DUALISME NARASI
SEJARAH PAPUA
NAMA
MAHASISWA : EFRAIM MANGALUK
NIM :
136322002
DOSEN PENGAMPU : 1. Dr. G. Budi
Subanar, S.J.
2. Dr. Katrin Bandel
Pengantar
Pada
tanggal 6 Oktober tahun 2000, aparat kepolisian dan brimob dibantu TNI
melaksanakan operasi penurunan bendera bintang kejora di kabupaten
Jayawijaya-Papua yang saat itu dipimpin langsung oleh kapolres Jayawijaya AKBP
Superintendent D. Suripatty. Penurunan bendera dilakukan secara paksa karena
mendapat perlawanan dari para satgas Papua pada saat itu. Dampak dari operasi
tersebut membuat geram para satgas dan masyarakat pro kemerdekaan Papua yang
akhirnya memicu konflik hebat antara mereka aparat TNI Polri. Dalam peristiwa
ini masyarakat sipil pun menjadi korban. Kurang lebih 30 warga sipil tewas
dalam peristiwa ini. Peristiwa yang sangat di kenal dengan sebutan “wamena
berdarah” ini menimbulkan trauma-trauma mendalam bagi masyarakat yang terlibat
langsung dengan peristiwa tersebut. Ini adalah satu dari sekian banyak
peristiwa tentang masalah pemisahan Papua dari NKRI.
Dalam
situasi ini HAM selalu dikaitkan. Kendati pemimpin Negara dari rezim selalu
berubah, namun pengabaian terhadap Hak Asasi Manusia terus menjadi momok di
berbagai daerah di Papua. Dampak adanya situasi refresif dalam berbagai bentuk
intimidasi : teror, pengejaran, penangkapan, penculikan, penyiksaan, mati di
dalam tahanan bahkan sampai pembunuhan massal mulai dari sejak tahun 60-an
sampai detik ini. Setiap kasus Kejahatan HAM yang terjadi, aparat keamanan
(TNI-Polri) selalu menjadi aktor utamanya. Issu OPM (Organisasi Papua Merdeka)
sangat laris dimanfaatkan sebagai alasan untuk menyederhanakan permasalahan
yang begitu kompleks ini.
Namun
demikian, semua permasalahan tentang pemisahan Papua dari NKRI serta
akar-akarnya berangkat dari sebuah dinamika poskolonialisme. Orang Papua merasa
mempunyai dua identitas kewarganegaraan; (1) Orang Papua sebagai masyarakat
bangsa Papua dan (2) orang Papua sebagai masyarakat Indonesia. Imbiguitas
inilah yang memicu munculnya polemik pemisahan diri dari NKRI hingga saat ini.
Keberadaan
kolonialisme Belanda hingga tahun 60 an ternyata menyisahkan identitas
tersendiri bagi orang Papua. Identitas inilah yang terus bertumbuh tanpa adanya
pembenahan baik dari Belanda sendiri maupun dari Indonesia. Orang Papua
menganggap bangsa Indonesia sebagai penjajah, sebaliknya bangsa Indonesia
menganggap Orang Papua kala itu sebagai pemberontak. Mengapa sampai begitu
sulitnya Papua dengan “iklas” menjadi bagian dari NKRI? Jawaban dari pertanyaan
inilah yang akan coba penulis uraikan dalam paper “Dualisme Narasi Sejarah
Papua”
BAB I
PENDAHULUAN
Membincangkan
tentang “kemerdekaan” Papua, paling tidak terdapat dua kejadian yang tidak
dapat diabaikan, yaitu pendudukan oleh Belanda dan upaya pengintegrasian oleh
Indonesia. Realitas itu dapat dilihat dari sengketa memperebutkan Papua antara
Belanda dengan Indonesia. Kehadiran Belanda di Papua disertai dengan upaya
untuk melakukan pemaksaan terhadap orang asli Papua untuk memahami, menghayati
dan menyebarkan pandangan (ideologi) mereka ke seluruh pelosok tanah Papua.
Bangsa eropa pada masa itu mempunyai tiga misi untuk menguasai dunia yaitu
penjajahan, ekonomi, mengajarkan ajaran agama (Slemet Mudjiana, 2008).
Berkaitan dengan
tiga misi itu, yang paling populer sepanjang zaman adalah mengajarkan ajaran
Agama (Kristen maupun Katolik). Penyebaran Ideologi (agama) di papua,
menyadarkan masyarakat pribumi. Ini meruapakan tradisi atau kebiasaan orang
Eropa, menyebarkan ke seluruh dunia. Dampak dari penyebaran agama di papua, bisa
mengenal dunia luar. Selain itu, kebiasaan masyarakat setempat menghilangkan ragam
kebudayaan asli Papua. Papua dengan sekian kelebihan dan kekurangannya juga
telah memperkenalkan agama Kristen (Gereja Injili di Indonesia-GIDI) yang
merupakan agama yang baru bagi orang Papua.
Demikian juga
kehadiran Indonesia di Tanah Papua. Bangsa Indonesia menguasai bangsa Papua
Barat melalui berbagai cara antara lain dengan mengirim ribuan transmigran
dengan berbagai tujuan. Para transmigran sebagai orang lain baru bagi orang
Papua juga tidak kalah pengaruhnya dalam menggerus budaya orang Papua.
Kehadiran transmigran bagi Orang Papua bukan hanya membuka ruang isolasi, tapi
juga telah mendistorsi adat istiadat dan kebudayaan orang Papua (Sri-Edi
Swasono dan Masri
Singarimbun,1986).
Dampak dari
kehadiran dan aneksasi yang dilakukan sepanjang sejarah Papua yaitu ketegangan-ketegangan
yang mengikutinya. Papua telah menjadi identik dengan kekerasan baik kekerasan
yang dilakukan oleh aparatur negara maupun kekerasan yang dilakukan sipil
bersenjata.[1] Adalah
Operasi Koteka yang diinisiasi oleh isteri Presiden Suharto, Ibu Tin yang
diawali pada tanggal 19 Mei tahun 1972 telah menjadi pangkal dari kebijakan
kekerasan yang ditempuh oleh militer Indonesia. Kebanyakan militer
selaku penguasa pelaksana kebijakan tersebut menganggap suku Dani
sebagai orang yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya.
Bangkitnya
masyarakat Papua pada tahun 1977, suku Dani melakukan pemberontakan dibawah
pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada waktu itu suku Dani dengan busur
panah sebagai senjatanya berperang melawan tentara Indonesia yang
dipersenjatai lengkap termasuk roket, pesawat pemburu jet dan helikopter
sehingga banyak desa Dani akhirnya diratakan dengan tanah. Peperangan yang
sebagian besarnya dipusatkan sekitar wilayah pemukiman Pyramid dan
Bokondini di dalam lembah dan di bagian utaranya memakan korban 3000 jiwa dari
suku Dani. “Operasi Koteka” berakhir sebagai suatu kegagalan total.
Selama periode 1975-1977, 1984-1985, 1996, 2000, 2003 dan Desember 2004
konflik-konflik terulang kembali sebagai akibat dari aksi-aksi perjuangan
kemerdekaan. Pada tahun 1975 dan 1984 penduduk Beliem berbondong-bondong
melarikan diri ke Papua New-Guinea (John RG Djopari, 1993).
Dua narasi
sejarah Papua yang diangkat di dalam paper ini akan dikaji melalui pendekatan
kajian poskolonial. Kajian poskolonial hingga kini terus menjadi perdebatan,
yang paling mendasar terkait dengan kata 'poskolonial‘. Kata ini bermakna
"setelah penjajahan“ yang berarti berhubungan dengan periode ketika
penjajahan berakhir, di mana sebuah negara jajahan secara formal
memproklamasikan dan/atau memperoleh kemerdekaannya. Namun, kajian poskolonial
tidak bisa dilepaskan dari era kolonial (Yusri Fajar, 2011). Sementara Leela
Gandhi menjelaskan dampak-dampak kolonialisme dalam berbagai cakupan aspek yang
luas, seperti aspek psikologis, gender, nasionalisme, hibriditas, kemanusiaan, power,
dan lain-lain yang di alami oleh Negara yang terjajah oleh kolonialisme.
(1998:9)
Kajian
poskolonial pada dasarnya mempelajari berbagai akibat yang timbulkan oleh
penjajahan baik pada saat periode pendudukan penjajah di koloni maupun ketika
penjajah sudah meninggalkan koloni namun masih meninggalkan budaya dan pengaruh
mereka. Penjajahan pada hakekatnya bukan semata praktek yang dilakukan sebuah
negara untuk menguasai wilayah sebuah negara terhadap negara lain melalui jalan
perang dan kekerasan, tetapi juga penguasaan melalui hegemoni politik, budaya
dan ekonomi sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh Afrika asal Ghana, Kwamme
Nkrumah, pada tahun 1961 dengan istilah "neokololialisme". Dengan
meminjam perspektif ini, maka Papua dapat ditempatkan sebagai negara wilayah.
Keterjajahan Papua ini dimulai sejak era Belanda hingga saat ini. Di masa
penjajahan Belanda, berbagai sektor kehidupan dikendalikan dan dimanfaatkan
oleh Belanda. Demikian juga, di saat terjadi aneksasi oleh pemerintah Indonesia
dari tangan Belanda, Papua yang memiliki identitas unik dibandingkankan pada
bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya, saat ini telah melebur dan
dipaksa untuk mengidentifikasi diri menjadi “Indonesia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kehadiran
Belanda dan dampaknya terhadap Orang Papua
Papua
merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah
pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai
Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan
akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini
adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni
Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan
etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.
Papua
memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi
penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan
hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari
lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan
tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini
ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke
selatan.
Seperti
juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua
berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut.
Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan
mengakibatkan mereka berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Setelah
kedatangan bangsa Eropa, yaitu pada tahun 1660, sebuah perjanjian disepakati
antara Tidore dan Ternate di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda
yang menyatakan bahwa semua wilayah Papua berada di wilayah kekuasaan
Kesultanan Tidore. Perjanjian ini menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah
Belanda sebenarnya mengakui Papua sebagai bagian dari penduduk di kepulauan
Nusantara.
Jika
dirunut dalam sejarah penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari
Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia
Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai
selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda
Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara
Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda,
yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).
Sejarah
menunjukkan bahwa Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan
Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.
Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari
Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan
penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina
(Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).
Berbeda
dengan waktu Indonesia, Papua mulai dijajah oleh Belanda hanya dalam kurun
waktu 64 tahun (1898-1962), sementara Indonesia dijajah selama tiga setengah
abad. Penjajahan atas Papua Barat dideklarasikans ejak 24 Agustus 1828 melalui
keputusan Ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat
merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai
penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di
Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan
Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana
daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak.
Sama
halnya dengan modus-modus penjajahan di belahan dunia lainnya, Belanda yang
datang ke tanah Papua juga dengan dalih untuk membebaskan rakyat. Penjajahan
atas tanah, ekonomi, politik dan sosial budaya. Belanda mengganggap Orang Papua
sebagai orang yang terkungkung atas kebudayaan mereka. Akibatnya, mereka
menganggap perlu dibebaskan. Tidak ada penjajahan yang murni berorientasi pada
kepentingan terjajah.
B.
Papua
Setelah di-“Indonesia”-kan
Perjuangan kemerdekaan pada dasarnya lekat sekali dengan
kemerdekaan melawan penjajahan. Sepanjang penjajahan merujud di dalam kehidupan
masyarakat, maka perjuangan itu akan selalu ada. Pada masa kolonial, perjuangna
itu nyata dalam bentuk fisik. Namun setelah itu kekuatan negara nasion menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dan merepresi populasi di dalam
teritorinya. Negara-negara pasca kolonial di Asia, Afrika, Amerika tengah dan
selatan, termasuk juga di Indonesia, hampir semuanya berkembang menjadi kepanjangan
dan mata rantai dari penindasan gaya baru. Pada kenyataannya, cita- cita menciptakan
kebebasan dan masyarakat egaliter di wilayah-wilayah pasca kolonial hingga saat
ini masih absurd untuk tidak dikatakan tidak mewujud sama sekali.
Dalam konteks relasi kuasa kapitalisme global yang ada para
era kolonialisme, relasi dominan dan subordinat tetap berlanjut (Ania Loomba,
2000). Negara-negara bekas teritori kolonial tetap berperan sebagai
wilayah-wilayah subordinat vis a vis negara-negara dominan. Terbentuknya
negara-negara pasca kolonial merupakan perluasan modernisasi kapitalis, setelah
sebelumnya kolonialisme mengintegrasikan wilayah-wilayah kolonial dalam
jaringan kapitalisme global – dengan menundukan rezim-rezim feodal dan
membangun wilayah-wilayah tersebut sebagai penyangga sektor-sektor industri
ekstraktif dan agrikultur.
Relasi dominan-subordinat yang eksis selama era kolonial
dalam perkembangan era Post kolonial kembali pada titik keseimbangnnya (Edward
W Said, 2008). Di era post-kolonial institusi
dan aparatus negara nasion pasca kolonial menjadi fasilitator bagi aktor-aktor
kapital dari negara-negara dominan untuk mengakses teritori, sumber daya dan
populasi di wilayah-wilayah tersebut. Negara nasion pasca kolonial menjalankan
fungsinya sebagai fasilitator modernisasi kapital, khususnya dalam era
developmentalisme, dimana terjadi perluasan infrastruktur untuk
kegiatan-kegiatan industrial, intensifikasi ekstraksi sumber daya alam,
pendisiplinan populasi menjadi sumber daya manusia dan perkembangan pasar bagi
komoditi.
Tak ayal lagi kondisi tersebut nyata terjadi pada konteks
relasi antara Indonesia-Papua. Sejak naiknya rezim Negara nasion Indonesia,
melalui represi fisik dan mental terhadap populasi di dalam teritorinya,
menjalankan perannya dalam menciptakan iklim investasi bagi kapital
multinasional, terutama sejak naiknya rezim militieristik Orde Baru. Penciptaan
iklim investasi yang diawali dengan pengorbanan jutaan jiwa, selanjutnya
dimapankan dengan berkuasanya rezim Orde Baru. UU Penanaman Modal Asing
diberlakukan dua tahun setelah pembantaian September 1965, sebagi kerangka
legal yang menjamin keamanan investasi dan pemberian konsesi-konsesi pada
kapital multinasional. Negara nasion ini menjalankan peran subordinatnya, untuk
memfasilitasi kapital multinasinal, sebagai penjaga kapital dan mediasi antara
kapital dan populasi lokal (I Ngurah Suryawan, 2011).
Indonesia bersama dengan perusahaan-perusahaan multinasional
(MNCs) membangun jalinan ekplotasi brutal terhadap populasi dan lingkungan di
wilayah Papua. Kapital multinasional yang melakukan investasinya di wilayah
yang begitu kaya akan sumber daya alam ini, menempatkan negara Indonesia pada
peran pendisplin populasi yang bergejolak. Terhitung sejak tahun tahun
1963, Indonesia secara permanen menempatkan Papua sebagai wilayah yang penuh
dengan ketegangan melalui kebijakan operasi militer di Tanah Papua pada tahun
1978.
Kekerasan negara atau yang difasilitasi oleh negara dan yang
melibatkan kapital multinasional, juga meliputi salah satu sektor industri
terbesar di Papua, yaitu, industri kayu dan kertas. Pengambil alihan lahan
masyarakat kerap terjadi di Papua oleh investasi-investasi di sektor tersebut.
Pada tahun 1982, beberapa koran melaporakan kerja dengan upah rendah yang
diterapkan pada masyarakat Asmat oleh industri kayu dengan melibatkan aparat
desa. Militer Indonesia di Tiga Danau juga dilaporakan terlibat dalam
skema-skema kerja paksa dalam ektraksi kayu. Menurut aktivis dari TELAPAK,
militer di Papua dinilai sebagai salah satu pihak kunci yang terlibat dalam
ektraksi kayu ilegal di wilayah itu (Environment News Service, Febuari 2005).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.
Papua sebagai suatu bangsa pada dasarnya
merupakan entitas yang unik yang berbeda dengan Belanda maupun bangsa Indonesia
pada umumnya. Bagi Orang Papua, baik Belanda maupun Indonesia memiliki
persamaan prinsipil yaitu sama-sama pendatang dan ingin menguasai.
2.
Era Postkolonial sebagai kelanjutan dari
era kolonial nyata terjadi dalam real
relasi kuasa yang terbentuk pasca terbebasnya Papua dari cengkeraman Belanda. Penempatan
Papua di bawah bayang-bayang sistem pemerintahan sentralistik Indonesia hanya
tetap melanggengkan era kolonial.
3.
Ambiguitas yang terjadi dari perspektif
orang Papua beserta seluruh perangkat definisi dualisme identitas tersebutlah
yang hingga saat ini menjadi alasan Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
DAFTAR
PUSTAKA
Djopari, John RG, 1993, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka,
Jakarta: Grasindo.
Edward
W Said, 2008, Covering Islam: How
the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (Fully Revised Edition).
I Ngurah Suryawan, 2011, Narasi
Sejarah Sosial Papua: Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri, Malang, Intrans
Publishing.
Loomba, Ania, 2000, Kolonialisme
atau Pascakolonialisme, Bentang Budaya, Yogyakarta
Yusri
Fajar, Negosiasi Identitas ‘Pribumi’ dan Belanda dalam Sastra Poskolonial
Indonesia Kontemporer. Artikel
dipresentasikan dalam Seminar Internasional “Indonesian Studies” yang diselenggarakan
oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 18-19 Juli 2011
Slamet Muljana, Kesadaran
nasional: dari kolonialisme sampai kemerdekaan, Makalah.
Sri-Edi
Swasono dan Masri
Singarimbun (Ed), 1986, Transmigrasi di
Indonesia 1905-1985 Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia [UI-Press].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar