Hindhuisme
di Indonesia Modern
Martin
Ramstedt (ed.)
Di
Menegosiasi
Identitas - Orang-orang Hindu Indonesia
antara
lokal, nasional, dan kepentingan global
Dipresentasikan Oleh
Yohanes Padmo Adi
Thomas Cahyo Susmawanto
Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
bhinneki rakwa ring apan kena
parwanosen,
mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa
tunggal,
bhinneka tunggal ika tan hana dharmma
mangrwa.
Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Berbeda-beda
tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
(Kakawin
Sutasoma, Canto CXXXIX, 5 - Kutipan ini
berasal dari pupuh 139, bait 5)
Bhinneka
tunggal ika adalah motto dari Republik Indonesia. Diambil oleh Bapa Bangsa dari
warisan Hindu-Jawa, sama seperti lambang negara, Garuda (kendaraan Dewa Wisnu),
untuk menginspirasi persatuan nasional. Motto itu diambil dari Kakawin Sutasoma, sebuah epos Buddhis
dari abad keempat belas, yang dikarang oleh seorang penyair Hindu-Jawa
terkenal, Mpu Tantular, di sebuah Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) yang pusatnya
terletak di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Timur.
Meskipun
imaji kebesaran Majapahit menjadi inspirasi para nasionalis Jawa pada saat itu
ketika membangun konsep Indonesia merdeka, dan meskipun imaji itu berpengaruh
pada perkembangan Hinduisme Indonesia modern, intensi Martin Ramstedt (editor
buku ini) lebih kepada menunjukkan isu “beraneka ragam tetapi tetap satu jua”
yang tak pernah selesai tersebut, yaitu sebuah situasi yang sedang dan terus
berlangsung di mana pluralisme agama dan budaya (penekanan pada
“keanekaragaman”) dikontraskan dengan keseragaman agama dan budaya (penekanan
pada “kesatuan”), sebagai penentu yang paling penting bagi masa lalu dan masa
depan perkembangan Hindu Dharma di negara-bangsa Indonesia modern.
Bhinneka tunggal
ika tersebut
hingga kini masih menjadi perkara yang belum selesai, juga di dalam proses
universalisasi Hindu Dharma India sebagai ‘agama dunia’ (abad XIX), di mana
kemunculan dan perkembangan Hindu Dharma Indonesia menjadi bagian yang tak
dapat dipisahkan.
Sebelum
membahas perkembangan Hindu Dharma Indonesia, terlebih dahulu Martin Ramstedt
membahas tentang latar belakang sosio-politiko-historisnya: proses
Indonesianisasi (persatuan dan kesatuan)
yang sering kali sulit dan menyakitkan. Latar belakang itulah yang memacu perkembangan
Hinduisme Indonesia.
Keanekaragaman
bahasa, kosmologi lokal, sistem kepercayaan, ideologi, budaya, dan gaya hidup
di seluruh penjuru kepulauan Nusantara menjadi kendala besar bagi persatuan pergerakan
kemerdekaan Indonesia pada awal abad XX. Hingga pada 27-28 Oktober 1928
diselenggarakan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi dasar bagi nasionalisme
Indonesia. Akhirnya konsep Indonesia merdeka tidak lagi hendak kembali kepada
identitas primordial, tetapi justru melanjutkan sejarah muktakhir. Para pemuda
bersumpah untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu
Indonesia. Konsepnya adalah menyatukan seluruh keberagaman yang ada di
Nusantara tersebut di dalam Bangsa Indonesia.
Pada
tanggal 29 April 1945 BPUPKI membentuk suatu komite yang bertugas menyusun
konstitusi Negara Indonesia Merdeka. Dipilih oleh Soekarno, serta disetujui
oleh Jepang, 62 orang di dalam komite tersebut merepresentasikan semua faksi
politik dan ideologis mayoritas dari pergerakan kemerdekaan. Komite tersebut
diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat, salah satu pemimpin Budi Utomo dan
anggota Komunitas Teosofi.
Budi
Utomo (didirikan pada 1908) adalah organisasi priyayi Jawa nasionalis yang
bergaya Eropa. Anggotanya adalah para intelektual Jawa dari golongan priyayi.
Mereka mencoba memadukan local wisdom
dan modern European thinking, sembari
meninggalkan feodalisme Jawa. Sebenarnya Budi Utomo lebih kepada ‘Javanist’
dari pada pan-Indonesia.
Terminologi
‘Javanist’ sendiri diciptakan oleh Robert W. Hefner. Terminologi ini menunjuk
kepada orang-orang Jawa yang ‘meskipun memeluk Islam seseorang harus memaknai
kembali atau bahkan menolak aturan-aturan formalnya demi tradisi High-Javanese
(Jawa yang Unggul)’. Tradisi Jawa-Unggul tersebut berdasar pada etika, ritual,
bahasa, estetika Jawa yang berakar pada mistisisme (kebatinan).
Kebatinan/mistisisme Jawa tersebut merupakan percampuran Hindu-Buddha,
Islam-Sufi, dan sifat-sifat animisme. Dalam konteks inilah Budi Utomo dan
Komunitas Teosofi berhubungan.
Gerakan
Teosofi sendiri memiliki kaitan dengan gerakan Hindu-Reformasi atau Neo-Hindu
di India dan Buddhisme. Penghargaan filsafat India oleh para Teosofis Eropa
tersebut menginspirasi orang-orang Hindu atau Singhalese dan orang-orang
Buddhis Burma untuk kembali kepada tradisi agama mereka; juga menginspirasi
para elit Jawa tersebut di atas untuk merevitalisasi dan merekonstruksi masa
lalu Hindu-Jawa mereka. Hal tersebut dikenal sebagai gerakan nasionalis Jawa.
Kita
bisa membayangkan bahwa pluralisme akan menjadi topik yang akan diangkat karena
latar belakang Teosofi yang percaya bahwa keberagaman di seluruh semesta ini
sebenarnya hanyalah pancaran dari yang satu. Akan tetapi, Budi Utomo dan
seluruh gerakan nasionalisme Jawa sangat bias terhadap politik Islam.
Pemerintah kolonial Belandalah yang menyebabkan hal ini. Pemerintah kolonial
Belanda mendorong keretakan antara Javanis dengan Muslim orthodox (santri).
Pemerintah kolonial Belanda hendak mencegah gerakan pan-Islamis (juga
Komunisme) dengan memperkokoh posisi priyayi dan mendorong kajian serta
rekonstruksi budaya tradisional Jawa.
Komite
yang diketuai oleh Dr. Radjiman mengadakan sidang pada 28 Mei hingga 1 Juni
1945. Pada hari terakhir itulah Soekarno menjawab pertanyaan Dr. Radjiman
tentang apa dasar negara Indonesia merdeka kelak, yaitu ‘Pancasila’. Soekarno
mengaku bahwa dia menggali Pancasila dari kedalaman tradisi Indonesia.
Pancasila: Nasionalisme (Kebangsaan), Perikemanusiaan/internasionalisme (Humanity), Permusyawaratan-Perwakilan
(Demokrasi) yang mengambil contoh dari ‘republik desa’ tradisional,
Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan (believe
in God). Intinya adalah ‘gotong-royong’. Pidato kelahiran Pancasila
tersebut disambut dengan tepuk tangan meriah hadirin.
Meskipun
demikian, ada ketidakpuasan dari pihak Islam. Akhirnya lahirlah Piagam Jakarta
di mana pada sila ‘Ketuhanan’ tersebut diberi tambahan tujuh kata, menjadi “Ketoehanan,
dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja”. Hal itu
diputuskan dengan segala konsekuensinya.
Pada
17 Agustus 1945 sore hari, Mohammad Hatta dikunjungi oleh Mr. Nisyijima, ajudan
Admiral Mayeda, menanyakan apakah Hatta bersedia menerima opsir Kaigun (AL
Jepang). Opsir tersebut menyampaikan keberatan para wakil Protestan dan Katolik
dari daerah-daerah yang masih dibawah kontrol Jepang (Kepulauan Maluku,
Sulawesi Utara dan Tengah, dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara)). Mereka
mengancam tidak akan bergabung dengan Negara Republik Indonesia jika tujuh kata
tersebut tidak dihapus, sebab tujuh kata itu merupakan sebuah diskriminasi bagi
Protestan dan Katolik. Pada 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengubah rumusan
Piagam Jakarta tersebut. Sila pertama Pancasila sekarang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” (belief in the great unity
of God).
Pada
3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang dipegang oleh seorang Islam
modernis berpendidikan Kairo, yaitu H.M. Rasjidi, seorang Muhammadiyah.
Sedangkan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan masih di bawah pengaruh
nasionalis sekuler Jawa, yang sangat terpengaruh oleh moral dan etika Budi
Utomo, universalisme Komunitas Teosofi, dan konsep pendidikan Taman Siswa (yang
didirikan oleh R.M. Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro). Taman
Siswanya Ki Hadjar Dewantoro sangat terpengaruh oleh konsep pendidikan
Rabindranath Tagore, yang direalisasikan pada Shantiniketan Vishva Bharaty
University. Rabindranath Tagore adalah seorang penyair Bengali yang memiliki
hubungan dekat dengan Komunitas Teosofi. Ki Hadjar Dewantoro ini diangkat
sebagai menteri pendidikan pada 1945 oleh Soekarno. Ki Hadjar Dewantoro
mempromosikan nilai-nilai budaya Jawa sebagai bagian dari pendidikan moral
pemuda. Kita bisa melihat kutub-kutub yang saling bertegangan di sini. Di satu
sisi ada Islam Muhammadiyah yang bahkan beranggapan bahwa kebatinan itu
‘not-Islamic’ (tidak Islam), di sisi lain ada gerakan Javanis yang sangat kuat.
Masalah
menjadi semakin rumit ketika Belanda mengadakan agresi militer. Dengan cepat
Belanda berhasil menguasai Kalimantan, Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan
Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara). Demi perkembangan Hinduisme di Indonesia
merdeka, para elit tradisional Bali (sebagaimana daerah-daerah lain) menyambut
dan mendukung kedatangan Belanda ini sebagai pelindung terhadap gerakan
hegemonis ‘Muslim Jawa’. Di sisi lain, Sultan-sultan Muslim Jawa telah selama
berabad-abad menjadi musuh bagi raja-raja Bali, yang mengaku sebagai keturunan
dan pewaris Majapahit. Nah, kita bisa melihat tegangan lain di sini. Para
sultan Jawa itu mengaku sebagai keturunan dan penerus Majapahit, bahkan hal itu
diwarisi oleh gerakan Javanis tersebut di atas. Para raja Bali pun mengaku
sebagai keturunan dan pewaris Majapahit.
Pada
tahun 1949 Belanda, atas desakan dunia internasional, akhirnya mengakui
kedaulatan Republik Indonesia. Namun, Belanda memastikan bahwa Republik
Indonesia berbentuk serikat. Dan juga, Belanda mencampuri Undang-undang Dasar
(Konstitusi) Indonesia 1949; Belanda memastikan Piagam Jakarta tidak dimasukkan
ke dalam Konstitusi, dan mengubah artikel 18, bunyinya “Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran, keinsjafan batin, dan agama; hak ini meliputi pula
kebebasan bertukar agama atau kejakinan”. Para politisi Islam tidak suka dengan
hal itu. Mereka menganggap Republik Indonesia Serikat itu hanya setengah merdeka
saja. Pemerintah pun menyingkirkan para elit tradisional lokal dari kekuasaan
karena dianggap pro-Belanda. Kata ‘tradisi’ (adat) kini mendapatkan makna negatif. Kata itu kini berkonotasi
feodal, imperialis, dan antirepublik.
Lalu
terbitlah Undang-undang Dasar 1950 di mana frase ‘hak ini meliputi pula
kebebasan bertukar agama atau kejakinan’ pada artikel 18 dihapuskan. Pada UUD
1950, artikel 18 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan
batin dan pikiran”.
Lalu
datanglah pemberontakan S.M. Kartosuwirjo bersama gerakan Darul Islamnya. Pada
7 Agustus 1949 dia memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Gerakan ini segera menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Maluku,
Kepulauan Sunda Kecil, dan Sulawesi Selatan.
Walaupun
terdapat pemberontakan yang bernama Darul Islam, para politikus Islam yang
setia kepada Republik masih dapat berpolitik melalui Departemen Agama.
Sedangkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih terus didominasi
orang-orang nasionalis sekular Jawa yang mendapatkan pengaruh kuat dari Budi
Utomo dan Taman Siswa. Selain itu, PNI, partai di mana para Javanis sangat
mencolok, memiliki hubungan dengan beberapa aliran kebatinan yang mempraktekkan
semacam mistisisme yang berdasar pada sebuah interpretasi kaum Javanis terhadap
Pancasila.
Pada
saat itu yang menjadi menteri agama adalah K.H. Wahid Hasyim, salah seorang
pemimpin NU dan anggota Masyumi yang sebelumnya turut serta mendukung syariat
sebagai dasar dari UUD 1945. Dialah yang membedakan antara ‘agama’ (religion) dan ‘aliran kepercayaan’ (current of belief). Agama tidak lain
adalah segala sesuatu yang menyangkut konsep Judeo-Christian-Muslim tentang
agama. Sedangkan, berdasarkan Peraturan Menteri No. 9/1952/Artikel VI, “Aliran
kepercayaan ... ialah suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup
dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih
terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya
sepanjang masa.”
Beragama
berarti sudah menyatakan suatu kredo (syahadat) monoteistik dan dikenal secara
internasional, sebagaimana yang diwartakan oleh seorang nabi di dalam sebuah
kitab suci.
Kata
‘agama’ sendiri secara etimologis berasal dari Bahasa Sansekerta. Dalam Bahasa
Sansekerta kata agama dipahami sebagai: (1) ajaran tradisional yang suci,
koleksi dari ajaran-ajaran suci tersebut, atau karya-karya suci pada umumnya;
(2) nama umum dari kitab-kitab suci tertentu yang berhubungan dengan
penyembahan dewa-dewa Hindu seperti Wisnu, Sakti, dan Siwa. Kata itu masuk ke
dalam Bahasa Jawa Kuna ketika ada proses Indianisasi Jawa yang berlangsung
sejak abad pertama masehi. Ketika Islam mengambil alih kekuasaan di Jawa pada
abad XIV, kata itu mulai kehilangan konotasi Hindunya. Bahkan, di dalam
pengertian dalam Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, kata agama dipahami sebagai
sebuah sumber tekstual yang menjadi dasar bagi ritual dan penyembahan.
Apropriasi Islam atas terminologi ini pada akhirnya membuat kata ‘agama’
menjadi searti dengan kata ‘din’
dalam Bahasa Arab sebagaimana dipakai di Al-Quran.
Akhirnya
hanya Islam, Protestan, dan Katolik sajalah yang dapat disebut agama, karena
nabi (pewarta) dan kitab sucinya jelas. Segala bentuk tradisi suci di seluruh
penjuru Nusantara, termasuk kebatinan Jawa (Kejawen)
--meskipun mengambil unsur-unsur Islam juga--, dikategorikan sebagai aliran
kepercayaan. Bahkan, memiliki kepercayaan monoteistik pun tidak cukup untuk
membuat aliran kepercayaan mendapatkan status “agama”. Maka, para penganut
aliran kepercayaan tersebut dipandang belum beragama! Menteri Agama mendorong
dakwah Islam dan misionaris Kristiani untuk membawa (kembali) para penganut
aliran kepercayaan ini kepada agama. Dakwah Islam dan misionaris Kristiani itu
pun bersaing.
Menurut
Menteri Agama, para penganut aliran kepercayaan itu tidak bisa dipandang
sebagai Warga Negara Indonesia yang penuh. Ada 3 alasan: (1) karena Indonesia
percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap penduduknya harus beragama, (2) karena
aliran kepercayaan itu dipandang terkait erat dengan adat kebiasaan hidup
turun-temurun yang dianggap terbelakang, sehingga akan menghambat kemajuan masyarakat
Indonesia, (3) karena Belanda menggunakan hukum adat sebagai bentuk resistensi
terhadap Indonesianisasi, mereka yang mengidentifikasi diri dengan tradisi etnis
dianggap membangkang dari Negara Indonesia.
Logika
berpikir semacam itu telah terlebih dahulu diaplikasikan di Bali ketika pada 20
November 1946 para gerilyawan republik di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai
secara efektif didesak oleh Belanda dan orang-orang Bali antirepublik dalam
perang Puputan Margarana. Pada saat itu Belanda menghidupkan kembali budaya,
seni, dan agama Bali, sembari memperkuat otoritas politik para aristokrat Bali
yang setia.
Pada
tahun 1952 Menteri Agama menghendaki orang-orang yang belum beragama memeluk
salah satu agama yang diakui. Menteri Agama berkesimpulan bahwa agama Bali
memiliki konsep-konsep Hindu dan Buddha yang lemah. Agama Bali tidak lain
adalah sebuah ‘animisme’ lokal yang heterogen dan praktek politeistik. Maka,
orang-orang Bali dianggap belum beragama, sehingga menjadi target dakwah Islam
dan misi Kristiani.
Terkejut
dan ketakutan akan hal tersebut, pemerintahan lokal Bali pada 1953 mendirikan
dinas agama otonom. Mereka ingin agar agama tradisi mereka dikenal sebagai
Agama Hindu Bali. Beberapa pemuda Bali pun dikirim ke India untuk mempelajari
agama Hindu, terutama untuk belajar di Shantiniketan Vishva Bharaty University
(Rabindranath Tagore), di the Banaras Hindu University (yayasan yang
diinspirasi Annie Besant, Presiden Komunitas Teosofi), dan di the International
Academy of Indian Culture (didirikan oleh Raghu Vira, intelektual India).
Usaha
orang-orang Bali ini tidak bertepuk sebelah tangan, orang-orang India menyambut
baik. Beberapa intelektual India dikirim ke Bali, bahkan ada yang akhirnya
tinggal dan memperistri orang Bali. Pandit Shastri menulis Intisari Hindu Dharma (ajaran Catur Weda dan Upanisad, dasar dari
Hindu Dharma). Meskipun mengesampingkan literatur Purana dan Itihasa, Bagawad
Gita dihargai. Kita bisa melihat hubungan dengan dan pengaruh Teosofi yang
menghargai pula Bagawad Gita dan Rabindranath Tagore, yang juga menghargai Gita
dan pernah mengunjungi Jawa dan Bali pada tahun 1927.
14
Juni 1958 disusunlah draf petisi bersama. Agama Hindu-Bali tidak bertentangan
dengan Pancasila dan memiliki kredo ‘Om tat sat ekam eva advitiyam’ (Om,
demikianlah esensi dari yang meliputi semua, satu dan tak terbagi). Nama dari
“Yang meliputi semua, satu dan tak terbagi” tak lain adalah Tuhan (dalam Bahasa
Indonesia), atau “Ida Sanghyang Widhi Wasa” (Penguasa Ilahi atas Semesta dan
Hukum Kosmis Absolut Ilahi). Arti yang pertama mencoba mendamaikan dengan
konsep ‘Tuhan Yang Maha Esa’ sebagaimana
yang dipahami oleh agama Judeo-Christian-Muslim, sedangkan arti yang kedua
merujuk pada pengertian ‘Hinduisme’ oleh kaum Hindu-nasionalis, yaitu Sananta
Dharma (Kebenaran/Hukum Kosmis Abadi). Segala dewa-dewi Bali kini hanya
dianggap sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Sanghyang Widhi Wasa,
sebagaimana yang dilakukan oleh para Brahmin India dan para pemimpin gerakan spiritual
Neo-Hindu.
Catur
Weda, Upanisad, Bagawad Gita, dan kitab-kitab Jawa Kuna Sarasamuccaya serta
Sanghyang Kamahayanikan menjadi Kitab Suci Agama Hindu Bali. Para resi
(penyusun Weda) dan para empu dari kitab-kitab Jawa Kuna tersebut di atas
adalah para nabi. Doa harian Trisandhya (doa tiga waktu) yang didesain oleh Pandit
Shastri dipandang sama dengan shalat (doa lima waktu) di dalam Islam. Agama
Hindu Bali juga memiliki lima kewajiban: dewa yadnya (menyembah Tuhan), pitra
yadnya (berdevosi kepada leluhur), manusia yadnya (saling mengasihi antarsesama
manusia), bhuta yadnya (mengasihi makhluk hidup lain), dan resi yadnya (berdevosi
kepada/melayani guru/pemimpin spiritual, dengan cara mengkaji kitab-kitab
suci). Sehingga, segala macam bentuk ritual orang-orang Bali kini dianggap
sebagai manifestasi dari lima kewajiban agama ini dari pada sekadar praktek
ritual etnis yang berdasar pada kepercayaan politeis dan animisme.
Didukung
oleh Soekarno, yang ibunya adalah seorang Bali dan ayahnya adalah seorang
Teosofi, pada 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali resmi diakui oleh pemerintah.
Kementrian Agama kini memiliki Bagian Urusan Hindu Bali (‘Urusan’ bukan
‘Agama’!). Komunitas Hindu Bali pun membentuk Parisada Dharma Hindu Bali
(KWI/MUI-nya Hindu Bali).
Soekarno
mendukung Agama Hindu Bali ini oleh karena latar belakangnya. Ibunya seorang
Bali, ayahnya seorang Teosofi. Soekarno mengidolakan Mahatma Gandhi (yang
pandangan politiknya mengakar pada Bagawad Gita). Dia sangat terpengaruh oleh
wayang. Soekarno pernah belajar Teosofi. Pernah pula bergabung dalam Jong Java,
organisasi kepemudaan Budi Utomo. Soekarno tidak pernah bergerak dalam golongan
Islam, tetapi justru mengombinasikan ideologi-ideologi tertentu (etika Jawa
pada wayang, kepercayaan kepada ‘Ratu Adil’ (mesias Jawa); bahkan
mengombinasikan Islam Jawa dengan komunisme menjadi Marhaenisme). Pancasila
lahir dari latar belakang semacam ini pula.
Hubungan
Soekarno dengan politik Islam tidak berjalan dengan baik. Puncaknya adalah
pembubaran Masjumi karena dianggap mendalangi pemberontakan PRRI dan secara
prinsip menyetujui pandangan Darul Islam walaupun sama sekali tidak mendukung
aksi politis Darul Islam tersebut.
Penggembosan
politik Islam ini menjadi angin segar bagi status Agama Hindu Bali di
Kementrian Agama. Pada 1963 Agama Hindu Bali diakui secara penuh dan bagian
yang mengurusinya di Departemen Agama berganti nama menjadi Biro Urusan Agama
Hindu Bali.
Agama
Hindu Bali pun semakin mendekatkan diri kepada Hindu Dharma universal. Parisada
Dharma Hindu Bali berganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma. Hindu Bali kemudian
memproklamasikan lima kepercayaannya (panca sraddha): (1) beriman kepada Sanghyang Widhi Wasa, (2)
percaya kepada atman, (3) percaya karmaphala, (4) percaya samsara/reinkarnasi,
(5) percaya akan moksa. Jika terminologi ‘Sanghyang Widi Wasa’ kita ganti
dengan ‘Brahman’, kita akan mendapatkan lima prinsip ajaran Neo-Hinduisme
India.
Penghapusan
kata ‘Bali’ dari frasa ‘Parisada Hindu Dharma’ disebabkan oleh desakan
Kementrian Agama dan realita di lapangan bahwa komunitas Hindu di Indonesia
tidak hanya Hindu Bali, tetapi juga terdapat Hindu Tamil, Sindhis, lalu juga
Hindu Jawa (beberapa kaum nasionalis Jawa yang secara antusias kembali kepada
apa yang mereka percayai sebagai agama leluhur mereka).
Ketika
Soeharto meraih kekuasaan setelah melakukan kudeta merangkak pascaperistiwa
30/S, komunitas Hindu menjadi semakin beragam. Beragama menjadi perkara hidup
dan mati! PKI dikambinghitamkan atas peristiwa 30/S tersebut. Semua (yang
dituduh) anggota atau terlibat PKI ditangkap dan dieksekusi tanpa peradilan di
bawah komando Soeharto melalui KOSTRAD. Organisasi kepemudaan NU, Ansor, pun
turut serta membantai semua (yang dituduh) anggota atau terlibat PKI. Bukan
hanya PKI, bahkan mereka yang menganut aliran kepercayaan (dan dianggap belum
beragama itu), khususnya para anggota kelompok kebatinan Jawa, pun turut serta menjadi
sasaran. Logikanya: komunis itu ateis - ateis itu komunis - penganut aliran
kepercayaan itu tidak beragama - tidak beragama itu ateis - ateis itu komunis.
Logika semacam itu menjadi pembenaran bagi golongan Islam yang ingin membalas
dendam kepada golongan Javanis. Faktanya, banyak orang Jawa abangan (bukan Islam
orthodox) mendukung PKI sekaligus juga menjadi anggota dari kelompok-kelompok
kebatinan yang berbeda.
Ketika
Soeharto benar-benar menjadi presiden yang sah, Orde Baru lahir. Soeharto
hendak mensukseskan ‘de-ideologisasi’ kepada masyarakat (contoh:
desoekarnoisasi), harmoni sosial yang dijaga oleh dwifungsi ABRI, dan
pembangunan ekonomi.
Meskipun
mendukung gerakan antikomunis Soeharto, politik Islam masih belum aman oleh
karena kenangan segar akan pemberontakan Darul Islam.
Soeharto
sendiri sebenarnya merupakan pelaku mistisisme Jawa, malah sering bersamadi di
candi-candi Hindu-Jawa dan mengoleksi pusaka (keris) supaya mendapat kesaktian.
Walaupun demikian, dia sangat anti terhadap kelompok-kelompok kebatinan Jawa
karena Soeharto sulit mempercayai mereka. Bagi para anggota kebatinan Jawa
tersebut, Soeharto bukanlah Ratu Adil (mesias) yang dinubuatkan oleh Joyoboyo.
Soeharto bahkan takut akan kebangkitan Ratu Adil tersebut. Bagi para anggota
kebatinan Jawa, Soekarno jauh lebih merepresentasikan Ratu Adil tersebut.
Itulah mengapa kebatinan Jawa pada era Soeharto sama sekali tidak pernah berkesempatan
untuk mendapatkan status ‘agama’.
Karena
takut dicap ateis, lalu dicap komunis, lalu ditangkap dan dieksekusi, banyak
Javanis dan banyak pemeluk agama etnis mencari payung kepada agama yang diakui.
Sebagai hasilnya, pada saat itu terjadi peledakan umat beragama. Mereka
berbondong-bondong memeluk salah satu dari agama yang diakui negara tersebut.
Antara tahun 1960-1980 banyak Orang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
khususnya Orang Tengger, Orang Bugis To Wani To Lotang dan Mamasa dan Sa’dan
Toraja di Sulawesi Selatan, sebagian Karo di Sumatera Utara, Orang Ngaju dan
Luangan di Kalimantan Tengah dan Selatan menyatakan diri sebagai Orang Hindu.
Sekali lagi Parisada Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma
Indonesia pada 1986.
Di
Jawa hal itu tidak berjalan mulus. Kelompok kebatinan Jawa secara tradisional
terhitung Muslim, sehingga perpindahan mereka ke Hindu Dharma --sebuah agama
yang tidak pernah dianggap sebagai “agama yang benar” oleh Orang-orang Islam--
acap kali dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal di daerah yang mayoritas
Muslim. Sering kali petugas yang Muslim di kantor Kelurahan/Kecamatan menolak
mengubah kolom agama pada KTP mereka menjadi ‘Hindu’. Itu belum kekerasan lain
misalnya tarif yang lebih tinggi yang dikenakan oleh petugas catatan sipil
kepada pengantin Hindu, atau dakwah terus-menerus agar mereka mau kembali
kepada Islam.
Di
daerah yang mayoritas Kristiani, keadaan tidak lebih baik! Mereka yang mengaku
Hindu acap kali tidak diuntungkan (misalnya tidak mendapatkan perwakilan sama
sekali di DPRD, tidak diterima pengajuan bea-siswanya, dan semacamnya). Hal ini
disebabkan karena Orang-orang Kristiani, khususnya Protestan, tidak menghargai
sama sekali Hinduisme. Maka, jangan heran jika kita bertemu dengan orang-orang
yang mengikuti ritual agama Hindu, tetapi KTP mereka sama sekali tidak
tercantum kata ‘Hindu’. Fenomena itu jamak di Indonesia.
Hindu
Dharma sebenarnya dilindungi pemerintah Orde Baru karena Parisada Hindu Dharma
pada 1968 menyatakan setia pada Soeharto, bahkan sampai masuk Golkar. Hinduisme
Indonesia akhirnya menjadi payung bagi agama-agama minoritas, misalnya: Agama
Budha (agama tradisi Orang Tengger, bedakan dengan Buddhisme!), Aluk To Dolo,
Ada’ Mappurondo, Toani, Pemena, dan Kaharingan. Di Departemen Agama sendiri
akhirnya bagian Hindu Dharma mengakomodasi pula Buddhisme dan Konghucu. Oleh
orang-orang Muslim dan Kristiani, Agama Hindu dicap sebagai agama ardi (agama
bumi), sedangkan Islam-Kristiani dicap sebagai agama wahyu (agama langit).
Revolusi
Iran (1978) mendorong maraknya fundamentalisme Islam di Indonesia. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Semua agama dilarang menerima dana/sponsor dari luar negeri dalam
bentuk apapun. Pada 1983 Pancasila menjadi asas tunggal. Tentu saja hal itu
mendapatkan perlawanan dari Muslim orthodox pada umumnya.
Pada
akhir tahun 1980-an Soeharto mengubah paradigmanya terkait Islam. Ada
perpecahan antara dirinya dengan faksi kuat di tubuh ABRI. Soeharto butuh basis
massa baru. Pada tahun 1990 dia naik haji ke Mekkah. Soeharto pun menyetujui
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), yang beranggotakan baik para
pegawai pemerintah maupun oposan pemerintah. ICMI bersama Muhammadiyah (Amien
Rais) dan Yayasan Paramadina (Nurcholish Madjid) menggagas sebuah “masyarakat
Indonesia Islami”, dari pada “negara Indonesia Islami”.
Pada
Mei 1998 di Indonesia terjadi puncak dari Krisis Asia. Soeharto dilengserkan.
Pemerintahannya dianggap sebagai “kapitalisme kroni”. Beberapa gerakan Islamis
menuduh bahwa kroni-kroni Soeharto terdiri dari teknokrat sekular, orang-orang
Kristiani dan Tionghoa. Tuduhan ini berujung pada kerusuhan. Korbannya tak lain
adalah orang-orang Tionghoa-Indonesia, orang-orang Kristiani, juga orang Hindu,
Javanis, dan Buddha.
Pemerintahan
Abdurrahman Wahid menyerukan toleransi beragama. Akan tetapi, hal tersebut
tidak mengurangi konflik agama di Maluku, Kalimantan, Irian Jaya (Papua),
Lombok, dan Sulawesi Selatan. Otonomi daerah yang diwacanakan oleh Gus Dur, dan
yang dijalankan oleh Megawati Soekarnoputri membuat orang-orang Bali merasa
yakin bahwa ‘Bali tetap Hindu’.
Menanggapi
Islamisasi masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
komunitas Hindu Indonesia pun menjadi semakin radikal. Dua tegangan dalam Hindu
Indonesia: atau semakin mendekatkan diri kepada Hindu India, atau memberi ruang
pada kebiasaan dan praktek lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar