Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo
Oleh
:
Felomena
Sunarti/136322005
1.
Pendahuluan
Termaksud definisi tentang
Indo yang ada di Indonesia maupun yang ada di negara Belanda, dimana para Indo
mencari posisi mereka di Indonesia maupun di Belanda agar diakui oleh kedua
Negara yang mereka tempati nantinya. Dimana perempuan yang hidup dengan
laki-laki Eropa selama masa penjajahan Belanda dan dengan demikian juga
merupakan ibu dari para Indo. Saya hanya bisa berharap bahwa akan ada sedikit perhatian
terhadap para perempuan yang selalu dikebelakangkan dan dilupakan, baik di
Belanda maupun di Indonesia, kebanyakan keluarga Indo bahkan melupakannya.
Padahal, perempuan Indonesia ini, sang nyai, merupakan nenek moyang mereka.
Para perempuan memberikan pemahaman kepada
kita mengenai pola hubungan pada zaman kolonial, dalam proses kemunculan para
Indo dan posisi perempuan Indonesia (dan ketidakadilan yang diterimanya). Ini
adalah nasib menyedihkan yang dialami banyak perempuan pribumi, pada waktu itu,
para nyai, gundik laki-laki Eropa. Kenyataan bahwa hal tersebut merupakan
pengalaman traumatis bagi ibu dan anak terlihat dari sikap ayah yang tidak
pernah mau atau bisa membicarakan ibunya.
Alasan
orang Eropa menikahi perempuan Asia terutama perempuan di Indonesia karena
menganggap bahwa perempuan pribumi berkelakuan baik dan perempuan pribumi lebih
menguntungkan dari perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan
Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran
membuat para perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka
pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa. Disamping itu,
perempuan pribumi tidak terlalu serakah dibandingkan perempuan Eropa. Para laki-laki Eropa memiliki ikatan yang
lemah dengan anak-anak dari perempuan pribumi. Demikian sebaliknya, kebanyakan
dari anak-anak ini tidak pernah merasa sebagai anak Eropa, seperti yang telah
diketahui bahwa banyak dari mereka yang ditelantarkan sejak masa remajanya.
Citra
bahwa orang Eropa memiliki anak-anak yang dilahirkan dari gundik perempuan
pribumi sebetulnya sangat negatif. Dalam tulisan-tulisan pada waktu itu para
gundik sering dijuluki “perempuan-perempuan hitam” yang berkelakuan seperti
“ternak yang bersyahwat”. Para gundik, menurut banyak orang Eropa, sangat aktif
perihal seks. Mereka juga menikmatinya, bahkan melacurkan diri mereka, tidak
perlu menerima uang tapi malah memberi uang.[1]
Selanjutnya
mereka malas ( kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan
“ dan karena kebenciannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain,”
demikian tulis Jan Pieterszoon Coen dalam surat pada 11 Desember 1620.[2]
Citra anak-anak yang lahir dari pengundikan juga tidak positif. Orang Eropa
umumnya berpendapat bahwa percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat trburuk dari
kedua ras tersebut hingga selalu menghasilkan karakter yang lemah. Selai itu,
menurut saksi mata Eropa sikap pribumi mereka jauh lebih dominan dari pada
sikap Eropa. Hal ini didasari oleh kenyataan mudah dan seringnya mereka jongkik
berlama-lama serta sulitnya mereka bergerak ketika mengenakan pakaina Eropa.
2.
Sejarah
kemunculan kaum Indo
Semua keanggunan yang
bersifat Belanda kuno, sikap kolot dan kaku serta prasangka-prasangka yang didapat
dari ibu mereka, tampak di dalam diri makhluk yang lahir ke dunia tanpa diberi
izin terlebih dahulu oleh pegawai catatan sipil[3]
Kekhawatiran
terhadap hubungan seksual antara-ras merupakan ciri khas masyarakat kolonial di
Hindia Belanda. Bukan kekhawatiran terhadap kenyataan mengenai adanya hubungan
ini dan kemudian akan lahir anak-anak dari hubungan tersebut, melainkan
ketakutan bahwa anak-anak ini dapat membahayakan ketertiban kolonial. Karena
hal tersebut, seiring berjalannya waktu, dilakukan upaya dengan intensitas yang
berbeda demi mengendalikan yang disebut sebagai “bahaya pengrusakan”.
Sehubungan dengan membesarnya bayangan atas bahaya pengrusakan supremasi
kolonial, hubungan seksual anatara-ras kian ditolak keras.
Hal
ini memberikan berbagai konsekuensi baik bagi orang-orang Eropa di Hindia
Belanda yang hidup dalam pergundikan maupun nyai pribumi mereka. Namun
konsekuensi terbesar barangkali dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari
hubungan semacam itu. Dapat kita katakan , nyai adalah nenek moyang orang-orang
Indo-Eropa. Bisa juga disebut “Hajar, ibu dan Ismail”, seperti yang pernah
disebut seorang penulis Indies.[4]
Pengundikan
bukan sebuah gejala (kaum) marjinal. Menurut perkiraan terdapat lebih dari
setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama
seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19. Jika tidak
terjalin hubungan pergundikan (lagi), maka hal itu lebih disebabkan oleh sifat lain atau situasi
keuangan laki-laki yang bersangkutan yang sangat buruk. Tentu saja hal itu
tidak disebabkan oleh norma-norma moral yang menahan diri mereka ( untuk tidak
melakukannya). Demikianlah yang dapat dibaca dari sebuah ungkapan lisan dari
tahun 1903[5].
Jika
ia tidak menemukan nyai yang sesuai diantara para pekerja rumah tangganya, sang
laki-laki memberi perintah dengan jelas kepada salah seorang pembantunya
(diutamakan yang laki-laki) agar mencarikan seorang gundik.” Setiap orang
indies tau apa arti perintah’tjari parempoewan”, tulis seorang wartawan dan
penulis, Hendri Borel, dalam salah satu artikelnya mengenai pergundikan[6].
3.
Posisionalitas
kaum Indo
Sebagian
kecil anak-anak tersebut dilahirkan dari lapisan atas masyarakat kolonial. Ayah
mereka merupakan seorang pengusaha sukses, pejabat tinggi atau orang yang
memiliki pekerjaan penting. Lagi pula sang ayah memperhatikan dan memberikan
namanya kepada anak-anaknya. Ia hidup bersama nyai (yang kadang-kadang telah
dinikahinya) dan anak-anaknya layaknya sebuah keluarga Eropa. Anak-anak ini,
seperti halnya pada masa VOC, dikirim pada usia muda ( biasanya empat atau lima
tahun) ke Belanda untuk mengenyam pendidikan Eropa. Dengan membayar, mereka pun
di titipkan kepada salah satu anggota keluarga sang ayah atau tinggal dengan
keluarga yang mendapat penghasilan tambahan dengan menampung anak-anak dari
Hindia Belanda. Di dalam harian-harian Indies kerap ditemukan iklan seperti
yang dimuat di dalam suratkabar Semarang De
Locomotief di bawah ini:
Seorang
wanita berbudaya (janda perwira) di Den Haag bersama seorang putri berumur sembilan
tahun, bersedia diberikan tanggungjawab untuk memelihara dan mendidik satu atau
dua anak perempuan yang kira-kira sebaya. Diharapkan untuk berbicara bahsa
Prancis dengan anak-anak di rumah, persyaratan-persyaratan yang rasional[7].
Di dalam edisi lain dimuat iklam
sebagai berikut:
Sebuah keluarga
terhormat Belanda (Utrecht) bersedia menerima seorang atau lebih anak-anak
Indies dengan uang sewa. Pendidikan dan pelajaran akan diawasi dengan baik[8] .
Yang
juga merupakan fenomena khas kolonial adalah sosok gouvernante Eropa. Para
ayah hidup atau pernah hidup dalam pengundikan dan tidak mengirim anak-anak (
Indo-Eropa) mereka ke negara asalnya, lebih sering mencari guru privat Eropa.
Dengan memperhitungkan kecilnya kesempatan para Indo-Eropa untuk menanjak di
tengah masyarakat, sang guru harus mendidik anak-anak tersebut. Yang terpenting
adalah anak-anak harus belajar bahasa Belanda yang baik, sebuah simbol yang
dapat didengar dari mereka yang berasal dari Eropa. Perekrutan gouvenante
dilakukan terutama lewat koran di Hindia Belanda atau Belanda. Dengan melihat
iklan-iklan tersebut diperoleh sebuah kilasan menarik mengenai masyarakat pada
waktu itu:
Dicari
seorang guru perempuan untuk daerah pendalaman, murni berbahasa Belanda, hanya
yang bersedia tinggal serumah dengan seorang ibu pribumi yang akan diterima.[9]
Atau yang dibuat oleh
seorang pegawai Eropa di sebuah pabrik gula di Jawa Tengahini”
Dibutuhkan seorang gouvernante untuk tiga orang anak.
Persyaratan: sertifikat pendidikan dasar (Lager Onderwijs) dan bahasa Prancis
dasar. Gaji 75 gulden dan semua gratis.[10]
Jika seseorang memiliki anak-anak
dan tinggal di luar Jawa maka sangat dibutuhkan seseorang gouvernante Eropa
karena ketiadaan sekolah Eropa di daerah tersebut. Hal itulah yang dialami oleh
para pengusaha perkebunan di Deli:
Dibutuhkan: secepat mungkin seorang guru Eropa untuk
seorang anak perempuan berusia empat tahun di sebuah keluarga di Deli. Syarat:
geratis penyeberangan dari Jawa ke Deli dan setelah dua tahun juga kembali
lagi. Gaji dirundingkan kemudian.[11]
Kadang-kadang juga
terdapat iklan-iklan pernikahan yang terselubung seperti dibawah ini. Dari sini
masih terlihat bayangan nyai yang telah diusir:
Seorang laki-laki
lajang bertempat tinggal di luar Jawa mencari seorang wanita Eropa berbudaya
untuk mendidik putrinya yang berumur empat tahun dan juga mengurus rumah
tangga.[12]
a.
Waktu
penjajahan Belanda
Pada 1842, keadaan diperburuk oleh
peraturan yang disebut Delftse
Prerogatief (hak prerogatif Delft).
Peraturan ini menentukan bahwa tidak seorangpun di Hindia Belanda dapat
menduduki jabatan lebih tinggi tanpa melakukan ujian pegawai di Akademi Delft.
Akademi yang didirikan pada 1842 ini merupakan tempat pendidikan bagi para pegawai
pemerintah yang akan ditempatkan di Hindia Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini
merupakan jaminan bahwa kedudukan yang lebih baik di dalam koloni telah
disediakan bagi “ orang-orang Eropa yang didatangkan”. Sementara itu,
konsekuensi langsung dari hal tersebut ditunjukan bagi mereka yang lahir dan
besar di dalam koloni. Salah satu keturunan keluarga pengusaha perkebunan Eropa
yang terkenal di Jawa menulis”
Hindianisasi
cabang keluarga A dan B telah mengakibatkan kemunduran di dalam tatanan
kemasyarakatan. Anak-anak tinggal di Hindia Belanda dan karena itu hanya
bersekolah di sana. Itu berarti mereka hanya akan memperoleh pekerjaan
berpendapatan rendah di pasar tenaga kerja karena pekerjaan-pekerjaan tinggi
(di pemerintahan) tetap disediakan bagi yang mengenyam pendidikan di Belanda
dan/ atau memiliki Radikaal.[13]
Beberapa
tahun kemudian, pada 1727, VOC terhambat oleh kekurangan yang besar akan jumlah
pegawai. Kemudian menyusun dikeluarkannya sebuah ketentuan yang menetapkan
bahwa para pedagang kecil ( Eropa)yang ada dan tidak memiliki kedudukan
secepatnya mungkin harus diterima bekerja dan dengan berbagai cara harus lebih
diutamakan di atas “anak-anak Indies”.
Anak-anak Indies hanya boleh diterima bekerja dalam keadaan darurat dan jika
terjadi kekurangan tenaga ahli lainnya. Selain itu juga terdapat larangan untuk
memperkerjakan pemuda-pemuda Indies yang pernah menjadi pegawai pemerintah atau
pegawai administrasi.[14]
Adanya
Ras, Kelas dan kolonialisme terdapat dua kecenderungan luas dalam analisis atas
ras dan etnisitas: yang pertama, yang berasal dari analisis Marxsis, bisa
disebut “ekonomis” karena memandang kelompok-kelompok sosial, termaksud
pengelompokan-pengelompokan rasial, itu terutama ditentukan dan dijelaskan oleh
srtuktur-struktur dan proses-proses ekonomis[15]
oleh tenaga kerja rakyat jajahan. Pendekatan kedua, yang disebut “sosiologis”,
dan sebagian berasal dari karya Marx Weber, mengatakan bahwa
penjelasan-penjelasan ekonomis tidak cukup untuk memahami segi-segi rasial dari
masyarakat-masyarakat terjajah. Sedangkan pendekatan pertama cenderung
fungsionalis dalam pemahaman atas ras, yang kedua cenderung mengabaikan
masalah-masalah ekonomis dan sering deskriptif bukanya analitis.
Tentu
saja tidak boleh menyederhanakan pendekatan-pendekatan ini menjadi
bagian-bagian yang tidak saling memengaruhi, karena masing-masing melibatkan
pendebatan-pendebatan yang kompleks dan bernuansa, tetapi secara keseluruhan,
pendekatan yang pertama mengutamakan kelas, dan yang terakhir mengutamakan ras
dalam memahami formasi-formasi sosial kolonial.
Marxsisime
“klasik” mengatakan bahawa efisiensi kapitalis telah menggantikan perbudakan
dan bentuk-bentuk pemaksaan yang kasar dengan pasar pekerja “bebas” dalam mana
paksaan diterapkan melalui tekanan ekonomi. Tetapi dibawah kolonialisme,
menurut Rex, aspek-aspek pengendalian yang katanya sudah kuno ini masih
berlanjut, bukan sebagai sisa-sisa dari masa lalu melainkan sebagai aspek
integral dari masa kini kapitalis. Ras dan rasisme adalah basis bagi pekerja
tidak bebas untuk dipaksa bekerja untuk kolonialis.
Aime
Cesaire mengutip Ernst Renan mengenai point: Alam telah menciptakan suatu ras
pekerja, ras Cina, yang memiliki keterampilan manual yang menakjubkan dan
hampir tidak memiliki kehormatan; perintalah mereka dengan keadilan, pajakilah
mereka, sebagai imbalan atas kesejahteraan dari pemerintah, sebuah imbalan yang
cukup besar bagi ras penakluk, dan mereka akan puas; suatu ras petani, bangsa
Negro..; suatu ras tuan dan tentara, ras Eropa. Jadikalah ras ini bekerja di
sawah seperti orang Negro dan Cina, dan mereka akan berontak.. Tetapi kehidupan
yang diberontaki oleh para pekerja kita akan membuat orang Cina atau Arab
bahagia, karena sama sekali mereka bukan insan militer, Biarlaj mereka
masing-masing mengerjakan yang ditakdirkan baginya, dan semuanya akan baik-baik
saja. (1972:16)
Ideologi
superioritas ras dengan mudah bisa diterjemahkan ke dalam kerangka kelas.
Superioritas ras-ras putih, demikian kata seorang kolonis, jelas menyiratkan
bahwa “ orang-orang hitam harus selamanya menjadi pekerja murah dan
budak”.kelompok-kelompok orang-orang tertentu, dengan demikian secara rasial
ditetapkan sebagai kelas pekerja alami. Masalahnya kini adalah bagaimana
mengorganisasikan dunia sosial sesuai dengan keyakinan ini, atau memaksa “populasi
ke dalam posisi kelas” alaminya dengan perkataan lain, realitas harus
disesuaikan dengan gambaran itu untuk menjamin sasaran material dari produksi”
(Miles 1989:105).
b.
Masa
awal Indonesia merdeka
Didalam
Bukunya Leela Gandhi mengenai Teori Poskolonial ada kutipan dari Albert Memmi,
mengatakan bahwa dampak kolonial secara fundamental terpedaya dalam harapannya
bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara ajaib dari reruntuhan
fisik kolonialisme. Memmi menambahkan subjek-subjek yang jaya dalam dampak ini
secara tak terhindarkan menganggap remeh keyakinan yang kuat secara psikologis
terhadap masa lalu yang kolonial di atas masa kini yang poskolonial. Dalam
ungkapannya “Dan pada hari penindasan berhenti, manusia baru diduga akan muncul
di hadapan mata kita secara langsung. Saat ini, saya tidak suka mengatkan
begitu, tetapi saya harus mengatakannya, karena dekolonisasi telah
menunjukkanya : ini bukanlah persoalan cara terjadinya. Kehidupan terjajah
untuk waktu yang lama sebelum kita melihat bahwa benar-benar ada manusia baru”
( Memmi,1968; hlm.88).
Pesimisme
politik Memmi memberikan sebuah catatan tentang poskolonialitas sebagai suatu
kondisi historis yang ditandai oleh aparat kebebasan yang tak tampak dan
presisitensi ketidakbebasan yang tersembunyi. Lamanya penentangan dari sisi
terjajah sebagian ditumbuhkan oleh hierarki kolonial yang selalu ada tentang
pengetahuan nilai yang memaksakan apa yang disebut Edward Said sebagai “dreadful secondariness” (Said,1989;hlm.207)
dari masyarakat dan budaya tertentu. Demikian juga kosmetik kemerdekaan
nasional menyamarkan kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang dibebankan oleh
penduduk kolonial. Penjajah,sebagaimana dikatakan oleh Said, merupakan takdir
abadi, suatu hasil yang sungguh-sungguh aneh dan tidak adil. (1989;hlm.207).
Setelah kemerdekaan, sebuah periode
kekacauan dan kelumpuhan (sosial) pun kembali dimulai. Muncul sebuah situasi
baru di Hindia Belanda yang dapat dilihat dari perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal ini lantas memberikan dampak-dampak fatal kepada
keluarga-keluarga campuran di Hindia Belanda. Asal usul keturunan yang berbeda
kembali memainkan peran yang menentukan.
Para perempuan Indonesia yang ikut
menyeberang kemudian pergi ke Belanda sebelum dan terutama setelah pemindahan
kekuasaan pada 1949. Mereka mengikuti suami serta anak-anak Eropa mereka dan
berangkat ke Eropa ayang asing. Dengan demikian, sejak akhir tahun 1940-an
sudah ada banyak nyai di tengah masyarakat Belanda. “ saya masih mengenali
mereka dan masih ada cukup banyak yang tinggal di Belanda, dalam beberapa kasus
tanpa kamu sadari mereka juga merupakan kenalanmu,” tulis Tjalie Robinson di
sebuah surat kepada Rob Nieuwenhuys pada 1971.[16]
Kita telah mempertimbangkan
implikasi-implikasi dari sebuah penjajaran teoretis antara gejala-gejala
merugikan dari “masa lalu kolonial” dan “ masa kini poskolonial”. Penting juga
, seperti ditulis Gyan Prakash, “ untuk mengakui sepenuhnya sejarah tentang
agensi dan pengetahuan lain yang hidup dalam berat beban masa lalu kolonial”
(Prakash 1995, hlm.5). tugas “pengakuan penuh” ini menyaratkan bahwa
undang-undang resistensi antikolonial tidak hanya dianggap sebagai hal yang
bisa diteorikan, seperti yang diungkapkan Prakash, tetapi diperlakukan sperti
peristiwa-peristiwa teoritis yang sepenuhnya komprehensif dan sepenuhnya
dikonseptualisasikan sesuai dengan hak mereka sendiri.
Dalam ungkapan Fanon kolonialisme menginginkan
segala hal yang berasal darinya. Namun, ciri psikologis yang dominan dari si
terjajah harus ditarik sebelum dilakukannya invitasi dari si penakluk ( Fanon
1965, hlm.63). Sedangkan ungkapan Gandhi kita telah membawa inggris dan
menjaganyaaa. Mengapa kamu lupa bahwa penerimaan kita atas peradaban mereka
membuat kehadiran mereka di India menjadi sangat mungkin? Kebencianmu pada
mereka harus dialihkan pada kebencian terhadap peradaban mereka ( Gandhi 1938,
hlm. 66).
Alih-alih
melihat dirinya sebagai, atau dalam cerita sang tuan, kini sang budak dipaksa
untuk melihat dirinya di samping sang tuan. Ia dipaksa, meminjam ungkapan
Bhabha, memimpikan citra manusia paska-pencerahan yang ditambatkan pada, tidak
dikonfrontasikan oleh, refleksi gelapnya, bayangan manusia terjajah, yang
memecah kehadirannya, mendistorsi kerangka berpikirnya, menerobos batas-batasnya..
menggangu dan mendistorsi saat dari wujudnya yang sesungguhnya ( Bhabha 1994,
hlm.44).
4.
Penutup
Melihat
definisi dan sejarah anak-anak Indo di Indonesia maupun di Belanda dari zaman
penjajahan serta awal Indonesia merdeka. Memang posisionalitan Indo-Eropa
selalu saja bahan pembicaraan dari zaman
Indonesia dijajah oleh Belanda Serta sampai pada jajahan Jepang.
Identitas mereka selalu diragukan dan sulit untuk diterima di Indonesia maupun
di negara ayah mereka di Belanda. Karena mengaggap anak Indo-Eropa bodoh dan
tolol yang sulit untuk menempatkan posisi mereka dimana.
Serta
penjelasan mengenai ras, kelas dan kolonialisme yang diungkapkan oleh Ania
Loomba, bagaimana pandangan orang Eropa terhadap warna kulit orang Indonesia
yang berkulit hitam dan sawo matang dibandingkan warna kulit orang Eropa yang
identik dengan kulit putih. Dampak kolonial, serta mengenang poskolonialisme,
dan pemulihan budak yang dikutip oleh Leela Gandhi. Analisis ini ingin
mempertegaskan posisionalitas Indo dalam pascakolonial.
Serta
hukum-hukum yang dibuat Belanda terhadap kaum Indo
Daftar
Pustaka
Baay,
Reggie.”Beelden van Een Oermoeder.Visies op De Njai in De Indisch Nederlandsch
Literatuur”. Dalam Michiel van Kempen, Piet Verkruijsse dan Adrienne Zuiderweg
(ed). 2004. Wandelaar onder De Palmen. Opstellen over Koloniale en
Postkoloniale Literatuur en Cultuur, hlm.99-111. Leiden.
Paasman,
Bert.”De Indisch-Nederlandes Literatuur uit de VOC tijd”. Dalam Theo D’haen
(ed).2002. Europa Buitengaats. Koloniale en Poskoloniale Literaturen in
Europese Talen,hlm.33-97. Amsterdam
Chijs
van der, J.A.(ed). 1885-1900. Nederlandsch –Indisch Plakaatboek 1602-1811.16
jilid dan indeks. S-Gravenhage.
Nieuwenhuys,
Rob.1982. Komen en Blijven. Amsterdam
Ming,
Hanneke. 1983.” Barracks- Concubinage in The Indies,1887-1920”. Indonesia,
No.35,hlm. 65-93. Cornel Southeast Asia Program.
Creusesol
dan Hendri Borel. 1913. Een Werkkring in Indie.Pro en Contra. Betreffende
Vraagstukken van Algemeen Belang. Baarn.
[1] Paasman menunjukan bahwa hal ini digambarkan terutama di dalam
lagu-lagu pada waktu itu. Dalam: D’haen, Europa buitengaats,65
[2] Van der Chijs, Nederlandsch Indisch Plakaatboek 1602-1811.Jilid 1,82
[3] Foore, Indische Huwelijken,116
[4] Nieuwenhuys, Komen en Blijven,90
[5] Dikutip dalam: Ming,”Concubinage in The Indies”,70. Pernyataan lisan
pada 29 Desember 1903.13 Kementerian Penjajahan.
[6] Crusesol dan Borel, Een Werkkring in Indie,27
[7] De Locomotief, 5 Juli 1902
[8] Idem, 12 Agustus 1902
[9] Idem,8 September 1904
[10] Idem, 18 Juli 1902
[11] Idem,21 Juli 1902
[12] Idem,8 Oktober 1902
[13] Van Motman, De Familie Van Motman 1600-2006,65
[14] Van Rees, Het Pauperisme onder De European in Nederlandsch Indie,
Bagian pertama,3
[15] Marx,K 1961.capital
[16] Surat Tjalia Robinson kepada Rob Nieuwenhuys, 25 April 1971
Tidak ada komentar:
Posting Komentar