PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL
Oleh.
Andreas udiutomo/136322007
Resume:
Tahta Berkaki
Tiga – St. Sunardi
PENDAHULUAN
Buku
karya St.Sunardi setebal kurang lebih 100 halaman ini ditulis dalam paparan
Indonesia dengan paradigma pendidikan terhadap pengaruh yang terjadi belakangan
ini dalam politik Indonesia pada umumnya, tulisan beliau ini banyak mengandung
gagasan-gagasan dari para pemikir-pemikir tua, sebab dan akibat pertentangan
antara komsumerisme pendidikan dalam melahirkan pemimpin masa depan dengan
banyak masalah didalamnya termasuk politik.
Pendidikan dan
politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap
Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat
sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lainnya tidak memiliki hubungan
apa-apa, padahal saling bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik
masyarakat disuatu Negara, lebih dari itu juga saling menunjang dan saling
mengisi.
Lembaga-lembaga
dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses
politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya.
Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis.
Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal
perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan. Perkembangan
kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para
penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan
untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
BAGIAN
I
Pemimpin Sejati Dilahirkan Tidak
Dikaderkan
Peran pendidikan
di persiapkan untuk melahirkan tokoh-tokoh muda pemikir, beda dengan partai
politik yang secara ke-lembaga-an berbeda karena pendidikan tidak dilahirkan
dalam pengkaderan. Lembaga pendidikan diartikan sebgai bagian dari proses
terjadinya komunikasi kepada perserta didik, ini terlihat dari contoh-contoh
yang terjadi di Indonesia bahwa para peserta didik dilatih untuk mengembangkan
bakatnya menjadi pemimpin yang memberikan arah motivasi kepada orang-orang
sekitarnya untuk mencapai tujuan tertentu.
Prinsisp-prinsip
dalam kepemimpinan sering kali menjadi masalah ketika kerangka hubungan
dialektis antara pemimpin dan yang dipimpin, salah satu alas an berasal dari
mana pemimpin-pemimpin hebat tersebut dilahirkan (sebut Lembaga Pendidikan). Dalam hal ini disebutkan ada 2 hal yang
masuk dalam makna Haus Kekuasaan para pemimpin:
- Tidak Intelektual
- Yang serius dengan ke-ilmuannya=>apolitis
Bagian tersebut menjadi dilema ketika
usaha-usaha banyak pihak menjadikan kekuasaan adalah hasil tidak inteletualnya
para pemimpin yang dipaksa dilahitkan, disisi lain yang benar-benar menggunakan
keilmuannya malah tidak bisa memimpin karena terbiasa dipimpin.
Pendidikan
adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi
fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan
dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan.selanjutnya
Landasan
Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita
Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai
pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak
sama. Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang
aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga
dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan.
Dari definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa
masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu
studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila
memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya
politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat
pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu
bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat
mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki
kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang
idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat
sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.
Saya
setuju dengan pendapat St. Sunardi bahwa setiap zaman melahirkan pemimpin
sendiri, contoh yang bisa kita liat adalh tokoh besar bangsa Indonesia, Sukarno
dan Suharto mengapa?
1. Sukarno=> Rasa percaya diri tehadap Nasionalisme yang
berani bersikap dengan bangsa lain, Ideologinya yang tanpa tawar menawar sampai
Reklamator yang disebut berkharismatik, akan kah Indonesia mendspatkan sosok
seperti dia atau mendapatkan seperti beliau?
Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu
nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain
karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang
mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang
sekuler dengan agamis. Implikasi dari kebijakan
politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa
nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya
berupaya menjadi ”win-win solution” dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini
terjadi pengakuan terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada
dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil,
hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut
bernegara selalu ada di masa tersebut.
2. Suharto=> Mampu membawa Indonesia keluar dalam
keterpurukan Ekonomi lewat REPELITANYA, infrastruktur ekonomi yang bangkit
menjadi pertaruhan bahwa Suharto dibalik itu semua ( walau kontroversi),
intinya beliau menegaskan bahawa zaman Suharto lebih baik secara ekonomi
daripada zaman Sukarno, lantas apakah kita akan mendapatkan pemimpin seperti
Suharto atau Sukarno lagi?
Dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan
ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde
baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan
tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa
sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu patuh buta terhadap kepentingan pusat. Akibat
yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan
daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang“sendikho dhawuh”. Bahkan sistem pada masa
ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis,
kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi. Disadari bahwa sistem pendidikan nasional pada masa itu
sebab kuatnya intervensi kekuasaan sangat mewarnai di setiap aspek pendidikan.
Dalam sistem pendidikan nasional pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat
dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa
pelatihan di sekolah-sekolah atau instusi-institusi pendidikan pada umumnya
lebih mengenalkan indoktrinasi ideologi penguasa. Praktek penataran P4
merupakan salah satu bukti riil dari indoktrinasi ideologi penguasa pada waktu
itu. Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah,
seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang
telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya
mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna
berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang
seragam, ya serba seragam.
Juga pada kenyataanya , pasca orde baru
tumbang muncul partai-partai baru berbasis Ideologi atau misi lain yang bisa
kita lihat bahwa partai-partai politik tersebut jauh dari kepedulian masyarakat
pada kenyataanya karena partai tersebut melahirkan para pemimpin-pemimpin
Istant (karbitan) yang mengumbar janji dan lupa akan janjinya dikemudian hari.
Intelektual
dan moralitas , adalah dua hal yang sangat penting bagi pendidikan dalam sebuah
tatanan negara, negara mempunyai peran penting untuk membawa pemikiran Intelektual
atas dasar moral bagi kelangsungan pendidikan yang dicita-citakan pendahulu
kita. Sebaliknya, negara dan masyarakat menggugat perguruan tinggi saat lembaga
tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan. Seperti apa yang dipahami oleh
Bung Hatta,” Tanggung Jawab Moral Kaum cendekiawan”. Dalam tulisannya tersebut
Hatta mengingatkan bahwa padaakhirnya hasil pendidikan tinggi harus diukur dari
lebih dan kurangnya kedewasaan dan kesusilaan. Artinya keunggulan bidang
akademik dan kemanusiaan lebih diutamakan sehingga dalam kebersamaan kita akan
membentuk perguruan tinggi sebagai lembaga publik. Seperti ungkapan kata
Kebijaksanaan dan Kemanusiaan (Sapientia et Vurtus).[1]
[2]Rumusan intelektual dan moral ini muncul dari seorang
tokoh komunis Itali yakni Antonio Gramci, dimana ada unsur pemaksaan untuk
mewujudkannya. Bagi Gramci kepemimpinan Sang Pemimpin itu merupakan titik nadir
dari moralitas dan intelektulitas bagi kaum pemikir. Contoh lain mengenai
Ecellentia, yaitu proses yang harus dijalani kaum intelektual, akar budaya
seseorang menjadi dasar pijakan moralitas yang terbangun untuk memjadikan
seorang itu menjadi intelektual publik. Budaya menjadi tolak ukur bagi
kekeuasaan dalam politik.
Intelektual
publik adalah sebuah nama bagi jenis intelektuallitas untuk menggairakna
kehidupan publik yang demokratis, jadi jika perguruan tinggi yang semula
merupakan pendidikan publik tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membela
kepentingan publik pada akhirnya dan mungkin menjadi tidak peduli.
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya terus-menerus
memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka
mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam realitasnya, kita
menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang
dari api.
Sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih
dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa.
Etika publik pada dasarnya merupakan etika sosial yakni
tanggung jawab untuk menciptakan suasana
yang saling menguntungkan, masyarakat kita yang berasal dari berbagai suku, dan
adt budaya seakan-akan mendapatkan jaminan hidup sampai tujuh turunan, ini
sifat-sifat kolusi yang sangat kuat dai ranah intelektual publik bangsa ini,
apa yang sebenernya yang hilang dalam masyarakat kita, apakah kebersamaan dan
solidaritas publik juga ikut hilang? Namun yang diharapkan tidak hanya sebatas
solidaritas pribadi melainkan kebersamaan publik yang menjamin hak-hak hidup
warganya.Ruang publik adalah ruang dimana orang orang mengalami yang
namnya Being for, pembatasan secara
hukum yang secara halus konsep-konsep sosialitas publik digunakan.
Ketika etika sosial digunakan dfan tidak bertentangan
dengan pengembangan ke ilmuan justru sebaliknya pendidikan berbasis pendidikan
etika sosial yang paling mendesak dan wajib dikembangkan dalam akademisi untuk
memupuk moral dan sosial publik.
Bagian II
Kepemimpinan
Gaya Jaran Teji
Dalam
ranah pendidikan semua aspek sangat mempengaruhi kinerja pendidikan, termasuk
cita-cita yang diharapkan perguruan tinggi yang menuntut untuk melahirkan sosok
kepemimpinan melalui seleksi keilmuan, yang tidak dikaderkan. Proses menuju
harapan yang dicita-citakan itulah pada masa ored baru pengaruh kepemimpinan
juga sangat berperan aktif secara nasional.
Semangat
pertentanganpun berlanjut dengan para suara lantang seniman yang merasa tidak
terwakili dalam kepemimpinan masa orde baru, seperti puisi Renda 1985 yang
hanya membatasi tampil di salah satu tempat saja, karerna dianggap puisinya
menyesatkan bagi penguasa-penguasa paga masa tersebut, selain itu suara
marjinal juga di dapat dari nasib Teater Koma yang sama perlakuannya terhadap
para seniman contohnya ijin pentas teare dengan judul Suksesi ditarik lagi oleh pemerintah, karena dinilai pemerintah
masa itu ceritanya tidak mengandung unsure pendidikan atau mendidik.
[3]Lebih
lanjut praktek-praktek kepemimpinan yang dinilai kurang baik oleh pemerintah
masa itu yakni menghenai struktur kisah kempemimpinan Jaran Teji dalam tembang
karya Tjokrowarsito yang dianggap punya runutan akan tumbangnya orde baru.
Dalam struktur kisah Jaran Teji memeiliki unsure pembentuk empat cirri, yakni:
- Kepemimpinan Jaran Teji memperlakukan kekuasan sebagai objek kenikmatan.
- Kepemimpinannya sebagai hedonism kekuasaan, terjadi pembusukan kekuasaan karena tidak dilakukan reproduksi bentuk kekuasaan sesuai dengan zamannya.
- Sebagian masyarakat mendidik para calon pemimpin seturut caranya sendiri yang berbeda dari cara yang dilakukann oleh pemimpin Jara Teji.
- Masyarakat memiliki keberanian untuk menentukan corak kempemimpinanya.
Keterasingan
masyarakat sangat jelas terlihat dari kepemimpinan Jaran Teji, orede baru
memberikan ruang bagi seniman untuk melawan itu semua, namun kekuatan atas nama
kekuasan yang ter-legitimasi menjadikan kekuatan baru bagi orede baru
menanamkan ideologinya, seperti diawal sudah dibahas memenag orde baru
membangun ekonomi menjadi tumbuh dan stabilitas ekonomi tercapai.
Sejak
orde baru lahir, tidak banyak perguruan tinggi yang mampu melawan dengan rezim
ini sebagai sumber kekuasaan. Kemandirian perguruan tinggi dianggap taruhan
atau bahas lain “ pilihan semu”[4].
Kemadirian-kemandirian
personal inilah yang mampu menjadikan teknologi dan bakat keterampilan generasi
muda menjadi tuntutan. Tanggung jawab utama mahasiswa adalah membangkitkan
kekuatan penalaran individu sebagai dasar analisis berpikir yang sintesis,
ataujuga disebut sebgai tenanga ahli siap pakai.
Selain
itu, ada beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa
depan politik pendidikan, diantaranya adalah, Pertama, menghapus dikotomi dualisme penyelenggaraan
pendidikan. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus berjalan seimbang dalam hal
mutu, kualitas, moral dan kemajuannya.
Kedua, peningkatan anggaran
pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan
nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD
adalah menjadi keniscayaan. Ini menjadi persoalan mendesak, jika kita
betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945 Pasal 31
ayat (4) telah mengamanahkannya.
Ketiga, pembebasan biaya
pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya kemauan kuat
untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat
sekolah dasar. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.”
Keempat, perbaikan
kurikulum. Pendidikan mesti diarahkan pada sistem terbuka dan multimakna serta
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Karena itu,
kurikulum pendidikan harus mampu membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, dan memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan
juga mesti diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajarannya.
Kelima, penghargaan pada
pendidik. Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualifikasi, profesionalisme
dan kesejahteraan pendidik. Sebab, pendidik merupakan pilar utama pendidikan
dan pembangunan bangsa.
Harapannya
agar proses pendidikan dalam urutan yang paling dasar hingga perguruan tinggi
menjadi ukuran baku standar intelektul dam moral yang bisa diandalkan bagi
kelahiran pemimpin-pemimpin baru seperti yang tertera diatas tentang struktur
Jaran Teji.
Penutup
Keberanian
kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah
barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan
mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong
pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia
meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.
Semoga
kita secara bersama mampu memerdekakan politik pendidikan yang prospektif dan
menjanjikan kemajuan masa depan bangsa. Sehingga, cita-cita untuk menjadi
bangsa besar yang berperadaban tinggi mampu kita raih.
Sumber
Resume:
Tantan Berkaki Tiga – St. Sunardi
Penerbit bukubaik 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar