Intrik Politik Jaman Kerajaan
Analisis Novel Arok-Dedes
Karangan Pramoedya Ananta Toer dengan pendekatan Analisa Naratif dan Analisa
Arena Wacana dari Pierre Bourdieu
Oleh: Alexander Koko
Siswijayanto
A. Sinopsis
Novel Arok-Dedes
Tahun 1215 adalah tahun yang istimewa. Raja John di Inggris
mengumumkan maklumat Magna Charta. Magna Charta memberikan kebebasan pribadi
dan kebebasan politik pada kawula Inggris, pada umat manusia. Di Jawa, yang
pada saat itu genap 1137 Saka (sama dengan 1215 M), Magna Charta belum
terdengar. Tetapi, berkaitan dengan kebebasan, Sri Erlangga (1020-1042) telah
memaklumkannya di Kediri. Sayang penerusnya yang kelima, Sri Kretajaya malahan
melindasnya. Tumapel, dibawah Akuwu Tunggul Ametung, sepenuhnya mengikuti
Kediri yang memprovokasi perbudakan yang telah dihapus oleh Erlangga. Seorang
bocah dengan nama Arok mengorganisir perlawanan terhadap Tunggul Ametung. Dalam
hanya dua bulan, ia gulingkan Tunggul Ametung dan mengembalikan Magna Charta
Erlangga pada kedudukan semula. Tahun 1144 Saka, ia gulingkan raja terkuat di
Jawa, Sri Kretajaya dan dengan demikian mengembalikan Magna Charta Erlangga untuk seluruh Jawa. (Pengantar xi-xii)
Kisah berawal dari Tumapel. Sebuah wilayah kekuasaan Kerajaan
Kediri. Sang Raja, Sri Kertajaya, mengangkat Akuwu Tunggul Ametung sebagai
penguasa Tumapel. Akuwu Tunggul Ametung sendiri dulunya adalah seorang perampok
yang kemudian menjadi pejabat kerajaan. Karena itulah pemerintah Kediri tidak
sepenuhnya percaya terhadap Tunggul Ametung. Mereka menempatkan Yang Suci
Belakangkang sebagai penasehat agama sekaligus penasihat politik bagi Sang
Akuwu.
Tumapel dalam keadaan gawat. Banyak terjadi pemberontakan di
mana-mana. Mereka menyebut diri Santing, Arih-arih ataupun Borang. Apakah itu
tiga nama untuk tiga orang ataukah tiga nama untuk satu orang, Tunggul Ametung,
penguasa Tumapel, tidak mengetahuinya. Tentunya, pemberontakan-pemberontakan
itu ada yang melatarbelakanginya. Kepemimpinan yang sewenang-wenang dan sering
menindas menyebabkan penderitaan bagi rakyat kecil. Ia memperbudak orang-orang
tak berdaya, dan membikin orang tak berdaya untuk dijadikan budak. (35)
Hal lain yang mempengaruhi pemberontakan juga karena
bobroknya moral Sang Akuwu. Di tengah carut marut negeri, Sang Akuwu menculik
Dedes dari desanya atas info dari Arya Artya untuk dijadikan Prameswari. Arya
Artya seorang adalah brahmana yang dipersamakan kedudukan dan kehormatannya
dengan seorang kepala desa. Pada awalnya Dedes menolak, meronta dan memberontak. Tapi apa daya seorang perempuan
desa yang mempunyai ayah seorang brahmana. “Ayah, sekarang ini sahaya kalah
menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada
akhir kelaknya.” (Dedes 13) “akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah
kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa.”
Dedes ditempatkan di Istana Tumapel
dengan dilayani oleh para dayang-dayang. Salah satunya adalah Rimang. Rimang
dulunya adalah isteri dari Tunggul Ametung juga yang telah lama tidak dipakai.
Di sana, juga ada Gede Mirah sebagai lurah para dayang. Dia juga dilayani oleh
para sudra. Salah satunya adalah Oti, seorang budak yang sering cemburu dengan
Dedes. Lama tinggal di Pakuwunan Tumapel Dedes menyadari. Betapa tidak berdaya
anak-anak sudra yang melayaninya. Ia seorang brahmani, yang tahu banyak tentang
kiwan dan tengenan, juga tidak berdaya. Para dewa tidak menolongnya, semua
manusia juga tidak. Ayahnya sendiri, Mpu Parwa, tak terdengar wartanya. Ia
tersedan-sedan. Apakah sia sia semua ilmu dan pengetahuan yang telah diserapnya
sejak kecil ini? Apakah percuma saja semua yang telah dipelajarinya? Benarkah
kalau ajaran percuma, sama yang tergelar dalam jagad Pramudita ini juga
sia-sia?
Lama kelamaan, dengan bimbingan dari
Rimang, ia menyadari bahwa sebagai seorang Prameswari, Ken Dedes punya
kekuasaan. Ia bisa menyuruh siapa saja dan apa yang ia minta pasti dilakukan.
Pelan-pelan ia menyadari kekuasaan besar sebagai seorang prameswari. Kekuasaan
ini adalah indah dan nikmat. Ia takkan melepaskannya lagi, dan ia akan jadikan
benteng untuk dirinya sendiri, juga terhadap dukacita dan rusuh hati. Kini ia
tidak lagi menyesali menetesnya darah pada malam pertamaitu. Kini ia malah
bersyukur pada detik perpisahan antara Dedes anak brahmana Mpu Parwa tidak arti
menjadi KenDedes, Sang Paramesywari. Ayahnya hanya bisa mengecam-ngecam Tunggul
Ametung. Ia akan menaklukannya.
Kala Tunggul Ametung pergi untuk
menumpas para pemberontak terjadilah gunung meletus dan banyak korban di
Tumapel. Ken Dedes meminta seluruh tentara untuk menolong warga-warga di
sekitar Tumapel yang sedang mengalami penderitaan. Ken Dedes mulai terjun ke
urusan negeri. “barang siapa tidak terlalu muda untuk jadi paramesywari, diapun
cukup tu untuk mengetahui urusan negeri”, begitu katanya. Sejak saat itu ia
begitu disegani sebagai Dewi Kebijaksanaan di wilayah Tumapel.
Masa kecilnya, ia bernama Temu. Di
temukan oleh Ki Lembung (yang artinya pencuri). Ibunya tidak jelas siapa. Yang
jelas, ia lari dari ki Lembung dan menjadi anak asuh Ki Bango Samparan. Di
tengah keluarga Bango Samparan, ia begitu di sayangi baik oleh Ki Bango maupun
oleh Nyi Bango. Saudara-saudara Temu yang lain tidak suka terhadap sikap pilih
kasih itu. Hanya saudara angkat perempuannya yang sungguh mengasihi Temu. Ia
adalah Umang. Sejak kecil Temu sudah mempunyai teman dan dengan teman-temannya
itulah ia sadar bahwa ia mendapatkan loyalitas. Temannya yang paling dekat
adalah Tanca. Tetapi, karena ketidaksukaan dari saudara-saudaranya, ia mohon
dari dari Ki Bango Samparan untuk pergi. Ki Bango Samparan dengan berat hati
merelakan Temu pergi. Ia menulis surat kepada Tantripala supaya Temu ini
diangkat menjadi murid. Bergurulah ia kepada Tantripala. Sejak pertama kali
melihat mata Temu, Tantripala sudah terkagum dengan kharisma anak itu. Seluruh
ilmu yang ia miliki, ia berikan kepada Temu. Hingga Bapa Tantripala mengatakan
bahwa ia sudah tak lagi bisa memberikan pelajaran kepada Temu. Kehausannya akan
ilmu tampak dalam kata-katanya kepada Tanca, “Ya Tanca, kita harus belajar.
Kalau tidak, kita akan begini-begini saja.” Haus ilmu dirasakannya seirama
dengan haus keadilan, kasih dan sayang. Dan betapa ia haus akan kasih sayang
itu.Dari Tantripala ia belajar bahwa
karunia terbesar yang paling diinginkan manusia dari para dewa ialah kekuatan
menguasai dan mempengaruhi sesamanya.
Akhirnya, Temu diminta pergi ke Dang Hyang Lohgawe untuk
berguru ilmu yang lebih tinggi lagi. Dang Hyang Lohgawe adalah seorang pandita
negeri yang cukup disegani di wilayah Tumapel dan juga seluruh Kediri. Tetapi,
karena keyakinannya terhadap Syiwa, ia dibatasi hanya menerima 10 murid. Temu
berguru kepadanya dan Dang Hyang Lohgawelah yang memberinya gelar Arok karena
kecerdasannya.
Latar sejarah naiknya Erlangga
sebagai raja dan kebijakannya dalam hal peran kaum bangsawan, sedikit
menyisihkan kaum brahmana. Para penganut Wisnu dan Syiwa pun berselisih satu
dengan yang lain. Suatu sidang tahunan bagi para brahmana selalu diadakan. Dan
kali ini, Dan Hyang Lohgawe membawa Arok ke sidang tahunan itu dan dalam sidang
itu mengangkat Arok sebagai orang yang akan mengangkat kembali kasta brahmana.
Arok dinobatkan sebagai pemimpin untuk menghancurkan kekuasaan Tumapel yang
dipimpin Ametung. Penobatan ini adalah bentuk dukungan dari kaum Brahmana terhadap
Arok. Bagi kaum Brahmana Arok adalah “Kekuatan tanpa… bersentuhan langsung
dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi.
Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan.” Arok mempunyai empat pilar kaki Nandi,
kendaraan Hyang Guru, yaitu: Teman, kesetiaan, harta dan senjata. Membangunkan
kaki perkasa Nandi, dan dengan demikian ia bisa jadi kendaraan Hyang Mahadewa
Syiwa di tengah-tengah cakrawartinya. Arok sendiri sudah melakukan gerilya
melawan Tunggul Ametung dengan bantuan dari teman-temannya. Ia mendapatkan
kesetiaan dari teman-temannya dan dari hasil pemberontakannya ia sudah mulai
mengumpulkan harta dan senjata untuk membiayai penggulingan kekuasaan Tumapel.
Kelompok Arok yang memakai nama
samaran Borang terus melakukan tindakan pemberontakan terhadap Ametung.
Demikian juga kelompok Santing dan Arih-arih. Hingga pada suatu ketika Tunggul
Ametung merasa putus asa menghadapi para pemberontak ini. Ia meminta nasehat
dari Yang Suci Belakangkang. Yang Suci Belakangkang mengusulkan supaya Akuwu
Tunggul Ametung menemui Dang Hyang Lohgawe, selaku petinggi kaum brahmana,
untuk meminta dukungan dari kaum brahmana supaya pemberontakan bisa dipadamkan.
Dengan sikap congkaknya, Sang Akuwu menolak mentah-mentah. Tetapi, pada
akhirnya atas desakan Belakangkang, dengan terpaksa Sang Akuwu menyetujuinya.
Pertemuan dengan Lohgawe dilakukan
dan Lohgawe berjanji untuk membantu memadamkan pemberontakan dengan mengirimkan
salah satu muridnya. Maka, dibawanya Arok kepada Tunggul Ametung. Tunggul
Ametung curiga bahwa Arok adalah salah satu pemberontak yang pernah ia temui.
Tetapi, ia tak punya bukti dan tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Lohgawe. Tunggul
Ametung meminta Arok untuk berjanji tiga hal: Melindungi Tumapel, Melindungi
Sang Akuwu dan melindungi Prameswari, Ken Dedes. Dan hal itu dijanjikan oleh
Arok. Tunggul Ametung menerima Arok dan diminta untuk memadamkan pemberontak di
selatan. Arok membawa 50 orang kepercayaannya dan 500 prajurit Tumapel. Di
selatan, Arok telah mengatur teman-temannya untuk mengalahkan 500 prajurit
Tumapel. Prajurit Tumapel tumpas, dan pakaian prajurit Tumapel dikenakan oleh
teman-teman Arok. Mereka kembali dengan genderang kemenangan ke Tumapel. Sang
Akuwu tidak mengetahui perang jadi-jadian itu. Tipu daya selanjutnyapun terus
menerus terjadi. Kekuatan dan kekuasaan Arok menjadi semakin kuat. Sedangkan
Tunggul Ametung sendiri semakin melemah baik dari sisi kekuasaan maupun
kekuatan fisiknya. Ia mulai terjatuh sakit.
Intrik politik di Tumapel terjadi
dengan rumit. Empu Gandring bekerja sama dengan Kebo Ijo mencoba menyusun
kekuatan untuk melawan Akuwu Tunggul Ametung. Empu Gandring adalah seorang yang
cerdik. Wibawanya terasa di dalam pasukan Tumapel. Ia menguasai persenjataan
Tumapel. Dan ia mempersatukan para tamtama di bawah pengaruh dan perintahnya,
namun mempertentangkannya satu dengan yang lain. Pada setiap orang di antara
mereka ia tiupkan harapan untuk menaiki singgasana. Pada suatu ketika mereka
akan berbunuh-bunuhan satu sama lain. Gandring akan keluar sebagai pemenang
tanpa berkelahi, dan dengan demikian menjadi pewaris Tunggal Tumapel.
Kebo Ijo bertindak gegabah dengan
membunuh Kidang Telarung, putra Tunggul Ametung. Konspirasinya dengan Empu
Gandring tercium oleh Arok. Empu Gandring sendiri sudah sejak lama ditemui oleh
Arok untuk diminta membuat senjata. Uang panjerdan
bahan-bahan besisudah diberikan. Tetapi ketika diminta senjata yang dipesan,
Empu Gandring menolak untuk memberikan. Empu Gandring ditahan oleh Arok tanpa
sepengetahuan Kebo Ijo.
Kebo Ijo kebingungan. Di tengah
suasana bingung ini, Yang Suci Belakangkang mendekatinya dan membujuknya untuk
menangkap Arok dengan mendapatkan backing
dari Kediri dan pasukan berkuda. Kebo Ijo dan para tamtama yang lain mulai
melakukan aksinya. Dengan banyak prajurit berkuda, ia memasuki Tumapel.
Prajurit-prajurit yang setia pada Arok ditarik mundur ke pakuwuan untuk menjaga
Ken Dedes dan Sang Akuwu.
Arok memerintahkan teman-temannya: Tanca, Santing, Arih-arih,
Murda untuk membawa seluruh pasukan mulai mengepung Tumapel menyaksikan
jatuhnya Tunggul Ametung. Dan gelombang massapun mulai menuju Tumapel. Dan
pasukan Santing, Arih-arih dan Bana menderap maju dengan semangat mengalahkan
dingin dan hujan. Sepanjang jalan semakin meggembung besar dengan ikut-sertanya
penduduk yang bergabung: orang-orang syiwa, Wisynu, Buddha, Kalacakra,
Tantrayana, Durga dan mereka yang hanya memuja leluhur. Sepanjang jalan orang
berseru mengumumkan: pasukan Arok turun dari gunugn untuk menggempur Kutaraja,
menggulingkan Tunggul Ametung. Semua takkan lewatkan kesempatan untuk saksikan
tumbangnya Tunggul Ametung. (515)
Kejatuhan Tunggul Ametung dilakukan
dengan strategi Arok menggunakan tangan Kebo Ijo. Kebo Ijo yang sudah merasa
menguasai Tumapel segera ingin mengakhiri hidup Tunggul Ametung, meminang Ken
Dedes dan menjadi penguasa Tumapel. Dengan para Tamtama, ia pergi ke Pakuwuan.
Pedangnya terhunus dan ia masuk ke kamar Sang Akuwu. Sang Akuwu yang tak
berdaya dibunuhnya. Pada saat itu juga Bala Tentara Arok sudah berada di Tumapel
dan mengepung Pakuwuan. Arok dan Ken Dedes keluar dari tempat persembunyian dan
menangkap basah tindakan Kebo Ijo yang membunuh Tunggul Ametung.
Sidang dengan dihadari oleh bala
tentara Arok, para tamtama dan seluruh masyarakat Tumapel terjadi. Kebo Ijolah
pelaku pembunuhan Tunggul Ametung. Otak dibelakang itu adalah Empu Gandring. Sang
Belakangkang sebagai wakil Kediri yang mempunyai maksud menghancurkan Arok,
telah ditangkap. Dengan mangkatnya Sang Akuwu pada hari itu, Yang Mulia
Paramesyari sekarang penguasa penuh Tumapel. (528)Dan Hyang Lohgawe pun datang
dan mulai berbicara kepada khalayak ramai:“… Dengan kemenangan ini telah
selesai babak perlawanan terhadap Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Kita semua
memasuki babak lain, yang sama sekali berlainan daripada sebelumnya… Aku Dang
Hyang Lohgawe, merestui kemenangan ini, kemenangan kita semua. Dan aku benarkan
Arok sebagai orang pertama untuk seluruh Tumapel.. Dia (Arok) mendapat pancaran
sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru. Dia adalah orang terbaik dari kalian. Dia
adalah titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memeliharakan kalian dari
bencana Tunggul Ametung dan balatentaranya. Dia adalah akuwu-mu. Akuwu
Tumapel.” (530) Gelar yang kemudian diberikan adalah Ken Arok. Sorak-riuh
rendah bergelombang-gelombang menjelang tengah malam seakan tanpa
habis-habisnya.
Ken Arok kemudian angkat bicara:
“Dengarkan, kalian: bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha. Maka jangan
ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorang pun
yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam
hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih berlaku: hukuman mati terhadap
mereka itu. Juga terhadap diriku bila dalam babak baru ini melakukannya.” Ia
melanjutkan, “Aku, Arok, adalah seorang sudra seperti kalian semua. Karena itu
semua sudra, jangan bertengkar. Baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan
Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa… Kalian
lihat, aku adalah seorang Syiwa, istriku, Umang, orang Wisynu, bapa angkatku,
Bango Samparan dan Ki Lembung juga orang Wisynu, guruku, Yang Terhormat
Tantripala adalah Buddha, mahaguru, Yang Suci Dang Hyang Lohgawe adalah Syiwa.
Aturan-aturan yang baik selama dua ratus tahun ini adalah karunia raja Wisynu,
Sri Erlangga. Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana
menyembah dewa, tapi dharma pada sesamanya.” (546-547)
B. Analisa
Naratif Novel Arok Dedes
1.
Eksposisi
(informasi awal, pengantar narrator dan
keterangan sebelum action, yang berisi pemarapan tentang setting narasi, tokoh
utama dan pemahaman kunci).
Novel-novel Pramoedya banyak yang
berlatar belakang sejarah. Novel Arok Dedes inipun merupakan suatu roman
sejarah. Layaknya sebuah sejarah yang telah diketahui banyak orang, kisah Arok
telah mendarah daging dalam memori orang-orang di Indonesia, terutama di Jawa.
Maka, Bab 1 Novel ini langsung berkisah tentang Dedes yang telah diculik oleh
Tunggul Ametung dari desanya untuk dijadikan Pramesmari. Seolah-olah Pramudya
ingin langsung mengajak pembaca untuk masuk dalam lika-liku kisah.
Jika kita memperhatikan dengan
cermat. Eksposisi ada dalam pengantar yang dituliskan oleh Pramudya pada
pengantar, yang hanya terdiri dari empat halaman. Lika-liku politik untuk
mewujudkan kebebasan dan keadilan bagi orang banyak terjadi di tanah Jawa sejak
jaman Erlangga (abad 11) dan keturunannya. Inilah setting sejarahnya.
Tokoh-tokoh yang bermunculan adalah Arok, Dedes, Tunggul Ametung. Tiga tokoh
sentral inilah yang akan dikisahkan lebih lanjut dalam Novel.
Jika nantinya didapati bahwa Novel ini sedemikian rumit, hal
itu memang sudah disebutkan sejak awal oleh penulis. Ia menuliskan demikian:
“Cerita Arok-Dedes terjadi dalam jaman leluhur sudah terbiasa memerintah,
berpolitik, berintrik, biasa menggulingkan dan membangunkan Negara.” (xiii)
Jadi, memang sejak awal dikatakan bahwa novel ini adalah Novel tentang intrik politik
untuk mewujudkan suatu negara atau bangsa yang lebih baik.
2.
Momen
yang menggugah (saat
konflik/permasalahan ditampilkan sehingga mengundang minat pembaca. Seringkali
berisi tentang apa yang sudah diantar dalam eksposisi dan merupakan awal dari
komplikasi yang akan terjawab dalam turning point)
Dibuka dengan penculikan Dedes untuk
dijadikan Prameswari dan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Tumapel,
menggugah minat pembaca untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kisah yang ada.
Sekali lagi memang, kisah tentang Ken Arok sudah menjadi memory historis bagi
orang Indonesia, tetapi cara bertutur dengan adanya konflik penculikan dan
pemberontakan adalah suatu hal yang menarik.
Tokoh Dedes ditampilkan tumbuh dan
bergerak. Berawal dari keadaan berontak, tak berdaya, menerima dan kemudian
bangkit rasa percaya dirinya. Ia kemudian mempunyai rasa percaya diri yang
lebih untuk berani melawan Tunggul Ametung. Diapun berani untuk memegang
kekuasaan yang awalnya merendahkannya. Sebutan sebagai Dewi Kebijaksanaan
adalah symbol kekuasaannya yang menyaingi kekuasaan Tunggul Ametung.
Kemunculan Tokoh Arok, juga menjadi
salah satu moment yang menggugah. Apalagi ketika ia dipilih oleh kaum brahmana
untuk menjadi “Garuda” untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.
Kecerdasannya dalam belajar dan mengatur strategi dipandang sebagai bentuk
kecakapannya untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.
3.
Komplikasi
(Narator menyampaikan sejumlah
usaha/tahap penyelesaian konflik lewat adegan, kata-kata dan tindakan tokoh.
Namun, masalah belum selesai sudah muncul masalah baru)
Keputusasaan Tunggul Ametung adalah
satu tahap menuju konflik puncak. Keputusan Tunggul Ametung meminta bantuan
Lohgawe menyebabkan Arok masuk dalam lingkaran istana Tumapel. Arok dimasukan
oleh Lohgawe sebagai prajurit dengan tiga janji yaitu melindungi Tumapel,
melindungi Sang Akuwu, dan melindungi Prameswari. Itu semua dilakukan dengan
strategi pura-pura mengalahkan teman-temannya sendiri.
Kekuatan dan kekuasaan Arok semakin
besar. Kejeliaannya dalam melihat situasi politik bumi Tumapel menyebabkan ia
selalu waspada terhadap banyak hal yang terjadi. Di tengah naiknya kekuatan
Arok, kekuasaan dan kondisi fisik Tunggul Ametung malah melemah. Di sini,
sebenarnya kisah bisa berjalan dengan cepat dan sederhana yaitu Arok langsung
merebut kekuasaan. Tetapi, sang pencerita mengambil alur yang lain. Ia
memasukan konspirasi Empu Gandring dan Kebo Ijo dalam konstelasi politik
Tumapel. Kondisi menjadi tambah rumit. Masalah pemberontakan Gandring dan
pembunuhan Kebo Ijo terhadap Kidang Telarung, anak Tunggul Ametung menjadi
masalah baru.
4.
Titik
Puncak dan Titik Balik /Turning
Pointpuncak komplikasi yang melibatkan emosi dan penalaran karena pada saat
inilah tokoh protagonist mengalami titik puncak (situasi terbaik/terburuk)
dalam menyelesaikan konflik (menang/hancur)
Sungguh menarik membaca bagaimana
pada akhirnya kekuasaan tergulingkan. Arok meminjam tangan kebo Ijo untuk
menggulingkan Tunggul Ametung. Konspirasi politik di Tumapel memang sangat
pelik. Muncul banyak kepentingan yang ingin berperan di dalamnya. Empu Gandring
sebenarnya adalah otak dibelakang kudeta. Ia mempersiapkan senjata, harta dan
para tamtama untuk menggulingkan kekuasaan. Tetapi, iapun menggunakan Kebo Ijo
untuk melakukannya. Semua konspirasi itu diketahui oleh Arok. Sedangkan dari
Kebo Ijo sendiri merasa bahwa ia mendapatkan dukungan dari Empu Gandring dan
Belakangkang. Iapun melancarkan aksinya.
Arok secara sembunyi-sembunyi menyusun
strategi dengan tidak menggunakan perang besar. Ia membiarkan kebo Ijo
membinasakan Tunggul Ametung. Dibalik itu, ia mengerahkan seluruh pasukan untuk
mengepung Tumapel. Puncak dari ketegangan adalah terbunuhnya Tunggul Ametung
yang sudah tidak berdaya oleh tangan Kebo Ijo. Arok sudah siap dengan hal itu.
Ia keluar bersama dengan Dedes, Sang Parameswari, menangkap basah pembunuhan
Tunggul Ametung. Bagi Arok, strategi ini berjalan lancar. Kesewenang-wenangan
Tumapel oleh Tunggul Ametung teratasi. Tetapi, di sisi yang lain orang-orang
yang tidak bersih juga dapat tertangkap. Arok dan Dedes tampil sebagai pemenang
di tengah kerumitan politik Tumapel.
5.
Resolusi(penyelesaian konflik tetapi belum tuntas
yang ditandai dengan perubahan ke situasi yang berlawanan dengan situasi
sebelumnya)
Yang menarik adalah bahwa
terbunuhnya Tunggul Ametung tidak langsung berakhirnya kisah. Ada sidang besar
untuk orang-orang yang haus kekuasaan. Pengadilan itu ditujukan untuk Kebo Ijo,
Empu Gandring dan Belakangkang. Kebo ijo akhirnya diberi hukuman mati karena
kesalahan-kesalahannya. Demikian juga untuk Empu Gandring. Belakangkang yang
paling lama diceritakan dalam sidang. Argumentasi bahwa ia wakil Kediri sungguh
kuat. Tetapi, pada akhirnya Belakangkang dijatuhi hukuman disingkirkan dari
Tumapel. (538-539)
Akhir dari kisah adalah diangkatnya Arok sebagai Akuwu
Tumapel. Lohgawe tampil sebagai pemimpin agama yang merestui dan menobatkan
Arok sebagai Akuwu Tumapel. Dengan demikian berakhirlah perbudakan dan juga
keganasan klan Tunggul Ametung.
6.
Kesimpulan(hasil akhir/kelanjutan dari resolusi yang
berisi pengisahan akhir nasib tokoh, pesan/ajaran moral, dan aplikasi dunia
narasi ke dunia pembaca. Kadang ditampilkan dalam bentuk refleksi narrator)
Kata-kata akhir dari Arok menunjukkan pesan moral dari Novel
itu. Sekali lagi terlihat jelas Novel ini tentang pergulatan politik dan kekuasaan
untuk mewujudkan suatu negara atau bangsa. Pesan moral ada tiga yang muncul:Pertama, berkaitan dengan moral
masyarakat. Arok mengatakan: “Jangan ada seorang pun yang merampok, mencuri,
merampas, menganiaya, memperkosa…”.Kedua,
berkaitan dengan kerukunan antara pemeluk kepercayaan yang berbeda. Ia
mengatakan: “…Baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan
bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa…”. Hal ini, sangat terlihat
bahwa peran yang membantu Arok berasal dari berbagai golongan. Mereka bersatu
padu untuk mewujudkan mimpi mereka. Dan ketiga,
“Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah dewa, tapi
dharma pada sesamanya.” Ketiga hal ini menjadi pesan moral yang relevan untuk
saat ini. Moral pribadi seseorang harus benar-benar diperhatikan. Masalah
radikalisme agama di Indonesia akhir-akhir ini, dijawab oleh Novel Arok Dedes
ini dengan pesan untuk kerukunan antar umat beragama. Dan ritualisme dijawab
dengan tindakan membantu sesama. Kesemuanya itu diperlihatkan dari sosok
pemimpin yang baik seperti Arok.
C. Arena
Kekuasaan dalam Novel Arok Dedes
Analisa yang lain yang akan kami
lakukan untuk membedah Novel Arok Dedes adalah dengan menggunakan pemikiran
Pierre Bourdieu. Ada dua hal yang ingin saya soroti: Arena dan Kapital.
1.
Arena
Konsep arena yang dipahami sebagai
tempat bertarungnya kekuasaan menjadi sangat jelas dalam Novel ini ketika semua
pihak di letakkan dalam satu bagan (lihat lampiran 1). Pertama, perlu dilihat bahwa dalam keseluruhan Novel latar tempat
yang terjadi adalah di Tumapel. Kediri hanyalah disinggung sepintas. Memang
sempat ada kunjungan Tunggul Ametung ke Kediri (229) untuk menghadap
Sri Kertajaya, tetapi hal itu hanya disinggung sepintas untuk memperlihatkan
dominasi kekuasaan. Perselisihan sepenuhnya berada di wilayah Tumapel. Kedua, permainan arena yang ada terlihat
di bidang politik antara Arok dan Tunggul Ametung, Arok dan lawan-lawan
politiknya yang berada di bawah Tunggul Ametung. Kedua, masih terlihat bahwa
arena pertarungan masih memperlihatkan adanya kasta. Pertarungan yang terjadi
adalah pertarungan antara dua kasta besar yaitu Brahmana dan Ksatria/Bangsawan.
Lohgawe adalah symbol kekuasaan Brahmana dan Tunggul Ametung adalah simbul
kekuasaan bangsawan. Arok sendiri bermain dikeduanya.
2.
Kapital
Sangat jelas terlihat bahwa Arok
mempunyai Kapital Politik, Budaya dan Simbolik (Agama). Sedangkan lawan-lawannya
yang lain mempunyai kapital politik dan ekonomi. Terlihat bahwa kapital simbolik
(agama) sungguh sangat kentara. Ada permainan agama di sana. Antara Brahmana
yang memuja Syiwa dan para bangsawan/ksatria yang memuja Wisnu.
Tunggul Ametung sebagai seseorang
yang memuja Wisnu hanya mempunyai sedikit kapital. Kapital simbolik sebagai
penguasa sungguh sangat kentara. Kekuasaannya dilandasi oleh rasa ketakutan,
penindasan dan perbudakan. Ini menjadi kelemahan yang ada. Hal ini sangat
berbeda dengan Arok.
Arok sendiri mengatakan ada 4 kunci kekuasaan: teman dan
kesetiaan, harta dan tentara. Dengan bahasa Bourdieu, Arok memiliki kapital
sosial yang tinggi, kapital politik dan juga kapital ekonomi. Kapital Sosial,
ia dapat dari teman-temannya yang setiap kepadanya. Tetapi, bukan hanya itu di
hadapan para guru dan brahmana, ia bisa menyesuaikan diri dengan elegan. Ia tak
tampak menguasai. Tapi mampu menggunakan kecerdasannya untuk memikat para
brahmana. Di hadapan lawan politiknyapun, ia tidak bertindak gegabah. Kapital
ekonomi adalah harta yang dia rampok dari Tumapel. Ada satu hal yang tak
bisa ditinggalkan, Arok memiliki kapital budaya(pengetahuan).
Keinginannya untuk selalu belajar menjadikan ia sosok yang cerdas.
Kecerdasannya nampak dalam analisa politik di Tumapel dan strategi untuk
mencapai kemenangan. Kecerdasarannya juga nampak dalam penguasaannya atas
Sansekerta sebagai bahasa yang hanya bisa digunakan oleh Kaum Brahmana. Dengan
demikian, Arok mempunyai kapital yang lebih banyak dari pada Tunggul Ametung.
3.
Kesimpulan
Akhir
Dari analisis kekuasan dari Bourdieu ini, ada dua hal menarik
yang saya dapatkan:Pertama, di dalam
Novel Arok Dedes, kapital yang paling dominan adalah kapital budaya, dalam arti
khusus pengetahuan. Kecerdasan Arok dan keingannya untuk terus belajar
menjadikan ia mampu pula mempunyai relasi yang cukup banyak tetapi ia juga
mempunyai kemampuan memimpin. Kedua,
kelahirannya sebagai seorang sudra adalah suatu keuntungan. Didalam diri Arok
melebur Syiwa dan Wisnu. Di dalam dirinya ada kesatuan sudra, ksatria dan
brahmana. Dalam dirinya ada rakyat jelata dan sang pemimpin yang menjadi satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar