see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Rabu, 12 Maret 2014

Intrik Politik Jaman Kerajaan



Intrik Politik Jaman Kerajaan
Analisis Novel Arok-Dedes Karangan Pramoedya Ananta Toer dengan pendekatan Analisa Naratif dan Analisa Arena Wacana dari Pierre Bourdieu
Oleh: Alexander Koko Siswijayanto

A.    Sinopsis Novel Arok-Dedes
Tahun 1215 adalah tahun yang istimewa. Raja John di Inggris mengumumkan maklumat Magna Charta. Magna Charta memberikan kebebasan pribadi dan kebebasan politik pada kawula Inggris, pada umat manusia. Di Jawa, yang pada saat itu genap 1137 Saka (sama dengan 1215 M), Magna Charta belum terdengar. Tetapi, berkaitan dengan kebebasan, Sri Erlangga (1020-1042) telah memaklumkannya di Kediri. Sayang penerusnya yang kelima, Sri Kretajaya malahan melindasnya. Tumapel, dibawah Akuwu Tunggul Ametung, sepenuhnya mengikuti Kediri yang memprovokasi perbudakan yang telah dihapus oleh Erlangga. Seorang bocah dengan nama Arok mengorganisir perlawanan terhadap Tunggul Ametung. Dalam hanya dua bulan, ia gulingkan Tunggul Ametung dan mengembalikan Magna Charta Erlangga pada kedudukan semula. Tahun 1144 Saka, ia gulingkan raja terkuat di Jawa, Sri Kretajaya dan dengan demikian mengembalikan Magna Charta Erlangga untuk seluruh Jawa. (Pengantar xi-xii)
Kisah berawal dari Tumapel. Sebuah wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri. Sang Raja, Sri Kertajaya, mengangkat Akuwu Tunggul Ametung sebagai penguasa Tumapel. Akuwu Tunggul Ametung sendiri dulunya adalah seorang perampok yang kemudian menjadi pejabat kerajaan. Karena itulah pemerintah Kediri tidak sepenuhnya percaya terhadap Tunggul Ametung. Mereka menempatkan Yang Suci Belakangkang sebagai penasehat agama sekaligus penasihat politik bagi Sang Akuwu.
Tumapel dalam keadaan gawat. Banyak terjadi pemberontakan di mana-mana. Mereka menyebut diri Santing, Arih-arih ataupun Borang. Apakah itu tiga nama untuk tiga orang ataukah tiga nama untuk satu orang, Tunggul Ametung, penguasa Tumapel, tidak mengetahuinya. Tentunya, pemberontakan-pemberontakan itu ada yang melatarbelakanginya. Kepemimpinan yang sewenang-wenang dan sering menindas menyebabkan penderitaan bagi rakyat kecil. Ia memperbudak orang-orang tak berdaya, dan membikin orang tak berdaya untuk dijadikan budak. (35)
Hal lain yang mempengaruhi pemberontakan juga karena bobroknya moral Sang Akuwu. Di tengah carut marut negeri, Sang Akuwu menculik Dedes dari desanya atas info dari Arya Artya untuk dijadikan Prameswari. Arya Artya seorang adalah brahmana yang dipersamakan kedudukan dan kehormatannya dengan seorang kepala desa. Pada awalnya Dedes menolak, meronta dan  memberontak. Tapi apa daya seorang perempuan desa yang mempunyai ayah seorang brahmana. “Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya.” (Dedes 13) “akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa.”
            Dedes ditempatkan di Istana Tumapel dengan dilayani oleh para dayang-dayang. Salah satunya adalah Rimang. Rimang dulunya adalah isteri dari Tunggul Ametung juga yang telah lama tidak dipakai. Di sana, juga ada Gede Mirah sebagai lurah para dayang. Dia juga dilayani oleh para sudra. Salah satunya adalah Oti, seorang budak yang sering cemburu dengan Dedes. Lama tinggal di Pakuwunan Tumapel Dedes menyadari. Betapa tidak berdaya anak-anak sudra yang melayaninya. Ia seorang brahmani, yang tahu banyak tentang kiwan dan tengenan, juga tidak berdaya. Para dewa tidak menolongnya, semua manusia juga tidak. Ayahnya sendiri, Mpu Parwa, tak terdengar wartanya. Ia tersedan-sedan. Apakah sia sia semua ilmu dan pengetahuan yang telah diserapnya sejak kecil ini? Apakah percuma saja semua yang telah dipelajarinya? Benarkah kalau ajaran percuma, sama yang tergelar dalam jagad Pramudita ini juga sia-sia?
            Lama kelamaan, dengan bimbingan dari Rimang, ia menyadari bahwa sebagai seorang Prameswari, Ken Dedes punya kekuasaan. Ia bisa menyuruh siapa saja dan apa yang ia minta pasti dilakukan. Pelan-pelan ia menyadari kekuasaan besar sebagai seorang prameswari. Kekuasaan ini adalah indah dan nikmat. Ia takkan melepaskannya lagi, dan ia akan jadikan benteng untuk dirinya sendiri, juga terhadap dukacita dan rusuh hati. Kini ia tidak lagi menyesali menetesnya darah pada malam pertamaitu. Kini ia malah bersyukur pada detik perpisahan antara Dedes anak brahmana Mpu Parwa tidak arti menjadi KenDedes, Sang Paramesywari. Ayahnya hanya bisa mengecam-ngecam Tunggul Ametung. Ia akan menaklukannya.
            Kala Tunggul Ametung pergi untuk menumpas para pemberontak terjadilah gunung meletus dan banyak korban di Tumapel. Ken Dedes meminta seluruh tentara untuk menolong warga-warga di sekitar Tumapel yang sedang mengalami penderitaan. Ken Dedes mulai terjun ke urusan negeri. “barang siapa tidak terlalu muda untuk jadi paramesywari, diapun cukup tu untuk mengetahui urusan negeri”, begitu katanya. Sejak saat itu ia begitu disegani sebagai Dewi Kebijaksanaan di wilayah Tumapel.

            Masa kecilnya, ia bernama Temu. Di temukan oleh Ki Lembung (yang artinya pencuri). Ibunya tidak jelas siapa. Yang jelas, ia lari dari ki Lembung dan menjadi anak asuh Ki Bango Samparan. Di tengah keluarga Bango Samparan, ia begitu di sayangi baik oleh Ki Bango maupun oleh Nyi Bango. Saudara-saudara Temu yang lain tidak suka terhadap sikap pilih kasih itu. Hanya saudara angkat perempuannya yang sungguh mengasihi Temu. Ia adalah Umang. Sejak kecil Temu sudah mempunyai teman dan dengan teman-temannya itulah ia sadar bahwa ia mendapatkan loyalitas. Temannya yang paling dekat adalah Tanca. Tetapi, karena ketidaksukaan dari saudara-saudaranya, ia mohon dari dari Ki Bango Samparan untuk pergi. Ki Bango Samparan dengan berat hati merelakan Temu pergi. Ia menulis surat kepada Tantripala supaya Temu ini diangkat menjadi murid. Bergurulah ia kepada Tantripala. Sejak pertama kali melihat mata Temu, Tantripala sudah terkagum dengan kharisma anak itu. Seluruh ilmu yang ia miliki, ia berikan kepada Temu. Hingga Bapa Tantripala mengatakan bahwa ia sudah tak lagi bisa memberikan pelajaran kepada Temu. Kehausannya akan ilmu tampak dalam kata-katanya kepada Tanca, “Ya Tanca, kita harus belajar. Kalau tidak, kita akan begini-begini saja.” Haus ilmu dirasakannya seirama dengan haus keadilan, kasih dan sayang. Dan betapa ia haus akan kasih sayang itu.Dari  Tantripala ia belajar bahwa karunia terbesar yang paling diinginkan manusia dari para dewa ialah kekuatan menguasai dan mempengaruhi sesamanya.
Akhirnya, Temu diminta pergi ke Dang Hyang Lohgawe untuk berguru ilmu yang lebih tinggi lagi. Dang Hyang Lohgawe adalah seorang pandita negeri yang cukup disegani di wilayah Tumapel dan juga seluruh Kediri. Tetapi, karena keyakinannya terhadap Syiwa, ia dibatasi hanya menerima 10 murid. Temu berguru kepadanya dan Dang Hyang Lohgawelah yang memberinya gelar Arok karena kecerdasannya.
            Latar sejarah naiknya Erlangga sebagai raja dan kebijakannya dalam hal peran kaum bangsawan, sedikit menyisihkan kaum brahmana. Para penganut Wisnu dan Syiwa pun berselisih satu dengan yang lain. Suatu sidang tahunan bagi para brahmana selalu diadakan. Dan kali ini, Dan Hyang Lohgawe membawa Arok ke sidang tahunan itu dan dalam sidang itu mengangkat Arok sebagai orang yang akan mengangkat kembali kasta brahmana. Arok dinobatkan sebagai pemimpin untuk menghancurkan kekuasaan Tumapel yang dipimpin Ametung. Penobatan ini adalah bentuk dukungan dari kaum Brahmana terhadap Arok. Bagi kaum Brahmana Arok adalah “Kekuatan tanpa… bersentuhan langsung dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi. Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan.” Arok mempunyai empat pilar kaki Nandi, kendaraan Hyang Guru, yaitu: Teman, kesetiaan, harta dan senjata. Membangunkan kaki perkasa Nandi, dan dengan demikian ia bisa jadi kendaraan Hyang Mahadewa Syiwa di tengah-tengah cakrawartinya. Arok sendiri sudah melakukan gerilya melawan Tunggul Ametung dengan bantuan dari teman-temannya. Ia mendapatkan kesetiaan dari teman-temannya dan dari hasil pemberontakannya ia sudah mulai mengumpulkan harta dan senjata untuk membiayai penggulingan kekuasaan Tumapel.

            Kelompok Arok yang memakai nama samaran Borang terus melakukan tindakan pemberontakan terhadap Ametung. Demikian juga kelompok Santing dan Arih-arih. Hingga pada suatu ketika Tunggul Ametung merasa putus asa menghadapi para pemberontak ini. Ia meminta nasehat dari Yang Suci Belakangkang. Yang Suci Belakangkang mengusulkan supaya Akuwu Tunggul Ametung menemui Dang Hyang Lohgawe, selaku petinggi kaum brahmana, untuk meminta dukungan dari kaum brahmana supaya pemberontakan bisa dipadamkan. Dengan sikap congkaknya, Sang Akuwu menolak mentah-mentah. Tetapi, pada akhirnya atas desakan Belakangkang, dengan terpaksa Sang Akuwu menyetujuinya.
            Pertemuan dengan Lohgawe dilakukan dan Lohgawe berjanji untuk membantu memadamkan pemberontakan dengan mengirimkan salah satu muridnya. Maka, dibawanya Arok kepada Tunggul Ametung. Tunggul Ametung curiga bahwa Arok adalah salah satu pemberontak yang pernah ia temui. Tetapi, ia tak punya bukti dan tak bisa berbuat apa-apa di hadapan Lohgawe. Tunggul Ametung meminta Arok untuk berjanji tiga hal: Melindungi Tumapel, Melindungi Sang Akuwu dan melindungi Prameswari, Ken Dedes. Dan hal itu dijanjikan oleh Arok. Tunggul Ametung menerima Arok dan diminta untuk memadamkan pemberontak di selatan. Arok membawa 50 orang kepercayaannya dan 500 prajurit Tumapel. Di selatan, Arok telah mengatur teman-temannya untuk mengalahkan 500 prajurit Tumapel. Prajurit Tumapel tumpas, dan pakaian prajurit Tumapel dikenakan oleh teman-teman Arok. Mereka kembali dengan genderang kemenangan ke Tumapel. Sang Akuwu tidak mengetahui perang jadi-jadian itu. Tipu daya selanjutnyapun terus menerus terjadi. Kekuatan dan kekuasaan Arok menjadi semakin kuat. Sedangkan Tunggul Ametung sendiri semakin melemah baik dari sisi kekuasaan maupun kekuatan fisiknya. Ia mulai terjatuh sakit.

            Intrik politik di Tumapel terjadi dengan rumit. Empu Gandring bekerja sama dengan Kebo Ijo mencoba menyusun kekuatan untuk melawan Akuwu Tunggul Ametung. Empu Gandring adalah seorang yang cerdik. Wibawanya terasa di dalam pasukan Tumapel. Ia menguasai persenjataan Tumapel. Dan ia mempersatukan para tamtama di bawah pengaruh dan perintahnya, namun mempertentangkannya satu dengan yang lain. Pada setiap orang di antara mereka ia tiupkan harapan untuk menaiki singgasana. Pada suatu ketika mereka akan berbunuh-bunuhan satu sama lain. Gandring akan keluar sebagai pemenang tanpa berkelahi, dan dengan demikian menjadi pewaris Tunggal Tumapel.
            Kebo Ijo bertindak gegabah dengan membunuh Kidang Telarung, putra Tunggul Ametung. Konspirasinya dengan Empu Gandring tercium oleh Arok. Empu Gandring sendiri sudah sejak lama ditemui oleh Arok untuk diminta membuat senjata. Uang panjerdan bahan-bahan besisudah diberikan. Tetapi ketika diminta senjata yang dipesan, Empu Gandring menolak untuk memberikan. Empu Gandring ditahan oleh Arok tanpa sepengetahuan Kebo Ijo.
            Kebo Ijo kebingungan. Di tengah suasana bingung ini, Yang Suci Belakangkang mendekatinya dan membujuknya untuk menangkap Arok dengan mendapatkan backing dari Kediri dan pasukan berkuda. Kebo Ijo dan para tamtama yang lain mulai melakukan aksinya. Dengan banyak prajurit berkuda, ia memasuki Tumapel. Prajurit-prajurit yang setia pada Arok ditarik mundur ke pakuwuan untuk menjaga Ken Dedes dan Sang Akuwu.
Arok memerintahkan teman-temannya: Tanca, Santing, Arih-arih, Murda untuk membawa seluruh pasukan mulai mengepung Tumapel menyaksikan jatuhnya Tunggul Ametung. Dan gelombang massapun mulai menuju Tumapel. Dan pasukan Santing, Arih-arih dan Bana menderap maju dengan semangat mengalahkan dingin dan hujan. Sepanjang jalan semakin meggembung besar dengan ikut-sertanya penduduk yang bergabung: orang-orang syiwa, Wisynu, Buddha, Kalacakra, Tantrayana, Durga dan mereka yang hanya memuja leluhur. Sepanjang jalan orang berseru mengumumkan: pasukan Arok turun dari gunugn untuk menggempur Kutaraja, menggulingkan Tunggul Ametung. Semua takkan lewatkan kesempatan untuk saksikan tumbangnya Tunggul Ametung. (515)
            Kejatuhan Tunggul Ametung dilakukan dengan strategi Arok menggunakan tangan Kebo Ijo. Kebo Ijo yang sudah merasa menguasai Tumapel segera ingin mengakhiri hidup Tunggul Ametung, meminang Ken Dedes dan menjadi penguasa Tumapel. Dengan para Tamtama, ia pergi ke Pakuwuan. Pedangnya terhunus dan ia masuk ke kamar Sang Akuwu. Sang Akuwu yang tak berdaya dibunuhnya. Pada saat itu juga Bala Tentara Arok sudah berada di Tumapel dan mengepung Pakuwuan. Arok dan Ken Dedes keluar dari tempat persembunyian dan menangkap basah tindakan Kebo Ijo yang membunuh Tunggul Ametung.
            Sidang dengan dihadari oleh bala tentara Arok, para tamtama dan seluruh masyarakat Tumapel terjadi. Kebo Ijolah pelaku pembunuhan Tunggul Ametung. Otak dibelakang itu adalah Empu Gandring. Sang Belakangkang sebagai wakil Kediri yang mempunyai maksud menghancurkan Arok, telah ditangkap. Dengan mangkatnya Sang Akuwu pada hari itu, Yang Mulia Paramesyari sekarang penguasa penuh Tumapel. (528)Dan Hyang Lohgawe pun datang dan mulai berbicara kepada khalayak ramai:“… Dengan kemenangan ini telah selesai babak perlawanan terhadap Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Kita semua memasuki babak lain, yang sama sekali berlainan daripada sebelumnya… Aku Dang Hyang Lohgawe, merestui kemenangan ini, kemenangan kita semua. Dan aku benarkan Arok sebagai orang pertama untuk seluruh Tumapel.. Dia (Arok) mendapat pancaran sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru. Dia adalah orang terbaik dari kalian. Dia adalah titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memeliharakan kalian dari bencana Tunggul Ametung dan balatentaranya. Dia adalah akuwu-mu. Akuwu Tumapel.” (530) Gelar yang kemudian diberikan adalah Ken Arok. Sorak-riuh rendah bergelombang-gelombang menjelang tengah malam seakan tanpa habis-habisnya.
            Ken Arok kemudian angkat bicara: “Dengarkan, kalian: bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha. Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorang pun yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih berlaku: hukuman mati terhadap mereka itu. Juga terhadap diriku bila dalam babak baru ini melakukannya.” Ia melanjutkan, “Aku, Arok, adalah seorang sudra seperti kalian semua. Karena itu semua sudra, jangan bertengkar. Baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa… Kalian lihat, aku adalah seorang Syiwa, istriku, Umang, orang Wisynu, bapa angkatku, Bango Samparan dan Ki Lembung juga orang Wisynu, guruku, Yang Terhormat Tantripala adalah Buddha, mahaguru, Yang Suci Dang Hyang Lohgawe adalah Syiwa. Aturan-aturan yang baik selama dua ratus tahun ini adalah karunia raja Wisynu, Sri Erlangga. Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah dewa, tapi dharma pada sesamanya.” (546-547)
           

B.    Analisa Naratif Novel Arok Dedes

1.      Eksposisi (informasi awal, pengantar narrator dan keterangan sebelum action, yang berisi pemarapan tentang setting narasi, tokoh utama dan pemahaman kunci).
            Novel-novel Pramoedya banyak yang berlatar belakang sejarah. Novel Arok Dedes inipun merupakan suatu roman sejarah. Layaknya sebuah sejarah yang telah diketahui banyak orang, kisah Arok telah mendarah daging dalam memori orang-orang di Indonesia, terutama di Jawa. Maka, Bab 1 Novel ini langsung berkisah tentang Dedes yang telah diculik oleh Tunggul Ametung dari desanya untuk dijadikan Pramesmari. Seolah-olah Pramudya ingin langsung mengajak pembaca untuk masuk dalam lika-liku kisah.
            Jika kita memperhatikan dengan cermat. Eksposisi ada dalam pengantar yang dituliskan oleh Pramudya pada pengantar, yang hanya terdiri dari empat halaman. Lika-liku politik untuk mewujudkan kebebasan dan keadilan bagi orang banyak terjadi di tanah Jawa sejak jaman Erlangga (abad 11) dan keturunannya. Inilah setting sejarahnya. Tokoh-tokoh yang bermunculan adalah Arok, Dedes, Tunggul Ametung. Tiga tokoh sentral inilah yang akan dikisahkan lebih lanjut dalam Novel.
Jika nantinya didapati bahwa Novel ini sedemikian rumit, hal itu memang sudah disebutkan sejak awal oleh penulis. Ia menuliskan demikian: “Cerita Arok-Dedes terjadi dalam jaman leluhur sudah terbiasa memerintah, berpolitik, berintrik, biasa menggulingkan dan membangunkan Negara.” (xiii) Jadi, memang sejak awal dikatakan bahwa novel ini adalah Novel tentang intrik politik untuk mewujudkan suatu negara atau bangsa yang lebih baik.


2.      Momen yang menggugah (saat konflik/permasalahan ditampilkan sehingga mengundang minat pembaca. Seringkali berisi tentang apa yang sudah diantar dalam eksposisi dan merupakan awal dari komplikasi yang akan terjawab dalam turning point)
            Dibuka dengan penculikan Dedes untuk dijadikan Prameswari dan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Tumapel, menggugah minat pembaca untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kisah yang ada. Sekali lagi memang, kisah tentang Ken Arok sudah menjadi memory historis bagi orang Indonesia, tetapi cara bertutur dengan adanya konflik penculikan dan pemberontakan adalah suatu hal yang menarik.
            Tokoh Dedes ditampilkan tumbuh dan bergerak. Berawal dari keadaan berontak, tak berdaya, menerima dan kemudian bangkit rasa percaya dirinya. Ia kemudian mempunyai rasa percaya diri yang lebih untuk berani melawan Tunggul Ametung. Diapun berani untuk memegang kekuasaan yang awalnya merendahkannya. Sebutan sebagai Dewi Kebijaksanaan adalah symbol kekuasaannya yang menyaingi kekuasaan Tunggul Ametung.
            Kemunculan Tokoh Arok, juga menjadi salah satu moment yang menggugah. Apalagi ketika ia dipilih oleh kaum brahmana untuk menjadi “Garuda” untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Kecerdasannya dalam belajar dan mengatur strategi dipandang sebagai bentuk kecakapannya untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.

3.      Komplikasi (Narator menyampaikan sejumlah usaha/tahap penyelesaian konflik lewat adegan, kata-kata dan tindakan tokoh. Namun, masalah belum selesai sudah muncul masalah baru)
            Keputusasaan Tunggul Ametung adalah satu tahap menuju konflik puncak. Keputusan Tunggul Ametung meminta bantuan Lohgawe menyebabkan Arok masuk dalam lingkaran istana Tumapel. Arok dimasukan oleh Lohgawe sebagai prajurit dengan tiga janji yaitu melindungi Tumapel, melindungi Sang Akuwu, dan melindungi Prameswari. Itu semua dilakukan dengan strategi pura-pura mengalahkan teman-temannya sendiri.
            Kekuatan dan kekuasaan Arok semakin besar. Kejeliaannya dalam melihat situasi politik bumi Tumapel menyebabkan ia selalu waspada terhadap banyak hal yang terjadi. Di tengah naiknya kekuatan Arok, kekuasaan dan kondisi fisik Tunggul Ametung malah melemah. Di sini, sebenarnya kisah bisa berjalan dengan cepat dan sederhana yaitu Arok langsung merebut kekuasaan. Tetapi, sang pencerita mengambil alur yang lain. Ia memasukan konspirasi Empu Gandring dan Kebo Ijo dalam konstelasi politik Tumapel. Kondisi menjadi tambah rumit. Masalah pemberontakan Gandring dan pembunuhan Kebo Ijo terhadap Kidang Telarung, anak Tunggul Ametung menjadi masalah baru.

4.       Titik Puncak dan Titik Balik /Turning Pointpuncak komplikasi yang melibatkan emosi dan penalaran karena pada saat inilah tokoh protagonist mengalami titik puncak (situasi terbaik/terburuk) dalam menyelesaikan konflik (menang/hancur)
            Sungguh menarik membaca bagaimana pada akhirnya kekuasaan tergulingkan. Arok meminjam tangan kebo Ijo untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Konspirasi politik di Tumapel memang sangat pelik. Muncul banyak kepentingan yang ingin berperan di dalamnya. Empu Gandring sebenarnya adalah otak dibelakang kudeta. Ia mempersiapkan senjata, harta dan para tamtama untuk menggulingkan kekuasaan. Tetapi, iapun menggunakan Kebo Ijo untuk melakukannya. Semua konspirasi itu diketahui oleh Arok. Sedangkan dari Kebo Ijo sendiri merasa bahwa ia mendapatkan dukungan dari Empu Gandring dan Belakangkang. Iapun melancarkan aksinya.
            Arok secara sembunyi-sembunyi menyusun strategi dengan tidak menggunakan perang besar. Ia membiarkan kebo Ijo membinasakan Tunggul Ametung. Dibalik itu, ia mengerahkan seluruh pasukan untuk mengepung Tumapel. Puncak dari ketegangan adalah terbunuhnya Tunggul Ametung yang sudah tidak berdaya oleh tangan Kebo Ijo. Arok sudah siap dengan hal itu. Ia keluar bersama dengan Dedes, Sang Parameswari, menangkap basah pembunuhan Tunggul Ametung. Bagi Arok, strategi ini berjalan lancar. Kesewenang-wenangan Tumapel oleh Tunggul Ametung teratasi. Tetapi, di sisi yang lain orang-orang yang tidak bersih juga dapat tertangkap. Arok dan Dedes tampil sebagai pemenang di tengah kerumitan politik Tumapel.
           
5.       Resolusi(penyelesaian konflik tetapi belum tuntas yang ditandai dengan perubahan ke situasi yang berlawanan dengan situasi sebelumnya)
            Yang menarik adalah bahwa terbunuhnya Tunggul Ametung tidak langsung berakhirnya kisah. Ada sidang besar untuk orang-orang yang haus kekuasaan. Pengadilan itu ditujukan untuk Kebo Ijo, Empu Gandring dan Belakangkang. Kebo ijo akhirnya diberi hukuman mati karena kesalahan-kesalahannya. Demikian juga untuk Empu Gandring. Belakangkang yang paling lama diceritakan dalam sidang. Argumentasi bahwa ia wakil Kediri sungguh kuat. Tetapi, pada akhirnya Belakangkang dijatuhi hukuman disingkirkan dari Tumapel. (538-539)
Akhir dari kisah adalah diangkatnya Arok sebagai Akuwu Tumapel. Lohgawe tampil sebagai pemimpin agama yang merestui dan menobatkan Arok sebagai Akuwu Tumapel. Dengan demikian berakhirlah perbudakan dan juga keganasan klan Tunggul Ametung.

6.      Kesimpulan(hasil akhir/kelanjutan dari resolusi yang berisi pengisahan akhir nasib tokoh, pesan/ajaran moral, dan aplikasi dunia narasi ke dunia pembaca. Kadang ditampilkan dalam bentuk refleksi narrator)
Kata-kata akhir dari Arok menunjukkan pesan moral dari Novel itu. Sekali lagi terlihat jelas Novel ini tentang pergulatan politik dan kekuasaan untuk mewujudkan suatu negara atau bangsa. Pesan moral ada tiga yang muncul:Pertama, berkaitan dengan moral masyarakat. Arok mengatakan: “Jangan ada seorang pun yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa…”.Kedua, berkaitan dengan kerukunan antara pemeluk kepercayaan yang berbeda. Ia mengatakan: “…Baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa…”. Hal ini, sangat terlihat bahwa peran yang membantu Arok berasal dari berbagai golongan. Mereka bersatu padu untuk mewujudkan mimpi mereka. Dan ketiga, “Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah dewa, tapi dharma pada sesamanya.” Ketiga hal ini menjadi pesan moral yang relevan untuk saat ini. Moral pribadi seseorang harus benar-benar diperhatikan. Masalah radikalisme agama di Indonesia akhir-akhir ini, dijawab oleh Novel Arok Dedes ini dengan pesan untuk kerukunan antar umat beragama. Dan ritualisme dijawab dengan tindakan membantu sesama. Kesemuanya itu diperlihatkan dari sosok pemimpin yang baik seperti Arok.



C.     Arena Kekuasaan dalam Novel Arok Dedes
            Analisa yang lain yang akan kami lakukan untuk membedah Novel Arok Dedes adalah dengan menggunakan pemikiran Pierre Bourdieu. Ada dua hal yang ingin saya soroti: Arena dan Kapital.

1.     Arena
            Konsep arena yang dipahami sebagai tempat bertarungnya kekuasaan menjadi sangat jelas dalam Novel ini ketika semua pihak di letakkan dalam satu bagan (lihat lampiran 1). Pertama, perlu dilihat bahwa dalam keseluruhan Novel latar tempat yang terjadi adalah di Tumapel. Kediri hanyalah disinggung sepintas. Memang sempat ada kunjungan Tunggul Ametung ke Kediri (229) untuk menghadap Sri Kertajaya, tetapi hal itu hanya disinggung sepintas untuk memperlihatkan dominasi kekuasaan. Perselisihan sepenuhnya berada di wilayah Tumapel. Kedua, permainan arena yang ada terlihat di bidang politik antara Arok dan Tunggul Ametung, Arok dan lawan-lawan politiknya yang berada di bawah Tunggul Ametung. Kedua, masih terlihat bahwa arena pertarungan masih memperlihatkan adanya kasta. Pertarungan yang terjadi adalah pertarungan antara dua kasta besar yaitu Brahmana dan Ksatria/Bangsawan. Lohgawe adalah symbol kekuasaan Brahmana dan Tunggul Ametung adalah simbul kekuasaan bangsawan. Arok sendiri bermain dikeduanya.

2.     Kapital
            Sangat jelas terlihat bahwa Arok mempunyai Kapital Politik, Budaya dan Simbolik (Agama). Sedangkan lawan-lawannya yang lain mempunyai kapital politik dan ekonomi. Terlihat bahwa kapital simbolik (agama) sungguh sangat kentara. Ada permainan agama di sana. Antara Brahmana yang memuja Syiwa dan para bangsawan/ksatria yang memuja Wisnu.
            Tunggul Ametung sebagai seseorang yang memuja Wisnu hanya mempunyai sedikit kapital. Kapital simbolik sebagai penguasa sungguh sangat kentara. Kekuasaannya dilandasi oleh rasa ketakutan, penindasan dan perbudakan. Ini menjadi kelemahan yang ada. Hal ini sangat berbeda dengan Arok.
Arok sendiri mengatakan ada 4 kunci kekuasaan: teman dan kesetiaan, harta dan tentara. Dengan bahasa Bourdieu, Arok memiliki kapital sosial yang tinggi, kapital politik dan juga kapital ekonomi. Kapital Sosial, ia dapat dari teman-temannya yang setiap kepadanya. Tetapi, bukan hanya itu di hadapan para guru dan brahmana, ia bisa menyesuaikan diri dengan elegan. Ia tak tampak menguasai. Tapi mampu menggunakan kecerdasannya untuk memikat para brahmana. Di hadapan lawan politiknyapun, ia tidak bertindak gegabah. Kapital ekonomi adalah harta yang dia rampok dari Tumapel. Ada satu hal yang tak bisa ditinggalkan, Arok memiliki kapital budaya(pengetahuan). Keinginannya untuk selalu belajar menjadikan ia sosok yang cerdas. Kecerdasannya nampak dalam analisa politik di Tumapel dan strategi untuk mencapai kemenangan. Kecerdasarannya juga nampak dalam penguasaannya atas Sansekerta sebagai bahasa yang hanya bisa digunakan oleh Kaum Brahmana. Dengan demikian, Arok mempunyai kapital yang lebih banyak dari pada Tunggul Ametung.

3.     Kesimpulan Akhir
Dari analisis kekuasan dari Bourdieu ini, ada dua hal menarik yang saya dapatkan:Pertama, di dalam Novel Arok Dedes, kapital yang paling dominan adalah kapital budaya, dalam arti khusus pengetahuan. Kecerdasan Arok dan keingannya untuk terus belajar menjadikan ia mampu pula mempunyai relasi yang cukup banyak tetapi ia juga mempunyai kemampuan memimpin. Kedua, kelahirannya sebagai seorang sudra adalah suatu keuntungan. Didalam diri Arok melebur Syiwa dan Wisnu. Di dalam dirinya ada kesatuan sudra, ksatria dan brahmana. Dalam dirinya ada rakyat jelata dan sang pemimpin yang menjadi satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar