Pengaruh Tontonan Eksotis dalam
Imaji Budaya
Sebuah Kajian Pasca Kolonial
Oleh:
Alexander Koko Siswijayanto
Pengantar
Lahir dan besar di tanah Jawa adalah suatu keberuntungan.
Saya mampu menikmati keindahan alam yang tak bisa digantikan oleh harta apapun
juga. Setiap sore, di lereng Gunung Ungaran, masih terekam warna emas matahari
yang malu-malu tenggelam di ufuk barat. Redupnya sang mentari dibarengi suasana
mistis setiap kali saya duduk di salah satu bangunan Candi Gedong Songo. Hamparan
Danau Rawa Pening menambah kekaguman seseorang yang sedang menikmati suasana di
sana. Konon, Candi Gedong Songo itu didirikan pada abad ke-9 pada masa Wangsa
Syailendra menguasi tanah Jawa ini. Dan kembali ditemukan oleh Raffles, Jendral
terkenal dari Inggris yang menilik Jawa hanya selama lima tahun. Demikianlah
seorang Jawa menikmati eksotisme alam, eksotistem peninggalan nenek moyang, dan
sekaligus menikmati imaji sejarah masa lalu.
Candi Sari |
Pengalaman menikmati eksotisme alam dan keindahan
bangunan masa lalu ternyata tidak berhenti. Di Yogyakarta dan sekitarnya,
banyak sekali candi-candi yang berserakan menjadi bangunan yang mistis tetapi
sekaligus terlalu touris. Orang
datang ke candi dengan berbagai intensi, masih ada yang berdoa di sana, masih
ada yang menikmati sebagai kekaguman masa lalu, tetapi banyak yang hanya ingin
sekadar ber-rekreasi.
Eksotisme
mungkin memang dicari sekaligus diburu. Perburuan eksotisme ini bukan hanya
saat ini, tetapi sejak puluhan tahun yang lalu. Sejak Kolonial Belanda
menjejakkan kaki di tanah Jawa ini. Kesadaran tentang perburuan eksotisme tanah
jajahan semakin mendorong untuk menelusurinya lebih dalamketika saya membaca
salah satu tulisan Marieke Bloembergen yang berjudul Colonial Spectacles.[1]Ternyata ada
replika Candi Sari dibangun di Paris. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ada
kisah sejarah yang terlalu diperdengarkan di Jawa ini. Mentalitas perburuan
eksotisme tidak hanya terjadi saat ini oleh orang orang Jawa. Mentalitas
perburuan eksotisme sudah terjadi jauh-jauh tahun sebelum diri ini ada. Pada
jaman kolonial, mentalitas perburuan eksotisme telah ada dan mungkin setiap
orang yang seperti saya ini hanyalah mewarisinya.
Bukan hanya
candi, tetapi juga tari, patung, religi, dan kehidupan masyarakat di nusantara
ini bisa menjadi objek buruan dari kolonial, karena memang eksotis di mata
mereka. Tetapi, yang menarik adalah pertanyaan-pertanyaan: benarkah kaum
kolonial Belanda yang mengangkat budaya-budaya di tanah air ini? Bagaimana
relasi imaji eksotisme kolonial bertemu dengan realita budaya di nusantara? Dan
tentu pertanyaan yang bagi saya lebih rumit tetapi menarik adalah apakah relasi
antara mentalitas kolonial dan mentalitas kepribumian dalam budaya hanya satu
arah, dari yang kolonial ke yang pribumi? Sketsa ini, tentu tidak akan lengkap
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, sketsa ini ingin menguraikan
apa yang terjadi ketika eksotisme budaya menjadi tontonan dan bagaimana kini
kita mencoba untuk merefleksikannya.
Orientalisme dan
Perdebatannya
Adalah sesuatu
yang tidak mungkin melupakan seorang ilmuwan Palestina dalam pembahasan
mengenai imaji eksotisme kolonial. Tak salah lagi, dia adalah Edward Said. Dalam
bukunya Orientalism, Edward Said
merekonstruksi ulang istilah Orientalisme. Ada tiga definisi yang ia sebutkan
dalam pengantar bukunya. Pertama,
Orientalisme adalah suatu cara untuk memberi nama bagi dunia timur, berdasarkan
tempat-tempat khusus di timur menurut pengalaman manusia Barat Eropa.[2] Di sini,
dipahami bahwa orientalisme dilihat oleh para akademisi barat yang melihat
dunia timur. Kedua, Orientalisme
adalah suatu gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan ontologi dan
epistemologi antara ‘timur’ dan (hampir selalu) ‘barat’.[3] Istilah ini
khusus dipakai oleh para akademisi di level universitet. Ketiga, Orientalisme dipahami sebagai sesuatu
yang didefinisikan secara historis dan material dari pada kedua arti yang telah
diterangkan sebelumnya. Dengan mengambil akhir abad kedelapan belas sebagai
suatu batasan titik tolak yang nyata, Orientalisme dapat dibahas dan dianalisa
sebagai lembaga hukumyang berurusan dengan dunia Timur – berurusan dengannya
berarti juga membuat istilah-istilah tentangnya, mempunyai kuasa atas cara
pandangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya, menempatinya, mengaturnya.
Singkatnya, Orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata kembali
dan menguasai dunia timur.[4]Tujuan
dari penulisan buku orientalisme adalah untuk menunjukkan bahwa budaya Eropa
mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan menempatkan diri berhadapan dengan
dunia Timur sebagai semacam pelindung.[5] Hal ini dapat
dipahami bahwa buku ini ingin menunjukkan bahwa upaya “barat” dalam menjelaskan
“timur” adalah upaya untuk menerangkan diri mereka sendiri.
Orientalisme Said memang selalu diperbincangkan. Mungkin,
karena istilah itu adalah suatu polemik yang ditembakkan ketika
kekuasaan-kekuasaan penulis-penulis besar mulai dibongkar: sebuah serangan
terhadap sejumlah besar karya para ilmuwan, pemikir, dan penulis di Eropa.
Mereka ini adalah bagian dari usaha kolonialisme, begitu istilah dari Said.
Mereka menghadapi hamparan yang hidup danada di luar lingkup mereka. Tetapi,
karya-karya itu berusaha mengkerdilkan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka
mencoba membentuk sebuah sejarah sendiri, yaitu sejarah kemenangan kolonial.
Upaya ini kemudian dibungkus dengan istilah “Timur” dan “Barat”.[6]
Ada tiga catatan yang perlu untuk disadari bagi orang
yang merekonstruksi kembali Orientalisme a’la Said ini: Pertama-tama, perlu dipahami bahwa
sangatlah salah jika menarik kesimpulan bahwa dunia timur pada dasarnya adalah
sebuah ide, atau suatu ciptaan tanpa bertautan dengan realita. Pada tahap kedua adalah bahwa ide-ide,
budaya-budaya, sejarah-sejarah tak mungkin mampu dengan jeli ditangkap atau
dipelajari tanpa kekuatan, atau lebih tepatnya pembentukan dari kekuasaan itu.
Hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuasaan, dominasi, hubungan
berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Dan yang ketiga, seseorang tak bisa menganggap bahwa
struktur orientalisme tidak lebih daripada struktur kebohongan atau mitos-mitos
belaka yang, seandainya kebenaran tentangnya diungkapkan, dengan mudah akan
lenyap tertiup angin. Ada keyakinan bahwa orientalisme ini khususnya lebih
bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan Eropa atas dunia Timur daripada
sebagai wacana murni mengenai Timur (sebagaimana yang didakwakannya dalam
bentuk akademis dan ilmiah).[7]
Dengan ungkapan yang lebih sederhana dapat dikatakan
begini: Said menunjukkan bahwa “Eropa” memang butuh satu sosok yang berbeda
agar ia bisa memperjelas identitasnya sendiri. Maka “Eropa” membentuk sebuah
Sejarah dan peta yang secara esensial lain dan berlawanan. Orientalisme Said
adalah sebuah kritik tetapi sekaligus sebuah polemik. Orientalisme terlalu
bersemangat dalam “menggonggong” dan seringkali “gonggongannya” menunjuk ke
arah yang salah dan meleset. Ia lupa bahwa hubungan antara yang terjadi antara
barat dan timur tidak hanya hubungan kekuasaan semata yang satu arah. Ia tidak
memberi kemungkinan sesuatu yang berbeda, bahwa di Eropa, “Timur” tak selamanya
dilukiskan sebagai sesuatu yang harus diperadabkan. Tak selamanya yang eksotis
itu harus diubah.
Kritik Said tentu mengagumkan dan menjadi acuan banyak
ilmuwan sekaligus peringatan untuk selalu berhati-hati dalam melihat barat dan
timur. Bloembergen melihat adanya celah bukan dalam ide atau gagasan
orientalisme tetapi dari sisi metodenya yang ahistoris.[8] Dia
mengungkapkan bahwa teori-teori Said menciptakan permasalahan dalam kajian
sejarah. Dua alasan yang saling berkaitan, dia sebutkan: pertama, Said tak lagi
memberi ruang perubahan dalam imaji mengenai yang lain (other) yang sebenarnya berasal dari tempat, waktu dan individu
khusus. Kedua, Said terlalu cepat meletakkan yang lain dalam kerangka relasi
hubungan kekuasaan (hegemony).
Padahal imaji barat atas dunia yang dikoloni tidak selalu dipandang dari sisi
kekuasaan tetapi juga karena apa yang mereka perlihatkan berkaitan dengan cara
pandang yang berlaku saat itu. Imaji sederhana atas yang lain pada abad
sembilan belas memunculkan pertanyaan mengenai kealamian dan keaslian atas umat
manusia, memunculkan pula pertanyaan berkaitan dengan relasi dan perbedaan
antara masyarakat, ras, dan kelas sosial.[9]
Berawal dari gagasan Said dan kritik dari Bloembergen
inilah kemudian sejarah mengenai perburuan eksotisme akan diperlihatkan dalam
kurun waktu sejarah sebagai suatu tontonan di Eropa. Bloembergen sadar bahwa
untuk menelusuri relasi imaji eksotis begitu kompleks. Dia memberikan catatan
awal yang penting untuk dipahami. Pertama,
ada perubahan gagasan mengenai peradaban manusia di Eropa. Jika demikian imaji
eksotis yang akan kita lihat bisa juga mempunyai perubahan dalam cara
pandangnya. Kedua, terdapat relasi
antara pemerintah kolonial dan budaya atau peradaban populasi pribumi di tanah
koloni. Hal ini kemudian memunculkan kebijakan yang diperdebatkan mengenai
asimilasi dan asosiasi.[10] Gagasan ini
sangat erat tentunya dengan istilah “Budaya Eropa.”Ketiga. Ada relasi timbal balik antara imaji kolonial dan pemahaman
orang Belanda atas dirinya sendiri. Ini menarik karena relasi yang dibangun
adalah timbal balik. Bagaimana orang Belanda memandang budaya nusantara
mempengaruhi bagaimana orang Belanda memahami diri sendiri.[11]
Dari gagasan-gagasan di atas, kita akan memasuki ranah
yang lebih konkret. Sebuah ranah sejarah dimana relasi imaji eksotis dari
kolonial bertemu dengan realita eksotisme nusantara dan kemudian dijadikan
tontonan di Eropa. Bagaimana hal ini kait mengkait secara lebih nyata akan
diperlihatkan di bawah ini.
Imaji Eksotis dalam Tontonan Kolonial
“Sebuah tontonan yang
luar biasa, meliputi arsitektur yang mengagumkan, kehidupan eksotis dengan
aneka warna pemandangan alam, seni, budaya, dan kerajinan, serta flora dan
fauna dari seluruh penjuru dunia ... Segala macam pesona seperti pesta malam
dengan lampu terang-benderang, festival menunggang kuda, parade militer dan
kelautan penuh dengan pertunjukkan teater, konser, film, kereta keliling,
restoran, kare, kabaret, tempat minum teh, tempat menari, dan lain sebagainya,
serta tentu sajakebun binatang modern. Pameran yang tiada bandingnya secara
ekonomi, intelektual, dan sosial: seubah pameran yang akan menampilkan gambaran
tentang dunia yang membangkitkan rasa hormat dan, pada saat yang sama,
menyajikan panorama seluruh sejarah kolonialisme kita.”[12]
Kutipan di atas diambil dari
salah satu iklan Surat Kabar “L’Echo de Paris” pada 6 April 1931. Iklan itu
sekaligus adalah pengumuman bahwa saat pameran pengunjung akan memasuki
petualangan indah di seluruh dunia. Poster-poster dan iklan-iklan pameran
kolonial pada akhir abad sembilan belas dan awal paroh pertama abad dua puluh
ingin menunjukkan suatu wisata/petualangan keliling dunia dalam sehari.
Tontonan kolonial inilah yang terus menerus membangunkan imaji eksotis
kolonial. Tontonan itu tidak hanya berlangsung sekali tetapi berkali-kali dalam
rentang waktu antara tahun 1880an hingga tahun 1930an. Bloembergen
menelusuri lima tontonan kolonial dari
tahun 1883 hingga tahun 1931. Tetapi, saya hanya memperlihatkan empat
diantaranya sebagai tontonan yang penting untuk memperlihatkan perubahan imaji
eksotisme. Secara sangat ringkas kita akan melihatnya satu persatu.
Pada 1 Mei
1883 di Amsterdam, tontonan kolonial internasional yang dibarengi dengan
tontonan hasil perdagangan kolonial dibuka disuatu tempat dekat dengan
Rijksmuseum. Selama lebih dari enam bulan, tempat itu, yang sekarang menjadi
Museumplein, diubah menjadi pameran oriental. Pameran ini memberikan ilusi
memasuki dunia lain yang kontras antara yang kolonial dan modern pada saat
bersamaan.[13]
Di sana ditampilkan tipe-tipe rumah-rumah penduduk asli yang dibuat dari bambu
dan kayu. Bukan hanya itu, lukisan-lukisanpun ditampilkan. Boneka-boneka dari
Suku Dayak antara pria dan wanita dijadikan replika kenyataan orang pribumi
sebenarnya. Benda-benda antik dipajang, seperti: kain dari Hindia Belanda,
logam-logam penemuan dari jaman kerajaan, pusaka-pusaka, dll. Lain dari itu,
ada pula replika dari kemajuan yang dibuat oleh Kolonial Belanda terhadap
Hindia Belanda. Di sana ada replika rel dan stasiun kereta api. Dibangun pula
patung Jan Pieterszoon Coen sebagai perintis Kerajaan Kolonial Belanda. Ada pula
monumen/tugu peringatan atas Perang Aceh.[14] Bloembergen
menuliskan bahwa tontonan pada tahun ini mempunyai konsekuensi semakin
menguatnya ikatan antara pusat dan daerah.[15] Artinya,
ikatan antara Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda dirasakan oleh orang-orang
Belanda baik di Kerajaan Belanda maupun di daerah koloni menjadi semakin kuat.
Ada suatu relasi yang timbal balik. Kebanggaan orang Belanda menjadi semakin
besar.
Jika pada
tahun 1883, pameran kolonial itu diadakan di Amsterdam dan memiliki efek intern
dalam diri orang-orang Belanda sendiri. Pada tahun 1889 diadakan pula pameran
kolonial di Paris. Di Paris ini, Kolonial Belanda memamerkan replika
kampung-kampung Sumatera dan Jawa (village
javanais). Bukan hanya rumah-rumah yang dipamerkan di sana, tetapi juga
kesenian, musik dan tari.[16] Arti penting
dari pameran ini menunjukkan bahwa sistem penjajahan belanda mementingkan nilai
pendidikan yang dibarengi penelusuran dalam ranah antropologi dan didukung
dengan administrasi kolonial yang baik. Orang-orang Belanda menganggap bahwa
kampung adalah kunci bagi kehidupan orang-orang Jawa dan Sumatera.
Tahun 1900,
kembali tontonan kolonial diadakan di Paris. Belanda memamerkan rekonstruksi
Candi Sari, sebuah Candi Budha yang dibangun abad ke-9 di Jawa Tengah. Di
dalamnya ada fragment Borobudur, Candi Sewu dan juga berbagai candi yang ada di
Jawa. Candi Sari adalah piece de
resistance dari Kolonial Belanda, dan sekali lagi menarik perhatian utama,
seperti halnya kampung-kampung Jawa yang dipamerkan tahun 1889.[17]Pada pameran
kali ini yang ingin dibanggakan oleh orang Belanda adalah penemuan-penemuan
arkeologi di tanah jajahan mereka. Pada pameran ini sepertinya ada kompetisi
kajian arkeologi. Belanda ingin menunjukan, sekali lagi, superioritasannya
dalam hal arkeologi. Yang menarik diperlihatkan oleh Bloembergen bahwa
rekonstruksi Candi Sari di paris ini tidak hanya dokumentasi perubahan perilaku
negara kolonial dan individu-individu pribadi berhadapan dengan warisan budaya
Hindu-Jawa, tetapi ini juga dokumen atas elemen-elemen yang berubah atas
perilaku ini. Dua hal dipandang sebagai suatu penghormatan. Di satu sisi,
adanya penghormatan terhadap nilai artistik dan historis secara intrinsik
terhadap sesuatu yang antik. Di sisi yang lain, pentingnya warisan budaya bagi
Belanda dan bagi koloninya.[18]
Mulai
6 April hingga 6 November 1931 di Bois de
Vincennes, sebelah Timur Paris, diadakan sebuah pertunjukan besar-besaran
yang diberi judul: Exposition Coloniale
Internationale. Mungkin, inilah pameran kolonial yang terbesar di Eropa.
Bloembergen mengutip tanggapan pada saat itu dengan jelas:
“Estetika timur dan
teknologi barat menyatu untuk menunjukkan kepada kita suatu negeri dongeng yang
sedemikian kaya, beragam, dan begitu halus
yang sebenarnya tak pernah secuilpun mampir
di pikiran kita.[19]
Kali ini, Belanda benar-benar
memperlihatkan kekuatan manajerial dan juga kekuatan eksplorasi mereka atas
negara terjajah. Bangunan Belanda di Paris pada tahun ini memperlihatkan
sintesis yang sungguh kreatif. Seluruh konstruksi dibangun untuk melambangkan
konsep gabungan antara kebudayan Timur dan Barat, bangunan ini penuh dengan
hiasan dan sarat daya cipta.[20] Bangunan itu
dibuka dengan gerbang a’la Pura Dalem,
Sukasada, Bali. Di dalamnya ada gaya-gaya arsitektural Batak, Minangkabau.
Tetapi ada juga patung-patung dari candi-candi yang ada di Jawa. Tetapi, yang
menarik para pengunjung adalah perpaduan kreatif dengan gaya arsitektural
Belanda sendiri yang ingin menciptakan gabungan antara yang otentik dan yang
modern.[21]
Itulah secara
amat sangat ringkas gambaran bagaimana orang Belanda melihat eksotisme budaya
nusantara dan membawanya dalam Tontonan Kolonial Dunia. Tujuan utama Pameran
Kolonial tersebut tentu adalah untuk mengungkapkan dan merayakan kekuatan
politik dan kebudayaan Eropa yang mungkin telah menyentuh hingga ke sudut
tergelap dan paling terbelakang bumi ini. Pameran itu berfungsi secara lebih
eksplisit sebagai “alat propaganda pemerintah” daripada Pameran Dunia atau
Pameran Internasional sebelumnya, seperti Pameran Industri yang mengagumkan di
Crystal Palace, London pada 1851. Pameran seperti itu juga sangat menarik untuk
memperlihatkan keberhasilan nasional secara berkala dan dengan tampilan yang
mewah.[22]Dengan kata
lain, tujuan Festival Kolonial ini adalah untuk memberikan kesadaran kepada
khalayak akan kekuatan bangsa-bangsa penjajah dalam mendominasi penduduk asli,
yang secara ironis merupakan peragaan nyata dari bentuk-bentuk kekuatan tak
terkendali yang terpahat dalam bangunan, barang-barang maupun pertunjukkan.
Yang menarik kemudian, orang-orang nusantara sendiri
mulai sadar bahwa mereka menjadi objek pertunjukkan dan kemunculan perlawanan
terhadap seluruh gagasan ini muncul. Gouda memberi gambaran dari sebuah kutipan
novel berkaitan dengan antipati terhadap festival ini:
“Saya adalah seorang
dari Timur, salah satu dari yang sedang dipamerkan sebagai un peuple Indonesien (orang indonesia)... Jiwa dan raga saya serta
yang terhormat rekan-rekan saya yang berkulit berwarna telah diinjak-injak dan
telah dinodai: mereka telah ditelanjangi di hadapan orang-orang beradab kulit
putih. Saudara-saudara, andaikan orang-orang kulit putih dipajang di pameran
seperti ini pada sebuah Pameran di Timur (Indonesia), jika Anda diminta untuk
bertelanjang, memasak ular dan dipaksa makan-makanan yang sudah berbau busuk,
tidakkah jiwa Anda akan terasa sakit dan seakan-akan disayat-sayat” Andaikan
saja Pameran ini berlangsung di Timur, tentu saja akan menjadi abu dan asap
sebelum mulai dibuka, karena kita orang-orang Timur tidak akan menunggu lama
sebelum kita melakukan tindakan. Bukankah Francois (seorang petualang dari
Sosialis Prancis) sendiri yang mengatakan: lakukanlah apa yang dapat kalian
lakukan hari ini, jangan menunggu sampai besok? Apakah Anda, kamerad-kamerad,
menggunakan nama Sosialis hanya sebagai topeng, sementara perbuatan Anda tidak
jauh berbeda dari orang-orang borjuis itu?”[23]
pameran-pameran itu sedikit
banyak memang kemudian membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan
orang-orang Indonesia pada saat itu. Gouda mencatat bahwa setelah itu muncul
perlawanan yang sedemikian nyata oleh orang-orang Indonesia dalam
tulisan-tulisan majalah Timboel
antara tahun 1920an.[24]
Pengaruh Eksotisme dan Kesadaran yang Terbangun
Jelajah tontonan kolonial ini memberikan kesadaran bahwa
ada yang membekas dari mentalitas perburuan eksotis dan antik dari Belanda.
Jejak-jejak tontonan itu kemudian diadopsi di Indonesia menjadi Taman Mini di
Jakarta.[25]
Kisah pembentukan Taman Mini Indonesia Indah sebenarnya terjadi secara
sederhana. Dalam perjalanan mengunjungi Disneyland di California pada 1971, Ny.
Soeharto (Ibu Tien) tersentak bagaikan petir, oleh sebuah inspriasi untuk
membangun sebuah taman yang dapat melambangkan “Indonesia Indah” dalam bentuk
mini. “Impian Disneyland” Ibu Soeharto itu kemudian terwujud menjadi kenyataan
pada Hari Perempuan Internasional tahun 1975. Ditemani sahabatnya, Imelda
Marcos dari Filipina dan dipublikasikan secara luas, Ibu Soeharto meresmikan
Taman Mini dengan meriah.[26]
Analisis terhadap perburuan dan pertunjukan eksotisme ini
memperlihatkan imaji kolonial; bukan hanya memperlihatkan gambaran segala
sesuatu yang ada di koloni tetapi juga menggambarkan bagaimana pembuat imaji
itu sendiri membentuk dirinya.[27] Kajian pasca
kolonial tidak hanya memperlihatkan pengaruh relasi represif tunggal antara
penjajah dan yang dijajah. Tetapi, ternyata ada juga pengaruh relasi timbal
balik antara yang menguasai dan yang dikuasai.
Apa yang saya sadari dari pembahasan mengenai perburuan
dan tontonan eksotisme ini? Pertama,
sangat mungkin bahwa kegemaran orang untuk melihat yang spektakuler dan
menciptakan yang spektakuler merupakan konstruksi dan warisan dari penjajahan
Belanda. Sesuatu yang spektakuler itulah yang dicari oleh orang. Jika tidak
spektakuler tidaklah menarik. Ini pula yang menghiasi media-media saat ini.
Spektakuler adalah yang dicari dan diburu oleh media, karena dalam kandungan
hasrat manusia terkonstruksi hasrat meraih yang spektakuler. Kedua, yang spektakuler itu terkait
dengan sesuatu yang lain (other). Terkait
sesuatu yang belum pernah atau jarang didengar. Hal-hal yang eksotis adalah
sesuatu yang lain dari kehidupan yang biasa. Seringkali, orang mencari yang
eksotis bukan karena hal itu otentik atau asli tetapi hanya karena itu berbeda
dengan kehidupan biasa. Ketiga,
perburuan eksotisme dan yang dimunculkan dalam tontonan juga berkaitan dengan
otentisitas. Belanda menampilkan sesuatu yang eksotis tetapi sekaligus otentik.
Ada perang politik kolonial memang di sana, dimana Belanda bersaing dengan para
penjajah lain di Eropa guna memperlihatkan siapa yang mampu menguasai tempat
atau hal yang paling otentik. Persaingan Candi Sari (Kolonial Belanda) dan
Angkor Wat (Kolonial Perancis) memperlihatkan hal ini. Perburuan otentisitas
ingin menunjukan mengenai identitas diri. Bagi saya sendiri, penelusuran yang
otentik seringkali disalah mengerti. Cara berpikir Kaum Kolonial menunjukkan
bahwa yang otentik adalah yang paling tua umurnya, yang paling awal. Sepertinya
yang awal itu bisa diraih. Bukankah dalam Kajian Pasca Kolonial, Homi Bhabha
sudah mengkritisi hal ini bahwa budaya itu hibrid.[28] Ada
percampuran dari sana sini dalam kurun waktu sejarah. Benar-benar menelusuri
untuk mencari yang asli adalah sesuatu yang mustahil. Jika demikian, saya
memahami bahwa identitas diri, baik individu maupun kelompok tertentu, tak bisa ditunjuk
dengan jari tetapi dalam proses itu sendiri. Dalam proses itulah kemudian orang
mengenal identitas dirinya. Belanda mengenal diri dalam proses perburuan imaji
eksotis budaya. Demikianpun Indonesia menemukan jati dirinya dalam prosesnya
menelusuri sejarahnya termasuk sejarah bersama kaum Kolonial.
Penutup
Akhirnya, dalam
memori historis indonesia, kebenaran tentang keabsahan penjajahan Belanda
mungkin tidak menyenangkan dan gelap, tetapi tidak sekadar berfungsi sebagai
tempat berkembangnya dendam kesumat. Makna mutakhir tentang masa lalu kolonial
mungkin ada di wilayah tengah yang remang-remang dan abu-abu. Masa pemerintahan
kolonial Belanda yang panjang masih tetap berdampak pada Budaya Indonesia masa
kini, masa kolonial itu dihayati dengan perasaan campur aduk, bervariasi antara
dendam sampai tak peduli, tergantung kebutuhannya. Sementara dalam
historiografi nasionalis resmi, kolonialisme Belanda sering digambarkan sebagai
“inkarnasi setan”, dalam bayangan warga Indonesia kebanyakan, Belanda mungkin
sedikit lebih menyerupai singa “ompong” daripada singa yang mengaum keras.
Tetapi, bagaimanapun juga penelusuran terhadap sejarah kolonial merupakan
faktor penting dalam pencarian identitas kebangsaan. Bagaimanapun, membangun
bangsa baru yang mandiri merupakan tugas yang sangat besar. Imaji-imaji
eksotis, otentik, hibrid baik yang ada dibenak orang-orang Belanda ataupun
dalam benak orang-orang Indonesia memberi jejak-jejak berkaitan dengan
bagaimana identitas itu dirumuskan. Di sini saya hanya ingin memperlihatkan
salah satu imaji eksotis yang mempengaruhi orang-orang Belanda. Saya sadar
bahwa masih terbuka “situs-situs” imaji yang lain yang mampu memperkaya
bagaimana peneluran jejak bangsa ini bisa terjadi.
Daftar Pustaka
Aschroft,
Bill, dkk. 1998. Key Concepts in
Post-Colonial Studies. London: Routledge
Bhabha,
Homi K.. 1994. The Location of Culture.
London: Routledge
Edward
Said. 1978. Orientalism. London:
Penguin Books.
Frances Gouda. Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di
Hindia Belanda, 1900-1942. terj:
J. Soegiarto dan S.R. Rusdiarti. Jakarta: Serambi.
Marieke
Bloembergen. 2006. Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East
Indies at World Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press
[1]Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Buku ini akan menjadi
bahan utama dalam tulisan ini.
[2]“Orientalism,
a way of coming to terms with the Orient that is based on the Orient’s special
place in European Western experience.” Lihat: Edward Said. 1978. Orientalism.
London: Penguin Books. Hlm. 1
[3]“Orientalism,
is a style of thought based upon an ontological and epistemological distinction
made between ‘the orient’ and (most of the time) ‘the occident’”.ibid. hlm. 2
[4]“I come to the third
meaning of Orientalism, which is something more historically and materially
defined than either of the other two. Taking the late eighteenth century as a
very roughly defined starting point Orientalism can be discussed and analyzed
as the corporate institution for dealing with the Orient-dealing with it by
making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching
it, settling it, ruling over it: in short, Orientalism as a Western style for
dominating, restructuring, and having authority over the Orient.”ibid. hlm. 3
[5]“...
to show that European culture gained in strength and identity by setting itself
off againts the orient as a sort of surrogate and even underground self.”ibid. hlm. 3
[6]Goenawan Mohamad menuliskan
gagasan Orientalisme dari Said secara cukup indah dalam Catatan Pinggirnya.
[7]ibid. hlm. 5-6
[8]“One key problem with Said’s
research is his ahistorical method.” Lihat: Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 5
[9]ibid hlm. 6
[10]asimilasi adalah pembaruan dua
kebudayaan atau sudut pandang untuk memunculkan kebudayaan baru. Asosiasi lebih
pada kerjasama antar dua sudut pandang atau kebudayaan tanpa menghilangkan
identitas dari kebudayaan masing-masing. Saya tidak akan membahasnya lebih
dalam karena fokusnya bukan di sana.
[11]Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 7
[12] Frances Gouda. Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
terj: J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 351
[13]Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 51
[14] Perang Aceh sudah dimulai sejak tahun 1873
walaupun baru berakhir pada tahun 1914.
[15]Ibid. hlm. 101
[16]ibid. hlm. 107-108. “a gamelan
with dancing girls … on a larger scale than had been seen at exhibitions thus
far.” Ibid hlm. 124
[17]ibid. hlm. 164
[18]“The reconstruction of the
Candi Sari in Paris not only documents the changing attitudes of the colonial
state and private individuals to the cultural heritage of Hindu-Javanese
antiquity, but it also documents the whimsical elements of these attitudes. The
growing appreciation had two distinct side to it – an ppreciation of the
special intrinsic historical and artistic value of the antiquities on the one
hand, and an interest in the significance of this cultural heritage to the
Netherlands and its colony on the other.” Ibid. hlm 197.
[19]Ibid. hlm. 269
[20] Frances Gouda. Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
terj: J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 345
[21]Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 296
[22] ibid. Hlm. 15
[23] Frances Gouda. Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
terj: J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 395-396
[24] ibid. Hlm. 365
[25]Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 7
[26] Frances Gouda. Dutch Culture Overseas; Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
terj: J. Soegiarto dan S.R.
Rusdiarti. Jakarta: Serambi. Hlm. 407
[27]Marieke Bloembergen. 2006.
Colonial Spectacles; The Netherlands and the Dutch East Indies at World
Exhibitions, 1880-1931. trans:
Beverly Jackson. Singapore: Singapore University Press. Hlm. 318
[28]gagasan hibriditas Homi Bhabha
ditemukan dalam: Homi K. Bhabha. 1994. The
Location of Culture. London: Routledge dan Bill Aschroft , dkk. 1998. Key Concepts in Post-Colonial Studies.
London: Routledge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar