Oleh : Umi Lestari -
136322-017
Imaji tentang
Islam sebagai agama orang Semit, orang-orang Arab, sendiri dimulai sejak akhir
abad 19 M. Tomoko Masuzawa melihat bagaimana imaji yang dibuat peneliti-peneliti
Eropa tentang Islam pada abad 19 dalam bab
6 di bukunya The Invention of
World Religions: Or, How European Universalism Was Preserved in the Language of
Pluralism (2005). Pada sesi pertama ia melihat perubahan relasi antar Eropa
dan dunia Muslim dan sesi ke dua ia melihat infiltrasi ide baru orang-orang
Eropa sendiri mengenai Bangsa Arab. Pada
sesi 3 dan 4, Masuzawa menekankan pada penelitian Abraham Kuenen dan Otto
Pfeiderer yang melihat bahwa Islam adalah agama orang Arab dan tidak termasuk
dalam kelas agama-agama dunia.
Pada Mulanya adalah Perdagangan
Tentu saya masih
ingat dengan Vasco Da Gama yang sering keluar dalam buku sejarah Ilmu
Pengetahuan Sosial sewaktu SD. Dalam buku tersebut, Vasco Da Gama tercatat
sebagai penjelajah Portugis yang menemukan jalur pelayaran ke India melalui
Benua Afrika.
Berkat catatan dari Vasco Da Gama, Afonso de Albuquerque, pelaut Portugis, dapat mencapai gugusan pulau yang sekarang bernama Indonesia untuk mencari rempah-rempah. Dalam sesi The Problem of Islam for Premodern and Early Modern Europe, Masuzawa menuliskan adanya pergeseran geopolitik yang monumental. [1]. Masuzawa memulai sesi ini dengan kisah Vasco da Gama atau lebih dikenal sebagai “masa penjelajahan”, cara Eropa mengeksplorasi dunia “luar”nya dan dianggap sukses dalam membangun tatanan dunia baru menurut versi mereka sendiri.
Berkat catatan dari Vasco Da Gama, Afonso de Albuquerque, pelaut Portugis, dapat mencapai gugusan pulau yang sekarang bernama Indonesia untuk mencari rempah-rempah. Dalam sesi The Problem of Islam for Premodern and Early Modern Europe, Masuzawa menuliskan adanya pergeseran geopolitik yang monumental. [1]. Masuzawa memulai sesi ini dengan kisah Vasco da Gama atau lebih dikenal sebagai “masa penjelajahan”, cara Eropa mengeksplorasi dunia “luar”nya dan dianggap sukses dalam membangun tatanan dunia baru menurut versi mereka sendiri.
Superioritas
kuasa Bangsa Muslim pada akhir abad ke 15 tampaknya membekas di benak
orang-orang Eropa. Menurut Masuzawa, kekuasaan bangsa Eropa dengan kejayaan
masa lalunya hanya bersifat regional. Hal itu tak dapat dibandingkan dengan
kekuasaan Islam yang meluaskan daerahnya hingga ke Afrika Utara dan yang
sekarang disebut Indonesia. Tetapi ada memori kolektif yang tersimpan dalam diri Bangsa Eropa, India
sebagai “a Land of Desire”. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Bangsa Eropa
juga ingin menggapai “Tanah Impian” yang pada saat itu berada di tangan Islam.
Selain memori kolektif, perdagangan juga menjadi alasan penjelajahan Eropa. Perebutan
kekuasaan yang dilakukan oleh bangsa Muslim dianggap telah merusak tatanan
tersebut, termasuk tatanan perdagangan global. Persaingan dimulai dari sini.
Sejak akhir abad 15 hingga Perang Dunia ke II, penguasa-penguasa Eropa berusaha
sampai ke Asia dengan mengembangkan
transportasi dan strategi. Masuzawa menuliskan bahwa pada abad 15 semakin Eropa
menginginkan rempah-rempah, maka akan semakin meningkat pula bisnis orang
Muslim. Pada masa itu, Islam menjadi penjaga “gerbang” dari Eropa ke Asia yang
menyediakan banyak rempah.
Dominasi dan
monopoli Islam akan rempah-rempah membawa benih-benih permusuhan. Eropa
berusaha dengan berbagai cara untuk dapat pergi ke Asia. Dalam momen ini,
Portugal yang menjadi pionirnya. Portugal sebagai perwakilan dari Gereja
Katholik Rhoma memiliki ambisi untuk melawan agama Muhammad. Melalui
pemerintahan Pangeran Henry, era penjelajahan pun dimulai. Alasannya tidak lain
adalah “to cut the root of Islam by
attacking it from behind”. Selanjutnya seperti yang juga dikisahkan oleh
buku-buku sejarah yang saya baca sewaktu SD, keberhasilan Portugal diikuti oleh
perdagangan ala Belanda yang menguasai perdagangan di daerah koloni sejak abad
18. Benih-benih permusuhan dari sudut pandang inilah yang akhirnya berkembang
hingga akhir abad 19. Ide-ide mengenai Islam sebagai “musuh”, sebagai “liyan”,
menghantui pemikir-pemikir dan peneliti Barat pula.
Dikotomi Bangsa Semit dan Bangsa Aryan pada abad 19
Masehi
Pada sesi ini
Masuzawa mengajak kita untuk melihat konteks sejarah kondisi Eropa dalam
memahami adanya sudut pandang “agama-agama lain”. Eropa mencoba merekonstruksi
Budhisme Bangsa Arya dan “mengenyampingkan” Islam. Penggunaan istilah “agama
dunia” mulai berkembang pada pertengahan abad 19. Peneliti-peneliti mulai
menerima Budha sebagai bagian dari agama dunia karena ia memiliki karaktestik
yang universal dan mampu diterima oleh masyarakat lintas negara. Nilai-nilai
universal inilah yang tidak dapat dilihat dalam Islam. Peneliti dari Barat
melihat Islam itu adalah agama yang membangkang dari ajaran Judaisme yang juga
melahirkan Kristen. Ajaran Budha yang dianggap universal pun selaras dengan
pemikiran filsafat Barat ala Kantian[2].
Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa ajaran Budha berasal dari Bangsa Arya.
Inilah yang menjadi legitimasi dalam pencarian nenek moyang yang sama atas
Budha dan Kristianitas.
Semangat
intelektual dan elit-elit budaya di Eropa pada abad 19 berpengaruh pula pada
berkembangnya ilmu-ilmu humaniora. Temuan kisah-kisah Yunani juga menjadi
faktor yang digunakan Eropa untuk melegitimasi Kristen. Mitologi Yunani yang
sarat dengan kisah dewa-dewi yang tampan dan cantik, jenius dan memiliki sistem
teratur merupakan beberapa poin-poin legitimasi. Karakteristik Yunani kuno ini
juga dijadikan wacana untuk membedakan Eropa dan Kristen dengan “saudara” Arya
mereka di Asia, terutama di India. Walaupun Yunani kuno dan India memiliki
kepercayaan yang sama terhadap dewa-dewi, namun dewa-dewi di India disebut aneh
dan tidak indah. Selanjutnya, Masuzawa menulis bahwa Kristianitas tidak dapat
diendus jejaknya hingga ke Palestina, permulaan nabi Yahudi – Kristianitas
muncul dan berkembang di tanah yang subur bekas Helenisme[3].
Bisa dikatakan bahwa Kristianitas itu lebih Yunani, lebih Helenisme dan Aryan
daripada Ibrani dan Arab.
Tentang Abraham Kuenen yang mengatakan bahwa Islam
adalah Agama Bangsa Arab
Bila merujuk
pada penelitian filolog mengenai agama yang universal, terlihat ada dua
perkembangan agama dunia. Pertama adalah Budhisme sebagai universalisme bangsa
Arya – ketika ia diadopsi oleh non-Arya ia berubah menjadi stagnan. Kedua
adalah universalime dari agama Israel yang dianggap telah dibebaskan dan
berkembang menjadi Gentile Christians,
Kristen yang bukan Yahudi. Lalu bagaimana dengan Islam? Menurut versi Kuenen,
Islam malah menurunkan “universalisme” dan mengungkungnya sebagai agama untuk
orang Arab saja[4].
Mengenai perkembangan Islam hingga ke tanah Jawa, Kuenen menganggapnya itu
hanya sebagai jubah. Islam tidak menjadi agama yang utama di Jawa, ia hanya
menjadi jubah dari penggabungan antara Budhisme, Hinduisme dan Islam yang malah
menjadi Jawanisme (abangan?). Kuenen dengan tegas mengatakan bahwa dalam Islam
tidak ada bukti mengenai supremasi spritual.
Masuzawa
mengaskan adanya anti-Semit dalam penelitian yang muncul pada akhir abad 19.
Penelitian-penelitian anti-Semit tersebut memang halus, tapi bila diendus lebih
dalam ada bau anyir yang menghembuskan ideologi anti-Islam. Misalnya, Masuzawa
mengutip John Arnott MacCulloh sebagai contoh adanya anti-Semit ini. Dalam pembukaan
Religion, Its Origin and Forms
(1904), MacCulloh menulis bahwa Islam adalah agama ketakutan, bukan cinta.
Islam digambarkan sebagai agama yang tidak toleran, fanatik dan tidak dapat
berkembang.
Penelitian Otto Pfeiderer: Sufisme, Islamnya Bangsa
Arya
Selaras dengan
Kuenen, Otto Pfeiderer, teolog dari Jerman, tidak menganggap bahwa Islam adalah
agama dunia. Pfeiderer berpendapat bahwa Islam itu tidak memiliki nilai-nilai
spiritual dan bermusuhan dengan nilai-nilai “mobilitas”, “kemajuan” dan “kebebasan”[5].
Selanjutnya, Masuzawa memunculkan penelitian Pfeiderer tentang Sufisme. Menurut Pfeiderer, Sufisme adalah ajaran Islam
yang berasal dari Persia, masih bagian dari Bangsa Arya – Islamnya Arya, lebih
ringkasnya. Ajaran Sufi dianggap lebih spiritual, ia mampu keluar dari
dogma-dogma yang ada dalam Islam (Arab).
--
Masuzawa
memperlihatkan kepandaiannya dalam meramu penelitian-penelitian tentang Islam
ini. Dari penelitian Pfeiderer ini, Masuzawa mengajak pembacanya kembali
melihat apa kaitannya legitimasi Eropa dengan bangsa Aryan. Semua agama dan
ajaran yang masih keturunan Arya dianggap “bersahabat” dan “familiar” oleh
peneliti-peneliti Eropa. Islam tidak disebut sebagai Agama Dunia karena ia
tidak berasal dari ras Arya dan ia tidak membawa nilai-nilai universal dalam
standar peneliti Eropa.
Kajian tentang
Islam yang ditulis oleh peneliti-peneliti abad 19 ini tentu saja menyesatkan -
seolah-olah ia tidak keluar dari pencarian legitimasi dengan mengandalkan
keunggulan ras.
[1] Call it colonial expansion or the progress of modernity, this amounted
to a monumental geopolitical shift, a large-scale change in the power relation
between the Islamic domain and European Christendom. (Masuzawa, 2005: 180)
[2] Perhaps it was almost as though they could not imagine that something
like Kantian idea of God – what Kant called the ideal of pure reason, qua
postulate of reason, that is, as necessary guarantor of the knowledge and
therefore of the possibility of science (Masuzawa, 2005: 188).
[3] Christianity in its essential being (as opposed to its historical
beginning) is not to be traced back to Palestine as one of the many Jewish
messianing seets; rather, Christianity emerged from the far richer soil of the
late Hellenic world. (Masuzawa, 2005: 191)
[4] It was precisely Islam’s disregard for the universal that caused it to
be succesfully imposed upon other nations
[5] It was Pfeiderer’s opinion that Islam was disqualified from
designation as a world religion because of its abject poverty of spiritual
substance and, again, its essential nature inimical to “mobility”,
“development”, and “freedom”. (Masuzawa,
2005: 200)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar