see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Selasa, 25 Maret 2014

DUALISME NARASI SEJARAH PAPUA

DUALISME NARASI SEJARAH PAPUA




  NAMA MAHASISWA  : EFRAIM MANGALUK
NIM           : 136322002
                                 DOSEN PENGAMPU       : 1. Dr. G. Budi Subanar, S.J.
                                      2. Dr. Katrin Bandel




Pengantar

Pada tanggal 6 Oktober tahun 2000, aparat kepolisian dan brimob dibantu TNI melaksanakan operasi penurunan bendera bintang kejora di kabupaten Jayawijaya-Papua yang saat itu dipimpin langsung oleh kapolres Jayawijaya AKBP Superintendent D. Suripatty. Penurunan bendera dilakukan secara paksa karena mendapat perlawanan dari para satgas Papua pada saat itu. Dampak dari operasi tersebut membuat geram para satgas dan masyarakat pro kemerdekaan Papua yang akhirnya memicu konflik hebat antara mereka aparat TNI Polri. Dalam peristiwa ini masyarakat sipil pun menjadi korban. Kurang lebih 30 warga sipil tewas dalam peristiwa ini. Peristiwa yang sangat di kenal dengan sebutan “wamena berdarah” ini menimbulkan trauma-trauma mendalam bagi masyarakat yang terlibat langsung dengan peristiwa tersebut. Ini adalah satu dari sekian banyak peristiwa tentang masalah pemisahan Papua dari NKRI.

Dalam situasi ini HAM selalu dikaitkan. Kendati pemimpin Negara dari rezim selalu berubah, namun pengabaian terhadap Hak Asasi Manusia terus menjadi momok di berbagai daerah di Papua. Dampak adanya situasi refresif dalam berbagai bentuk intimidasi : teror, pengejaran, penangkapan, penculikan, penyiksaan, mati di dalam tahanan bahkan sampai pembunuhan massal mulai dari sejak tahun 60-an sampai detik ini. Setiap kasus Kejahatan HAM yang terjadi, aparat keamanan (TNI-Polri) selalu menjadi aktor utamanya. Issu OPM (Organisasi Papua Merdeka) sangat laris dimanfaatkan sebagai alasan untuk menyederhanakan permasalahan yang begitu kompleks ini.
Namun demikian, semua permasalahan tentang pemisahan Papua dari NKRI serta akar-akarnya berangkat dari sebuah dinamika poskolonialisme. Orang Papua merasa mempunyai dua identitas kewarganegaraan; (1) Orang Papua sebagai masyarakat bangsa Papua dan (2) orang Papua sebagai masyarakat Indonesia. Imbiguitas inilah yang memicu munculnya polemik pemisahan diri dari NKRI hingga saat ini.
Keberadaan kolonialisme Belanda hingga tahun 60 an ternyata menyisahkan identitas tersendiri bagi orang Papua. Identitas inilah yang terus bertumbuh tanpa adanya pembenahan baik dari Belanda sendiri maupun dari Indonesia. Orang Papua menganggap bangsa Indonesia sebagai penjajah, sebaliknya bangsa Indonesia menganggap Orang Papua kala itu sebagai pemberontak. Mengapa sampai begitu sulitnya Papua dengan “iklas” menjadi bagian dari NKRI? Jawaban dari pertanyaan inilah yang akan coba penulis uraikan dalam paper “Dualisme Narasi Sejarah Papua” 

BAB I
PENDAHULUAN

Membincangkan tentang “kemerdekaan” Papua, paling tidak terdapat dua kejadian yang tidak dapat diabaikan, yaitu pendudukan oleh Belanda dan upaya pengintegrasian oleh Indonesia. Realitas itu dapat dilihat dari sengketa memperebutkan Papua antara Belanda dengan Indonesia. Kehadiran Belanda di Papua disertai dengan upaya untuk melakukan pemaksaan terhadap orang asli Papua untuk memahami, menghayati dan menyebarkan pandangan (ideologi) mereka ke seluruh pelosok tanah Papua. Bangsa eropa pada masa itu mempunyai tiga misi untuk menguasai dunia yaitu penjajahan, ekonomi, mengajarkan ajaran agama (Slemet Mudjiana, 2008).
Berkaitan dengan tiga misi itu, yang paling populer sepanjang zaman adalah mengajarkan ajaran Agama (Kristen maupun Katolik). Penyebaran Ideologi (agama) di papua, menyadarkan masyarakat pribumi. Ini meruapakan tradisi atau kebiasaan orang Eropa, menyebarkan ke seluruh dunia. Dampak dari penyebaran agama di papua, bisa mengenal dunia luar. Selain itu, kebiasaan masyarakat setempat menghilangkan ragam kebudayaan asli Papua. Papua dengan sekian kelebihan dan kekurangannya juga telah memperkenalkan agama Kristen (Gereja Injili di Indonesia-GIDI) yang merupakan agama yang baru bagi orang Papua.
Demikian juga kehadiran Indonesia di Tanah Papua. Bangsa Indonesia menguasai bangsa Papua Barat melalui berbagai cara antara lain dengan mengirim ribuan transmigran dengan berbagai tujuan. Para transmigran sebagai orang lain baru bagi orang Papua juga tidak kalah pengaruhnya dalam menggerus budaya orang Papua. Kehadiran transmigran bagi Orang Papua bukan hanya membuka ruang isolasi, tapi juga telah mendistorsi adat istiadat dan kebudayaan orang Papua (Sri-Edi Swasono dan ‎Masri Singarimbun,1986).
Dampak dari kehadiran dan aneksasi yang dilakukan sepanjang sejarah Papua yaitu ketegangan-ketegangan yang mengikutinya. Papua telah menjadi identik dengan kekerasan baik kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara maupun kekerasan yang dilakukan sipil bersenjata.[1] Adalah Operasi Koteka yang diinisiasi oleh isteri Presiden Suharto, Ibu Tin yang diawali pada tanggal 19 Mei tahun 1972 telah menjadi pangkal dari kebijakan kekerasan yang ditempuh oleh militer Indonesia. Kebanyakan  militer selaku  penguasa pelaksana kebijakan tersebut  menganggap suku Dani sebagai orang yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya.
Bangkitnya masyarakat Papua pada tahun 1977, suku Dani melakukan pemberontakan dibawah pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada waktu itu suku Dani dengan busur panah sebagai senjatanya  berperang melawan tentara Indonesia yang dipersenjatai lengkap termasuk roket, pesawat pemburu jet dan helikopter sehingga banyak desa Dani akhirnya diratakan dengan tanah. Peperangan yang sebagian besarnya dipusatkan  sekitar wilayah pemukiman Pyramid dan Bokondini di dalam lembah dan di bagian utaranya memakan korban 3000 jiwa dari suku Dani.  “Operasi Koteka” berakhir sebagai suatu kegagalan total. Selama periode 1975-1977, 1984-1985, 1996, 2000, 2003 dan Desember 2004 konflik-konflik terulang kembali sebagai akibat dari aksi-aksi perjuangan kemerdekaan. Pada tahun 1975 dan 1984 penduduk Beliem berbondong-bondong melarikan diri ke Papua New-Guinea (John RG Djopari, 1993).
Dua narasi sejarah Papua yang diangkat di dalam paper ini akan dikaji melalui pendekatan kajian poskolonial. Kajian poskolonial hingga kini terus menjadi perdebatan, yang paling mendasar terkait dengan kata 'poskolonial‘. Kata ini bermakna "setelah penjajahan“ yang berarti berhubungan dengan periode ketika penjajahan berakhir, di mana sebuah negara jajahan secara formal memproklamasikan dan/atau memperoleh kemerdekaannya. Namun, kajian poskolonial tidak bisa dilepaskan dari era kolonial (Yusri Fajar, 2011). Sementara Leela Gandhi menjelaskan dampak-dampak kolonialisme dalam berbagai cakupan aspek yang luas, seperti aspek psikologis, gender, nasionalisme, hibriditas, kemanusiaan, power, dan lain-lain yang di alami oleh Negara yang terjajah oleh kolonialisme. (1998:9)
Kajian poskolonial pada dasarnya mempelajari berbagai akibat yang timbulkan oleh penjajahan baik pada saat periode pendudukan penjajah di koloni maupun ketika penjajah sudah meninggalkan koloni namun masih meninggalkan budaya dan pengaruh mereka. Penjajahan pada hakekatnya bukan semata praktek yang dilakukan sebuah negara untuk menguasai wilayah sebuah negara terhadap negara lain melalui jalan perang dan kekerasan, tetapi juga penguasaan melalui hegemoni politik, budaya dan ekonomi sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh Afrika asal Ghana, Kwamme Nkrumah, pada tahun 1961 dengan istilah "neokololialisme". Dengan meminjam perspektif ini, maka Papua dapat ditempatkan sebagai negara wilayah. Keterjajahan Papua ini dimulai sejak era Belanda hingga saat ini. Di masa penjajahan Belanda, berbagai sektor kehidupan dikendalikan dan dimanfaatkan oleh Belanda. Demikian juga, di saat terjadi aneksasi oleh pemerintah Indonesia dari tangan Belanda, Papua yang memiliki identitas unik dibandingkankan pada bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya, saat ini telah melebur dan dipaksa untuk mengidentifikasi diri menjadi “Indonesia”.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kehadiran Belanda dan dampaknya terhadap Orang Papua
Papua merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.
Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan.
Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut.  Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Setelah kedatangan bangsa Eropa, yaitu pada tahun 1660, sebuah perjanjian disepakati antara Tidore dan Ternate di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda yang menyatakan bahwa semua wilayah Papua berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore. Perjanjian ini menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah Belanda sebenarnya mengakui Papua sebagai bagian dari penduduk di kepulauan Nusantara.
Jika dirunut dalam sejarah penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).
Sejarah menunjukkan bahwa Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).
Berbeda dengan waktu Indonesia, Papua mulai dijajah oleh Belanda hanya dalam kurun waktu 64 tahun (1898-1962), sementara Indonesia dijajah selama tiga setengah abad. Penjajahan atas Papua Barat dideklarasikans ejak 24 Agustus 1828 melalui keputusan Ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak.
Sama halnya dengan modus-modus penjajahan di belahan dunia lainnya, Belanda yang datang ke tanah Papua juga dengan dalih untuk membebaskan rakyat. Penjajahan atas tanah, ekonomi, politik dan sosial budaya. Belanda mengganggap Orang Papua sebagai orang yang terkungkung atas kebudayaan mereka. Akibatnya, mereka menganggap perlu dibebaskan. Tidak ada penjajahan yang murni berorientasi pada kepentingan terjajah.

B.     Papua Setelah di-“Indonesia”-kan
Perjuangan kemerdekaan pada dasarnya lekat sekali dengan kemerdekaan melawan penjajahan. Sepanjang penjajahan merujud di dalam kehidupan masyarakat, maka perjuangan itu akan selalu ada. Pada masa kolonial, perjuangna itu nyata dalam bentuk fisik. Namun setelah itu kekuatan negara nasion menjadi kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dan merepresi populasi di dalam teritorinya. Negara-negara pasca kolonial di Asia, Afrika, Amerika tengah dan selatan, termasuk juga di Indonesia, hampir semuanya berkembang menjadi kepanjangan dan mata rantai dari penindasan gaya baru. Pada kenyataannya, cita- cita menciptakan kebebasan dan masyarakat egaliter di wilayah-wilayah pasca kolonial hingga saat ini masih absurd untuk tidak dikatakan tidak mewujud sama sekali.
Dalam konteks relasi kuasa kapitalisme global yang ada para era kolonialisme, relasi dominan dan subordinat tetap berlanjut (Ania Loomba, 2000). Negara-negara bekas teritori kolonial tetap berperan sebagai wilayah-wilayah subordinat vis a vis negara-negara dominan. Terbentuknya negara-negara pasca kolonial merupakan perluasan modernisasi kapitalis, setelah sebelumnya kolonialisme mengintegrasikan wilayah-wilayah kolonial dalam jaringan kapitalisme global – dengan menundukan rezim-rezim feodal dan membangun wilayah-wilayah tersebut sebagai penyangga sektor-sektor industri ekstraktif dan agrikultur.
Relasi dominan-subordinat yang eksis selama era kolonial dalam perkembangan era Post kolonial kembali pada titik keseimbangnnya (Edward W Said, 2008). Di era post-kolonial institusi dan aparatus negara nasion pasca kolonial menjadi fasilitator bagi aktor-aktor kapital dari negara-negara dominan untuk mengakses teritori, sumber daya dan populasi di wilayah-wilayah tersebut. Negara nasion pasca kolonial menjalankan fungsinya sebagai fasilitator modernisasi kapital, khususnya dalam era developmentalisme, dimana terjadi perluasan infrastruktur untuk kegiatan-kegiatan industrial, intensifikasi ekstraksi sumber daya alam, pendisiplinan populasi menjadi sumber daya manusia dan perkembangan pasar bagi komoditi. 
Tak ayal lagi kondisi tersebut nyata terjadi pada konteks relasi antara Indonesia-Papua. Sejak naiknya rezim Negara nasion Indonesia, melalui represi fisik dan mental terhadap populasi di dalam teritorinya, menjalankan perannya dalam menciptakan iklim investasi bagi kapital multinasional, terutama sejak naiknya rezim militieristik Orde Baru. Penciptaan iklim investasi yang diawali dengan pengorbanan jutaan jiwa, selanjutnya dimapankan dengan berkuasanya rezim Orde Baru. UU Penanaman Modal Asing diberlakukan dua tahun setelah pembantaian September 1965, sebagi kerangka legal yang menjamin keamanan investasi dan pemberian konsesi-konsesi pada kapital multinasional. Negara nasion ini menjalankan peran subordinatnya, untuk memfasilitasi kapital multinasinal, sebagai penjaga kapital dan mediasi antara kapital dan populasi lokal (I Ngurah Suryawan, 2011).
Indonesia bersama dengan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) membangun jalinan ekplotasi brutal terhadap populasi dan lingkungan di wilayah Papua. Kapital multinasional yang melakukan investasinya di wilayah yang begitu kaya akan sumber daya alam ini, menempatkan negara Indonesia pada peran pendisplin populasi yang bergejolak. Terhitung sejak tahun tahun 1963, Indonesia secara permanen menempatkan Papua sebagai wilayah yang penuh dengan ketegangan melalui kebijakan operasi militer di Tanah Papua pada tahun 1978.
Kekerasan negara atau yang difasilitasi oleh negara dan yang melibatkan kapital multinasional, juga meliputi salah satu sektor industri terbesar di Papua, yaitu, industri kayu dan kertas. Pengambil alihan lahan masyarakat kerap terjadi di Papua oleh investasi-investasi di sektor tersebut. Pada tahun 1982, beberapa koran melaporakan kerja dengan upah rendah yang diterapkan pada masyarakat Asmat oleh industri kayu dengan melibatkan aparat desa. Militer Indonesia di Tiga Danau juga dilaporakan terlibat dalam skema-skema kerja paksa dalam ektraksi kayu. Menurut aktivis dari TELAPAK, militer di Papua dinilai sebagai salah satu pihak kunci yang terlibat dalam ektraksi kayu ilegal di wilayah itu (Environment News Service, Febuari 2005).



BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.      Papua sebagai suatu bangsa pada dasarnya merupakan entitas yang unik yang berbeda dengan Belanda maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Bagi Orang Papua, baik Belanda maupun Indonesia memiliki persamaan prinsipil yaitu sama-sama pendatang dan ingin menguasai.
2.      Era Postkolonial sebagai kelanjutan dari era kolonial nyata terjadi dalam real relasi kuasa yang terbentuk pasca terbebasnya Papua dari cengkeraman Belanda. Penempatan Papua di bawah bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik Indonesia hanya tetap melanggengkan era kolonial.
3.      Ambiguitas yang terjadi dari perspektif orang Papua beserta seluruh perangkat definisi dualisme identitas tersebutlah yang hingga saat ini menjadi alasan Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.



DAFTAR PUSTAKA 
   
Djopari, John RG, 1993,  Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Jakarta: Grasindo.

Edward W Said, 2008,  Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (Fully Revised Edition).

I Ngurah Suryawan, 2011, Narasi Sejarah Sosial Papua: Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri, Malang, Intrans Publishing.

Loomba, Ania, 2000, Kolonialisme atau Pascakolonialisme, Bentang Budaya, Yogyakarta

Yusri Fajar, Negosiasi Identitas ‘Pribumi’ dan Belanda dalam Sastra Poskolonial Indonesia Kontemporer. Artikel  dipresentasikan dalam Seminar Internasional “Indonesian Studies” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 18-19 Juli 2011

Slamet Muljana, Kesadaran nasional: dari kolonialisme sampai kemerdekaan, Makalah.

Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (Ed), 1986, Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia [UI-Press].






[1] Istilah yang lekat dengan OPM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar