see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Senin, 10 Maret 2014

Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo

                          Kajian Pascakolonial Tentang posisionalitas Indo
                                                     Oleh :
      Felomena Sunarti/136322005

1.            Pendahuluan

  Termaksud definisi tentang Indo yang ada di Indonesia maupun yang ada di negara Belanda, dimana para Indo mencari posisi mereka di Indonesia maupun di Belanda agar diakui oleh kedua Negara yang mereka tempati nantinya. Dimana perempuan yang hidup dengan laki-laki Eropa selama masa penjajahan Belanda dan dengan demikian juga merupakan ibu dari para Indo. Saya hanya bisa berharap bahwa akan ada sedikit perhatian terhadap para perempuan yang selalu dikebelakangkan dan dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia, kebanyakan keluarga Indo bahkan melupakannya. Padahal, perempuan Indonesia ini, sang nyai, merupakan nenek moyang mereka.
   Para perempuan memberikan pemahaman kepada kita mengenai pola hubungan pada zaman kolonial, dalam proses kemunculan para Indo dan posisi perempuan Indonesia (dan ketidakadilan yang diterimanya). Ini adalah nasib menyedihkan yang dialami banyak perempuan pribumi, pada waktu itu, para nyai, gundik laki-laki Eropa. Kenyataan bahwa hal tersebut merupakan pengalaman traumatis bagi ibu dan anak terlihat dari sikap ayah yang tidak pernah mau atau bisa membicarakan ibunya.
Alasan orang Eropa menikahi perempuan Asia terutama perempuan di Indonesia karena menganggap bahwa perempuan pribumi berkelakuan baik dan perempuan pribumi lebih menguntungkan dari perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa. Disamping itu, perempuan pribumi tidak terlalu serakah dibandingkan perempuan Eropa.  Para laki-laki Eropa memiliki ikatan yang lemah dengan anak-anak dari perempuan pribumi. Demikian sebaliknya, kebanyakan dari anak-anak ini tidak pernah merasa sebagai anak Eropa, seperti yang telah diketahui bahwa banyak dari mereka yang ditelantarkan sejak masa remajanya.
Citra bahwa orang Eropa memiliki anak-anak yang dilahirkan dari gundik perempuan pribumi sebetulnya sangat negatif. Dalam tulisan-tulisan pada waktu itu para gundik sering dijuluki “perempuan-perempuan hitam” yang berkelakuan seperti “ternak yang bersyahwat”. Para gundik, menurut banyak orang Eropa, sangat aktif perihal seks. Mereka juga menikmatinya, bahkan melacurkan diri mereka, tidak perlu menerima uang tapi malah memberi uang.[1]
Selanjutnya mereka malas ( kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan “ dan karena kebenciannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain,” demikian tulis Jan Pieterszoon Coen dalam surat pada 11 Desember 1620.[2] Citra anak-anak yang lahir dari pengundikan juga tidak positif. Orang Eropa umumnya berpendapat bahwa percampuran ras mengumpulkan sifat-sifat trburuk dari kedua ras tersebut hingga selalu menghasilkan karakter yang lemah. Selai itu, menurut saksi mata Eropa sikap pribumi mereka jauh lebih dominan dari pada sikap Eropa. Hal ini didasari oleh kenyataan mudah dan seringnya mereka jongkik berlama-lama serta sulitnya mereka bergerak ketika mengenakan pakaina Eropa.





2.            Sejarah kemunculan kaum Indo

Semua keanggunan yang bersifat Belanda kuno, sikap kolot dan kaku serta prasangka-prasangka yang didapat dari ibu mereka, tampak di dalam diri makhluk yang lahir ke dunia tanpa diberi izin terlebih dahulu oleh pegawai catatan sipil[3]
Kekhawatiran terhadap hubungan seksual antara-ras merupakan ciri khas masyarakat kolonial di Hindia Belanda. Bukan kekhawatiran terhadap kenyataan mengenai adanya hubungan ini dan kemudian akan lahir anak-anak dari hubungan tersebut, melainkan ketakutan bahwa anak-anak ini dapat membahayakan ketertiban kolonial. Karena hal tersebut, seiring berjalannya waktu, dilakukan upaya dengan intensitas yang berbeda demi mengendalikan yang disebut sebagai “bahaya pengrusakan”. Sehubungan dengan membesarnya bayangan atas bahaya pengrusakan supremasi kolonial, hubungan seksual anatara-ras kian ditolak keras.
Hal ini memberikan berbagai konsekuensi baik bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda yang hidup dalam pergundikan maupun nyai pribumi mereka. Namun konsekuensi terbesar barangkali dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari hubungan semacam itu. Dapat kita katakan , nyai adalah nenek moyang orang-orang Indo-Eropa. Bisa juga disebut “Hajar, ibu dan Ismail”, seperti yang pernah disebut seorang penulis Indies.[4]
Pengundikan bukan sebuah gejala (kaum) marjinal. Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19. Jika tidak terjalin hubungan pergundikan (lagi), maka hal itu lebih  disebabkan oleh sifat lain atau situasi keuangan laki-laki yang bersangkutan yang sangat buruk. Tentu saja hal itu tidak disebabkan oleh norma-norma moral yang menahan diri mereka ( untuk tidak melakukannya). Demikianlah yang dapat dibaca dari sebuah ungkapan lisan dari tahun 1903[5].
Jika ia tidak menemukan nyai yang sesuai diantara para pekerja rumah tangganya, sang laki-laki memberi perintah dengan jelas kepada salah seorang pembantunya (diutamakan yang laki-laki) agar mencarikan seorang gundik.” Setiap orang indies tau apa arti perintah’tjari parempoewan”, tulis seorang wartawan dan penulis, Hendri Borel, dalam salah satu artikelnya mengenai pergundikan[6].
3.            Posisionalitas kaum Indo

Sebagian kecil anak-anak tersebut dilahirkan dari lapisan atas masyarakat kolonial. Ayah mereka merupakan seorang pengusaha sukses, pejabat tinggi atau orang yang memiliki pekerjaan penting. Lagi pula sang ayah memperhatikan dan memberikan namanya kepada anak-anaknya. Ia hidup bersama nyai (yang kadang-kadang telah dinikahinya) dan anak-anaknya layaknya sebuah keluarga Eropa. Anak-anak ini, seperti halnya pada masa VOC, dikirim pada usia muda ( biasanya empat atau lima tahun) ke Belanda untuk mengenyam pendidikan Eropa. Dengan membayar, mereka pun di titipkan kepada salah satu anggota keluarga sang ayah atau tinggal dengan keluarga yang mendapat penghasilan tambahan dengan menampung anak-anak dari Hindia Belanda. Di dalam harian-harian Indies kerap ditemukan iklan seperti yang dimuat di dalam suratkabar Semarang De Locomotief di bawah ini:
Seorang wanita berbudaya (janda perwira) di Den Haag bersama seorang putri berumur sembilan tahun, bersedia diberikan tanggungjawab untuk memelihara dan mendidik satu atau dua anak perempuan yang kira-kira sebaya. Diharapkan untuk berbicara bahsa Prancis dengan anak-anak di rumah, persyaratan-persyaratan yang rasional[7].
          Di dalam edisi lain dimuat iklam sebagai berikut:
          Sebuah keluarga terhormat Belanda (Utrecht) bersedia menerima seorang atau lebih anak-anak Indies dengan uang sewa. Pendidikan dan pelajaran akan diawasi dengan baik[8] .
Yang juga merupakan fenomena khas kolonial adalah sosok gouvernante   Eropa. Para ayah hidup atau pernah hidup dalam pengundikan dan tidak mengirim anak-anak ( Indo-Eropa) mereka ke negara asalnya, lebih sering mencari guru privat Eropa. Dengan memperhitungkan kecilnya kesempatan para Indo-Eropa untuk menanjak di tengah masyarakat, sang guru harus mendidik anak-anak tersebut. Yang terpenting adalah anak-anak harus belajar bahasa Belanda yang baik, sebuah simbol yang dapat didengar dari mereka yang berasal dari Eropa. Perekrutan gouvenante dilakukan terutama lewat koran di Hindia Belanda atau Belanda. Dengan melihat iklan-iklan tersebut diperoleh sebuah kilasan menarik mengenai masyarakat pada waktu itu:
Dicari seorang guru perempuan untuk daerah pendalaman, murni berbahasa Belanda, hanya yang bersedia tinggal serumah dengan seorang ibu pribumi yang akan diterima.[9]
Atau yang dibuat oleh seorang pegawai Eropa di sebuah pabrik gula di Jawa Tengahini”
            Dibutuhkan seorang gouvernante untuk tiga orang anak. Persyaratan: sertifikat pendidikan dasar (Lager Onderwijs) dan bahasa Prancis dasar. Gaji 75 gulden dan semua gratis.[10]
          Jika seseorang memiliki anak-anak dan tinggal di luar Jawa maka sangat dibutuhkan seseorang gouvernante Eropa karena ketiadaan sekolah Eropa di daerah tersebut. Hal itulah yang dialami oleh para pengusaha perkebunan di Deli:
            Dibutuhkan: secepat mungkin seorang guru Eropa untuk seorang anak perempuan berusia empat tahun di sebuah keluarga di Deli. Syarat: geratis penyeberangan dari Jawa ke Deli dan setelah dua tahun juga kembali lagi. Gaji dirundingkan kemudian.[11]
Kadang-kadang juga terdapat iklan-iklan pernikahan yang terselubung seperti dibawah ini. Dari sini masih terlihat bayangan nyai yang telah diusir:
Seorang laki-laki lajang bertempat tinggal di luar Jawa mencari seorang wanita Eropa berbudaya untuk mendidik putrinya yang berumur empat tahun dan juga mengurus rumah tangga.[12]
a.            Waktu penjajahan Belanda
Pada 1842, keadaan diperburuk oleh peraturan yang disebut Delftse Prerogatief  (hak prerogatif Delft). Peraturan ini menentukan bahwa tidak seorangpun di Hindia Belanda dapat menduduki jabatan lebih tinggi tanpa melakukan ujian pegawai di Akademi Delft. Akademi yang didirikan pada 1842 ini merupakan tempat pendidikan bagi para pegawai pemerintah yang akan ditempatkan di Hindia Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini merupakan jaminan bahwa kedudukan yang lebih baik di dalam koloni telah disediakan bagi “ orang-orang Eropa yang didatangkan”. Sementara itu, konsekuensi langsung dari hal tersebut ditunjukan bagi mereka yang lahir dan besar di dalam koloni. Salah satu keturunan keluarga pengusaha perkebunan Eropa yang terkenal di Jawa menulis”
Hindianisasi cabang keluarga A dan B telah mengakibatkan kemunduran di dalam tatanan kemasyarakatan. Anak-anak tinggal di Hindia Belanda dan karena itu hanya bersekolah di sana. Itu berarti mereka hanya akan memperoleh pekerjaan berpendapatan rendah di pasar tenaga kerja karena pekerjaan-pekerjaan tinggi (di pemerintahan) tetap disediakan bagi yang mengenyam pendidikan di Belanda dan/ atau memiliki Radikaal.[13]   
Beberapa tahun kemudian, pada 1727, VOC terhambat oleh kekurangan yang besar akan jumlah pegawai. Kemudian menyusun dikeluarkannya sebuah ketentuan yang menetapkan bahwa para pedagang kecil ( Eropa)yang ada dan tidak memiliki kedudukan secepatnya mungkin harus diterima bekerja dan dengan berbagai cara harus lebih diutamakan  di atas “anak-anak Indies”. Anak-anak Indies hanya boleh diterima bekerja dalam keadaan darurat dan jika terjadi kekurangan tenaga ahli lainnya. Selain itu juga terdapat larangan untuk memperkerjakan pemuda-pemuda Indies yang pernah menjadi pegawai pemerintah atau pegawai administrasi.[14]        
Adanya Ras, Kelas dan kolonialisme terdapat dua kecenderungan luas dalam analisis atas ras dan etnisitas: yang pertama, yang berasal dari analisis Marxsis, bisa disebut “ekonomis” karena memandang kelompok-kelompok sosial, termaksud pengelompokan-pengelompokan rasial, itu terutama ditentukan dan dijelaskan oleh srtuktur-struktur dan proses-proses ekonomis[15] oleh tenaga kerja rakyat jajahan. Pendekatan kedua, yang disebut “sosiologis”, dan sebagian berasal dari karya Marx Weber, mengatakan bahwa penjelasan-penjelasan ekonomis tidak cukup untuk memahami segi-segi rasial dari masyarakat-masyarakat terjajah. Sedangkan pendekatan pertama cenderung fungsionalis dalam pemahaman atas ras, yang kedua cenderung mengabaikan masalah-masalah ekonomis dan sering deskriptif bukanya analitis.
Tentu saja tidak boleh menyederhanakan pendekatan-pendekatan ini menjadi bagian-bagian yang tidak saling memengaruhi, karena masing-masing melibatkan pendebatan-pendebatan yang kompleks dan bernuansa, tetapi secara keseluruhan, pendekatan yang pertama mengutamakan kelas, dan yang terakhir mengutamakan ras dalam memahami formasi-formasi sosial kolonial.
Marxsisime “klasik” mengatakan bahawa efisiensi kapitalis telah menggantikan perbudakan dan bentuk-bentuk pemaksaan yang kasar dengan pasar pekerja “bebas” dalam mana paksaan diterapkan melalui tekanan ekonomi. Tetapi dibawah kolonialisme, menurut Rex, aspek-aspek pengendalian yang katanya sudah kuno ini masih berlanjut, bukan sebagai sisa-sisa dari masa lalu melainkan sebagai aspek integral dari masa kini kapitalis. Ras dan rasisme adalah basis bagi pekerja tidak bebas untuk dipaksa bekerja untuk kolonialis.
Aime Cesaire mengutip Ernst Renan mengenai point: Alam telah menciptakan suatu ras pekerja, ras Cina, yang memiliki keterampilan manual yang menakjubkan dan hampir tidak memiliki kehormatan; perintalah mereka dengan keadilan, pajakilah mereka, sebagai imbalan atas kesejahteraan dari pemerintah, sebuah imbalan yang cukup besar bagi ras penakluk, dan mereka akan puas; suatu ras petani, bangsa Negro..; suatu ras tuan dan tentara, ras Eropa. Jadikalah ras ini bekerja di sawah seperti orang Negro dan Cina, dan mereka akan berontak.. Tetapi kehidupan yang diberontaki oleh para pekerja kita akan membuat orang Cina atau Arab bahagia, karena sama sekali mereka bukan insan militer, Biarlaj mereka masing-masing mengerjakan yang ditakdirkan baginya, dan semuanya akan baik-baik saja. (1972:16)
Ideologi superioritas ras dengan mudah bisa diterjemahkan ke dalam kerangka kelas. Superioritas ras-ras putih, demikian kata seorang kolonis, jelas menyiratkan bahwa “ orang-orang hitam harus selamanya menjadi pekerja murah dan budak”.kelompok-kelompok orang-orang tertentu, dengan demikian secara rasial ditetapkan sebagai kelas pekerja alami. Masalahnya kini adalah bagaimana mengorganisasikan dunia sosial sesuai dengan keyakinan ini, atau memaksa “populasi ke dalam posisi kelas” alaminya dengan perkataan lain, realitas harus disesuaikan dengan gambaran itu untuk menjamin sasaran material dari produksi” (Miles 1989:105).
b.            Masa awal Indonesia merdeka

Didalam Bukunya Leela Gandhi mengenai Teori Poskolonial ada kutipan dari Albert Memmi, mengatakan bahwa dampak kolonial secara fundamental terpedaya dalam harapannya bahwa arsitektur dunia baru akan dapat muncul secara ajaib dari reruntuhan fisik kolonialisme. Memmi menambahkan subjek-subjek yang jaya dalam dampak ini secara tak terhindarkan menganggap remeh keyakinan yang kuat secara psikologis terhadap masa lalu yang kolonial di atas masa kini yang poskolonial. Dalam ungkapannya “Dan pada hari penindasan berhenti, manusia baru diduga akan muncul di hadapan mata kita secara langsung. Saat ini, saya tidak suka mengatkan begitu, tetapi saya harus mengatakannya, karena dekolonisasi telah menunjukkanya : ini bukanlah persoalan cara terjadinya. Kehidupan terjajah untuk waktu yang lama sebelum kita melihat bahwa benar-benar ada manusia baru” ( Memmi,1968; hlm.88).
Pesimisme politik Memmi memberikan sebuah catatan tentang poskolonialitas sebagai suatu kondisi historis yang ditandai oleh aparat kebebasan yang tak tampak dan presisitensi ketidakbebasan yang tersembunyi. Lamanya penentangan dari sisi terjajah sebagian ditumbuhkan oleh hierarki kolonial yang selalu ada tentang pengetahuan nilai yang memaksakan apa yang disebut Edward Said sebagai “dreadful secondariness” (Said,1989;hlm.207) dari masyarakat dan budaya tertentu. Demikian juga kosmetik kemerdekaan nasional menyamarkan kerusakan fondasi ekonomi dan politik yang dibebankan oleh penduduk kolonial. Penjajah,sebagaimana dikatakan oleh Said, merupakan takdir abadi, suatu hasil yang sungguh-sungguh aneh dan tidak adil. (1989;hlm.207). 
Setelah kemerdekaan, sebuah periode kekacauan dan kelumpuhan (sosial) pun kembali dimulai. Muncul sebuah situasi baru di Hindia Belanda yang dapat dilihat dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini lantas memberikan dampak-dampak fatal kepada keluarga-keluarga campuran di Hindia Belanda. Asal usul keturunan yang berbeda kembali memainkan peran yang menentukan.
Para perempuan Indonesia yang ikut menyeberang kemudian pergi ke Belanda sebelum dan terutama setelah pemindahan kekuasaan pada 1949. Mereka mengikuti suami serta anak-anak Eropa mereka dan berangkat ke Eropa ayang asing. Dengan demikian, sejak akhir tahun 1940-an sudah ada banyak nyai di tengah masyarakat Belanda. “ saya masih mengenali mereka dan masih ada cukup banyak yang tinggal di Belanda, dalam beberapa kasus tanpa kamu sadari mereka juga merupakan kenalanmu,” tulis Tjalie Robinson di sebuah surat kepada Rob Nieuwenhuys pada 1971.[16]
Kita telah mempertimbangkan implikasi-implikasi dari sebuah penjajaran teoretis antara gejala-gejala merugikan dari “masa lalu kolonial” dan “ masa kini poskolonial”. Penting juga , seperti ditulis Gyan Prakash, “ untuk mengakui sepenuhnya sejarah tentang agensi dan pengetahuan lain yang hidup dalam berat beban masa lalu kolonial” (Prakash 1995, hlm.5). tugas “pengakuan penuh” ini menyaratkan bahwa undang-undang resistensi antikolonial tidak hanya dianggap sebagai hal yang bisa diteorikan, seperti yang diungkapkan Prakash, tetapi diperlakukan sperti peristiwa-peristiwa teoritis yang sepenuhnya komprehensif dan sepenuhnya dikonseptualisasikan sesuai dengan hak mereka sendiri.
 Dalam ungkapan Fanon kolonialisme menginginkan segala hal yang berasal darinya. Namun, ciri psikologis yang dominan dari si terjajah harus ditarik sebelum dilakukannya invitasi dari si penakluk ( Fanon 1965, hlm.63). Sedangkan ungkapan Gandhi kita telah membawa inggris dan menjaganyaaa. Mengapa kamu lupa bahwa penerimaan kita atas peradaban mereka membuat kehadiran mereka di India menjadi sangat mungkin? Kebencianmu pada mereka harus dialihkan pada kebencian terhadap peradaban mereka ( Gandhi 1938, hlm. 66).
  Alih-alih melihat dirinya sebagai, atau dalam cerita sang tuan, kini sang budak dipaksa untuk melihat dirinya di samping sang tuan. Ia dipaksa, meminjam ungkapan Bhabha, memimpikan citra manusia paska-pencerahan yang ditambatkan pada, tidak dikonfrontasikan oleh, refleksi gelapnya, bayangan manusia terjajah, yang memecah kehadirannya, mendistorsi kerangka berpikirnya, menerobos batas-batasnya.. menggangu dan mendistorsi saat dari wujudnya yang sesungguhnya ( Bhabha 1994, hlm.44).   
4.            Penutup
Melihat definisi dan sejarah anak-anak Indo di Indonesia maupun di Belanda dari zaman penjajahan serta awal Indonesia merdeka. Memang posisionalitan Indo-Eropa selalu saja bahan pembicaraan dari zaman  Indonesia dijajah oleh Belanda Serta sampai pada jajahan Jepang. Identitas mereka selalu diragukan dan sulit untuk diterima di Indonesia maupun di negara ayah mereka di Belanda. Karena mengaggap anak Indo-Eropa bodoh dan tolol yang sulit untuk menempatkan posisi mereka dimana.
Serta penjelasan mengenai ras, kelas dan kolonialisme yang diungkapkan oleh Ania Loomba, bagaimana pandangan orang Eropa terhadap warna kulit orang Indonesia yang berkulit hitam dan sawo matang dibandingkan warna kulit orang Eropa yang identik dengan kulit putih. Dampak kolonial, serta mengenang poskolonialisme, dan pemulihan budak yang dikutip oleh Leela Gandhi. Analisis ini ingin mempertegaskan posisionalitas Indo dalam pascakolonial.
Serta hukum-hukum yang dibuat Belanda terhadap kaum Indo







Daftar Pustaka
Baay, Reggie.”Beelden van Een Oermoeder.Visies op De Njai in De Indisch Nederlandsch Literatuur”. Dalam Michiel van Kempen, Piet Verkruijsse dan Adrienne Zuiderweg (ed). 2004. Wandelaar onder De Palmen. Opstellen over Koloniale en Postkoloniale Literatuur en Cultuur, hlm.99-111. Leiden.

Paasman, Bert.”De Indisch-Nederlandes Literatuur uit de VOC tijd”. Dalam Theo D’haen (ed).2002. Europa Buitengaats. Koloniale en Poskoloniale Literaturen in Europese Talen,hlm.33-97. Amsterdam
Chijs van der, J.A.(ed). 1885-1900. Nederlandsch –Indisch Plakaatboek 1602-1811.16 jilid dan indeks. S-Gravenhage.
Nieuwenhuys, Rob.1982. Komen en Blijven. Amsterdam
Ming, Hanneke. 1983.” Barracks- Concubinage in The Indies,1887-1920”. Indonesia, No.35,hlm. 65-93. Cornel Southeast Asia Program.
Creusesol dan Hendri Borel. 1913. Een Werkkring in Indie.Pro en Contra. Betreffende Vraagstukken van Algemeen Belang. Baarn.      







[1] Paasman menunjukan bahwa hal ini digambarkan terutama di dalam lagu-lagu pada waktu itu. Dalam: D’haen, Europa buitengaats,65
[2] Van der Chijs, Nederlandsch Indisch Plakaatboek 1602-1811.Jilid 1,82
[3] Foore, Indische Huwelijken,116
[4] Nieuwenhuys, Komen en Blijven,90
[5] Dikutip dalam: Ming,”Concubinage in The Indies”,70. Pernyataan lisan pada 29 Desember 1903.13 Kementerian Penjajahan.
[6] Crusesol dan Borel, Een Werkkring in Indie,27
[7] De Locomotief, 5 Juli 1902
[8] Idem, 12 Agustus 1902
[9] Idem,8 September 1904
[10] Idem, 18 Juli 1902
[11] Idem,21 Juli 1902
[12] Idem,8 Oktober 1902
[13] Van Motman, De Familie Van Motman 1600-2006,65
[14] Van Rees, Het Pauperisme onder De European in Nederlandsch Indie, Bagian pertama,3
[15] Marx,K 1961.capital
[16] Surat Tjalia Robinson kepada Rob Nieuwenhuys, 25 April 1971

Tidak ada komentar:

Posting Komentar