see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Jumat, 14 Maret 2014

PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL



PENDIDIKAN DALAM PROSES INTELEKTUAL
Oleh. Andreas udiutomo/136322007



Resume:
Tahta Berkaki Tiga – St. Sunardi


PENDAHULUAN

            Buku karya St.Sunardi setebal kurang lebih 100 halaman ini ditulis dalam paparan Indonesia dengan paradigma pendidikan terhadap pengaruh yang terjadi belakangan ini dalam politik Indonesia pada umumnya, tulisan beliau ini banyak mengandung gagasan-gagasan dari para pemikir-pemikir tua, sebab dan akibat pertentangan antara komsumerisme pendidikan dalam melahirkan pemimpin masa depan dengan banyak masalah didalamnya termasuk politik.
Pendidikan dan politik, keduanya merupakan elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah, yang satu sama lainnya tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal saling bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara, lebih dari itu juga saling menunjang dan saling mengisi.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat disuatu Negara. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikannya. Jadi antara pendidikan dan politik itu mempunyai hubungan erat dan dinamis. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan hubungan yang baik dengan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.

BAGIAN I
Pemimpin Sejati Dilahirkan Tidak Dikaderkan
           
Peran pendidikan di persiapkan untuk melahirkan tokoh-tokoh muda pemikir, beda dengan partai politik yang secara ke-lembaga-an berbeda karena pendidikan tidak dilahirkan dalam pengkaderan. Lembaga pendidikan diartikan sebgai bagian dari proses terjadinya komunikasi kepada perserta didik, ini terlihat dari contoh-contoh yang terjadi di Indonesia bahwa para peserta didik dilatih untuk mengembangkan bakatnya menjadi pemimpin yang memberikan arah motivasi kepada orang-orang sekitarnya untuk mencapai tujuan tertentu.
            Prinsisp-prinsip dalam kepemimpinan sering kali menjadi masalah ketika kerangka hubungan dialektis antara pemimpin dan yang dipimpin, salah satu alas an berasal dari mana pemimpin-pemimpin hebat tersebut dilahirkan (sebut Lembaga Pendidikan). Dalam hal ini disebutkan ada 2 hal yang masuk dalam makna Haus Kekuasaan para pemimpin:
  1. Tidak Intelektual
  2. Yang serius dengan ke-ilmuannya=>apolitis

Bagian tersebut menjadi dilema ketika usaha-usaha banyak pihak menjadikan kekuasaan adalah hasil tidak inteletualnya para pemimpin yang dipaksa dilahitkan, disisi lain yang benar-benar menggunakan keilmuannya malah tidak bisa memimpin karena terbiasa dipimpin.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.selanjutnya
Landasan Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak sama. Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.
Saya setuju dengan pendapat St. Sunardi bahwa setiap zaman melahirkan pemimpin sendiri, contoh yang bisa kita liat adalh tokoh besar bangsa Indonesia, Sukarno dan Suharto mengapa?
1.      Sukarno=> Rasa percaya diri tehadap Nasionalisme yang berani bersikap dengan bangsa lain, Ideologinya yang tanpa tawar menawar sampai Reklamator yang disebut berkharismatik, akan kah Indonesia mendspatkan sosok seperti dia atau mendapatkan seperti beliau?
Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis. Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya menjadi ”win-win solution” dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini terjadi pengakuan terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.
2.      Suharto=> Mampu membawa Indonesia keluar dalam keterpurukan Ekonomi lewat REPELITANYA, infrastruktur ekonomi yang bangkit menjadi pertaruhan bahwa Suharto dibalik itu semua ( walau kontroversi), intinya beliau menegaskan bahawa zaman Suharto lebih baik secara ekonomi daripada zaman Sukarno, lantas apakah kita akan mendapatkan pemimpin seperti Suharto atau Sukarno lagi?
Dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu patuh buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang“sendikho dhawuh”. Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi. Disadari bahwa sistem pendidikan nasional pada masa itu sebab kuatnya intervensi kekuasaan sangat mewarnai di setiap aspek pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa pelatihan di sekolah-sekolah atau instusi-institusi pendidikan pada umumnya lebih mengenalkan indoktrinasi ideologi penguasa. Praktek penataran P4 merupakan salah satu bukti riil dari indoktrinasi ideologi penguasa pada waktu itu. Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.
Juga pada kenyataanya , pasca orde baru tumbang muncul partai-partai baru berbasis Ideologi atau misi lain yang bisa kita lihat bahwa partai-partai politik tersebut jauh dari kepedulian masyarakat pada kenyataanya karena partai tersebut melahirkan para pemimpin-pemimpin Istant (karbitan) yang mengumbar janji dan lupa akan janjinya dikemudian hari.
Intelektual dan moralitas , adalah dua hal yang sangat penting bagi pendidikan dalam sebuah tatanan negara, negara mempunyai peran penting untuk membawa pemikiran Intelektual atas dasar moral bagi kelangsungan pendidikan yang dicita-citakan pendahulu kita. Sebaliknya, negara dan masyarakat menggugat perguruan tinggi saat lembaga tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan. Seperti apa yang dipahami oleh Bung Hatta,” Tanggung Jawab Moral Kaum cendekiawan”. Dalam tulisannya tersebut Hatta mengingatkan bahwa padaakhirnya hasil pendidikan tinggi harus diukur dari lebih dan kurangnya kedewasaan dan kesusilaan. Artinya keunggulan bidang akademik dan kemanusiaan lebih diutamakan sehingga dalam kebersamaan kita akan membentuk perguruan tinggi sebagai lembaga publik. Seperti ungkapan kata Kebijaksanaan dan Kemanusiaan (Sapientia et Vurtus).[1]
[2]Rumusan intelektual dan moral ini muncul dari seorang tokoh komunis Itali yakni Antonio Gramci, dimana ada unsur pemaksaan untuk mewujudkannya. Bagi Gramci kepemimpinan Sang Pemimpin itu merupakan titik nadir dari moralitas dan intelektulitas bagi kaum pemikir. Contoh lain mengenai Ecellentia, yaitu proses yang harus dijalani kaum intelektual, akar budaya seseorang menjadi dasar pijakan moralitas yang terbangun untuk memjadikan seorang itu menjadi intelektual publik. Budaya menjadi tolak ukur bagi kekeuasaan dalam politik.
Intelektual publik adalah sebuah nama bagi jenis intelektuallitas untuk menggairakna kehidupan publik yang demokratis, jadi jika perguruan tinggi yang semula merupakan pendidikan publik tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membela kepentingan publik pada akhirnya dan mungkin menjadi tidak peduli.
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa.
Etika publik pada dasarnya merupakan etika sosial yakni tanggung jawab untuk menciptakan  suasana yang saling menguntungkan, masyarakat kita yang berasal dari berbagai suku, dan adt budaya seakan-akan mendapatkan jaminan hidup sampai tujuh turunan, ini sifat-sifat kolusi yang sangat kuat dai ranah intelektual publik bangsa ini, apa yang sebenernya yang hilang dalam masyarakat kita, apakah kebersamaan dan solidaritas publik juga ikut hilang? Namun yang diharapkan tidak hanya sebatas solidaritas pribadi melainkan kebersamaan publik yang menjamin hak-hak hidup warganya.Ruang publik adalah ruang dimana orang orang mengalami yang namnya  Being for, pembatasan secara hukum yang secara halus konsep-konsep sosialitas publik digunakan.
Ketika etika sosial digunakan dfan tidak bertentangan dengan pengembangan ke ilmuan justru sebaliknya pendidikan berbasis pendidikan etika sosial yang paling mendesak dan wajib dikembangkan dalam akademisi untuk memupuk moral dan sosial publik.
Bagian II
Kepemimpinan Gaya Jaran Teji
Dalam ranah pendidikan semua aspek sangat mempengaruhi kinerja pendidikan, termasuk cita-cita yang diharapkan perguruan tinggi yang menuntut untuk melahirkan sosok kepemimpinan melalui seleksi keilmuan, yang tidak dikaderkan. Proses menuju harapan yang dicita-citakan itulah pada masa ored baru pengaruh kepemimpinan juga sangat berperan aktif secara nasional.
Semangat pertentanganpun berlanjut dengan para suara lantang seniman yang merasa tidak terwakili dalam kepemimpinan masa orde baru, seperti puisi Renda 1985 yang hanya membatasi tampil di salah satu tempat saja, karerna dianggap puisinya menyesatkan bagi penguasa-penguasa paga masa tersebut, selain itu suara marjinal juga di dapat dari nasib Teater Koma yang sama perlakuannya terhadap para seniman contohnya ijin pentas teare dengan judul Suksesi ditarik lagi oleh pemerintah, karena dinilai pemerintah masa itu ceritanya tidak mengandung unsure pendidikan atau mendidik.
[3]Lebih lanjut praktek-praktek kepemimpinan yang dinilai kurang baik oleh pemerintah masa itu yakni menghenai struktur kisah kempemimpinan Jaran Teji dalam tembang karya Tjokrowarsito yang dianggap punya runutan akan tumbangnya orde baru. Dalam struktur kisah Jaran Teji memeiliki unsure pembentuk empat cirri, yakni:
  1. Kepemimpinan Jaran Teji memperlakukan kekuasan sebagai objek kenikmatan.
  2. Kepemimpinannya sebagai hedonism kekuasaan, terjadi pembusukan kekuasaan karena tidak dilakukan reproduksi bentuk kekuasaan sesuai dengan zamannya.
  3. Sebagian masyarakat mendidik para calon pemimpin seturut caranya sendiri yang berbeda dari cara yang dilakukann oleh pemimpin Jara Teji.
  4. Masyarakat memiliki keberanian untuk menentukan corak kempemimpinanya.
Keterasingan masyarakat sangat jelas terlihat dari kepemimpinan Jaran Teji, orede baru memberikan ruang bagi seniman untuk melawan itu semua, namun kekuatan atas nama kekuasan yang ter-legitimasi menjadikan kekuatan baru bagi orede baru menanamkan ideologinya, seperti diawal sudah dibahas memenag orde baru membangun ekonomi menjadi tumbuh dan stabilitas ekonomi tercapai.
Sejak orde baru lahir, tidak banyak perguruan tinggi yang mampu melawan dengan rezim ini sebagai sumber kekuasaan. Kemandirian perguruan tinggi dianggap taruhan atau bahas lain “ pilihan semu”[4].
Kemadirian-kemandirian personal inilah yang mampu menjadikan teknologi dan bakat keterampilan generasi muda menjadi tuntutan. Tanggung jawab utama mahasiswa adalah membangkitkan kekuatan penalaran individu sebagai dasar analisis berpikir yang sintesis, ataujuga disebut sebgai tenanga ahli siap pakai.
Selain itu, ada beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa depan politik pendidikan, diantaranya adalah, Pertama, menghapus dikotomi dualisme penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus berjalan seimbang dalam hal mutu, kualitas, moral dan kemajuannya.
Kedua, peningkatan anggaran pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Ini menjadi persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkannya.
Ketiga, pembebasan biaya pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya kemauan kuat untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat sekolah dasar. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Keempat, perbaikan kurikulum. Pendidikan mesti diarahkan pada sistem terbuka dan multimakna serta pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Karena itu, kurikulum pendidikan harus mampu membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan juga mesti diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajarannya.
Kelima, penghargaan pada pendidik. Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualifikasi, profesionalisme dan kesejahteraan pendidik. Sebab, pendidik merupakan pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa.
Harapannya agar proses pendidikan dalam urutan yang paling dasar hingga perguruan tinggi menjadi ukuran baku standar intelektul dam moral yang bisa diandalkan bagi kelahiran pemimpin-pemimpin baru seperti yang tertera diatas tentang struktur Jaran Teji.

Penutup
Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.
Semoga kita secara bersama mampu memerdekakan politik pendidikan yang prospektif dan menjanjikan kemajuan masa depan bangsa. Sehingga, cita-cita untuk menjadi bangsa besar yang berperadaban tinggi mampu kita raih.

Sumber Resume:
Tantan Berkaki Tiga – St. Sunardi
Penerbit bukubaik 2005





[1] Tahta Berkaki Tiga, halm 25

[2] Ibid, halm 26
[3]  Ibid, halm 49-50

[4] Ibid, halm 54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar