see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Rabu, 12 Maret 2014

Pendahuluan: Menentukan Letak Penelitian Budaya dan Buku



Pendahuluan: Menentukan Letak Penelitian Budaya dan Buku
Arus silang di dalam Penelitian  budaya                                          
Rekonsiliasi                                                                                     
Garis Besar Buku                                                                             

Salah satu dari argumen-argumen buku ini adalah bahwa penelitian atau metodologi penelitian tidak pernah ‘objektif’ tetapi selalu ditentukan, ditunjukkan oleh posisi-posisi sosial tertentu dan momen-momen historis serta agenda penelitian. Jadi, untuk menentukan legak buku ini, buku ini memiliki asal-usul awal di dalam penelitian saya tentang wacana-wacana dan pengalaman-pengalaman yang telah dijalani tentang gangguan makan, terutama penyakit mental perempuan, yang dicirikan oleh upaya berbahaya untuk mendapatkan tubuh langsing. Pada awalnya saya terdorong untuk meneliti kondisi-kondisi ini, karena saya sendiri telah mengalami anoreksia, saya telah dibuat bingung, atau bahkan dibuat marah, oleh cara di mana kondisi-kondisi ini diteliti di dalam dua hal. Pertama, saya terganggu oleh cara di mana penelitian-penelitian ini mengubah perempuan penderita anoreksia (kehilangan selera makan) menjadi perempuan ‘berpenyakit’, atau tidak mampu mengukur pemikiran dan tindakan mereka. Di dalam banyak penelitian, tuturan penderita anoreksia dipahami hanya sebagai ‘simtom’, dari mana makna ‘yang sesungguhnya’ seperti patologi psikologis atau sosial, bisa dibaca oleh ahli, seperti psikiatris atau bahkan seorang kritikus budaya fiminis. Kedua, saya patah semangat, frustrasi, dengan proyek-proyek sosial dan politis dan argumen-argumen bahwa penderita anoreksia –jelas tidak mengetahui ‘makna’ atau akar-akar penyebab kondisinya—dibuat mampu menghadapinya. Penafsiran-penafsiran anoreksia telah memberi perhatian penting pada sifat-sifat seksis tubuh dan struktur keluarga ideal dan tidak berfungsinya kontrol diri posmodern. Penafsiran-penafsiran tentang anoreksia juga sering kali menegaskan sifat-sifat patologis penderita anoreksia, atau perempuan pada umumnya, sebagai gagal, sangat tergantung pada orang lain dan opini orang lain, dan rentan terhadap keluhan sosial dan konservatisme.
          Jadi, didorong oleh kedua keprihatinan saya ini, saya memulai sebuah proyek  penelitian yang bertujuan mengembangkan cara-cara menilai pengalaman anoreksia yang telah dialami dan secara kritis menganalisis wacana-wacana yang telah membentuknya. Namun demikian, meskipun wawancara-wawancara saya sendiri dengan para perempuan penderita anoreksia mengandung banyak pemahaman yang menantang dan sangat menarik, pemahaman-pemahaman itu juga ditopoang oleh pemahaman medis tentang anoreksia yang bermasalah, yang ingin saya kritik. Ini mengarahkan saya pada dilema metodologis pertama saya: Bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang adil terhadap pengalaman yang telah dialami oleh orang, sementara pada saat yang sama secara kritis menganalisis wacana-wacana, yang membentuk bahan-bahan pengalaman kita?
          Lebih jauh, analisis saya tentang wacana-wacana tentang gangguan makan mengarahkan saya pada  tempat-tempat yang tidak dieprkirakan. Meneliti sejarah kriteria diagnostik kontemporer untuk anoreksia, mengarahkan saya meneliti kebijakan imigrasi Amerika tahun 1920an, dan konteks politik, kultural dan intelektual Amerika pasca perant atau Perang Dingin. Analisis saya tentang tokoh populer yang telah menjadikan gangguan makan terkenal, Karen Carpenter dan Putri Diana, lebih lanjut mengarahkan saya pada pertempuran di antara radikalisme tahun 1960an dan neo-konservatisme era Nixon dan selanjutnya, lebih dekat ke rumah baru saya sendiri, politik Burun Baru yang kontradiktif dan suasana Inggris Raya tahun 1990an. Namun demikian, memetakan hubungan-hubungan sosial anoreksia dan definisi-definisinya, mengarahkan saya pada dilema metodologis lain: Bagaimana kita bisa mengkritik wacana-wacana, yang membentuk ‘realitas’, seeprti anoreksia, sementara pada saat yang sama, membuat pernyataan-pernyataan tentang realitas historis dan politis?
          Akhirnya, apa yang telah dimulai sebagai sebuah eksplorasi kejengkelan pribadi, telah membawa saya pada usaha untuk meneliti proses-proses sosial dan politik penting, perkembangan dan struktur Amerika Utara dan Eropa abad kedua puluh, dengan cara yang belum saya persiapkan. Saat penelitian berjalan, saya sampai pada kerangka kerja untuk meneliti dimensi-dimensi historis dan sosial anoreksia yang dijalani dan terpisah, dan bergeser di antara perspektif-perspektif metodologis dan jenis-jenis tulisan yang berbeda. Meskipun pendekatan-pendekatan metodologis yang berbeda sering kali saling melengkapi satu sama lain, mereka juga bermuara pada kesulitan-kesulitan praktis dan juga kontradiksi-kontradiksi teoretis. Didasarkan pada penelitian saya dan banyak sekali penelitian para peneliti lain, buku ini bertujuan menyediakan peta pemandu tentang bagaimana meneliti sifat-sifat realitas kontemporer yang bersifat historis dan politis dan telah dijalani serta berbeda. Maksud saya adalah menulis sebuah buku yang ingin saya baca sebelum saya memulai penelitian saya.
Arus Silang di dalam Penelitian Budaya
Namun demikian, komitmen intelektual saya tidak dibentuk oleh penelitian saya sendiri, melainkan komitmen itu juga dipandu oleh sejarah penelitian-penelitian budaya, dan cara di mana sejarah ini dimainkan di tempat-tempat saya pernah bekerja atau meneliti. Penelitian-penelitian budaya sebagai sebuah disiplin ditempa pada tahun 1970an pada apa yang sekarang menjadi legenda Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies. Saya telah diperkenalkan pada penelitian-penelitian budaya pada tahap selanjutnya, pada tahun 1980an, ketika saya mengerjakan tugas kesarjanaan pertama saya di Universitas Tampere, Finlandia. Ini adalah saat ketika penelitian-penelitian budaya tidak lagi menjadi pekerjaan pinggiran, tetapi menjadi arus utama dan mengambil alih jurusan-jurusan akademik di Skandinavia. Jadi, bahkan jika saya meneliti sebuah pokok bahasan yang barangkali ‘objektivis’, seperti jurnalisme, atau kurikulum yang terfokus pada ideologi, hegemoni, resistensi, posmodernitas, representasi dan narasi. Proyek-proyek penelitian pertama saya tentang pers alternatif Costa Rika dan gerakan penduduk liar muda Finlandia, yang sangat melekat pada jenis penelitian—penelitian Inggris, dan khususnya ketertarikannya pada ‘penolakan’. Baik saya mapun teman-teman sebaya saya pada tahun 1980a, dan juga para siswa abad kedua puluh satu saya sendiri, menyukai aura kritis dan ‘pukulan ringan’ penolakan, yang melihat sedikit ‘harapan’ di dalam budaya, tidak seperti beberapa dari analisis-analisis kritis pesimistis, yang melihat budaya terutama berfungsi menenteramkan. Penolakan menggarisbawahi potensi kreatif bentuk-bentuk kultural populer, seperti budaya dan gerakan pemuda, menantang ideologi dan masyarakat dominan, bahkan jika potensi ini tidak selalu ditafsirkan mengarah pada perubahan sosial radikal.
Penelitian saya tentang anoreksia pada tahapnya yang masih sangat awal mungkin hanya menawarkan beberapa gagasan yang belum begitu jelas tentang penderita anoreksia yang menolak wacana tentang anoreksia, tetapi pemahaman-pemahaman ini tidak lama akan dikeluarkan dari agenda. Ini sebagian karena fakta bahwa wawancara-wawancara yang saya lakukan dengan para perempuan yang telah menderita anoreksia adalah sangat rumit dan tidak bisa dijelaskan di dalam pengertian di bawah tekanan ideologi-ideologi dominan atau meolak ideologi-ideologi dominan itu. Lebih jauh, penelitian-penelitian tentang penolakan semakin banyak mendapatkan serangan sebagai contoh karena lebih banyak bercerita tentang khayalan-khayalan politis para sarjana, seperti khayalan-khayalan tentang kelas pemuda, feminis atau kelas kerja, pemberongakan, daripada tentang fenomena yang sedang diteliti (Morris, 1990; Nightingale, 1992; Stabile, 1995). Namun demikian, saya berpikir analisis ideologi terus menghasilkan pemahaman tentang penelitian empiris tentang pengalaman-pengalaman yang telah dialami, teks dan konteks. Saya juga berpikir bahwa arus-arus metodologis belakangan di dalam penelitian-penelitian budaya tidak bisa dipahami tanpa mengetahui pendekatan-pendekatan klasik ini, yang sering kali terus menopang penelitian-penelitian yang dilakukan di dalam paradigma itu, bahkan jika mereka tidak lagi menggunakan kosa-kata ini. Untuk alasan-alasan inilah, saya menggunakan beberapa bab di dalam buku ini untuk menjelaskan secara garis besar pendekatan-pendekatan ideologis dan penilakan untuk penelitian tentang budaya tekstual yang telah dialami dan membicarakan kekurangan-kekurangan mereka serta melanjutkan relevansi mereka.
Keputusan saya untuk meninggalkan paradigma penolakan juga sesuai dengan perpindahan saya pada tahun 1990an dari Finlandia ke Urbana-Champaign untuk menyelesaikan studi doktoral saya di Universitas Illinois. Pada saat itu Urbana-Champaign adalah Mekah versi Amerika untuk penelitian-penelitian budaya, yang didukung oleh kesaksian komite disertasi saya yang beranggotakan para ilmuwan terkenal seperti Clifford Christians, C. L. Cole, Norman Denzin, Lawrence Grossberg dan Paula Treicher. Penasehat utama saya, Denzin, sedang mengembangkan cara-cara baru melakukan penelitian interpretatif merespons serangan poskolonial dan feminis, yang mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan sosial belum memahami kelompok-kelompok merjinal, seperti perempuan, kelas pekerja atau masyarakat non-Barat, tetapi menggunakan mereka untuk membenarkan proyek-proyek politis dan teoretis para sarjana, dari kolonilaisme hingga Marxisme (lihat Clifford dan Marcus, 1986). Program penelitian interpretatif atau etnografis baru bertujuan menemukan cara-cara yang lebih kolaboratif di dalam meneliti dan menulis tentang masyarakat yang akan menjadi lebih sensitif terhadap dunia dan kesadaran yang berbeda tentang batas-batas dan komitmen pemahaman kami sendiri (Denzin, 1997a). Pada saat yang sama, anggota komita saya yang lain, Grossberg, sedang memulai kritik ‘peralihan budaya’ di dalam penelitian sosial dan mengemukakan bahwa kita harus mulai memberi perhatian pada perkembangan-perkembangan ekonomi dan material yang semakin eksplitatif, yang telah dilupakan sebagai akibat dari ketertarikan pada budaya dan pengalaman (sebagai contoh, Grossberg, 1998). Di dalam situasi ini, saya merasa sedikit tersentak dan ditarik di antara dua arus di dalam penelitian empiris pada bidang studi budaya yang tertarik pada mikrokosmos pengalaman individual atau makrokosmos struktur kekuatan ekonomi global (Saukko, 1998).

Rekonsiliasi
Namun demikian, perkembangan-perkembangan belakangan di dalam penelitian empiris dan pembahasan-pembahasan metodologis di dalam peneltiian budaya telah sedikit mengaburkan arus-arus silang ini. Tanda-tanda kritik etnograis baru dan orisinil, Clifford (1997) dan Marcus (1998a), bersama dengan para peneliti lain (Appadurai, 1997; Haraway, 1997), telah mulai berbicara tentang cara bagaimana penelitian kita telah melampaui batas-batas paradigmatik dan geografis tradisional. Ini telah mengaburkan perbedaan di antara sebagai contoh budaya dan ekonomi, dan juga telah menghancurkan gagasan tentang objek penelitian yang dengan mudah bisa didefinisikan, seperti sebuah subbudaya atau sebuah desa. Jadi, subbudaya pemuda bagi sosiolog atau desa bagi apra antropolog tidak lagi menjadi lokasi yang bisa diisolasi melainkan lebih sebagai titik di dalam jaringan-jaringan yang dipotong dan dibentuk oleh arus-arus media transisional, uang, masyarakat, benda-benda dan citra. Dengan cara yang sama, mengikuti topik penelitian saya, anoreksia yang sering kali dipahami sebagai masalah psikologis, melampaui bidang-bidang kehidupan dan level-level analisis yang berbeda. Jadi, saat penelitian saya berlanjut, anoreksia mulai tampak bersifat sangat personal dan interpersonal dan pada saat yang sama, sangat dimungkinkan oleh wacana medis dan populer dan sulit dikenali namun saling berhubunngan erat dengan rezim sosial, politis dan bahkan militer global.
          Di dalam skenario batas-batas yang kabur ini, yang kadang-kadang dijelaskan oleh slogan millenial ‘globalisasi’,   pembagian-pembagian metodologis lama di antara pengalaman, budaya dan ‘realitas’—atau ‘audiens’, ‘teks’ dan ‘produksi’ di dalam penelitian-penelitian media –telah menjadi kurang jelas. Situasi baru ini di dalam pengertian tertentu telah membawa saya pada bidang-bidang yang menarik perhatian para anggota komite saya yang lain, yakni penelitian tentang ilmu pengetahuan (Cole, 1998; Treichler, 1999) dan teori dialogis (Christians, 1988, 2000). Penelitian-peneltiian budaya tentang ilmu pengetahuan telah berada pada garis depan di dalam mengembangkan sebuah metodologi hibrida (cangkokan) yang membawa kita keluar dari debat apakah realitas material menentukan atau lebih penting daripada bahasa dan budaya atau apakah bahasa dan budaya menentukan, atau lebih penting dariapda realitas. Meminjam gagasan, wacana Haraway (1997) wacana semacam itu tentang anoreksia, paling bagus dipandang sebagai kekuatan-kekuatan ‘material-semiotis’, yang muncul dari konteks historis spesifik dan memunculkan perubahan yang bersifat simbolis dan sangat nyata. Jadi, wacana tentang anoreksia  membentuk pemahaman paling mendasar kita tentang diri kita, bagaimana kita mendefinisikan jenis diri seperti apa yang ‘sehat’ dan jenis diri seperti apa yang ‘sakit’. Pada saat yang sama, ini memunculkan rezim khusus perlakuan dan gaya hidup, menjadi bagian dan potongan dari gambaran media populer, dan dimobilisasi untuk mempatologikan atau mendukung berbagai macam rezim sosial dan politis.
          Wacana tentang anoreksia menyusun jalinan fase-fase simbolis, kongret, lokal dan global; setiap fase juga memiliki kekhususannya sendiri. Sejarah kehidupan seseorang sejarah Perang Dingin bisa saling dihubungkan, tetapi kita memerlukan pendekatan yang berbeda untuk menangkap sejarah yang telah dialami dan bersifat umum. Dari sudut pandang metodologis ini memunculkan dua tantangan. Pertama, untuk memahami fase khusus pengalaman, kita harus menerapkan sebuah metodologi yang tepat. Sebagai contoh, jika kita ingin menangkap dan menyampaikan keunikan dan kuansa kisah hidup seorang perempuan penderita anoreksia, kita harus secara hati-hati memperhitungkan dan menerapkan banyak karya etnografi baru tentang cara-cara meneliti dan menulis dunia-dunia berbeda yang telah dialami. Kedua, kita harus sadar bahwa keunigkan ini bukanlah satu-satunya hal untuk pengalaman yang telah dialami. Pengalaman juga dibentuk oleh wacana-wacana sosial, seperti definisi-definisi medis, dan oleh konteks historis dan sosial, di mana pengalaman itu berada. Namun demikian, untuk menangkap dimensi-dimensi lain dari pengalaman tentang anoreksia ini kita memerlukan pendekatan-pendekatan metodologis dan metode-metode yang berbeda, seperti analisis wacana atau penelitian historis.
          Pemikiran tentang penguasaan sejumlah pendekatan penelitian yang berbeda, dan penggabungan pendekatan-pendekatan itu, mungkin terdengar sangat berani bagi para peneliti pemula maupun sarjana yang telah berpengalaman, dan butuh perjuangan menghadapi berbagai tekanan di masa sekarang ini. Keberhasilan proyek penelitian tergantung pada tindakan penyeimbangan yang sulit dilakukan di antara ambisi dan apa yang bisa dilakukan. Tujuan dari bab-bab yang berbeda dari buku ini adalah menjelaskan secara garis besar cara-cara berbeda untuk melakukan penelitian dan untuk mengembangkan cara melakukan penelitian itu dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan, dengan menyoroti kekhususan, kekuatan, dan masalah serta penghilangan bagian tertentu yang mungkin terjadi. Sebagai contoh, saya akan melihat lebih pada etnografi baru yang paling baik dan paling indah yang menunjukkan tekstur pengalaman unik atau ‘tunggal’ yang telah dialami dan sulit dikenali dan pada saat yang sama menyampaikan sesuatu yang bersifat ‘universal’, maksudnya menunjuk pada beberapa dilema penting dunia sosial kontemporer kita. Pada saat yang sama, saya ingin mempermasalahkan kebiasaan menawarkan kisah-kisah yang telah dikenal dari intrik-intrik pribadi dan skandal hidup, seperti gambaran detil tentang horor bertubuh gemuk (Kiesinger, 1998), sebagai pengalaman ‘otnetik’, dengan cara seperti yang dilakukan oleh  beberapa jenis penelitian eksperimental dan juga pertunjukan perbincangan (talkshow) siang hari. Namun demikian, di alam pembahasan tentang pendekatan-pendekatan penelitian yang berbeda. Saya tidak hanya ingin menyoroti ciri-ciri khusus, tetapi juga cara-cara di mana semua itu berhubungan satu sama lain. Menempatkan letak perbedaan di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda, seperti meneliti realitas-realitas global yang telah dialami, bertujuan untuk menunjukkan cara bagaimana menggabungkan pendekatan-pendekatan itu, untuk menyatukan analisis  tentang fenomena yang sedang kita teliti yang mungkin saja lebih kompleks dan banyak memiliki nuansa atau bahkan tidak pernah lengkap.
          Keharusan untuk membangun dialog di antara pandangan-pandangan yang berbeda, akhirnya membawa saya pada rumah akademis saya sekarang ini, Centre for Mass Communication Research di Universitas Leicester. Pada tahun 1970an, Leicester Centre dibentuk oleh masyarakat akademik Inggris yang lebih luas, sebagai kutup ilmiah, sosial, ekonomi dan politis tandingan untuk kulturalisme Birmingham Centre. Namun demikian, masa itu telah lama berlalu, dan saat ini Leicester barangkali paling dikenal karena penelitiannya tentang komunikasi internasional, yang kemudian disebut dengan istilah globalisasi. Wacana tentang ‘segala sesuatu yang bersifat global’ bisa memunculkan pukulan seperti mode musim semi populer dan intelektual. Namun demikian, globalisasi memerlukan analisis interaksi di antara dimensi-dimensi yang dialami, dimungkinkan, religius, etnis, jender, ekonomi dan politik dari dunia kontemporer. Dengan demikian, globalisasi telah menciptakan sebuah ruang interdisipliner, di mana berbagai pendekatan teoretis dan juga metodologis telah bisa hidup berdampingan secara damai,  memunculkan dialog, debat, peminjaman dan perkembangbiakan silang secara terus-menerus.
          Sepanjang buku ini saya menggarisbawahi keharusan memberi perhatian pada bagaimana fenomena kultural atau intelektual, situasi-situasi material dan rezim poligis saling berhubungan satu sama lain. Saat saya melakukan editing teknis akhir pada buku ini, sekali lagi saya teringat akan arti penting interaksi ini. Saya mengoreksi halaman-halaman tertentu, karena tahu bahwa tempat kelahiran awal penelitian-penelitian budaya di Birmingham telah mengalami ‘restrukturisasi’, dan kondisi-kondisi kerja saya sendiri di Leicester telah mengalami perubahan tanpa saya sadari karena ‘reorganisasi’ yang sedang berlangsung. Bahkan, jika tampak bahwa pemotongan anggaran telah memukul bidang interdisipliner penelitian-penelitian budaya dan komunikasi Inggris, bagian akhir sesuatu selalu menjadi bagian awal sesuatu yang lain. Saya sedang menuju Universitas Exeter, menjadi bagian dari tim penelitian interdisipliner yang meneliti implikasi-implikasi sosial genomika (sebuah penelitian tentang semua rangakian nukleutide, termasuk gen-gen struktural, rangkaian pengatur, dan bagian-bagian DNA yang tidak melakukan coding, pada kromosom sebuah organisme). Barangkali lebih dari perkembangan sosial baru yang lain, genomika mendorong cara-cara baru untuk memahami dan meneliti hubungan-hubungan di antara sesuatu yang bersifat material dan kultural baik di dalam kehidupan personal maupun sosial. Ini membutuhkan lebih banyak analisis kultural, kritis dan secara logis cerdas tentang fenomena sosial baru yang menantang pemahaman mendasar kita tentang diri kita sendiri dan tatanan-tatanan sosial kita.

Garis Besar Buku
Sebelum saya berlanjug dengan garis besar struktur buku ini, saya ingin menjelaskan bahwa buku ini adalah tentang ‘metodologi’, bukan tentang ‘metode’. Perbedaan yang dimunculkan oleh istilah Yunani ‘logos’ (pengetahuan) adalah bahwa, meskipun metode merujuk pada ‘alat’ praktis untuk memhaami realitas empiris, metodologi merujuk pada paket peralatan yang lebih luas dan juga komitmen filosofis dan poligis yang muncul bersama sebuah ‘pendekatan’ penelitian tertentu. Metode dan metodologi sering kali berjalan seiring, sehingga pendekatan metodologis hermeneutis, sering kali berjalan bersama dengan sebuah metode, seperti pengamatan partisipan, yang memungkinkan sarjana atau orang yang diteliti mengembangkan kepercayaan satu sama lain. Namun demikian, metode-metode yang sama juga bisa mendukung komitmen-komitmen metodologis yang berbeda. Jadi, metode wawancara bisa digunakan untuk mendukung sebuah pendekatan metodologis realis, yang bertujuan mengumpulkan informasi ‘faktual’ atau mendukung sebuah pencarian metodologis hermeneutis untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang teliti tentang kisah hidup seseorang (lihat Alasuutari, 1995; Kvale, 1996; Silverman, 2001).
          Alasan p ertama saya memilih memusatkan perhatian pada metodologi adalah bahwa tidak banyak buku tentang metode  yang sesuai untuk penelitian budaya (sebagai contoh, Alasuutari, 1995; Flick, 1998; Silverman, 2001). Namun demikian, alasan utama mengapa saya memutuskan tidak menulis tentang metode adalah bahwa banyak buku tentang metode (tetapi tentu saja tidak semua buku tentang metode) memandang metode di dalam pengertian positivis sebagai ‘kaca pembesar’ yang berada di antara peneliti dan ‘realitas’ yang diteliti. Dipahami bahwa jika metode, atau lensa ini, digunakan secara benar, atau sesuai dengan petunjuk, lensa ini akan membantu peneliti mendapatkan pandangan yang ‘akurat’ atau objektif dan tidak bias tentang realitas. Salah satu dari tujuan mendasar buku ini adalah mengeksplorasi bagaimana realtias berubah saat kita berganti pendekatan penelitian, atau lensa, melalui lensa mana kita melihat realitas itu. Jadi, saya tidak akan membicarakan ‘pengamatan partisipan’ sebagai sebuah metode. Melainkan, saya akan membicarakan upaya-upaya ‘etnografis baru’ untuk menilai dunia yang telah dijalani oleh orang lain dan pendekatan-pendekatan ‘pos-strukturalis’ yang secara kritis menganalisis wacana-wacana sosial dan kelembagaan yang menyatukan pengalaman atau dunia yang dialami. Baik pendekatan etnografis maupun pos-strukturalis baru bisa menggunakan pengamatan partisipan, tetapi ‘pengamatan’ mereka bisa  sangat berbeda.
          Namun demikian, meskipun ada fokus yang sedikit lebih luas, saya akan katakan bahwa buku ini adalah sebuah “buku tentang bagaimana melakukan sesuatu’. Bahkan jika beberapa dari pembahasan saya bisa jadi lebih abstrakdaripada beberapa pembahasan dari tulisan tentang metode, pembahasan saya berusaha menyediakan gagasan-gagasan tentang ‘bagaimana melakukan’ peneltiian di dalam masing-masing dari paradigma-paradigma penelitian yang dibicarakan. Namun demikian, saya tidak sedang menawarkan sebuah buku tentang bagaimana ‘secara objektif’ meneliti realitas sosial, menggunakan sebuah metode ilmiah. Saya sedang menawarkan sebuah buku yang mendorong peneltiian sosial dan budaya yang bersifat refleksif tentang realitas sosial dengan menyadari komitmen teoretis dan politis serta reaksi, kekuatan dan penghilangan reaksi itu. Saya memahami kemunculan buku-buku empiris maupun teoretis yang memusatkan perhatian pada ‘metodologi’ penelitian kultural (McGUigan, 1997; Couldry, 2000; Lewis, 2002) sebagai tanda peningkatan pengakutan bahwa kita harus lebih banyak melakukan permenungan tentang cara di mana peneltiian kita selalu membuka perspektif politis dan parsial tentang realitas. Namun demikian, bahkan jika buku ini tidak mengikutai gagasan bahwa kita harus menemukan ‘sebuah’ kebenaran tentang ‘sebuah’ realitas, buku ini ingin mendukung gagasan relativis bahwa pendekatan-pendekatan metodologis yang berbeda membuka banyak ‘realitas’ yang tidak bisa dibandingkan. Sebaliknya, buku ini ingin memunculkan percakapan atau dialog di antara pendekatan-pendekatan metodologis yang berbeda terhadap dunia, untuk menanamkan tipe penelitian budaya yang peka terhadap kompleksitas dan multidimensionalitas realitas global, sosial dan personal kontemporer.
          Memulai penjelasan garis besar buku ini, buku ini disusun mengikuti ‘rumus X-Files’ (Lavery dkk., 1996), di mana setiap bab bisa dibaca secara independen, sama seperti setiap episode X-Files bisa dilihat secara independen. Pembaca yang membaca seluruh buku masih bisa mendapatkan lebih banyak hal dari pada yang ia dapatkan dari membaca setiap bab secara individual, membaca bab tertentu yang menarik, sama seeprti penonton teratur X-files ‘mengetahui’ lebih banyak hal tentang setiap episode daripada penonton tidak teratur, yang hanya kadang-kadang saja menonton filem itu.
          Buku ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama, di mana bagian pendahuluan dan Bab 1 menjadi satu bagian, membicarakan sejarah metodologi penelitian budaya, menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah ini dan menjelaskan secara garis besar sebuah cara ‘dialogis’ untuk menggabungkan pendekatan-pendekatan metodologis yang akan dibicarakan di dalam bab-bab selanjutnya. Bagian kedua membicarakan pendekatan-pendekatan penelitian yang berusaha memahami pengalaman yang telah dialami. Bagian kedua ini menjelaskan secara garis besar cara-cara meneliti kehidupan yang dialami di dalam pengertian ‘penolakan’, dari sudut pandang etnografis hermeneutis atau fenomenologis baru di dalam memahami Yang Lain dan dari perspektif penelitian tentang cara di mana wacana-wacana sosial dan kelembagaan menyatukan satu sama lain pengalaman yang telah dialami dan identitas. Bagian ketiga menjelaskan cara-cara bagaimana meneliti teks atau wacana. Bagian ini membicarakan cara-cara analisis yang menguji teks di dalam pengertian ‘ideologi’ dan pendekatan-pendekatan genealogis yang menguraikan sifat-sifat historis fenomena yang diterima begitu saja. Bagian ini juga menjelaskan secara garis besar analisis dekonstruktif Derridean, yang menguraikan norma-norma dikotomis tersembunyi yang melekat di dalam teks-teks atau wacana, dan juga pokok-pokok persoalan yang berhubungan dengan cara menjadikan dekonstruksi lebih konstruktif dan tidak hanya mampu mengkritik budaya tetapi juga menawarkan alternatif-alternatif sosial. Bagian terakhir atau keempat merupakan kesimpulan buku ini. Bab pertama dari bagian ini, Bab 8, membicarakan karya-karya geografis penting tentang ‘ruang’ dan bagaimana karya-karya itu bisa digunakan untuk memahami proses-proses makro globalisasi dan beberapa dari implikasi-implikasi keseharian mereka. Bab 9 memperkenalkan beberapa cara untuk melakukan penelitian di beberapa tempat dan beberapa lingkup (‘multi-sited’ dan ‘multi-scape’), yang menggabungkan pendekatan-pendekatan diskursif dan material/spasial yang dijalani untuk meneliti realtias sosial kontemporer, untuk menangkap beberapa dari pendekatan-pendekatan untuk meneliti realitas sosial komtemporer, untuk menangkap beberapa dari dimensi-dimensi global dan lokal, emosional dan ekonomis, puitis dan politisnya.
          Meskipun Melakukan Penelitian di Bidang Budaya memperkenalkan pendekatan-pendekatan empiris di dalam penelitian budaya, analisis resistensi dan ideologi, penelitian ini cenderung ke arah pendekatan-pendekatan baru, seperti etnografi baru, geologi dan analisis yang meliputi beberapa tempat (multi-sited). Alasan untuk fokus ini adalah bahwa meskipun banyak orang di bidang ini ‘melakukan’ jenis penelitian ini, belum banyak buku yang bercermin pada apa yang telah mereka lakukan, dan jarang sekali ada buku tentang bagaimana pendekatan-pendekatan itu digabungkan untuk memunculkan dialog di antara posisi-posisi teoretis, metodologis, empiris dan politis yang berbeda di dalam penelitian budaya.

1 Menggabungkan Metodologi-metodologi di dalam Penelitian Budaya
Pertanyaan-pertanyaan Penting                                                       11
Sejarah Penelitian Budaya                                                               13
Tentang Validitas                                                                             15
Validitas-validitas Alternatif                                                          19
Mengabungkan Metodologi-metodologi                                         23
Kesimpulan                                                                                      33
Latihan 1                                                                                 35


Pertanyaan-pertanyaan Penting
·    Penelitian empiris di dalam bidang studi budaya tersusun sesuai dengan ketertarikan pada saling pengaruh di antara pengalaman yang telah dialami, teks atau wacana dan konteks sosial. Bvagaimana perkembangan-perkembangan historis dan intelektual belakangan ini memperumit ketiga bidang penelitian ini?
·    Mengapa pemahaman klasik tentang penelitian ‘valid’ menjadi masalah objektif? Adakah pemahaman-pemahaman alternatif tentang validitas? Apa sajakah kriteria untuk penelitian yang valid dan bagus?
·    Apa sajakan kekurangan-kekurangan dari pemahaman tentang ‘triangulasi’, menurut pemahaman mana kita menggabungkan metodologi-metodologi yang berbeda untuk mendekati sebuah ‘kebenaran’? Apa sajakah kekurangan-kekurangan dari pemahaman bahwa metodologi-metodologi yang berbeda menciptakan ‘kebenaran-kebenaran’ yang berbeda dan mungkin tidak bisa dibandingkan? Bagaimana sebuah pemahaman tentang usaha membandingkan  metodologi-metodologi di dalam pengertian mengembangkan dialog di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda membantu bergerak melampaui pemahaman positivis tentang sebuah kebenaran dan pemahaman relativis tentang banyak kebenaran?

Kekhasan pendekatan penelitian budaya terhadap penelitian empiris telah menajdi ketertarikan tersendiri di dalam saling hubungan di antara pengalaman yang dialami, teks atau wacana dan konteks sosial. Salah satu dari penelitian-penelitian kelasik yang membahas tiga dimensi realitas sosial ini, adalah peneltiian David Morley tentang respons-response audiens terhadap program berita hangat (affairs)  Nationwide dan liputannya tentang British Miners’ Strike, pemogokan kerja para pekerja tambang Inggris, pada tahun 1970an (Morley dan Brunsdon, 1999 [1980, 1987]). Menggabungkan tiga pandangan ini memungkinkan Morley sampai pada pemahaman baru tentang sifat-sifat ‘aktif’ audiens media dan dinamika sosial dan politis yang dimungkinkan dari sebuah titik balik historis. Tugas buku ini adalah menjelaskan secara garis besar cara-cara berpikir, bekerja dan menulis penelitian pada bidang studi budaya, dan menggunakan ketertarikan tiga fase pada realitas yang dialami, mediasi diskursif, dan bentang lahan sosial dan politis sebagai titik berangkat.
          Namun demikian, ketika penelitian budaya menjadi matang, dan beberapa perkembangan historis menjadikan realitas sosial kita sangat berbeda dari realitas tahun 1970an, beberapa pertanyaan menantang telah diangkat tentang kelayakan proyek-proyeknya. Tiga pertanyaan mendasar berhubungan erat dengan metodologi peenlitian. Pertanyaan pertama adalah: Adakah kepastian ketertarikan kita pada budaya yang secara radikal berbeda dari budaya kita sendiri, seperti kelas kerja atau budaya non-Barat, dan bisakah kita memahami dan menilai secara adil budaya-budaya ini? Pertanyaan kedua, dan berhubungan erat dengan pertanyaan metodologis adalah: Bagaimana kita bisa secara kritis menganalisis budaya di dalam sebuah situasi di mana kita sebagai peenliti, dan penelitian sebagai sebuah lembaga, merupakan bagian integral dari budaya ini dan perjuangan-perjuangannya? Pertanyaan ketiga mengangkat hal yang sedikit berbeda: Apakah budaya merupakan topik paling penting yang harus diteliti di dalam menghadapi ketidakadilan dan eksploitasi ekonomi global yang sangat melelahkan?
          Untuk mengilustrasikan apa yang dimaksud dengan ketiga pertanyaan ini, kita bisa mengajukan ketiga pertanyaan dari penelitian Morley. Pertma, kita bisa bertanya, sejauh mana Morley telah memberi perhatian pada nuansa dan kontradiksi-kontradiksi kehidupan kelas pekerja, dan sejauh mana ia membaca hipotesisnya bahwa kelas pekerja akan ‘menolak’ liputan media konservatif dari kelompok-kelompok fokusnya. Kedua, kita bisa bertanya sejauh mana hipotesis Morley didasarkan pada gagasan Marxis bahwa ada hubungan di antara posisi sosioekonomi dan posisi ideologis, dan apakah ini membuatnya memalingkan mata pada permasalahan lain yang tidak sesuai dengan kerangka kerja teoretis itu. Ketiga, kita bisa bertanya sejauh mana ketertarikan pada perjuangan kultural –seperti kandungan dan interpretasi media—telah mengarahkan perhatian menjauh dari analisis proses-proses kebijakan dan dkonomi yang bersigat kompleks dan global dan  membentuk pertikaian industrial dan industri seperti pertambangan. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak menjadikan penelitian penting Morley kehilangan relevansi. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya menunjukkan bahwa ada cara-cara alternatif untuk meneliti pengalaman yang telah dialami, wacana dan konteks sosial, dan bahwa pendekatan-pendekatan alterantif menjadi semakin penting di dalam penelitian-penelitian kultural.
          Buku ini tersusun di seputar ketertarikan penelitian tiga fase pada bidang studi budaya di dalam dimensi-dimensi yang dijalani, diskursif dan sosial/global dari realtias kontemporer. Namun demikian, di samping membicarakan cara-cara kelasik meneliti ketiga bidang kehidupan ini, buku ini memberikan perhatian khusus pada pendekatan-pendekatan penelitian baru, seperti etnografi baru, penelitian genealogis dan analisis globalisasi, yang secara serius menggunakan dan bertujuan merespons tiga pertanyaan yang telah diajukan di dalam penelitian-penelitian budaya. Namun demikian, sebelum saya mulai membicarakan program-program metodologis ini, saya akan mengambil jalan memutar menuju sejarah penelitian-penelitian kultural yang membantu menjelaskan akar-akar pendekatan metodologis khususnya dan juga akar-akar pertanyaan atau tantangan metodologis kontemporernya.

Sejarah Penelitian Budaya
Penelitian budaya muncul dari iklim politis dan intelektual dan situasi Inggris Raya tahun 1970an, ketika bidang penelitian sosial disusun dengan penelitian empiris positivis kaku, sering kali berjenis fungsionalis dan perekonomian politis Marxis tradisional (Hall, 1982). Penelitian yang lebih condong ke sayap kanan atau ‘administratif’, yang melakukan survei dan penelitian kelompok kecil, bertujuan untuk membuktikan bahwa pluralisme dan demokrasi telah menjadi sebuah realitas di Amerika Utara dan Eropa Barat setelah perang. Sebaliknya, kaum terpelajar kiri, seeprti Aliran Frankfurt, melakukan serangkaian kritik tajam terhadap budaya dan opini-opini populer untuk membuktikan bahwa budaya konsumen pasca perang dan media telah membunuh semua kritik sosial dan menolak dan menciptakan ‘masyarakat masal’ yang nyaris fasis (sebagai contoh, Adorno dkk., 1950; Adorno dan Horkheimer, 1979; Held, 1980).
          Di dalam situasi yang sedikit mengalami polarisasi ini, penelitian-penelitian budaya menciptakan sendiri sebuah ruang di antara dan di luar dua posisi itu. Dengan demikian, ia menyatukan filosofi humanistik, strukturalis dan Marxis Kiri Baru (Hall, 1980). Kecenderungan humanis di dalam penelitian-penelitian budaya bertujuan untuk memahami dan menangkap potensi kreatif dunia-dunia manusia yang telah dialami, seperti budaya kelas kerja (Hoggard, 1992 [1957]). Strukturalisme dan metode strukturalis, seperti semiotika, memusatkan perhatian pada pola-pola linguistik dan gaya bahasa (tuturan menggunakan kata-kata bukan dalam pengertian harfiah, seperti sebuah metafora) yang berulang di dalam teks, seeprti budaya populer dan yang membentuk pemikiran kita. Leftisme Baru memunculkan ketertarikan pada pengujian hubungan di antara  pengalaman yang telah dialami dan/atau sejumlah teks dan lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas. Ketiga arus filsafat ini memungkinkan penelitian-penelitian budaya untuk mengartikulasikan sebuah ruang perantara di antara optimisme sayap kanan dan psimisme sayap kiri yang memungkinkan paragima ini menguji bagaimana kehidupan keseharian masyarakat adalah perselisihan dengan potensi kreatif dan kritis, sementara kehidupan dan imajinasi mereka juga dibatasi oleh ideologi-ideologi kultural problematis dan juga struktur-struktur ketidakadilan sosial. “Posisi tengah” ini mewakili karya-karya periode Birmingham kelasik tentang audiens media (Ang, 1985; Morley dan Brusdon, 1999[1980, 1987]), subbudaya (Hall dan Jefferson, 1976; Hebdige, 1976, 1988), dan budaya-budaya anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan  (Willis, 1977; McRobbie, 2000) (untuk tinjauan ulang lihat: Hall dkk., 1980; Gurevitch dkk., 1982).
          Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh akar-akar politis dan filosofis dari penelitian-penelitian budaya, proyek metodologis ini telah dibelit oleh ketegangan sejak dari awal. Kita tidak bisa menyatukan hasrat fenomenologis atau hermeneutis tanpa memasuki kontradiksi untuk ‘memahami’ dunia orang lain atau sekelompok orang yang dijalani secara kreatif, dan ketertarikan strukturalis kritis pada ‘analisis’ gaya bahasa linguistik, yang memandu persepsi dan pemahaman manusia. Lebih jauh, baik ketertarikan pada realitas yang dialami maupun budaya dan bahasa yang memungkinkan persepsi kita tentang realitas menandakan kecenderungan untuk membuat pernyataan-pernyataan tentang situasi sosial dan poltiis, yang hingga pada batas tertentu selalu berhubungan dengan pencarian realis untuk mengetahui bagaimana dunia atau realitas ‘ada’.
          Di dalam masa-masa awal penelitian budaya kontradiksi-kontradiksi ini masih bisa diperhalus oleh pemahaman positifis tentang objektivitas ilmiah. Namun demikian, pada awal abad kedua puluh satu kesenjangan di antara bidang-bidang klasik penelitian di dalam studi budaya telah diperbesar dan dikaburkan oleh perkembangan-perkembangan yang sering kali dikelompokkan dengan istilah seperti posmodernitas, modernitas akhir, posindustrialisme, poskolonialisme, kapitalisme akhir, lebih belakangan, globalisasi dan neo-liberalisme (sebagai contoh, Harvey, 1989; Jameson, 1991; Rose, 1999; Tomlinson, 1999). Bahkan jika pembahasna di seputar fenomena ini kadang-kadang telah menajdi penanda perubahan mode intelektual, pembahasan-pembahasan itu menunjuk pada proses-proses historis dan intelektual penting atau pergeseran yang telah mengubah realtias dan penelitian sosial.
          Pertama, sejak tahun 1960an, perempuan, masyarakat kulit hitam dan berbagai masyarakat poskolonial, dan gerakan-gerakan mereka telah menuduh lembaga, termasuk negara, pendidikan, media dan seterusnya, melakukan diskriminasi yang terlembagakan. Mereka juga telah menuduh bahwa penelitian, yang telah selalu memiliki ketertarikan khusus pada kelompok-kelompok yang tertindas, belum menggambarkan realitas perempuan, minoritas etnis atau masyarakat pos kolonial melainkan menggunakan mereka untuk mendukung proyek-proyek teoretis dan politis para peneliti, dari kolonialisme hingga Marxisme dan feminisme humanis liberal (Clifford dan Marcus, 1986; Said, 1995 [1978]). Kedua, semakin jenuhnya media di dalam kehidupan sehari-hari kita, dari jam-jam panjang yang kita guankan untuk menonton televisi hingga belakangan surfing Internet, telah menjadikan kehdupan sehari-hari dan pengalaman kita lebih bersifat ‘virtual’ (Baudrillard, 1983). Teknologi dan pengalaman baru ini telah mengikis kepercayaan kita pada kemampuan media atau ilmu pengetahuan untuk ‘secara objektif’ menjelaskan realitas untuk kita, menjadikan kita kritis, atau bahkan ironisnya, sadar akan cara di mana semua pemahaman tentang dunia dimungkinkan oleh citra-citra dan wacana kultural. Ketiga, abad kedua puluh akhir merupakan masa di mana serangkaian proses sosial, politis dan ekonomi terjadi dan merongrong kepercayaan pada tatanan dan ideologi ekonomi dan politik setelah perang. Runtuhnya sosialisme yang dijalankan oleh negara pada tahun 1989 di Eropa Timur telah menjadi pukulan dan penyebab reorientasi berbagai proyek kiri. Mimpi-mimpi pasca perang Barat tentang ‘perkembangan’ atau ‘modernisasi’, yang seharusnya menyebarkan kemakmuran demokrasi barat ke seluruh dunia, juga hancur saat mimpi-mimpi ini tidak pernah menjadi kenyataan. Jadi, kita telah dibangunkan memasuki awal abad kedua puluh satu, diatur oleh pembagian baru di antara pembicaraan bersemangat tentang multikulturalisme dan kemungkinan-kemungkinan penciptaan dan penyebaran pengetahuan dan budaya alternatif yang sebelumnya telah dibungkam, dan ketidakadilan dan ketidakpercayaan tajam serta perseteruan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda (Casells, 1996, 1997, 1998).
          Penelitian-penelitian budaya sebagai sebuah proyek intelektual dan politis telah memainkan peran aktif di dalam dan di luar perkembangan historis dan sosial. Pada saat yang sama, perkembangan-perkembangan ini telah memunculkan orientasi-orientasi metodologis dan penelitian baru di dalam dan pada batas-batas penelitian budaya. Para sarjana yang dikelompokkan di bawah nama etnografi baru telah mengembangkan cara-cara penelitian kolaboratif baru yang bertujuan untuk lebih jujur tentang dunia-dunia yang dialami oleh orang lain. Pos-strukturalisme telah mengarah pada strategi refleksi diri (self-reflective) dan strategi analitis genealogis, yang secara kritis meneliti komitmen-komitmen historis, sosial dan politis dari wacana-wacana yang mengarahkan pemahaman manusia termasuk pemahaman para peneliti tentang diri mereka sendiri dan proyek-proyek mereka. Analisis tentang globalisasi telah sampai pada cara-cara yang lebih ‘kompleks’ untuk meahami perkembangan-perkembangan ekonomi, politik dan seterusnya, yang menantang cara-cara analisis dan prediksi linear tradisional yang lebih sederhana.
          Jalur-jalur baru penelitian ini muncul dari situasi historis yang sama, yang ditandai oleh semakin tingginya pertentangan (ambiguitas). Mereka memasuki ketegangan satu sama lain sama seperti tiga arus metodologis ini bertentangan satu sama lain di dalam penelitian-peneltiian budaya awal. Upaya etnografi baru untuk jujur pada realitas-realitas yang dialami oleh masyarakat lain memasuki sebuah kotradiksi dengan tujuan pos-strukturalis untuk secara kritis menganalisis wacana yang membentuk pengalaman kita. Tujuan untuk memahami proses-proses dan struktur-struktur ekonomi dan politik global kontemporer dan kompleks ‘sesungguhnya’ juga tidak mudah digabungkan dengan penekanan etnogrfis dan pos-strukturalis baru bahwa ada banyak ‘realitas’. Pertanyaan yang diangkat oleh kontradiksi-kontradiksi dan tantangan-tantangan ini adalah apakah kita masih bisa menemukan beberapa alasan umum untuk menentukan apa yang merupakan penelitian ‘barang’ atau ‘valid’. Di dalam bahasa metodologis tradisional, ‘validitas’ adalah awal dan akhir dari semua penelitian, yang merujuk pada serangkaian uji lakmus yang menentukan apakah penelitian adalah ‘secara jujur” atau ‘secara objektif’ menjelaskan bagaimana segala sesuatu ‘sungguh-sungguh’ ada. Pembahasan-pembahasan ini menunjukkan bahwa ada banyak realitas, yang memunculkan pertanyaan, apakah penelitian adalah masalah opini. Jika demikian, tidak akan ada untungnya menulis buku metodologi. Saya mengemukakan bahwa masih ada pedoman tentnag apa yang merupakan penelitian yang valid dan ‘bagus’ jika bukan penelitian yang jujur.
Tentang Validitas
Mead dan ‘Kebenaran’ tentang Samoa
Sebelum menjelaskan apa yang saya dan yang lain maksud dengan penelitian bagus atau valid, saya akan membawa pembaca saya pada perjalanan singkat pada waktu dan tempat yang berbeda: untuk penelitian Margaret Mead tentang Samoa tahun 1920an (Mead, 1929). Alasan untuk melakukan hal ini adalah bahwa antropologi klasik Mead telah menjadi fokus dari salah satu dari pertikaian utama atas validitas, tidak lama setelah kematian Mead, Freeman (1983) mengemukakan bahwa karyanya sepenuhnya tidak valid, salah, atau hanya merupakan kebohongan kasar. Debat ini, yang telah menjadi bahan baku banyak buku tentang meneliti-meneliti penelitian (sebagai contoh, Lincoln dan Guba, 1985; Seale, 1999), memberi ilustrasi bermanfaat tentang permasalahan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan bentuk-bentuk tradisional validitas, dan membantu memuluskan jalan untuk pembahasan tentang validitas baru.
          Buku Mead, Coming of age in Samoa: A psychological study of primitive youth for Western civilization telah dipublikasikan pada tahun 1929. Di dlaam buku Mead berusaha meneliti remaja, dengan mengajukan pertanyaan: ‘Apakah gangguan-gangguan yang menjengkelkan para remaja kami terkait dengan sifat-sifat remaja sendiri atau peradaban?’ (Mead, 1929: 11). Penelitian ini memusatkan perhatian pada perempuan-perempuan remaja, dengan mereka Mead sebagai perempuan muda merasakan daya tarik, dan ia menyimpulkan bahwa tidak seperti di Barat, remaja di Samoa didak mengalami masa konflik dan perselisihan dan bahwa perkembangan seksualitas perempuan muda bukanlah sebab kecemasan atau tekanan berat. Paragraf pembuka buku ini memberi kita gambaran tentang kehidupan seksual masyarakat Samoa yang ia jelaskan sebagai berikut:
Ketika temaram mululai turun di antara atap-atap coklat lembut dan pohon-pohon palem langsing berdiri berhadapan dengan laut tak berwarna dan berkilau, para pecinta masuk rumah dari janji bertemu di bawah pohon-pohon palem atau di bawah bayang-bayang kano-kano bocor, cahaya bisa menemukan setiap orang yang tidur di tempatnya yang telah ditentukan. (1929: 14)
          Pada tahun 1983 Derek Freeman menerbitkan Margaret Mead and Samoa: The making and unmaking of an anthropological myth yang berusaha untuk menyangkal karya lapangan Mead. Ia mengemukakan bahwa Samoa bukanlah masyarakat primitif harmonis dan secara seksual permisif yang telah digambarkan oleh Mead, tetapi bahwa masyarakat Samoa sangat menghargai keperawanan sebelum menikah dan bahwa kejadian-kejadian kekerasan dan pemerkosaan umum terjadi di pulau itu. Pemahaman Freeman tentang adat-istiadat seksual masyarakat Samoa ditangkap di dalam kutipan berikut:
Pada hari Minggu pada bulan Juni 1959, Tautalafua, yang berusia 17 tahun menemukan saudara perempuan kaslfikasi usia 18 tahun di bawah pohon sukun pada sekitar pukul 9:00 pada sore hari itu dengan Vave, seorng pemuda berusia 20 tahun dari keluarga lain. Ia menampar Vave dengan kekerasan semacam itu untuk mematahkan rahangnya pada dua tempat.  Untuk serangan ini ia kemudian dihukum penjara enam minggu. (1983: 237)
          Sebuah debat publik dan ilmiah yang memanas terjadi setelah kontroversi itu. Para pemangku kepentingan yang berbeda memperdebatkan permasalahan ini di dalam New York Times, dan di dalam terbitan khusus American Anthropologist (Brady, 1983), sejumlah ahli tentnag masyarakat Samoa menyerang Freeman. Mereka mengkritik Freeman karena telah membandingkan karya lapangan Mead di sebuah pulau kecil dan terpencil Manu’a dengan karyanya sendiri di pulau besar Upolu. Juga dikemukakan bahwa pengaruh misionari Kristen memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap budaya Samoa pada tahun 1940an dan 1960an ketika Freeman melakukan penelitiannya daripada pengaruh itu pada tahun 1920an ketika Mead mengunjungi kepulauan itu (Weiner, 1983). Lebih jauh, dicatat bahwa sementara Mead, sebagai seorang perempuan muda, menggunakan remaja-remaja perempuan sebagai informan, deskripsi Freeman dihasilkan  dari laki-laki dewasa terkemuka (Schwarz, 1983).
          Namun demikian, pertikaian terbesar di antara kedua peneliti ini adalah tentang orientasi paradigmatis mereka. Berhubungan dengan paradigma kulturalis, Mead mengemukakan bahwa perilaku (seperti remaja atau seksualitas), yang telah dipahami sebagai sama di antara semua manusia, telah menjadi hasil dari peradaban, ‘yang ditemukan pada penduduk sebuah negeri, tidak ditemukan di negeri lain, dan ini tanpa mengubah ras’ (Mead, 1929: 4). Proyek kulturalis Mead, dengan nada rendah liberalis (secara seksualnya), telah dibingkai oleh, dan bertentangan dengan, gerakan egenetika rasis tahun 1920an yang menjelaskan perbedaan perilaku manusia di dalam pengertian perbedaan-perbedaan genetis. Freeman, sebaliknya, mewakili posisi sosiobiologis ini. Ini dijelaskan di dalam bab terakhirnya di mana ia merujuk pada kejadian-kejadian kekerasan tertentu di Samoa  mengemukakan bahwa di dalam situasi-situasi semacam itu perilaku konvensional dibuang dan orang diambil alih oleh ‘perilaku yang sangat emosional dan memperturutkan kata hati yang menjadi mirip binatang di dalam hal keganasannya’ (1983: 301). Menurut pandangannya, agresi ini adalah bukti ‘struktur-struktur yang dihasilkan oleh filogneetika yang jauh lebih lama’ yang mendefinisikan perilaku di samping budaya. Jadi, di mana Mead menemukan sebuah budaya harmonis, Freeman menemukan agresi ‘primal’ atau biologis.
          Perbedaan-perbedaan paradigmatis di antara dua penulis juga tercermin pada tulisan-tulisan mereka. Buku Mead bersifat impresionistis di dalam hal gaya, dibaca pada masa-masa tertentu sebagai ceramah perjalanan romantis, yang bertujuan untuk menangkap etos kehidupan masyarakat Samoa. Sebaliknya, Freeman mematuhi logika pelaporan realistis ilmiah kelasih dan ‘penyangkalan’ Mead, pertikaian dengan detil-detil numerik laporan seperti waktu-waktu yang tepat pada hari itu, yang dibaca seperti laporan polisi atau kasus pengadilan.
          Apa yang diceritakan oleh debat ini kepada kita, bukanlah apakah Mead atau Freeman ‘benar’ atau ‘salah’ tentang Samoa. Debat ini menjelaskan bahwa ‘kebenaran’ tentang Samoa diperumit paling tidak oleh tiga permasalahan. Pertama, kecairan masyarakat Samoa sendiri (opini-opini yang berbeda, kelompok, perubahan historis, dan semacamnya), kedua oleh komitmen-komitmen yang membingkai penelitian dari apra peneliti (investasi historis, politis dan teoretis) dan ketiga oleh bahasa (jenis impresionistik atau realis) yang digunakan untuk menjelaskan Samoa. Untuk mengelaborasi ketiga permasalahan ini, pertama, masyarakat Samoa tidak tidak dipahami sebagai objek tetap peneltiian melainkan berakhir dengan  sesuatu yang bersifat multifase kontradiktif (1983: 943) atau mirip amuba, yang berubah dari satu sudut ke sudut yang lain. Ada anak-anak gadis muda, orang-orang tua di desa, mitos, adat-istiadat, aturan-aturan yang berbeda, kesalahan-kesalahan yang dilembagakan dan informal, divisi-divisi sosial dan politis yang berbasis pangkat dan jender, perjuangan dan perspektif, yang semuanya secara terus-menerus muncul dan mengalami perubahan. Kedua, visi antropolog diwarnai oleh kecenderungan-kecenderungan usia, ras, jender peribadinya dan kesetiaan paradigmatis dan politis. Seperti dicatat oleh Clifford (1986) baik Mead maupun Freeman menjadikan Samoa sebuah perumpamaan atau kiasan untuk Barat, dan bacaan-bacaan yang berlawanan berakhir dengan pembungkusan penyejajaran klasik yang berdasarkan pada pemahaman Barat tentng yang ‘primitif’: Surga nafsu Apollonian dan kekerasan dan bahaya Dionnysian. Ketiga, bahasa ini terbukti bukanlah media komunikasi negral melainkan bagian dari pesan. Gaya impresionistik kuas-lebar Mead melukis potret samoa yang halus dan sangat indah. Penggunaan realisme objektivis murni Freeman menyajikan kepad akita sebuah laporan polisi tentang masyarakat Samoa yang agresif dan kasus pengadilan terhadap Mead, yang berakhir tidak kurang ideologis dan politis daripada tulisan Mead.
          Ada banyak kasus yang sama seperti kontroversi Mead, beberapa dari kontroversi paling terkenal telah menantang karya W. F. Whyte Street corner society (Whyte, 1955 [1943]; Journal of Contemporary Ethnography, 1992; Whyte, 1993), dan paling akhir otobiografi Rigoberta Menchu tentang genosida Guatemala (Menchu, 1984; Beverly, 1999; Stoll, 1999; Arias, 2001). Debat terus-menerus menjelaskan cara-cara di mana kita terus digairahkan dengan perkelahian yang penelitiannya adalah ‘jujur’ dan ‘valid’, dan yang adalah ‘keliru’ atau ‘bias.’

Dari Validitas ke Validitas-Validitas
Kontroversi Mead didasarkan pada pemahaman positifis tentang ilmu pengetahuan, yang memahami tujuan penelitian sebagai penciptaan pengetahuan yang benar dan objektif tentang realitas sosial, mengikuti sebuah metode ilmiah. Tujuan penelitian positif adalah menghasilkan hasil-hasil valid, yang dipahami sebagai ‘kebenaran’ (Hammersley dan Atkinson, 1995). Jadi, argumen yang dikemukakan menjadi apakah Mead atau Freeman sedang menceritakan ‘kebenaran’ dan berdasarkan pada apa.
          Kriteria positivis kebenaran atau validitas dipahami sebagai universal. Ini berarti bahwa aturan-aturan kebenaran yang sama berlaku, apakah penelitian ingin menangkap ‘realitas objektif’ (fakta-fakta sosial, seperti perkembangan ekonomi) atau pengalaman-pengalaman subjektif atau intersubjektif seseorang (makna yang diberikan orang pada kehidupan dan tindakan mereka) (Anderson dan Skoeldberg, 2000: viiii). Debat Mead-Freeman berhubugnan dengan kebenaran umum tentang masyarakat Samoa dan etosnya dan juga apa yang dipahami oleh masyarakat Samoa tentang kehidupan dan aktivitas-aktivitas mereka dan Freeman mengemukakan bahwa Mead menganggap keduanya ‘salah’.
          Tujuan umum kebenaran di dalam metodologi positivis diterjemahkan menjadi serangkaian prosedur dan pengecekan detil. Saya tidak akan meneliti pengecekan ini panjang lebar (untuk mendapatkan tinjauan ulang yang bagus lihat: Lincoln dan Guba, 1985; Seale, 1999). Sekarang, kontroversi Mead-Freeman menunjukkan masalah mereka. Salah satu dari kriteria penting untuk validitas di dalam penelitian adalah ‘reliabilitas’, yang merujuk pada gagasan bahwa jika peneliti berbeda melakukan penelitian yang sama, ia akan sampai pada hasil-hasil yang sama. Namun demikian, kita bisa membayangkan bahwa jika kita akan mengirip Mead dan Freeman ke Samoa, mereka tidak akan pernah sepakat dan sampai pada kesesuaian ‘antar penilai’. Komitmen-komitmen teoretis dan politis sedemikian berbeda sehingga secara praktis mereka melihat pada masyarakat Samoa yang berbeda. Kriteria lain untuk validitas di dalam penelitian adalah netralitas, yang merujuk pada keharusan untuk memastian penelitian tidak bias oleh komitmen personal atau politis peneliti. Kontroversi Mead-Freeman mengilustrasikan bahwa penelitian seperti aktivitas sosial lain menjadi bagian dari sebuah lingkungan historis, sosial, politis dan teoretis dan komitmennya. Lebih jauh, melihat jenis-jenis berbeda tulisan Mead dan Freeman, menyoroti fakta bahwa bahasa yang kita gunakan untuk melaporkan temuan-temuan kita tidak memungkinkan netralitas, karena semua bahasa bersifat sosial dan kultural dan tidak pernah menjadi media transparan yang bisa menjelaskan realitas ‘seperti apa adanya’ (MacCabe, 1973).
          Meskipun ada fakta bahwa kita tidak bisa sampai pada sebuah ‘kebenaran’ tentang masyarakat Samoa, masih ada cara-cara lain untuk melakukan penelitian pada latar-latar seperti Samoa atau tempat lain. Berusaha untuk membayangkan seperti apakah pedoman dan kriteria apa setelah validitas tradisional tidak lagi layak, para peneliti mulai mengemukakan pemahaman-pemahaman alternatif tentang validitas (sebagai contoh, Lincoln dan Guba, 1985, 1994) dan validitas ganda (Lather, 1993). Berbicara tentang validitas, sebagai pengganti validitas, memiliki dua kelebihan. Pertama, pembicaraan ini memberi perhatian pada fakta bahwa teori, metode dan cara penulisan yang menopang peneltiian kita membuka pandangan-pandangan yang berbeda dan selalu bersifat parsial dan politis tentang realitas. Bukan mempertimbangkan hal ini, para peneliti yang mengemukakan validitas ganda meminta kita lebih kritis memahami apa yang mendorong penelitian kita. Kedua, mengetahui bahwa ada lebih dari satu cara untuk memahami fenomena sosial, meminta kita sampai pada cara yang lebih bersifat multidimensional, bernuansa dan sementara untuk memahami objek penelitian seseorang. Perselisihan tentang validitas penelitian Mead tentang Samoa berakhir pada pertandingan teriak tentang apakah Samoa adalah Surga Apollonian atau Neraka Dionysian. Validitas ganda menunjukkan bahwa kita harus mendekati realitas di dalam pengertian yang tidak secara sederhana bersifat dikotomis (‘asli’ atau ‘palsu’; ‘benar’ atau ‘salah’; ‘surga’ atau ‘neraka’) dan lebih kompleks.
          Pemahaman tentang validitas ganda tidak berarti bahwa tidak ada aturan untuk melakukan penelitian. Ini berarti bahwa bukan satu aturan universal yang berlaku di mana pun ada aturan-aturan yang berbeda dan kita harus tahu bagaimana mereka membuat kita berhubungan dengan realitas secara berbeda. Berdasarkan pada kontroversi Mead, fokus metodologis penelitian-penelitian kultural dan juga beberapa karya lain tentang validitas alterantif (Lincoln dan Guba, 1985; Lather, 1993), kita bisa menjelaskan tiga pendekatan metodologis yang secara luas berbeda di mana masing-masing mengikuti pemahaman yang berbeda tentang validitas. Pendekatan pertama, pendekatan metodologis hermeneutis mematuhi apa yang akan saya sebut validitas ‘dialogis’, yang berarti bahwa validitas ini mengevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa bagus penelitian menangkap realitas yang dialami oleh orang lain. Jadi, validitas ini akan mengukur nilai penelitian tentang Samoa di dalam pengertian seberapa bagus penelitian ini bisa jujur terhadap realitas yang dijalani oleh masyarakat Samoa. Pendekatan kedua, pendekatan metodologis pos-strukturalis mengikuti apa yang akan saya sebut validitas ‘dekonstruktif’, dan validitas ini mengukur nilai penelitian di dalam pengertian seberapa bagus penelitian menguraikan wacana-wacana sosial problematis yang memungkinkan cara di mana kita memahami realitas dan masyarakat lain. Jadi, penelitian pos-strukturalis akan mengukur nilai penelitian tentang Samoa di dalam pengertian seberapa teliti penelitian ini mengungkap gaya bahasa kolonialis yang menjelaskan Samoa di dalam pengertian sensualitas dan bahaya ‘primitif’. Ketiga, pendekatan metodologis realis atau kontekstualis yang mengikuti validitas kontekstual, yang mengevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa bagus penelitian itu memahami konteks sosial, ekonomis dan poltiis dan hubungan-hubungan fenomena yang sedang diteliti. Jadi, validitas ini akan mengukur nilai penelitian tentang Samoa di dalam pengertian seberapa teliti dan kritis penelitian ini memetakan struktur internal dan eksternal kekuasaan dan ketidakadilan, seeprti hierarkhi pangkat, bentuk-bentuk mata pencaharian, politik kolonialis, perdagangan dan budaya, yang membentuk kehidupan orang-orang dewasa desa Samoa dan anak-anak gadis remaja.
          Ketiga pendekatan metodologis ini, dan validitas masing-masing, secara kasar berhubungan dengan Kiri Baru, ‘humanistik’, ‘strukturalis’ dari kecenderungan ‘kontekstualis’ di dalam penelitian-penelitian budaya awal. Ada juga kesejajaran di antara ketiga pendekatan metodologis ‘baru’ dan validitas serta  dan pemahaman-pemahaman sebelumnya tentang validitas. Namun demikian, meskipun terjadi diskontinuitas, ketiba metodologi/validitas ini mendorong penelitian di dalam bidang budaya dan ilmu pengetahuan sosial secara lebih umum pada arah-arah baru. Pada bagian selanjutnya, saya akan membicarakan bagaimana pendekatan-pendekatan/validitas baru ini melanjutkan dan terputus dari cara-cara lama melakukan penelitian.


Validitas Alternatif
Validitas Dialogis
Untuk memulai pembahasan, secara lebih detil, pendekatan hermeneutis dan validitas ‘dialogis’ yang menyertainya, bisa dikatakan bahwa pendekatan ini menbevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa benar ia menangkap dunia-dunia yang telah dialami oleh masyarakat yang diteliti (Lincoln dan Guba, 1985, 1994; Lincoln, 1995). Prinsip luas ini bisa dirinci lebih jauh menjadi tiga kriteria khusus untuk penelitian yang ‘bagus’ atau valid:
1.     Kebenaran. Penelitian harus berlaku adil pada perspektif-perspektif masyarakat yang sedang diteliti, sehingga bisa menyetujui penelitian. Penelitian ini memerlukan bentuk-bentuk kolaboratif penelitian, seperti tindakan-tindakan untuk memungkinkan orang yang diteliti, seperti masyarakat Samoa, untuk memiliki hak bersuara dengan cara di mana mereka diteliti dan terwakili (did alam bahasa penelitian tradisional keterwakilan itu disebut ‘pengecekan anggota’ (sebagai contoh, Seale, 1999)).
2.     Refleksivitas diri. Para peneliti harus refleksif tentang wacana personal, sosial dan paradigmatis yang memandu cara bagaimana mereka memahami realitas dan masyarakat lain. Pendekatan ini mengharuskan para peneliti berusaha memahami bagasi kultural, seperti pamahaman-pemahaman tentang ‘yang primitif’, yang memungkinkan pemahaman mereka tentang dunia-dunia yang berbeda.
3.     Polivokalitas. Para peneliti harus berhati-hati sehingga mereka tidak meneliti satu realitas yagn telah dialami melainkan banyak realitas. Ini berarti bahwa mereka harus memastikan bahwa mereka memasukkan pandangan-pandangan atau suara-suara ‘para pemangku kepentingan’ utama seperti para gadis muda dan juga orang-orang desa yang sudah tua (Lincoln dan Guba, 1985), dengan berusaha untuk jujur tentang keragamaan mereka dan juga relasi-relasi dan ketegangan-ketegangan di antara mereka.
          Validitas dialogis mengingatkan tentang tujuan etnografis lama menangkap ‘sudut pandang masyarakat setempat’. Di mana valdiitas ini berangkat dari proyek etnografis lama adalah bahwa validitas ini tidak mengklaim memiliki akses terhadap beberapa posisi ‘objektif’ istimewa untuk menjelaskan kehidupan orang lain. Dialogisme tidak memandang penelitian di dalam pengertian menjelaskan dunia-dunia lain dari luar, melainkan di dalam pengertian perjumpaan atau interaksi di antara dunia-dunia yang berbeda. Kriteria utama validitas pendekatan ini kemudian adalah seberapa bagus peneliti memenuhi tuntutan etis jujur dan menghormati dunia dan realitas yang dialami orang lain.

Validitas Dekonstruktif
Penelitian pos-strukturalis dan validitas dekonstruktifnya mengevaluasi penelitian di dalam pengertian seberapa bagus peneltian berhasil menguraikan gaya bahasa sosial dan wacana yang selama waktu tertentu diturunkan sebagai sebuah ‘kebenaran’ tentang dunia. Ada tiga strategi pos-strukturalis untuk menguraikan wacana-wacana yang memungkinkan pemahaman kita tentang dunia yang merupakan kriteria yang berbeda untuk penelitian yang bagus di dalam tradisi:
1.     Ekses posmodern. Pemahaman posmodern atau Baudrillardian (1980; atau lather, 1993) tentang ‘ekses’ wacana mengemukakan bahwa ada jumlah tidak terhingga ‘kebenaran’ atau cara mendekati realitas. Jadi, penelitian diukur di dalam pengertian bagaimana penelitian ini berhasil menyoroti berbagai cara di mana fenomena khusus bisa dipahami, untuk menggoyahkan pemahaman ‘tetap’ tentang fenomena khusus itu. Kontroversi-Mead adalah sebuah ilustrasi tentang permasalahan posmodern, karena kontroversi ini menyoroti bahwa ada banyak ‘kebenaran’ yang berbeda tentang Samoa.
2.     Historisitas genealogis. Genealogi, yang berhubungan dengan karya Foucault (1984), menantang kebenaran dengan memaparkan historisitas mereka. Jadi, penelitian dievaluasi didalam pengertian seberapa bagus ia menguraikan cara di mana kebenaran-kebenaran yang diterima begitu saja tidak bersifat universal atau tidak tergantung pada dimensi waktu melainkan produk dari agenda-agenda historis dan politis khusus. Sebuah contoh penelitian genealogis adalah analisis tentang komitmen-komitmen historis, politis dan teoretis karya Mead dan Freeman, yang membuat mereka menjadikan Samoa sangat berbeda.
3.     Kritik dekonstruktif. Dekonstruksi, yang berhubungan dengan karya Derrida (1976), bertujuan untuk mempertanyakan pasangan yang menata pemikiran kita, untuk memaparkan politik tersembunyi mereka. Jadi, penelitian dievaluasi di dalam pengertian bagaimana ia berhasil membongkar hambatan-hambatan konstruktif yang menopang pemahaman kita tentang sebuah fenomena khusus. Salah satu contoh adalah analisis pasangan di antara sifat sensual atau agresif masyarakat ‘primitif’ dan ‘pembatasan-pembatasan beradab” dunia Barat yang menghubungkan karya Mead dan Freeman.
          Kritik pos-strukturalis kadang-kadang bisa dipahami sebagai upaya penelitian untuk menemukan ‘bias’ di dalam penelitian, atau sebagai contoh, di dalam liputan-liputan berita. Namun demikian, bagian-bagian pos-strukturalisme dari jalur penelitian ini berada pada fakta bahwa dikemukakan bahwa tidak ada cara memahami dunia yang ‘tidak berbias’. Oleh karena itu, pemahaman-pemahaman tentang penelitian yang baik ada dua. Pertama, penelitian yang baik atau valid dipahami memaparkan historisitas, investasi politis, penghilangan dan titik-titik buta ‘kebenaran’ sosial. Kedua, penelitian yang bagus atau valid juga dipahami sebagai menyadari investasi historis, politis dan sosialnya sendiri, dengan secara terus-menerus bercermin kembali pada komitmen-komitmennya sendiri.

Validitas Kontekstual
Penelitian tentang konteks sosial dan validitas kontekstualisnya merujuk pada kemampuan penelitian untuk menentukan letak fenomena yang sedang diteliti di dalam konteks sosial, politis dan bahkan global yang lebih luas. Di dalam pengertian ini, kontekstualisme bertujuan membentuk realisme, yang akan membuat pernyataan-pernyataan tentang bagaimana dunia ‘sungguh-sungguh ada’. Penopang realis bertolak belakang dengan metodologi dan validitas hermeneutis dan pos-strukturalis, yang mendasari fakta bahwa ada banyak ‘realitas’ dan bahwa dunia tampak berbeda saat diamati dari tempat atau titik waktu historis yang berbeda. Baik dialogisme maupun pos-strukturalisme didorong oleh dorongan demokratis dan egalitarian untuk mendengar suara-suara yang berbeda dan untuk menantang wacana-wacana otoritatif. Ketika pendekatan-pendekatan ini mengemukakan bahwa mereka mendengar suara-suara yang dibungkap atau menantang wacana-wacana otoritatif, mereka mengklaim bahwa beberapa orang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dan bisa membuat suara mereka didengar, dan beberapa wacana menjadi lebih kuat atau lebih ororitatif daripada wacana-wacana lain. Untuk membuat klaim-klaim seperti itu, para peneliti harus menggunakan beberapa pemahaman tentang konteks sosial dan historis dan struktur ketidakadilan dan memerlukan beberapa kriteria tentang bagaimana harus menganalisa semua itu. Namun demikian, validitas kontekstual tidak hanya merujuk pada persyaratan untuk memahami konteks sosial tetapi juga juga cara bagaimana penelitian ini ditempatkan di dalam dan membentuk konteks ini. Dua sifat tugas untuk menangkap konteks sosial di dalam penelitian bisa dilakukan menggunakan dua kriteria penelitian kontekstualis:
1.     Sensitivitas terhadap konteks sosial. Ini merujuk pada tugas kesarjanaan untuk sejara hati-hati menganalisis, sebagai contoh, kejadian-kejadian historis, statistik dan perkembangan-perkembangan, menggunakan dan membandingkan sumber daya-sumber daya dan pandangan-pandangan yang berbeda. Ini berarti bahwa penelitian tidak bisa sembarangan atau didasarkan pada prasangka. Meneliti Samoa dari perspektif ini akan berarti secara hati-hati menganalisis sejarah kepulauan ini, struktur dan interaksi sosial mereka dengan dunia luar melalui perdagangan, misionaris, bahkan antropolog. Bahkan jika Mead dan Freeman membicarakan konteks sosial Samoa, konteks sosial ini pudar menjadi latar belakang proyek untuk menangkap ‘etos’ sebuah masyarakat ‘primitif’ yang relatif tidak tergantung pada waktu.
2.     Kesadaran tentang historisitas. Kriteria ini merujuk pada kemampuan peenlitian untuk memahami historisitasnya sendiri. Jadi, penelitian tentang Samoa harus sadar akan cara-cara di mana penelitian ini berimplikasi kepada kotneks sosial di mana Samoa membentuk salah satu bagian, seperti struktur kolonialisme atau perjuangan anti-kolonialis (lihat Bhaskar, 1979). Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan sosial dan objeknya, masyarakat historisnya, tidak bisa dipisahkan, dan menganalisis konteks sosial juga memungkinkan penelitian menjadi sadar dan mampu secara kritis mengevaluasi perannya sendiri.
          Penelitian-penelitian budaya kadang-kadang enggan berkata banyak tentang sebagai contoh struktur sosial atau ekonomi, karena dikemukakan bahwa kita tidak bisa menjelaskan struktur-struktur itu tanpa memungkinkan budaya dan bahasa. Namun demikian, penelitian-penelitian budaya sering kali merujuk pada bagaimana praktek kultural mengonsolidasikan kelas, ras atau ketidakadilan jender dan sebagainya. Apa yang digarisbawahi oleh validitas kontekstual adalah bahwa kita harus berhati-hati tentang pernyataan-pernyataan itu. Sebagai contoh, siswa doktoral saya belakangan berencana untuk meneliti fakta-fakta historis tentang konflik Israel-Palestina untuk melakukan kontekstualisasi analisisnya tentang filem-filem konflik ini. Ia menemukan bahwa tidak ada ‘sebuah’ sejarah tentang konflik melainkan banyak sejarah yang kompleks dan kontroversial. Ini menggarisbawahi dua hal. Pertama, kita harus menganalisis ‘fakta-fakta’ sosial dan historis secara hati-hati, memberi perhatian pada deitl, proses-proses yang rumit, dan perspektif yang berbeda dan bukan mencari asumsi-asumsi umum atau buku-buku teks yang barangkali berhubungan dengan bangsa tertentu. Kedua, kita harus sadar bahwa pembahasan kita tidak pernah terpisah dari sejarah tetapi selallu bersifat historis dan politis dan dibentuk oleh dan membentuk bentang lahan yang sedang diteliti.
          Daftar validitas-validitas yang dibicarakan tidak dimaksudkan untuk berlebihan-berlebihan. Daftar ini dirancang untuk tujuan buku ini di dalam menjelaskan secara garis besar beberapa mode sentral melakukan penelitian kualitatif di dalam bidang studi budaya. Pemahaman-pemahaman yang berbeda tentang validitas memberi perhatian pada ketidaklayakan pemahaman tentang validitas sebagai ‘kebenaran’ tunggal. Daftar validitas ini juga menjelaskan fakta bahwa meninggalkan validitas tunggal tidak membutuhkan keadaan ‘ketiadaan hukum’ di dalam penelitian, melainkan bahwa masing-masing menentukan pedoman khusus, aturan dan kriteria untuk penelitian yang bagus.


Menggabungkan Metodologi

Triangulasi
Melihat daftar tiga tipe berbeda pendekatan-pendekatan medologis dan validitas-validitas berbeda mengajukan sebuah pertanyaan: Adakah cara untuk menyatukan ketiga pendekatan ini di dalam sebuah proyek penelitian? Menggabungkan metodologi-metodologi diharuskan jika kita ingin meneruskan tradisi penelitian budaya yang meneliti saling hubungan di antara pengalaman yang dialami, wacana dan teks-teks dan konteks historis, sosial dan politis.
          Jelas, kita tidak selalu harus menggabungkan metodologi-metodologi. Ada banyak proyek penelitian yang hanya mengikuti aturan-aturan dari salah satu dari validitas-validitas itu. Beberapa proyek etnografis baru memusatkan perhatian pada kerja jujur untuk dunia-dunia yang telah dialami oleh masyarakat tertentu, yang sering kali dihapus hak pilih mereka. Dengan cara yang sama, banyak analisis kritis tentang teks-teks media bertujuan untuk mengkritik cara di mana mereka membangun kebenaran-kebenaran otoritatif. Seperti telah dikatakan sebelumnya, jujur terhadap realitas-realitas yang dialami dari masyarakat tertentu bisa jadi sulit untuk digabungkan dengan analisis-analisis kritis tentang wacana-wacana yang membentuk bagian dari realitas-realitas masyarakat yang telah dialami. Dengan cara yang sama, analisis tentang struktur-struktur global dan sosial bisa bertolak belakang, atau melampaui, pemahaman lokal masyarakat tentang lingkungan mereka yang mereka alami.
          Namun demikian, jika kita ingin menggabungkan pendekatan-pendekatan tertentu, kita memerlukan sebuah kerangka kerja yang membantu kita melakukan penggabungan itu. Penelitian sosial dan kultural tradisional biasanya merujuk pada teknik-teknik penggabungan teori-teori, metode, sumber dan materi yang berbeda, menggunakan ‘triangulasi’ (Denzin, 1989; Flick, 1998). Tujuan klasik triangulasi adalah menggabungkan jenis-jenis berbeda materi atau metode untuk mengetahui apakah mereka saling mendukung satu sama lain. Jadi, sebagai contoh kita bisa melengkapi pengamatan partisipan tentang Samoa dengan memperhitungkan dokumen-dokumen dan arsip-arsip kolonial, untuk menemukan apakah orang ‘berbohong’ atau salah mengingat segala sesuatu (pada kenyataannya ini sangat dekat dengan cara bagaimana Freeman memahami dan menjalankan proyeknya untuk menolak Mead). Setelah semua dipertimbangkan, tujuan klasik triangulasi adalah mendapatkan gambaran yang lebih akurat atau lebih jujur tentang dunia sosial. Tujuan ini mencerminkan makna awal triangulasi, yang berasal dari navigasi di mana triangulasi merujuk pada penggunaan bantalan-bantalan yang berbeda untuk menghasilkan posisi yang tepat dari sebuah objek (Silverman, 1992: 156).
          Ditafsirkan sebagai upaya untuk mendapatkan kebenaran, triangulasi sangat bermanfaat untuk menggabungkan tiga pendekatan metodologis, yang dibicarkaan di atas. Ini karena tujuan mendasar dari pendekatan-pendekatan ini adalah melakukan problematisasi pemahaman sederhana tentang ‘kebenaran’. Dialogisme bertujuan untuk jujur terhadap dunia masyarakat yang dialami dan sedang diteliti, dan berusaha menemukan apakah remaja perempuan atau orang-orang tua desa membicarakan ‘kebenaran’, akan bertujuan menangkap pandangan-pandangan dunia yang berbeda dari keduanya. Genealogi akan menunjukkan bahwa kita tidak bisa menemukan sebuah kebenaran sebagai contoh dari arsip-arsip kolonial, karena mereka adalah lokasi yang ‘menghasilkan’ kebenaran-kebenaran historis dan sangat politis tentang masyarakat dan tempat-tempat (sebagai ‘sukar dikendalikan’ dan seterusnya) untuk ‘diatur’. Bagian dari ‘bukti’ Freeman tentang agresi masyarakat Samoa, sebagai contoh, diperoleh dari laporan-laporan pemerintah kolonial tentang ‘masalah’ di kepulauan itu. Meskipun sangat mungkin berpikir bahwa ada kekerasan di kepulauan itu, jenis-jenis arsif ini berusaha memutuskan pada kekerasan itu, karena arsip-arsip itu adalah catatan tentang ‘pengelolaan’ kepulauan itu. Ini akhirnya membawa kita pada pemahaman kontekstualis bahwa penelitian tidak pernah bisa menjadi objektif karena penelitian selalu menjadi bagian dari dan membentuk bentang lahan sosial, seperti struktur kolonialisme, yang ia teliti.
          Untuk memahami sifat-sifat khusus triangulasi positivis, dan agar bisa membandingkannya dengan cara-cara lain untuk menggabungkan metodologi-metodologi, bermanfaat kiranya menganalisis bagaimana triangulasi memahami ontologi (sifat-sifat realitas) dan epistemologi (sifat-sifat pengetahuan). Pemahaman positivis klasik tentang realitas adalah bahwa realitas itu adalah ‘tetap’. Jadi, di dalam fisika klasik, realitas fisik dipahami sebagai ‘objek’ yang bisa dipahami dan relatif stabil yang bisa secara akurat diamati melalui penggunaan metode-metode ilmiah (mikroskop, kalkulasi dan seterusnya). Dengan cara yang sama, di dalam ilmu pengetahuan sosial positivis, masyarakat dipahami sebagai sebuah entitas  yang bisa diamati yang bisa ditangkap menggunakan statistik, survei dan interview. Masalah yang berhubungan dengan posisi ontologis adalah bahwa seperti telah kita lihat di dalam debat Mead, realitas tidak berhenti diam, tetapi seeprti amuba, multi fase, berkembang, tampak berbeda dari sudut-sudut berbeda (dari perspektif gadis muda, orang-orang tua desa, arsip kolonial, dsb. ).
          Komitmen ontologis pada gagasan bahwa realitas adalah sebuah objek tetap yang ada terpisah dari penelitian menunjukkan tujuan epistemologis positivis dari penelitian untuk ‘mencerminkan’ realitas. Menurut positivisme, alasan untuk menggunakan metode (analisis percakapan, semiotika, analisis statistik) adalah mendekati ‘kebenaran’ tentang realitas. Metode-metode yang berbeda dipandang sebagai ‘kaca pembesar’ yang membantu sarjana untuk melihat realitas secara lebih jelas, atau dengan cara yang tidak begitu jelas dan lebih sistematis. Tujuan penggabungan metode-metode berbeda adalah menggunakan lensa-lensa berbeda untuk melakukan kalibrasi penglihatan agar secara optimal menjadijelas. Akibatnya, pembahasan positifis tentang bagaimana melakukan penelitian sering kali bersifat sangat teknis, bertujuan untuk menyempurnakan kemampuan metode untuk menangkap realitas secara benar. Namun demikian, gagasan penelitian yang ada di luar, atau menggunakan metode untuk menyoroti diri sendiri, realtias menjadi tidak layak, karena penelitian adalah sebuah aktivitas sosial. Baik penelitian Mead maupun Freeman sangat tertarik pada agenda-agenda sosial di masa mereka, menjadikan Samoa sebuah perumpamaan untuk politik mereka (Clifford, 1986). Bukan mempertimbangkan hal ini, sebaliknya kita bisa mengajukan pertanyaan bagaimana lagi melakuan penelitian sosial dan apa yang akan menjadi tujuan penelitian sosial tanpa sebuah agenda sosial. Masalah yang berhubungan dengan penolakan positivis terhadap sebuah agenda politis adalah bahwa agenda itu sangat diharapkan; didorong pada dunia kebenaran-kebenaran abadi bukan debat dan pembuatan keputusan politis. Ini terjadi pada cara bagaimana Mead dan Freeman membingkai penelitian mereka sebagai sebuah ‘kebenaran’ tak tergantung waktu dan tidak berbias tentang sebuah masyarakat ‘primitif’, bukan menentukan situasi komentar mereka tentang Samoa sebagai bagian dari debat panas poskolonial, sangat politis dan kontroversial (lihat Tabel 1.1).



Tabel 1.1  Paradigma penggabungan metodologi
Paradigma
Ontologi
Epistemologi
Metafora
Tujuan Penelitian
Politik
Triangulasi
Realitas tetap
Realitas tercermin
Kaca pembesar
Kebenaran
Tidak ada bias
Prisma
Realitas cair
Konstruksi sosial realitas
Prisma yang membelokkan penglihatan
Menyampaiakn banyak realitas
Ilmu pengetahuan dan masyarakat pluralis 
Semiotik material
Realitas interaktif
Konstruksi realtias material/semiotik
Prisma yang membelokkan cahaya
Menciptakan realitas egalitarian
Ilmu pengetahuan dan masyarakat egalitarian
Dialog
Realitas interaktif
Konstruksi realitas semiotik/material
Dialog
Dialog di antara banyak realitas
Ilmu pengetahuan dan masyarakat egalitarian dan pluralis
         
Program ontologis dan epistemologis positif belakangan dipertanyakan secara luas. Di dalam fisika, apa yang disebut ‘fisika kuantum’ telah mengilustrasikan bahwa penelitian tentang fenomena fisik tidak semata-mata menjelaskan fenomena fisik tetapi mempengaruhi atau mengubah mereka. Di dalam ilmu pengetahuan sosial ini semua menjadi lebih jelas sehingga Marxisme adalah sebuah proyek ilmiah yang tidak hanya menjelaskan masyarakat-masyarakat industri abad kesembilan belas tetapi juga mengubah mereka, menjelaskan pembentukan sosialisme-negara di Eropa Timur dan negara kesejahteraan Barat (Bhaskar, 1979). Karena sifat-sifat politis inheren penelitian, saya menggarisbawahi bahwa buku ini terutama adalah tentang ‘metodologi’ dan bukan tentang ‘metode’. Pemahaman tentang metologi memberi perhatian pada fakta bahwa alat-alat dan pendekatan-pendekatan ini (metode) yang kita gunakan untuk memahami realitas, bukan semata-mata teknik-teknik netral yang berhubungan dengan pengetahuan atau ideologi (‘logos’) yang sering membuat ‘realitas’ tampak sangat berbeda. Tujuan saya bukanlah membantu pembaca untuk mengatasi ‘bias’ yang melekat dari semua pada penelitian tetapi menjadi lebih mengetahui tentang pandangan-pandangan dunia dan politik yang dilekatkan pada pendekatan-pendekatan penelitian kita, untuk memajukan penelitian yang lebih baik dan lebih egalitarian dan realits-realitas yang lebih baik dan lebih egalitarian.

Penelitian sebagai sebuah Prisma
Richardson (2000) telah mengemukakan bahwa bukan berbicara tentang triangulasi, kita akan mulai berbicara tentang penggabungan cara-cara berbeda untuk melakukan dan menulis penelitian di dalam pengertian ‘kristalisasi’. Kristal, demikian Richardson mengemukakan, adalah prisma. Oleh karena itu, kristal tidak hanya ‘mencerminkan eksternalitas’ tetapi juga ‘membelokkan eksternalitas di dalam diri mereka’ (2000: 934). Apa yang dijelaskan oleh metafora kristal ini adalah cara bagaimana realitas mengalami perubahan saat kita berganti sudut atau perspektif metodologis dengannya kita melihat realitas itu.
          Pemahaman bahwa prisma penelitian mengikuti ontologi dan epistemologi yang sangat berbeda dari ontologi dan epistemologi positivis. Prisma memandang realitas sebagai cair (ontologis) dan bukan memandang tugas penelitian sebagai secara akurat menjelaskan realitas ini, prisma menunjukkan bahwa penelitian menciptakan atau secara sosial membangun realitas-realitas yang ia teliti (epistemologi). Bukan memandang penelitian sebagai menjelaskan sebuah realitas dari luar, perspektif ini menentukan letak penelitian di dalam realtias, sebagai salah satu dari proses-proses yang ‘membuat’ realitas. Sering kali, penglihatan prismatis penelitian berkomitmen pada pada proyek-proyek yang menonjolkan banyak perspektif tentang realitas, atau banyak realitas, dengan tujuan khusus untuk menantang gagasan lama bahwa ada satu cara istimewa untuk melihat realitas, atau satu realitas. Para sarjana yang bekerja di dalam paradigma ini telah menjadi sangat tertarik pada penciptaan realitas-realitas ‘alternatif’ yang bertolak belakang dengan kebenaran-kebenaran ilmiah yang diterima. Bagian dari proyek ini telah memberi suara pada pengetahuan atau realitas yang telah dibungkam atau disubordinasikan. Para akademisi, yang mengikuti gagasan tentang penelitian sebagai sebuah prisma, mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan secara historis telah dan sering kali terus menjadi bidang tertutup dan istimewa masyarakat Barat, yang membuat definisi-definisi dan keputusan-keputusan dengan akibat-akibat berjangkauan luas untuk kehidupan kita, semuanya atas nama ‘objektivitas’ ilmiah tanpa bias (untuk melihat kritik umum, lihat Haraway, 1997: 24-31; juga Harding, 1991, 1993; Latour, 1993). Akibatnya, mereka telah mengembangkan cara-cara melakukan dan menulis karya penelitian yang akan lebih jujur terhadap cara-cara perempuan atau masyarakat non-Barat berhubungan dengan, dan berkomunikasi tentang, dunia (lihat juga Narayan dan George, 2001). Sebuah contoh tentang apakah ini berarti adalah sebuah puisi yang ditulis oleh Richardson (1992) tentang kisah hidup seoran gperempuan “Louisa May’, yang ia wawancarai sebagai bagian dari sebuah proyek tentang para ibu yang tidak dikawini. Melalui puisi, Richardson ingin menyampaikan kehidupan Louisa May di dalam pengertiannya sendiri dan di dalam ritme Selatannya, tanpa mereduksinya menjadi kategori-kategori statistik, sosiologis kelas, tingkat pendidikan dan seterusnya. Jadi, metodologi-metodologi dan strategi penulisan tidak dipandang sebagai sarana untuk mencerminkan realitas, barangkali ‘secara objektif’, tetapi sebagia sarana yang digunakan oleh sarjana menciptakan dan menyampaikan realitas-realitas berbeda (lihat Tabel 1.1).
          Kembali ke tiga pendekatan-pendekatan metodologis dan validitas yang telah saya jelaskan di atas, pemahaman bahwa sebuah prisma akan sesuai untuk menggabungkan validitas dialogis (menyampaikan realitas-realitas baru/yang diabaikan) dan validitas dekonstruktif (mengungkap realitas otoritatif sebelumnya, seeprti realtias antropologis atau sosiologis). Baik validitas dialogis dan dekonstruktif memberi perhatian pada cara di mana bahasa dan penelitian ‘menciptakan’ realitas-realitas berbeda, yang menyediakan peralatan untuk secara kritis menganalisis realtias-realitas arus utama dan juga untuk menciptakan realitas-realitas alternatif.
          Namun demikian, gagasan tentang prisma berada pada posisi yang tidak mudah berhubungan dengan validitas kontektualis. Jika kita berpikir tentang konteks di dalam pengertian sebagai contoh struktur global dan ekonomis ketidakadilan, kita bisa mengatakan bahwa kita bisa memandang struktur ekonomi itu dengan cara sangat berbeda dari perspektif-perspektif yang berbeda. Ada juga dimensi ‘nyata’ untuk struktur-struktur global yang adalah sama di mana  pun tempat; bahkan jika proses-proses ekonomis dan politis dialami dengan cara-cara yang barang kali sangat berbeda oleh orang-orang yang berbeda dan pada tempat-tempat yang berbeda, mereka masih mempengaruhi kita semua, yang mengikat realitas-realitas kita dan nasib kita menjadi satu. Gagasan tentang metodologi sebagai prisma yang menyampaikan realitas-realitas yang berbeda sering kali memandang tugasnya untuk memahami perbedaan atau memahami bahwa cara di mana kita memahami dunia adalah salah satu saja dari cara-cara yang mugnkin. Kita bisa katakan bahwa prisma bertujuan untuk memperbaiki pemahaman atau percakapan di antara realitas-realitas yang berbeda, yang memungkinkan kita sebagai contoh untuk merasa daya tarik empatik dengan dunia yang berbeda, seperti Louisa May. Mengembangkan jenis daya tarik atau pemahaman ini memiliki manfaat-manfaatnya yang tidak bisa ditolak. Namun demikian, tidak begitu sesuai menganalisis cara sebagai contoh bagaimana perkembangan-perkembangan ekonomi global mempengaruhi kita secara yang sama dan berbeda. Jadi, ini tidak sesuai untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif politis atau kebijakan yang akan menyatukan masyarakat untuk mengubah struktur ini.
          Kita bisa katakan bahwa jika kita akan menghilangkan 70 tahun dari menulis, penjelasan mengesankan Mead tentang para gadis Samoa yang masih muda adalah dekat dengan upaya prismatis untuk mengemukakan cara berbeda untuk berhubungan dengan dunia yang sebelumnya telah diabaikan (dan di sini kita harus ingat betapa sedikit akademisi perempuan dan perspektif yang berorientasi perempuan pada masa Mead). Namun demikian, bahkan jika kisah ini membuka jendela pada dunia yang berbeda, dunia ini tampaki mengambang di dalam isolasi yang tidak tergantung pada waktu.  Kita tidak banyak memiliki pemahaman tentang bagaimana kolonialisme, sebagai proses kultural, politis, ekonomis dan militer, membentuk Samoa. Oleh karena itu, kami sulit mendapatkan cara untuk membayangkan bagaimana realitas-realitas kita dan realitas-realitas mereka bisa saling dihubungkan satu sama lain, kecuali oleh jenis daya tarik manusia, dan bagaimana bisa jadi ada kemungkinan untuk membangun beberapa proyek kolektif atau politik di seputar proyek itu.

Perspektif Semiotik-material
Jika masalah yang berhubungan dengan penelitian positivis adalah bahwa peneltiian ini memandang hanya ada satu ‘kebenaran’ tentang realitas, masalah yang berhubungan dengan penelitian yang mengikuti pemahaman tentang ‘prisma’ adalah bahwa penelitian ini memahami bahwa ada banyak kebenaran tanpa akhir tentang realitas. Jika positivisme secara otokratis memberlakukan ‘kebenarannya’ pada pandangan-pandangan  lain, pemahaman tentang prisma dan banyak kebenaran yang tidak bisa dibandingkan mempersulit usaha untuk membayangkan politik yang akan mengubah realitas yang sama-sama dialami. Berusaha menemukan beberapa alasan yang mungkin di antara dua posisi ini, penting bersandar pada gagasan metodologis Donna Harawy tentang ‘pembelokan cahaya’. Pemahaman tentang pembelokan cahaya (difraction) sangat dekat dengan gagasan Richardson tentang prisma yang membelokkan realitas, sementara juga berangkat dari realitas itu dengan cara yang berarti. Pembelokan, tidak seperti pembiasan, merujuk pada konstruksi sosial atau simbolik tentang realitas –atau pada ‘penciptaan dunia dengan kata-kata’ (Austin, 1965)—tetapi pembelokan ini memahami penelitian sebagai sebuah kekuatan yang mengubah atau menciptakan realitas di dalam pengertian simbolis maupun material. Jadi, jika pembiasan merujuk pada proses di mana penglihatan berubah ketika penglihatan ini melewati sebuah prisma, pembelokan merujuk pada cara di mana cahaya baik sebagai kekuatan optim maupun material, diubah ketika melewati sebuah prisma (Clough, 2000: 162).
          Perbedaan di antara pemahaman tentang penelitian sebagai sebuah proses konstruksi realitas secara simbolis dan pemahaman tentang penelitian sebagai sebuah proses konstruksi realitas secara simbolis dan material bisa diilustrasikan oleh perselisihan sebelumnya di antara kedua tokok penting gerakan pos-strukturalis ini: Derrida dan Foucauld. Argumen Derrida adalah bahwa ‘rasionalitas’ Pencerahan abad kesembilan belas terbentuk atau melegitimasi diri sendiri melalui penemuan atau definisi ‘ilmiah’ baru tentang kegilaan atau ‘irasionalitas’. Berlawanan dengan hal ini, Foucault (1979b) mengemukakan bahwa ‘tindakan’ ini jauh dari murni masalah definisi linguistik, karena tindakan ini membutuhkan pemenjaraan mereka yang gila di dalam pengasingan, pencabugan dari mereka hak-hak mendasar dan mengutuk mereka sepanjang hayat di dalam pencabutan fisik, sosial dan emosional. Apa yang disoroti oleh kisah ini adalah bahwa penelitian dan ilmu pengetahuan tidak membuat dunia ‘tampak’ sebagai sebuah cara khusus, melainkan bahwa penelitian dan ilmu pengetahuan, seperti psikiatri, memunculkan dunia-dunia tertentu yang sangat konkret dan kadang-kadang sangat problematis. Kembali ke Samoa, kita bisa kemukakan bahwa penelitian antropologis tentang kepulauan ini telah menjadi bagian dari atau potongan dari politik kolonialis dan anti-kolonialis dan bukan semata-mata menjelaskan atau memberi makna pada kehidupan di kepulauan ini, penelitian itu telah menjadi bagian dari proses yang telah memunculkan perubahan kultural, politis dan ekonomis mendasar.
          Pelajaran-pelajaran yang harus diajarkan oleh pandangan semiotik-material tentang penelitian ada dua:
1.     Penelitian ini memberi perhatian pada batas-batas positivisme di dalam hal ia ini menyoroti bahwa penelitian tidak pernah menjadi objektif melainkan sebuah realitas yang mengubah kekuatan semiotik-material, yang selallu memiliki agenda tertentu atau bersifat politis.
2.     Penelitian ini memberi perhatian pada batas-batas pandangan konstruksionis sosial di dalam hal ia menyoroti fakta bahwa peenlitian ini tidak bisa menciptakan realitas-realitas sesuai dengan kemauan, atau hanya melalui penceirtaan sebuah kisah yang berbeda. Penelitian ini dimungkinkan dan dihambat oleh sejumlah proses kultural, politis, ekonomis dan ekologis yang saling berhubungan satu sama lain, dan kita harus memahami proses-proses ini jika kita ingin campur tangan di dalamnya.
          Jadi, cara di mana perspektif semiotik material memandang sifat-sifat realitas (ontologi) dan cara di mana kita bisa mengetahuinya (epistemologi) adalah berbeda dari perspektif positivis dan prismatik. Perspektif ini tidak memandang realitas sebagai sebuah entitas tetap yang harus dijelaskan (pandangan positivis) atau tanah liat simbolis yang mudah dibentuk menjadi realitas-realitas yang berbeda (pandangan prismatis), melainkan memahami hubungan di antara realitas dan penelitian sebagai realitas yang berinteraksi. Jadi, meskipun perspektif semiotik material ini memahami penelitian bukan untuk menjelaskan tetapi untuk ‘menciptakan’ dunia, perspektif ini menggarisbawahi bahwa realtias ada di luar penelitian dan bahwa realitas bisa ‘menyerang balik’, membuat beberapa tipe penelitian dan kesimpulan lebih mungkin daripada yang lain (Massumi, 1992). Ini berarti bahwa perspektif ini berangkat dari pemahaman prismatik tentang ‘menulis realitas-realitas yangberbeda’ dan mendukung pemahaman yang dibentuk ‘secara materialistik’ tentang ‘penciptaan’. Perspektif ini mengakui bahwa penelitian selalu dimungkinkan dan dibatasi oleh lingkungan sosial dan material yang ada dan harus memahami sebagai contoh struktur-struktur sosial atau dasar-dasar realitas ekologis, jika ingin mengubah realitas itu.
          Sama dengan perspektif ‘prismatik’, tujuan penelitian di dalam konfigurasi ini adalah menjadikan peneltiian mampu menembus berbagai perspektif yang lebih luas. Namun demikian, gagasan tentang prisma menafsirkan tujuan ini di dalam pengertian pluralistik untuk memungkinkan semua suara atau realitas didengar. Sedikit berbeda, Haraway (1997) dan Harding (1991, 1993, 2001) memandang tujuan penggabungan pandangan-pandangan yang berbeda secara lebih egalitarian sebagai sarana untuk mengembangkan sebuah struktur ilmiah, sosial dan ekonomi yang  yang lebih adil. Harawai, meminjam dari Harding, menyebut pendekatan metodologis ini ‘objektivitas kuat’. Objektivitas kuat merujuk pada komitmen untuk memperhitungkan perspektif-perspektif yang berbeda –khususnya perspektif-perspektif kelompok-kelompok yang tertekan, seperti pada gadis remaja Samoa, karena mereka cenderung kritis terhadap bentuk-bentuk pengetahuan yang ada—untuk menghasilkan pembahasan yang memiliki jangkauan lebih luas dan dengan demikian lebih ‘akurat’ tentang dunia. Haraway (1988) mengakui bahwa penelitian tidak pernah menjadi objektif tetapi selalu bersifat parsial atau ‘disituasikan’, namun demikian ini tidak memberi ijin untuk bersikap parikoal atau berpandangan sempit. Sebaliknya, fakta bahwa penelitian selalu bersifat poligis, menggarisbawahi tanggung jawab etis kita untuk menyadari ‘jenis-jenis realitas dan makhluk apa yang sedang kita ciptakan, dari keduanya dan untuk keduanya’ (Haraway, 1997: 58). Ini berarti bahwa kita harus berhati-hati tentang bagaimana penelitian khusus kita, baik pada bagian kecil atau bagian besarnya, menghasilkan realitas yang ia lihat, seeprti pemahaman-pemahaman tentang sesuatu yang ‘primitif’ dan berbahaya, yang telah memunculkan sejumlah wacana dan praktek, yang menyediakan dukungan untuk pembebasan seksual, turisme, banyak filem dan citra media dan juga kampanye-kampanya sterilisasi. Agar tidak menghasilkan penelitian yang sempit, penelitian rasis yang mengabadikan ketidakadilan, penelitian menurut Haraway dan Harding harus teliti dan menggunakan ‘metode sistematis’ yang memungkinkan usaha untuk memperhitungkan dan secara kritis mengevaluasi pandangan-pandangan yang berbeda tentang femomena-fenomena yang sedang diteliti. Pengumpulan dan penilaian perspektif secara sistematis ini, khususnya perspektif yang ditekan, membantu menghasilkan penelitian yang berjangkauan lebih luas atau secara ilmiah teliti dan lebih sadar akan implikasi-implikasi politis dan etis.
          Di dalam perspektif semiotik-material, tujuan penggabungan metodologi-metodologi yang berbeda, dan validitas-validitas mereka masing-masing, adalah menghasilkan pembahasan yang ‘lebih baik’ atau lebih inklusif tentang dunia, atau dunia-dunia yang lebih inklusif. Prinsip dialogis ini memungkinkan praktek penyesuaian perspektif kelompok-kelompok yang berbeda, khususnya perspektif kelompok-kelompok yang memiliki hak untuk menyampaikan suara mereka, seperti para gadis remaja Samoa atau mereka yang ‘gila’. Dekonstruksi membantu secara kritis menganalisis wacana-wacana yang telah lama mengendap tentang ‘yang primitif’ atau ‘yang secara mental sakit’ yang menyamar sebagai kebenaran tetapi mengungkapkan politik beberapa pandangan tertentu, yang dengan demikian membuka ruang untuk rentang pandangan yang lebih egalitarian. Kontekstualisme memungkinkan kita untuk memahami cara di mana pemahaman tentang seksualitas primitif dan gangguan mental berhubungan satu dengan yang lain dengan struktur sosial, politik dan ekonomi yang kompleks, seperti kolonialisme, eugenika (kajian perkembangan keturunan ras manusia dengan pengembangbiakan selektif terkontrol), atau kepentingan humanis liberal pada dan daya tarik perbedaan. Secara keseluruhan, menggabungkan metodologi-metodologi membantu memunculkan ‘objektivitas kuat’ yang menghasilkan pengetahuan yang lebih ‘akurat’ dan lebih egalitarian.

Dialog-dialog Metodologis
Meskipun banyak memiliki manfaat, perspektif semiotik-material membuat saya tidak nyaman di dalam satu hal. Pemahaman tentang pembelokan (difraction) dan juga pemahaman-pemahaman tentang pencerminan dan pembiasan) bersifat optis,  dan penglihatan sebagai indera, merupakan salah satu dari indera paling linear dan paling tidak interaktif. Logika visual posisi semiotik-material berkembang melalui tulisan-tulisan Harraway dan Harding yang menggunakan pandangan relatif tradisional tentang praktikalitas penelitian dan tulisan empiris. Jadi, mereka memahami ‘objektivitas kuat’ merujuk pada penelitian yang secara sistematis menggabungkan pandangan-pandangan yang berbeda, teramasuk pandangan-pandangan yang ditekan dan kemudian melakukan sintesa terhadap pandangan-pandangan itu menjadi sebuah pernyataan yang lebih inklusif yang secara politis berkomitmen pada penghapusan ketidakadilan dan pembuangan secara sosial. Posisi ini berbeda dari prinsip-prinsip penelitian tradisional di dalam hal ia mengambil posisi politis, tetapi komitmennya ‘yang telah direvisi’ pada ‘keilmiahan’ melekat pada gaya penelitian sintesis tradisional yang menerjemahkan perspektif-perspektif lain menjadi sebuah pandangan ilmiah, dengan cara yang mengikuti logika visual keterlepadan, kekonstanan dan kontrol.
          Menurut pandangan saya, kerangka kerja optis ini tidak berlaku adil terhadap cita-cita inklusivitas atau pada pemahaman tentang penelitian sebagai interaksi dengan realitas. Kerangka kerja optis ini menunjukkan bahwa gagasan tentang sifat-sifat semiotik-material penelitian adalah lemah, di mana pemahaman tentang prisma adalah kuat, maksudnya, prinsip dialogis mendengar teks dan nuansa dunia-dunia yang berbeda. Oleh karena itu, saya akan kembali apda gagasan Richardson (1997, 2000; juga Denzin, 1997a) bahwa metodologi dan cara penulisan bisa lebih baik atau lebih buruk sesuai dengan pola komunikasi kelompok-kelompok tertentu atau cara kerja bidang kehidupan tertentu. Jadi, untuk berlaku adil pada realitas-realitas yang dialami sebagai contoh realitas para gadis remaja Samoa, kita mungkin memerlukan sebuah strategi penelitian kolaboratif atau dialogis dan gaya penulisan yang lebih puitis. Dengan cara yang sama, sebuah analisis kontekstual dan penuisan realis bisa jadi tepat untuk penelitian tentang struktur-struktur budaya, politik dan ekonomi kolonialis. Ini tidak berarti bahwa kita harus mendelegasikan perempuan dan kisah-kisah kehidupan kepada bidang emosional, fiktif, pribadi dan poligik serta ekonomi kepada bidang kontekstual, realis, publik karena ini bisa mengonsolidasikan struktur-struktur ketidakadilan dan pemenjaraan (kepedulian pada perempuan, dan kontrol laki-laki). Strategi penelitian ini menggarisbawahi fakta bahwa cara-cara membaca dan menulis atau memahat realtias selalu bersifat politis dan bahwa jika kita tidak berlaku adil pada kekhususan mereka kita berisiko tidak peka terhadap semua pandangan sosial dan pandangan yang tertekan, termasuk nilai dan kepentingan yang ingin kita informasikan di dalam sebuah penelitian yang lebih inklusif, egalitarian dan pluralis.
          Cita-cita tentang sebuah pandangan ‘yang mencakup banyak hal’, yang melekat pada pemahaman tentang objektivitas kuat, memberi perhatian pada sesuatu yang umum, sementara pemahaman tentang prisma menggarisbawahi arti penting mengankap sesuatu yang bersifat khusus. Jika kita harus membayangkan sebuah posisi metodologis di antara sesuatu yang umum dan sesuatu yang khusus, paling baik adalah bergeser dari penglihatan ke suara atau percakapan. Penglihatan membagi-bagi realitas menjadi pandangan yang benar (positivisme), beberapa pandangan yang berbeda (prisma), atu pandangan khusus tapi mencakup banyak hal (pandangan semiotik-material). Metafora suara atau percakapan memandang realitas-realitas yang berbeda dengan cara yang lebih menyerap atau interaktif. Bukan mendukung penggabungan realitas-realitas yang berbeda menjadi satu pandangan, atau menangkap realitas-realitas terpisah, pemahaman tentang suara membayangkan kord-kord berbeda mereka, tetapi juga gema dan berinteraksi satu sama lain. Sebuah contoh adalah pemain solo terompet jaz, yang diterjemahkan menjadi atau dari suara-suara multikultural lain dan politik lingkungan tinggal perkotaan kontemporer (lihat Deleuze dan Guattari (1987: 530-50) tentang ritme untuk mendapatkan inspirasi). Pada masing-masing dari lingkungan ini, suara jaz memukul kord yang berbeda; sementara pemunculan kembali jaz juga saling mempengaruhi bidang artistik/pertujukan, lekat dan bersifat urban/politis. Dengan cara yang sama pengalaman-pengalaman yang berbeda yang telah dialami tentang seksualitas, wacana budaya, politik dan medis yang memungkinkannya dan juga rezim ilmiah, sosioekonomi dan poligik global sehingga ia membentuk sebuah bagian berbicara dengan nada yang berbeda dan tentang seksualitas yang berbeda; mereka juga menggemakan dan berinteraksi satu dengan yang lain. Jadi, pendekatan berbasis suara untuk penggabungan metodologi-metodologi, dan validitas-validitas mereka masing-masing, memungkinkan strategi penelitian multidimensional, yang menghormati kekhususan cara-cara penelitian/realitas yang berbeda dan menunjuk pada kesatuan-kesatuan dan perpotongan-perpotongan yang mengikat metodologi-metodologi dan realitas-realitas yang berbeda menjadi satu.
          Untuk mengilustrasikan seperti apakah pendekatan berbasis suara atau dialogis untuk menggabungkan metodologi-metodologi, saya akan membuat sketsa sebuah cara yang mungkin untuk menganalisis seksualitas para gadis remaja Samoa dari perspektif yang berbeda. Maksud saya bukanlah untuk mengatakan apakah yang telah dilakukan oleh Mead atau Freedman. Kita tidak bisa menilai sebagian dari penelitian yang dilakukan 70 atau 20 tahun lalu dengan standar atau agenda sosial kontemporer, bahkan jika beberapa dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka angkat masih terkait hingga saat ini. Saya hanya akan menjelaskan debat Mead-Freeman untuk menyediakan gagasan-gagasan heuristik untuk melakukan penelitian multidimensional, dengan semangat yang sedikit mirip dengan Frow dan Morris (1992) yang membuat sketsa tentang cara menliti sebuah pusat perbelanjangan tanpa sungguh-sungguh menelitinya.
          Jadi, jika kita harus mulai dengan menganalisis realitas yang dijalani oleh para gadis remaja Samoa, kita bisa menggunakan prinsip-prinsip pendekatan hermeneutis atau dialogis dan bertujuan untuk menengkap permasalahan dari perspektif mereka –bekerja sama dengan para gadis remaja ini dan secara kritis menyadari beban budaya seseorang yang bisa menghambat pemahaman mereka. Dengan cara yang sama, dan di dalam semangat kemampuan mengguankan banyak suara (polyvocality), kita bertujuan untuk memahami permasalahan seksualitas dari perspektif-perspektif anak-anak laki-laki dan perspektif para penduduk desa yang lebih tua, laki laki maupun perempuan. Jika kita harus meneliti wacana-wacana yang memungkinkan cara di mana kita dan mereka memahami seksualtias remaja ini kita bisa memulai dengan secara kritis menguji wacana psikologis-sosial Barat, yang ingin dipermasalahkan oleh Mead, yang membentuk seksualitas perempuan remaja sebagai ‘masalah’ dan sebagai sumber  penderitaan. Kita bisa membicarakan asal-usul dan politik wacana ini yang mengatur seksualitas perempuan dengan memahaminya sebagai sebuah ‘masalah’ dan kemudian bertujuan ‘memecahkan’ masalah itu dengan secara protektif menyarankan menahan nafsu atau mendukung kebebasan dari penindasan atau mendukung seksualitas ‘alami’. Kita kemudian melanjutkan peneltiian tentang bagaimana pertama-tama wacana ini berpotongan dengan pemahaman-pemahaman tentang seksualitas ‘primitif’, yang digunakan untuk mendukung perilaku seks ‘bebas’ atau cabul sebagai perilaku seks ‘alami’. Kedua, kita bisa meneliti bagaimana wacana tentang seksualitas ‘primitif’ membentuk bagian dari wacana kolonialis, eugenistik dan turistis yang mendefinisikan masyarakat dari Selatan sebagai lebih ‘seks’ atau ‘tubuh’ dariapda ‘pikiran’ dengan demikian mendefinisikan mereka sebagai lebih ‘mirip binatang’ daripada ‘manusia.’ Kita kemudian bisa melanjutkan pengujian tentang bagaimana wacana-wacana rasis tentang seksualitas ini membentuk bagian dan potongan dari rezim kolonialis dan poskolonialis dari peraturan militer, politis dan ekonomis yang telah mempengaruhi kehidupan dan masyarakat di tempat-tempat seperti Samoa secara mendasar. Namun demikian, kita juga bisa meneliti bagaimana pemahaman-pemahaman tentang seksualtias alami berapi-api membentuk bagian dari rezim pemikiran dan tindakan sosial, seperti liberalisme kulturalitas Mead, yang pada semua kontradiksi mereka, telah berjuang melawan kebijakan-kebijakan rasis. Akhirnya, kita bisa kembali pada lingkaran penuh dan meneliti bagaimana wacana-wacana global dan praktek-praktek yang berhubungan dengan seksualitas, dari misionaris Barat dan misi-misi ‘pengadapan’ lain untuk media global kontemporer saat ini, memandu pemahaman-pemahaman normatif tentang seksualitas di Samoa, sehingga bisa dipahami bahwa ketika mewawancarai para gadis remaja Samoa, kiga bisa mendengar gema budaya lokal, pemahaman-pemahaman sosial-psikologis tentang seksualitas remaja dan penafsiran-penafsiran Barat tentang seksualitas ‘primitif’.
          Sebuah penelitian seperti ini tidak akan menjawab pertanyaan positivis: Seperti apakah seksualtias perempuan di Samoa? Sebaliknya, penelitian ini akan meneliti politik yang dilekatkan apda berbagai wacana yang menghasilkan seksualitas remaja perempuan Samoa dan berbagai praktek dan agenda lain di dalam pengertian simbolis dan sangat material. Namun demikian, menangkap ‘politik’ yang dilekatkan pada pengalaman intim perempuan muda tentang seksualitas dan politik yang menopang wacana eugenik dan eksotis tentang seksualitas dan hubungan-hubungan mereka dengan kebijakan-kebijakan kolonialis dan kolonialis tandingan akan memerlukan metodologi-metodologi yang berbeda dan jenis-jenis tulisan yang berbeda pula, hingga pada titik di mana ‘hasil-hasil’ dari ketiga perspektif ini mungkin tampak berbicara tentang sebuah realitas yang berbeda. Menangkap kekhususan perspektif-perspektif ini sangatlah penting, jika kita ingin jujur untuk proyek yang memperbaiki penelitian dan poligik yang memperhitungkan dan berlaku adil pada perspektif-perspektif yang berbeda tentang dunia.
          Menyatukan perspektif-perspektif politis dan metodologis yang berbeda menjadi sebuah dialog satu dengan yang lain menanamkan penelitian multidimensional dan politik yang mampu memberi perhatian pada kompleksitas fenomena sosial, seperti seksualitas masyarakat Samoa. Strategi penelitian ini tidak berusaha untuk sampai pada pandangan yang tercerahkan (triangulasi) atau mengakui bahwa ada banyak pandangan (prisma). Penelitian multiperspektif bertujuan untuk mempertahankan perspektif-perspektif yang berbeda tetap pada ketegangan kreatif satu dengan yang lain. Sebagai contoh, jika sebagai bagian dari meneliti seksualitas masyarakat Samoa, kita harus menguji implikasi-implikasi sosial karya Mead dari dari sudut pandang dialogis atau multiperspektif, penelitian ini tidak akan tampak ‘baik’ atau ‘buruk’ tetapi rumit. Di sisi lain, kia memeprtahankan masyarakat Samoa dan kehidupan mereka berhadapan dari aturan-aturanmoral universal Barat dan pemahaman-pemahaman tentang bentuk-bentuk yang secara intrinsik superior dan inferior dari sifat-sifat manusia. Di sisi lain, Mead membangun eksotisme masyarakat Samoa, yang berakir pada penegasan trope Barat tentang ‘keprimitivan’ alami dan sensual universal. Dari sudut pandang dialogis, humanisme liberal Mead secara epistemologis atau politis tidak ‘benar’ atau ‘salah’ tetapi keduanya benar dan salah. Jenis dialogisme ini menanamkan penelitian dan politik yang bisa memahami multidimensionalitas problematika sosial dan bukan bersandar pada penilaian-penilaian satu dimensi.
          Mengeksplorasi perspektif-perspektif yang berbeda dan menggunakan metodologi-metodologi yang berbeda cara yang telah saya gunakan bisa dijalankan, tetapi cara ini adalah pekerjaan yang besar. Maksud saya tidaklah mengemukakan bahwa setiap proyek penelitian harus mengumpulkan berbagai perspektif. Namun demikian, apa yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa bahkan jika kita meneliti aspek tunggal dari sesuatu seperti seksualitas perempuan remaja Samoa, bermanfaat mengingat bahwa seksualitas ini bisa didekati dari beberapa sudut dan merupakan bagian dari sebuah teka-teki yang lebih besar. Kita mungkin ingin menangkap seksualitas yang dialami oleh perempuan Samoa melalui wawancara kisah hidup. Kita harus mengingat bahwa pembahasnanya bisa berhubungan dengan semua wacana-wacana lokal dan global tentang seksualitas perempuan dan primitif dan kritik tajam dan mendukung wacana-wacana ini dan agenda-agenda politis yang berbicara melalui wacana-wacana itu. Jadi, kisah hidup adalah: (1) sebuah ekspresi realitas yang telah dialami, yang harus dipahami secara dialogis; (2) ditembus dengan wacana-wacana sosial yang bisa diuraikan melalui dekonstruksi; dan (3) mengartikulasikan politik lokal, nasional dan transnasional yang luas, yang harus dianalisis secara kontekstual. Oleh karena itu, bahkan jika kita meneliti satu bidang khusus, seperti realitas yang telah dialami, bermanfaat untuk menyadari bahwa penelitian ini meliputi banyak dimensi. Ini adalah apa yang telah saya temukan ketika mewawancarai para perempuan penderita anoreksia, yang kisah-kisahnya diungkap dengan wacana-wacana yang mendefinisikan anoreksia dan semua agenda sosial dan politis yang bernuansa jender, transnasional dan nasional kontradiktif. Semakin banyak saya meneliti kontroversi Mead-Freeman, semakin saya sadar akan komoditas-komoditas di antara wacana-wacana tentang anoreksia dan tentang seksualitas remaja di Samoa. Pada kedua kasus ini ‘sifat-sifat yang sebenarnya’ dari tubuh dan diri perempuan menjadi ladang pertempuran dan teriakan pertempuran untuk sejumlah perjuangan personal dan politis yang kompleks. Jadi, menggabungkan metodologi-metodologi untuk meneliti bagaimana pengalaman intim kita tentang tubuh dan diri kita dihubungkan dengan rezim global kekuasaan yang mengikat kita dengan masyarakat jauh, bisa memperbaiki politik translokal yang akan mempertanyakan kekuatan-kekuatan, wacana-wacana yang menekan kita, sementara siap mempertimbangkan perbedaan-perbedaan mendasar opini dan kepentingan dan siap menegosiasikan mereka. Singkatnya, penggabungan metodologi-metodologi ini berkomitmen pada politik egalitarian yang akan mengakui bahwa bagian dari proyek egalitarian sampai pada fakta bahwa ‘keadilan’ bisa tampak berbeda dari perspektif-perspektif yang berbeda.

Kesimpulan
Proyek metodologis penelitian-penelitian budaya disusun di seputar ketertarikan tiga dimensi pada pengalaman, wacana atau teks dan konteks sosial. Tantangan proyek ini adalah bahwa tiga bidang fokus ini merujuk pada pendekatan-pendekatan metodologis yang berbeda. Memahami pengalaman yang telah dialami menuntut pendekatan hermeneutis atau fenomenologis yang bertujuan untuk memahami realitas-realitas yang telah dialami. Ketertarikan pada wacana membutuhkan analisis pos-strukturalis gaya bahasa dan pola yang membentuk pemahaman kita tentang lingkungan sosial, budaya dan penelitian. Namun demikian, menganalisis konteks sosial dan politis selalu dihubungkan dengan beberapa bentuk realisme yang ingin memahami bagaimana masyarakat dan strukturnya ‘sungguh-sungguh’ bekerja. Ketiga pendekatan metodologis ini bisa melengkapi dan memperkaya satu sama lain, tetapi mereka juga memasuki kontradiksi. Kita tidak bisa dengan mudah menggabungkan penelitian hermeneutis untuk memahami realitas-realitas yang telah dialami dan ketertarikan pos-strukturalis di dalam secara kritis menganalisis wacana-wacana yang memungkinkan realitas-realitas itu. Pada saat itu, ketertarikan pendekatan hermeneutis dan pos-strukturalis pada banyak realitas atau sifat-sifat poligis dari semua realitas tidak sesuai dengan proyek realis untuk memahami realitas sosial. Lebih jauh, tantangan-tantangan filosofis dan praktis baru yang dimunculkan oleh etnografi, pos-strukturalisme dan globalisasi –yang pada saat yang sama menuntut penelitian menjadi lebih jujur pada realitas-realitas berbeda dan bisa memahami realitas global yang semakin penting—telah menarik penelitian menjauh dan juga menggarisbawahi kebutuhan akan dialog di antara  posisi-posisi ilmiah dan politis.
          Di dalam situasi ini, pemahaman lama tentang ‘validitas’ sebagai kebenaran tampak tidak lagi layak. Sebaliknya, telah dikemukakan bahwa sebagai pengganti validitas, kita mulai berbicara tentang validitas. Berhadapan dengan latar belakang penelitian-penelitian kultural ketertarikan pada dimensi-dimensi yang dijalani, tidak berhubungan satu sama lain dan sosial/global dari realitas dan juga pembahasan-pembahasan metodologis belakangan, kita bisa mengemukakan tiga validitas yang berbeda. Pertama, validitas dialogis mengukur penelitian di dalam pengertian seberapa bagus ia tetap jujur pada dunia-dunia kehidupan masyarakat yang sedang diteliti. Kedua, validitas dekonstruktif mengevaluasi nilai penelitian di dalam pengertian seberapa teliti ia memahami wacana-wacana sosial dan gaya bahasa yang memungkinkan pemahaman kita tentang realitas dan membingkai penelitian kita. Ketiga, validitas kontekstualis mengukur validitas penelitian di dalam pengertian seberapa bagus ia berhasil menentukan letak fenomena dan juga penelitian itu sendiri di dalam konteks sosial, politis dan global yang lebih luas.
          Secara keseluruhan, validitas-validitas ini menyoroti kriteria berbeda untuk penelitian yang baik atau valid. Pada saat yang sama, mereka mengajukan pertanyaan apakah  dan bagaimana validitas-validitas yang berbeda ini, dan pendekatan-pendekatan metodologis mereka masing-masing, bisa disatukan. Cara tradisional untuk menggabungkan metodologi-metodologi di dalam penelitian sosial dan kultural adalah triangulasi, yang merujuk pada penggunaan metode-metode berbeda guna mendapatkan gagasan yang lebih akurat tentang realitas sosial. Namun demikian, masalah yang berhubungan dengan penggunaan heuristika triangulasi yang harus menyatukan tiga validitas dan metodologi-metodologi adalah bahwa mereka tidak selalu berhubungan dengan penglihatan akurat tentang realitas ketika mereka mengeksplorasi fase-fase berbeda realitas atau realitas-realitas yang berbeda. Richardson (2000) telah mengemukakan bahwa bukan berbicara tentang triangulasi kita harus berbicara tentang prisma, yang menyoroti fakta bahwa realitas mengalami perubahan ketika kita berganti perspektif metodologis dari mana kita melihat realitas itu. Pemahaman tentang prisma tidak membenarkan perbedaan-perbedaan penting di antara cara-cara berbeda untuk mendekati realitas, tetapi masalah yang berhubungan dengannya adalah bahwa prisma ini melampaui fakta bahwa, bahkan jika kita bisa mendekati dunia sosial dan global secara berbeda, prisma ini juga menyatukan nasib kita. Jadi, berdasarkan pada gagasan Richardson tentang prisma dan pemahaman Donna Haraway tentang konstruksi semiotik material di dalam pengertian menciptakan dialog-dialog di antara pendekatan-pendekatan itu. Cara dialogis untuk melakukan penelitian adalah memberi perhatian pada aspek-aspek yang dijalani, kultural dan juga sosial serta material dari realitas kita, dan mengakui bahwa bisa jadi ada perbedaan di antara mereka. Ini bertujuan untuk menanamkan cara-cara analisis sosial dan kultural yang akan sensitif terhadap realitas-realitas yang berbeda dan mampu membangun jembatan di antara mereka. Cara penelitian ini diharapkan juga kaan mendorong politik yang akan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan dan pandangan yang berbeda untuk mulai membangunsebuah dunia bersama yang lebih egalitarian dan pluralis.

Latihan 1
·        Desainlah sebuah strategi penelitian untuk meneliti sebuah topik yang telah Anda pilih. Pikirkan bagaimana Anda akan meneliti topik Anda, menggunakan pedoman berikut: (1) validitas dialogis, (2) validitas dekonstruktif, dan (3) validitas kontekstual?
·        Diskusikan bagaimana tiga pendekatan ini bisa bertolak belakang atau saling melengkapi satu sama lain.
·        Apakah Anda berpikir bahwa salah satu dari pendekatan-pendekatan penelitian lebih terkait dengan usaha untuk memahami topik Anda? Mengapa?
·        Akankah jika Anda memusatkan perhatian pada satu perspektif, seperti pengalaman yang telah dialami, Anda akan melakukan sesuatu yang paling baik? Jenis strategi penelitian atau metoda apa yang akan Anda guankan untuk mengeksplorasi topik Anda dari perspektif yang telah dipilih? Bagaimana Anda bisa memperkaya perspektif metodologis yang telah Anda pilih dengan menganalisis bagaimana pendekatan-pendekatan lain digunakan (sebagai contoh, dengan menganalisis bagaimana wacana-wacana itu menghubungkan pengalaman-pengalaman)?
·        Atau, akankah lahak meneliti dimensi-dimensi yang dijalani, tidak berhubungan satu sama lain dan bersifat sosial/global dari fenomena yang sedang Anda teliti? Bagaimana Anda bisa meneliti ketiga dimensi ini dengan cara yang bisa dikelola? Bagaimana Anda bisa menyatukan analisis yang berbeda tanpa (1) membatasi kausalitas (‘konteks sosial menentukan kehidupan yang dialami’) atau (2) sebuah situasi di mana perspektif-perspektif yang berbeda berbicara satu dengan yang lain (‘pengalaman-pengalaman yang telah dialami bercerita tentang sedikit orang dan konteks sosial bercerita tentang sejarah besar, dan mereka berbicara tentang realitas-realitas yang berbeda’)?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar