirikan pada 1908) adalah organisasi priyayi Jawa nasionalis yang bergaya Eropa. Anggotanya adalah para intelektual Jawa dari golongan priyayi. Mereka mencoba memadukan local wisdom dan modern European thinking, sembari meninggalkan feodalisme Jawa. Sebenarnya Budi Utomo lebih kepada ‘Javanist’ dari pada pan-Indonesia.
Terminologi ‘Javanist’ sendiri diciptakan oleh Robert W. Hefner. Terminologi ini menunjuk kepada orang-orang Jawa yang ‘meskipun memeluk Islam seseorang harus memaknai kembali atau bahkan menolak aturan-aturan formalnya demi tradisi High-Javanese (Jawa yang Unggul)’. Tradisi Jawa-Unggul tersebut berdasar pada etika, ritual, bahasa, estetika Jawa yang berakar pada mistisisme (kebatinan). Kebatinan/mistisisme Jawa tersebut merupakan percampuran Hindu-Buddha, Islam-Sufi, dan sifat-sifat animisme. Dalam konteks inilah Budi Utomo dan Komunitas Teosofi berhubungan.
Gerakan Teosofi sendiri memiliki kaitan dengan gerakan Hindu-Reformasi atau Neo-Hindu di India dan Buddhisme. Penghargaan filsafat India oleh para Teosofis Eropa tersebut menginspirasi orang-orang Hindu atau Singhalese dan orang-orang Buddhis Burma untuk kembali kepada tradisi agama mereka; juga menginspirasi para elit Jawa tersebut di atas untuk merevitalisasi dan merekonstruksi masa lalu Hindu-Jawa mereka. Hal tersebut dikenal sebagai gerakan nasionalis Jawa.
Kita bisa membayangkan bahwa pluralisme akan menjadi topik yang akan diangkat karena latar belakang Teosofi yang percaya bahwa keberagaman di seluruh semesta ini sebenarnya hanyalah pancaran dari yang satu. Akan tetapi, Budi Utomo dan seluruh gerakan nasionalisme Jawa sangat bias terhadap politik Islam. Pemerintah kolonial Belandalah yang menyebabkan hal ini. Pemerintah kolonial Belanda mendorong keretakan antara Javanis dengan Muslim orthodox (santri). Pemerintah kolonial Belanda hendak mencegah gerakan pan-Islamis (juga Komunisme) dengan memperkokoh posisi priyayi dan mendorong kajian serta rekonstruksi budaya tradisional Jawa.
Komite yang diketuai oleh Dr. Radjiman mengadakan sidang pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Pada hari terakhir itulah Soekarno menjawab pertanyaan Dr. Radjiman tentang apa dasar negara Indonesia merdeka kelak, yaitu ‘Pancasila’. Soekarno mengaku bahwa dia menggali Pancasila dari kedalaman tradisi Indonesia. Pancasila: Nasionalisme (Kebangsaan), Perikemanusiaan/internasionalisme (Humanity), Permusyawaratan-Perwakilan (Demokrasi) yang mengambil contoh dari ‘republik desa’ tradisional, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan (believe in God). Intinya adalah ‘gotong-royong’. Pidato kelahiran Pancasila tersebut disambut dengan tepuk tangan meriah hadirin.
Meskipun demikian, ada ketidakpuasan dari pihak Islam. Akhirnya lahirlah Piagam Jakarta di mana pada sila ‘Ketuhanan’ tersebut diberi tambahan tujuh kata, menjadi “Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja”. Hal itu diputuskan dengan segala konsekuensinya.
Pada 17 Agustus 1945 sore hari, Mohammad Hatta dikunjungi oleh Mr. Nisyijima, ajudan Admiral Mayeda, menanyakan apakah Hatta bersedia menerima opsir Kaigun (AL Jepang). Opsir tersebut menyampaikan keberatan para wakil Protestan dan Katolik dari daerah-daerah yang masih dibawah kontrol Jepang (Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara dan Tengah, dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara)). Mereka mengancam tidak akan bergabung dengan Negara Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dihapus, sebab tujuh kata itu merupakan sebuah diskriminasi bagi Protestan dan Katolik. Pada 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengubah rumusan Piagam Jakarta tersebut. Sila pertama Pancasila sekarang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (belief in the great unity of God).
Pada 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang dipegang oleh seorang Islam modernis berpendidikan Kairo, yaitu H.M. Rasjidi, seorang Muhammadiyah. Sedangkan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan masih di bawah pengaruh nasionalis sekuler Jawa, yang sangat terpengaruh oleh moral dan etika Budi Utomo, universalisme Komunitas Teosofi, dan konsep pendidikan Taman Siswa (yang didirikan oleh R.M. Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro). Taman Siswanya Ki Hadjar Dewantoro sangat terpengaruh oleh konsep pendidikan Rabindranath Tagore, yang direalisasikan pada Shantiniketan Vishva Bharaty University. Rabindranath Tagore adalah seorang penyair Bengali yang memiliki hubungan dekat dengan Komunitas Teosofi. Ki Hadjar Dewantoro ini diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1945 oleh Soekarno. Ki Hadjar Dewantoro mempromosikan nilai-nilai budaya Jawa sebagai bagian dari pendidikan moral pemuda. Kita bisa melihat kutub-kutub yang saling bertegangan di sini. Di satu sisi ada Islam Muhammadiyah yang bahkan beranggapan bahwa kebatinan itu ‘not-Islamic’ (tidak Islam), di sisi lain ada gerakan Javanis yang sangat kuat.
Masalah menjadi semakin rumit ketika Belanda mengadakan agresi militer. Dengan cepat Belanda berhasil menguasai Kalimantan, Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara). Demi perkembangan Hinduisme di Indonesia merdeka, para elit tradisional Bali (sebagaimana daerah-daerah lain) menyambut dan mendukung kedatangan Belanda ini sebagai pelindung terhadap gerakan hegemonis ‘Muslim Jawa’. Di sisi lain, Sultan-sultan Muslim Jawa telah selama berabad-abad menjadi musuh bagi raja-raja Bali, yang mengaku sebagai keturunan dan pewaris Majapahit. Nah, kita bisa melihat tegangan lain di sini. Para sultan Jawa itu mengaku sebagai keturunan dan penerus Majapahit, bahkan hal itu diwarisi oleh gerakan Javanis tersebut di atas. Para raja Bali pun mengaku sebagai keturunan dan pewaris Majapahit.
Pada tahun 1949 Belanda, atas desakan dunia internasional, akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Namun, Belanda memastikan bahwa Republik Indonesia berbentuk serikat. Dan juga, Belanda mencampuri Undang-undang Dasar (Konstitusi) Indonesia 1949; Belanda memastikan Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam Konstitusi, dan mengubah artikel 18, bunyinya “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsjafan batin, dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan”. Para politisi Islam tidak suka dengan hal itu. Mereka menganggap Republik Indonesia Serikat itu hanya setengah merdeka saja. Pemerintah pun menyingkirkan para elit tradisional lokal dari kekuasaan karena dianggap pro-Belanda. Kata ‘tradisi’ (adat) kini mendapatkan makna negatif. Kata itu kini berkonotasi feodal, imperialis, dan antirepublik.
Lalu terbitlah Undang-undang Dasar 1950 di mana frase ‘hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan’ pada artikel 18 dihapuskan. Pada UUD 1950, artikel 18 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran”.
Lalu datanglah pemberontakan S.M. Kartosuwirjo bersama gerakan Darul Islamnya. Pada 7 Agustus 1949 dia memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Gerakan ini segera menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, dan Sulawesi Selatan.
Walaupun terdapat pemberontakan yang bernama Darul Islam, para politikus Islam yang setia kepada Republik masih dapat berpolitik melalui Departemen Agama. Sedangkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih terus didominasi orang-orang nasionalis sekular Jawa yang mendapatkan pengaruh kuat dari Budi Utomo dan Taman Siswa. Selain itu, PNI, partai di mana para Javanis sangat mencolok, memiliki hubungan dengan beberapa aliran kebatinan yang mempraktekkan semacam mistisisme yang berdasar pada sebuah interpretasi kaum Javanis terhadap Pancasila.
Pada saat itu yang menjadi menteri agama adalah K.H. Wahid Hasyim, salah seorang pemimpin NU dan anggota Masyumi yang sebelumnya turut serta mendukung syariat sebagai dasar dari UUD 1945. Dialah yang membedakan antara ‘agama’ (religion) dan ‘aliran kepercayaan’ (current of belief). Agama tidak lain adalah segala sesuatu yang menyangkut konsep Judeo-Christian-Muslim tentang agama. Sedangkan, berdasarkan Peraturan Menteri No. 9/1952/Artikel VI, “Aliran kepercayaan ... ialah suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa.”
Beragama berarti sudah menyatakan suatu kredo (syahadat) monoteistik dan dikenal secara internasional, sebagaimana yang diwartakan oleh seorang nabi di dalam sebuah kitab suci.
Kata ‘agama’ sendiri secara etimologis berasal dari Bahasa Sansekerta. Dalam Bahasa Sansekerta kata agama dipahami sebagai: (1) ajaran tradisional yang suci, koleksi dari ajaran-ajaran suci tersebut, atau karya-karya suci pada umumnya; (2) nama umum dari kitab-kitab suci tertentu yang berhubungan dengan penyembahan dewa-dewa Hindu seperti Wisnu, Sakti, dan Siwa. Kata itu masuk ke dalam Bahasa Jawa Kuna ketika ada proses Indianisasi Jawa yang berlangsung sejak abad pertama masehi. Ketika Islam mengambil alih kekuasaan di Jawa pada abad XIV, kata itu mulai kehilangan konotasi Hindunya. Bahkan, di dalam pengertian dalam Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, kata agama dipahami sebagai sebuah sumber tekstual yang menjadi dasar bagi ritual dan penyembahan. Apropriasi Islam atas terminologi ini pada akhirnya membuat kata ‘agama’ menjadi searti dengan kata ‘din’ dalam Bahasa Arab sebagaimana dipakai di Al-Quran.
Akhirnya hanya Islam, Protestan, dan Katolik sajalah yang dapat disebut agama, karena nabi (pewarta) dan kitab sucinya jelas. Segala bentuk tradisi suci di seluruh penjuru Nusantara, termasuk kebatinan Jawa (Kejawen) --meskipun mengambil unsur-unsur Islam juga--, dikategorikan sebagai aliran kepercayaan. Bahkan, memiliki kepercayaan monoteistik pun tidak cukup untuk membuat aliran kepercayaan mendapatkan status “agama”. Maka, para penganut aliran kepercayaan tersebut dipandang belum beragama! Menteri Agama mendorong dakwah Islam dan misionaris Kristiani untuk membawa (kembali) para penganut aliran kepercayaan ini kepada agama. Dakwah Islam dan misionaris Kristiani itu pun bersaing.
Menurut Menteri Agama, para penganut aliran kepercayaan itu tidak bisa dipandang sebagai Warga Negara Indonesia yang penuh. Ada 3 alasan: (1) karena Indonesia percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap penduduknya harus beragama, (2) karena aliran kepercayaan itu dipandang terkait erat dengan adat kebiasaan hidup turun-temurun yang dianggap terbelakang, sehingga akan menghambat kemajuan masyarakat Indonesia, (3) karena Belanda menggunakan hukum adat sebagai bentuk resistensi terhadap Indonesianisasi, mereka yang mengidentifikasi diri dengan tradisi etnis dianggap membangkang dari Negara Indonesia.
Logika berpikir semacam itu telah terlebih dahulu diaplikasikan di Bali ketika pada 20 November 1946 para gerilyawan republik di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai secara efektif didesak oleh Belanda dan orang-orang Bali antirepublik dalam perang Puputan Margarana. Pada saat itu Belanda menghidupkan kembali budaya, seni, dan agama Bali, sembari memperkuat otoritas politik para aristokrat Bali yang setia.
Pada tahun 1952 Menteri Agama menghendaki orang-orang yang belum beragama memeluk salah satu agama yang diakui. Menteri Agama berkesimpulan bahwa agama Bali memiliki konsep-konsep Hindu dan Buddha yang lemah. Agama Bali tidak lain adalah sebuah ‘animisme’ lokal yang heterogen dan praktek politeistik. Maka, orang-orang Bali dianggap belum beragama, sehingga menjadi target dakwah Islam dan misi Kristiani.
Terkejut dan ketakutan akan hal tersebut, pemerintahan lokal Bali pada 1953 mendirikan dinas agama otonom. Mereka ingin agar agama tradisi mereka dikenal sebagai Agama Hindu Bali. Beberapa pemuda Bali pun dikirim ke India untuk mempelajari agama Hindu, terutama untuk belajar di Shantiniketan Vishva Bharaty University (Rabindranath Tagore), di the Banaras Hindu University (yayasan yang diinspirasi Annie Besant, Presiden Komunitas Teosofi), dan di the International Academy of Indian Culture (didirikan oleh Raghu Vira, intelektual India).
Usaha orang-orang Bali ini tidak bertepuk sebelah tangan, orang-orang India menyambut baik. Beberapa intelektual India dikirim ke Bali, bahkan ada yang akhirnya tinggal dan memperistri orang Bali. Pandit Shastri menulis Intisari Hindu Dharma (ajaran Catur Weda dan Upanisad, dasar dari Hindu Dharma). Meskipun mengesampingkan literatur Purana dan Itihasa, Bagawad Gita dihargai. Kita bisa melihat hubungan dengan dan pengaruh Teosofi yang menghargai pula Bagawad Gita dan Rabindranath Tagore, yang juga menghargai Gita dan pernah mengunjungi Jawa dan Bali pada tahun 1927.
14 Juni 1958 disusunlah draf petisi bersama. Agama Hindu-Bali tidak bertentangan dengan Pancasila dan memiliki kredo ‘Om tat sat ekam eva advitiyam’ (Om, demikianlah esensi dari yang meliputi semua, satu dan tak terbagi). Nama dari “Yang meliputi semua, satu dan tak terbagi” tak lain adalah Tuhan (dalam Bahasa Indonesia), atau “Ida Sanghyang Widhi Wasa” (Penguasa Ilahi atas Semesta dan Hukum Kosmis Absolut Ilahi). Arti yang pertama mencoba mendamaikan dengan konsep  ‘Tuhan Yang Maha Esa’ sebagaimana yang dipahami oleh agama Judeo-Christian-Muslim, sedangkan arti yang kedua merujuk pada pengertian ‘Hinduisme’ oleh kaum Hindu-nasionalis, yaitu Sananta Dharma (Kebenaran/Hukum Kosmis Abadi). Segala dewa-dewi Bali kini hanya dianggap sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Sanghyang Widhi Wasa, sebagaimana yang dilakukan oleh para Brahmin India dan para pemimpin gerakan spiritual Neo-Hindu.
Catur Weda, Upanisad, Bagawad Gita, dan kitab-kitab Jawa Kuna Sarasamuccaya serta Sanghyang Kamahayanikan menjadi Kitab Suci Agama Hindu Bali. Para resi (penyusun Weda) dan para empu dari kitab-kitab Jawa Kuna tersebut di atas adalah para nabi. Doa harian Trisandhya (doa tiga waktu) yang didesain oleh Pandit Shastri dipandang sama dengan shalat (doa lima waktu) di dalam Islam. Agama Hindu Bali juga memiliki lima kewajiban: dewa yadnya (menyembah Tuhan), pitra yadnya (berdevosi kepada leluhur), manusia yadnya (saling mengasihi antarsesama manusia), bhuta yadnya (mengasihi makhluk hidup lain), dan resi yadnya (berdevosi kepada/melayani guru/pemimpin spiritual, dengan cara mengkaji kitab-kitab suci). Sehingga, segala macam bentuk ritual orang-orang Bali kini dianggap sebagai manifestasi dari lima kewajiban agama ini dari pada sekadar praktek ritual etnis yang berdasar pada kepercayaan politeis dan animisme.
Didukung oleh Soekarno, yang ibunya adalah seorang Bali dan ayahnya adalah seorang Teosofi, pada 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali resmi diakui oleh pemerintah. Kementrian Agama kini memiliki Bagian Urusan Hindu Bali (‘Urusan’ bukan ‘Agama’!). Komunitas Hindu Bali pun membentuk Parisada Dharma Hindu Bali (KWI/MUI-nya Hindu Bali).
Soekarno mendukung Agama Hindu Bali ini oleh karena latar belakangnya. Ibunya seorang Bali, ayahnya seorang Teosofi. Soekarno mengidolakan Mahatma Gandhi (yang pandangan politiknya mengakar pada Bagawad Gita). Dia sangat terpengaruh oleh wayang. Soekarno pernah belajar Teosofi. Pernah pula bergabung dalam Jong Java, organisasi kepemudaan Budi Utomo. Soekarno tidak pernah bergerak dalam golongan Islam, tetapi justru mengombinasikan ideologi-ideologi tertentu (etika Jawa pada wayang, kepercayaan kepada ‘Ratu Adil’ (mesias Jawa); bahkan mengombinasikan Islam Jawa dengan komunisme menjadi Marhaenisme). Pancasila lahir dari latar belakang semacam ini pula.
Hubungan Soekarno dengan politik Islam tidak berjalan dengan baik. Puncaknya adalah pembubaran Masjumi karena dianggap mendalangi pemberontakan PRRI dan secara prinsip menyetujui pandangan Darul Islam walaupun sama sekali tidak mendukung aksi politis Darul Islam tersebut.
Penggembosan politik Islam ini menjadi angin segar bagi status Agama Hindu Bali di Kementrian Agama. Pada 1963 Agama Hindu Bali diakui secara penuh dan bagian yang mengurusinya di Departemen Agama berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali.
Agama Hindu Bali pun semakin mendekatkan diri kepada Hindu Dharma universal. Parisada Dharma Hindu Bali berganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma. Hindu Bali kemudian memproklamasikan lima kepercayaannya (panca sraddha):  (1) beriman kepada Sanghyang Widhi Wasa, (2) percaya kepada atman, (3) percaya karmaphala, (4) percaya samsara/reinkarnasi, (5) percaya akan moksa. Jika terminologi ‘Sanghyang Widi Wasa’ kita ganti dengan ‘Brahman’, kita akan mendapatkan lima prinsip ajaran Neo-Hinduisme India.
Penghapusan kata ‘Bali’ dari frasa ‘Parisada Hindu Dharma’ disebabkan oleh desakan Kementrian Agama dan realita di lapangan bahwa komunitas Hindu di Indonesia tidak hanya Hindu Bali, tetapi juga terdapat Hindu Tamil, Sindhis, lalu juga Hindu Jawa (beberapa kaum nasionalis Jawa yang secara antusias kembali kepada apa yang mereka percayai sebagai agama leluhur mereka).
Ketika Soeharto meraih kekuasaan setelah melakukan kudeta merangkak pascaperistiwa 30/S, komunitas Hindu menjadi semakin beragam. Beragama menjadi perkara hidup dan mati! PKI dikambinghitamkan atas peristiwa 30/S tersebut. Semua (yang dituduh) anggota atau terlibat PKI ditangkap dan dieksekusi tanpa peradilan di bawah komando Soeharto melalui KOSTRAD. Organisasi kepemudaan NU, Ansor, pun turut serta membantai semua (yang dituduh) anggota atau terlibat PKI. Bukan hanya PKI, bahkan mereka yang menganut aliran kepercayaan (dan dianggap belum beragama itu), khususnya para anggota kelompok kebatinan Jawa, pun turut serta menjadi sasaran. Logikanya: komunis itu ateis - ateis itu komunis - penganut aliran kepercayaan itu tidak beragama - tidak beragama itu ateis - ateis itu komunis. Logika semacam itu menjadi pembenaran bagi golongan Islam yang ingin membalas dendam kepada golongan Javanis. Faktanya, banyak orang Jawa abangan (bukan Islam orthodox) mendukung PKI sekaligus juga menjadi anggota dari kelompok-kelompok kebatinan yang berbeda.
Ketika Soeharto benar-benar menjadi presiden yang sah, Orde Baru lahir. Soeharto hendak mensukseskan ‘de-ideologisasi’ kepada masyarakat (contoh: desoekarnoisasi), harmoni sosial yang dijaga oleh dwifungsi ABRI, dan pembangunan ekonomi.
Meskipun mendukung gerakan antikomunis Soeharto, politik Islam masih belum aman oleh karena kenangan segar akan pemberontakan Darul Islam.
Soeharto sendiri sebenarnya merupakan pelaku mistisisme Jawa, malah sering bersamadi di candi-candi Hindu-Jawa dan mengoleksi pusaka (keris) supaya mendapat kesaktian. Walaupun demikian, dia sangat anti terhadap kelompok-kelompok kebatinan Jawa karena Soeharto sulit mempercayai mereka. Bagi para anggota kebatinan Jawa tersebut, Soeharto bukanlah Ratu Adil (mesias) yang dinubuatkan oleh Joyoboyo. Soeharto bahkan takut akan kebangkitan Ratu Adil tersebut. Bagi para anggota kebatinan Jawa, Soekarno jauh lebih merepresentasikan Ratu Adil tersebut. Itulah mengapa kebatinan Jawa pada era Soeharto sama sekali tidak pernah berkesempatan untuk mendapatkan status ‘agama’.
Karena takut dicap ateis, lalu dicap komunis, lalu ditangkap dan dieksekusi, banyak Javanis dan banyak pemeluk agama etnis mencari payung kepada agama yang diakui. Sebagai hasilnya, pada saat itu terjadi peledakan umat beragama. Mereka berbondong-bondong memeluk salah satu dari agama yang diakui negara tersebut. Antara tahun 1960-1980 banyak Orang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Orang Tengger, Orang Bugis To Wani To Lotang dan Mamasa dan Sa’dan Toraja di Sulawesi Selatan, sebagian Karo di Sumatera Utara, Orang Ngaju dan Luangan di Kalimantan Tengah dan Selatan menyatakan diri sebagai Orang Hindu. Sekali lagi Parisada Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia pada 1986.
Di Jawa hal itu tidak berjalan mulus. Kelompok kebatinan Jawa secara tradisional terhitung Muslim, sehingga perpindahan mereka ke Hindu Dharma --sebuah agama yang tidak pernah dianggap sebagai “agama yang benar” oleh Orang-orang Islam-- acap kali dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal di daerah yang mayoritas Muslim. Sering kali petugas yang Muslim di kantor Kelurahan/Kecamatan menolak mengubah kolom agama pada KTP mereka menjadi ‘Hindu’. Itu belum kekerasan lain misalnya tarif yang lebih tinggi yang dikenakan oleh petugas catatan sipil kepada pengantin Hindu, atau dakwah terus-menerus agar mereka mau kembali kepada Islam.
Di daerah yang mayoritas Kristiani, keadaan tidak lebih baik! Mereka yang mengaku Hindu acap kali tidak diuntungkan (misalnya tidak mendapatkan perwakilan sama sekali di DPRD, tidak diterima pengajuan bea-siswanya, dan semacamnya). Hal ini disebabkan karena Orang-orang Kristiani, khususnya Protestan, tidak menghargai sama sekali Hinduisme. Maka, jangan heran jika kita bertemu dengan orang-orang yang mengikuti ritual agama Hindu, tetapi KTP mereka sama sekali tidak tercantum kata ‘Hindu’. Fenomena itu jamak di Indonesia.
Hindu Dharma sebenarnya dilindungi pemerintah Orde Baru karena Parisada Hindu Dharma pada 1968 menyatakan setia pada Soeharto, bahkan sampai masuk Golkar. Hinduisme Indonesia akhirnya menjadi payung bagi agama-agama minoritas, misalnya: Agama Budha (agama tradisi Orang Tengger, bedakan dengan Buddhisme!), Aluk To Dolo, Ada’ Mappurondo, Toani, Pemena, dan Kaharingan. Di Departemen Agama sendiri akhirnya bagian Hindu Dharma mengakomodasi pula Buddhisme dan Konghucu. Oleh orang-orang Muslim dan Kristiani, Agama Hindu dicap sebagai agama ardi (agama bumi), sedangkan Islam-Kristiani dicap sebagai agama wahyu (agama langit).
Revolusi Iran (1978) mendorong maraknya fundamentalisme Islam di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Semua agama dilarang menerima dana/sponsor dari luar negeri dalam bentuk apapun. Pada 1983 Pancasila menjadi asas tunggal. Tentu saja hal itu mendapatkan perlawanan dari Muslim orthodox pada umumnya.
Pada akhir tahun 1980-an Soeharto mengubah paradigmanya terkait Islam. Ada perpecahan antara dirinya dengan faksi kuat di tubuh ABRI. Soeharto butuh basis massa baru. Pada tahun 1990 dia naik haji ke Mekkah. Soeharto pun menyetujui ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang beranggotakan baik para pegawai pemerintah maupun oposan pemerintah. ICMI bersama Muhammadiyah (Amien Rais) dan Yayasan Paramadina (Nurcholish Madjid) menggagas sebuah “masyarakat Indonesia Islami”, dari pada “negara Indonesia Islami”.
Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi puncak dari Krisis Asia. Soeharto dilengserkan. Pemerintahannya dianggap sebagai “kapitalisme kroni”. Beberapa gerakan Islamis menuduh bahwa kroni-kroni Soeharto terdiri dari teknokrat sekular, orang-orang Kristiani dan Tionghoa. Tuduhan ini berujung pada kerusuhan. Korbannya tak lain adalah orang-orang Tionghoa-Indonesia, orang-orang Kristiani, juga orang Hindu, Javanis, dan Buddha.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid menyerukan toleransi beragama. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi konflik agama di Maluku, Kalimantan, Irian Jaya (Papua), Lombok, dan Sulawesi Selatan. Otonomi daerah yang diwacanakan oleh Gus Dur, dan yang dijalankan oleh Megawati Soekarnoputri membuat orang-orang Bali merasa yakin bahwa ‘Bali tetap Hindu’.

Menanggapi Islamisasi masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, komunitas Hindu Indonesia pun menjadi semakin radikal. Dua tegangan dalam Hindu Indonesia: atau semakin mendekatkan diri kepada Hindu India, atau memberi ruang pada kebiasaan dan praktek lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar