RETORIKA KOLONIAL
DIBALIK KILAUAN SAWIT
Ervina. P. R (136322010)
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….
Indonesia kaya sumber daya alamnya. Begitulah
kira-kira maksud lirik dari lagu Koes Plus tersebut. Memanglah demikian adanya,
karena kayaaan sumber daya alamnya maka Indonesia dari zaman ke zaman selalu
menjadi perebutan
asing dan sejarah
telah membuktikan itu. Sumber daya alam yang kaya dan sumber tenaga kerja yang
murah merupakan kunci utama untuk memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang melatarbelakangi kemunculan retorika dalam
hal ini kolonial. Adapun penulis memilih
membahas perkebunan sawit bukanlah tanpa
alasan. Salah satunya, fakta ekonomi
yang paling mencolok saat ini bahwa Indonesia sebagai produsen kelapa sawit
terbesar di dunia atau dengan kata lain menyandang gelar Negeri Si Raja Sawit.
Beberapa tahun terakhir ini sawit menjadi primadona
dibandingkan komoditas lain seperti karet, kopi, gula dan sebagainya. Pesona
sawit yang mampu mengalahkan komoditas lain disebabkan karena kebutuhan akan
konsumsi sawit meningkat di pasar internasional. Hal ini dikarenakan, kegunaaan
sawit yang sudah bervariasi mulai dari minyak goreng, bahan bakar, pelumas
mesin, bahan campuran untuk makanan hingga bahan kosmetika. Beragamnya kegunaan
tersebut telah mengundang para konglomerasi kelas berat dunia. Sebut saja,
Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson, Protecter&Gambler untuk ikut menjadi konsumen minyak sawit[1].
Fakta lain juga mengungkapkan kalau kebutuhan akan
minyak sawit kedepanya semakin
meningkat. Mengingat, Uni Eropa yang bertekad mengganti 10 persen kebutuhan
bahan bakar menggunakan biofuels (bahan
bakar biologi) pada tahun 2020. India
juga melaporkan mulai tahun 2012 satu dari lima liter minyak solar harus
berasal dari biofuels. Bahkan Amerika
Serikat tak mau kalah dengan menetapkan UU Energi yang mewajibkan pasokan energi
sedikitnya 36 miliar galon biofuels
pada 2022. Perlu diterangkan pula, bahwa bahan bakar biologi dikenal dalam dua
bentuk yakni Biothanol sebagai pengganti bensin dan Biodiesel untuk
menggantikan minyak solar. Biothanol dapat berasal dari tanaman seperti tebu
dan singkong sementara Biodiesel berasal dari sawit, kedelai, biji matahari, dan
buah jarak[2].
Namun, bila dilihat dari biaya produksinya maka sawit lebih terjangkau dibandingkan yang lain.
Maka dari itu tak heran bila Indonesia semakin
gencar membuka hutan dan meluaskan lahan perkebunan sawit. Komersialisasi sawit
secara mengglobal telah menuai rangkaian fakta-fakta kontroversial dilapangan
sehingga menemukan dua kubu yang saling bersebrangan antara LSM dengan pemerintah dan pengusaha. Mengingat
sawit tidak hanya meliputi isu ekonomi saja namun sudah merambah menjadi isu
sosial, politik dan ekosistem bahkan isu pemanasan global maka penulis menyadari
betapa pentingnya pengkajian terhadap sawit. Agar tidak terlampau luas, dalam
penulisan ini hanya akan memfokuskan pada retorika kolonial dalam dunia
persawitan saat ini. Bertolak dari fenomena tersebutlah maka paper ini ditulis.
Seratus tahun lebih perkebunan kelapa sawit menjadi
komoditas komersil. Suatu perjalanan yang patut di perhitungkan. Apalagi saat
ini posisi sawit semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak?
Indonesia sebagai negara pemasok 43 persen dari kebutuhan sawit dunia diikuti oleh
Malaysia. Seiring dengan perkembangan tersebut maka pembabatan hutan demi
memperluas areal perkebunan bukanlah lagi menjadi suatu yang tidak wajar bagi
pemerintah dan pengusaha. Apalagi posisinya sebagai komoditas penting bagi
perekonomian Indonesia dan, sekaligus menjadi komoditas yang paling
kontroversial saat ini.
Posisi sentral yang dimiliki sawit dalam dunia
perkebunan saat ini berawal dari ekspansi ekonomi gaya Kolonial. Proses tersebut telah mengakibatkan
masyarakat, pengusaha maupun pemerintah berlomba-lomba menanam dan meningkatkan
hasil produksi sawit. Proses inilah yang dimaksud penulis sebagai bias dari
retorika kolonial. Adapun hal ini disebut retorika kolonial karena sebagai
tanda adanya eksploitasi ekonomi baik sumber daya alam maupun tenaga kerjanya seperti
yang dilakukan oleh penjajah terhadap jajahannya. Retorika kerapkali diasosiasikan
dengan teknik persuasi atau bisa juga disebut seni berkomunikasi untuk
meyakinkan orang lain.
[3]Roland
Barthes adalah tokoh penting dalam perkembangan retorika. Jasanya ialah
menteorisasikan retorika dari sudut semiotika sehingga membagi retorika ke
dalam tiga wacana yaitu, pertama, Forensik dalam hal ini, retorika digunakan
dalam forum pengadilan untuk meyakinkan hakim bahwa apa yang dikatakan oleh
jaksa itu benar, sementara yang kedua, Deliberatif, jika wacana forensik untuk
meyakinkan sesuatu yang sudah terjadi maka deliberatif sebaliknya, yakni untuk
sesuatu yang belum terjadi. Umumnya menggunakan kata demi menjaga “keamanan”
dan “kehormatan” sedangkan yang terakhir ialah Epideiktik yakni retorika yang
dibuat untuk menghormati seseorang. Semacam memberi award dengan tujuannya
untuk mengangkat nilai pantas dipuji (laudabilis)
umumnya dipakai ketika mengenang orang yang meninggal. Sementara
itu aspek-aspek keutamaan yang harus diperhatikan dalam retorika ialah,(1),
harus jelas, yang bermaksud bila ngomong
maka harus mengikuti kaidah bahasa atau baku, (2), harus diberi keindahan atau
kenikmatan, (3), penggunaan hiasan kata harus terukur dan pas pada tempatnya. Dalam
kerangka teori di atas maka dapat diketahui secara jelas yang dimaksud dengan
retorika umumnya dan retorika kolonial pada khususnya.
Ekspansi Kolonialisme merupakan gerakan yang paling
berpengaruh terhadap situasi dan kondisi Indonesia. Penetrasi kekuasaan Kolonialisme
telah membawa perubahan pada politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan terhadap negeri
jajahannya. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa
nenek moyang sawit yang kini masih berdiri di kebun Raya Bogor didatangkan oleh
Kolonial langsung dari Afrika dan Belanda, tepatnya tahun 1869. Bermula dari
empat batang di Kebun Raya Bogor kini sawit menjamur hampir diseluruh kepulauan
di Indonesia. Ironisnya lagi, komersialisasi perkebunan kelapa sawit justru
dimulai dari Indonesia dan Malaysia dan bukan dari negeri asalnya.
Fenomena retorika memasuki abad 21 semakin berkembang
yakni tak hanya meliputi isu sosial maupun ekonomi saja namun merambah pada isu
pemanasan global hingga ekosistem. Hal ini, telah menambah daftar panjang
retorika kolonial yang terbukti tetap eksis dalam perkebunan umumnya, kelapa
sawit pada khususnya. Meskipun, sebagaian orang dengan mengatasnamakan LSM yang
secara terang-terangan mengkampanyekan anti perkebunan kelapa sawit namun, pemerintah
sebagai penguasa negeri pulau kelapa ini tak sependapat dengan itu. Dengan
menggandeng pengusaha, pemerintah
berbalik menuding LSM-LSM tersebut telah dipengaruhi situasi global untuk
menyebarkan Black Campaign karena
adanya persaingan minyak sawit dunia, mengingat posisi Indonesia sebagai
produsen terbesar.
Black Campaign
yang dimaksud bahwa sawit dari Indonesia tidak ramah lingkungan, merusak hutan,
dan mengabaikan hak-hak petani[4].
Adapun alasan yang dipaparkan oleh pemerintah dan pengusaha bahwa adanya
persaingan global, di beberapa negara Eropa dan Amerika yang mengembangkan
produk perkebunan (jagung, kanola, bunga matahari) untuk diolah sebagai minyak
nabati seperti fungsi sawit. Akan tetapi, bila ditinjau dari keunggulan minyak
sawit baik dari segi efisiensi dan kegunaan maka komoditas sawit masih jauh
melampaui komoditas perkebunan lainya[5]. Bahkan
dalam akun resmi Ditjen Perkebunan menyatakan bahwa kontribusi perkebunan
adalah meningkatnya produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja dan
meningkatnya kesejahteraan. Hal ini disampaikan dalam konteks kelapa sawit
sebagai komoditas ekspor terbesar untuk perkebunan. Di akun resmi itu,
dipaparkan bahwa betapa pentingnya komoditas sawit ini bagi perekonomian
Indonesia dan berbagai upaya yang juga dilakukan oleh pemerintah untuk semakin
meningkatkan hasil produksi sawit. Tahun 2013 misalnya dicanangkan pengembangan
kelapa sawit pada yang diperkirakan mencapai 9,15 juta ha dengan produksi 24,43
juta ton. Tentu melalui program andalanya yakni sistem PIR maupun Petani
Plasma.
Seiring sejalan dengan pemerintah, para pengusaha
sawit juga berlomba-lomba meluncurkan buku teknik-teknik dan keuntungan
membudidayakan Kelapa sawit. Bahkan untuk menepis isu-isu yang dilemparkan
LSM-LSM terhadap dampak sosial maupun ekosistem. Para pengusaha sawit yang
tergabung dalam GAPKI atau Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
mengeluarkan buku Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan
Global. Hal ini semakin memperuncing perseteruan diantara dua kubu tersebut.
Ada yang menarik dari buku tersebut, mengapa? karena dinarasikan berdasarkan
hasil penelitian pihak asing yang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah
penyumbang emisi terbesar. Buku ini menguraikan data kalau sumbangan terbesar
emisi berasal dari GHG (Green House Gas)
yang memproduksi karbondiaksoda sebesar 92 persen. Sementara sektor yang terbesar pengemesi
karbondiaksoda ialah bahan bakar fosil atau BBF
sebesar 52 persen kemudian disusul industri (14,7%), pertanian (13,8%), Land
Use Change (12,2%) dan limbah (3,2%)[6].
Indonesia bukan termasuk negara terbesar pengemisi
GHG global baik dari emisi konsumsi energi BBF, pertanian, maupun dari lahan
gambut. Dilihat dari segi berbagai indikator kehutanan, bahwa hutan di
Indonesia masih termasuk 10 negara terbaik dunia. Deforestasi
global terbesar terjadi di negara-negara yang memiliki hutan non tropis.
Sedangkan di negara-negara yang memiliki hutan tropis secara netto terjadi
reforestasi. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut potensial menurunkan emisi
GHG dibandingkan dengan sawah gambut maupun hutan gambut sekunder. Perkebunan
kelapa sawit merupakan bagian solusi dari permasalahan pangan, energi,
lingkungan dan ekonomi global[7].
Mengingat perkebunan
kelapa sawit memiliki fungsi ekologis yang menyerupai fungsi ekologis hutan,
maka perkebunan kelapa sawit perlu dikategorikan sebagai hutan.
Setidak-tidaknya dikategorikan sebagai salah satu bentuk
afforestasi/reforestasi. Jika Indonesia ingin berpartisipasi menjadi bagian
solusi masalah lingkungan global, maka langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah mempercepat substitusi BBF dengan energi terbarukan khususnya biofuels dari minyak sawit, yang jauh
lebih ramah lingkungan dibandingkan energi BBF[8]
. Garis besar dari buku tersebut sangat jelas menunjukan bahwa industriliasasi
sawit harus ditingkatkan mengingat sawit termasuk tanaman ramah lingkungan.
Paling tidak itulah kesimpulan yang mau disampaikan dari buku tersebut. Suatu
teknik persuasi yang terkini dengan melampirkan data-data yang didasarkan atas
penelitian-penelitian. Lantas, jika demikian bukankah hampir serupa dengan yang
dilakukan pada masa kolonial walau dalam kemasan yang berbeda.
Kembali pada rekam sejarah persawitan. Pemerintah
Kolonial sudah mencoba menanam kelapa sawit dan kegiatan promosi kepada
masyarakat agar ikut menanam juga. Menurut Hunger[9],
pada tahun 1869 pemerintah kolonial Belanda mencoba menanam di Muara Enim, 1870
di Musi Hulu dan tahun 1890 dibuka juga di Belitung namun, hal tersebut tidak
berhasil karena rakyat belum tertarik membudidayakan kelapa sawit. Menurut
Rutjer[10],
hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan aparat pemerintah terhadap usaha
pemerintah Kolonial dan adanya keragu-raguan masyarakat pada keuntungan serta
pengolahan sawit menjadi minyak yang masih asing sehingga periode ini sawit
hanyalah hiasan dipekarangan rumah atau tepi jalan.
Akan tetapi, setelah ditetapkan Undang-Undang Agaria
tahun 1870, perkembangan kelapa sawit mulai tampak. UU tersebut merupakan tanda
berakhirnya Sistem Tanam Paksa. Hal yang mencolok dari UU tersebut ialah
kedudukan pemerintah digantikan oleh pengusaha perkebunan, kerja paksa diganti
dengan kerja upah dan serah wajib tanah diganti dengan sewa tanah[11].
Jadi dalam hal ini, telah terjadi revolusi dalam perkebunan yakni mempertemukan
antara pemilik modal dengan tempat penanaman modal yang dahulu melalui
perantara (pemerintahan Kolonial). Sementara itu, tidak semua jenis tanaman
dijinkan untuk dikelola pihak swasta sehingga hanya tanaman-tanaman tertentu
yang diperbolehkan salah satunya kelapa sawit.
Penetapan UU Agraria 1870 ini membawa dampak pada pengenalan teknologi
maupun komoditi baru demi meningkatnya hasil produksi. Mengapa demikian?
dikarenakan dalam prinsip-prinsip ekonomi liberal secara formal memberi
kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan menyediakan tenaganya
bagi penyelenggaraan produksi.[12]
Selain itu, dampak lain ialah pesatnya pembangunan infrastruktur dari masa
sebelumnya. Hal ini merujuk keampuhan retorika yang digunakan oleh pihak swasta
dengan menjanjikan pembangunan dan teknologi yang mana kedua hal tersebut
kurang mendapat perhatian oleh pemerintah kolonial sebelumnya.
Hallet seorang warganegara Belgia sebagai bapak dari
industriliasasi sawit di Indonesia. Pada tahun 1911 kelapa sawit untuk pertama
kali dikomersialisasikannya dalam bentuk perkebunan. Ia membuka perkebunan di
Sungai Liput Aceh dan Pulu Radja (Asahan). Jejaknya diikuti oleh seorang Jerman
bernama K.Schadt yang mendirikan perkebunan di daerah Itan Ulu di Deli.
Walaupun, pada masa itu sawit belum mampu menyaingi komoditas mainstream
seperti Gula, Karet, Kopi, Teh, Tembakau dan belum termasuk 10 komoditas utama
dari Hindia Belanda. Namun, mulai dari tahun 1915-1940 jumlah perkebunan
semakin bertambah dari 10 hingga 66 titik perkebunan. Selain itu produksi sawit
menanjak tajam 576 (minyak sawit dalam ton) hingga 250.000 sementara produksi
inti sawit dari 850 hingga 47.489 ton walau tiap tahun mengalami pasang surutnya[13].
Berdasarkan fakta-fakta itu tampak bahwa keberhasilan dari retorika kolonial
yang membujuk masyarakat baik untuk menyewakan tanahnya maupun bersedia menjadi
buruh kontrak. Identifikasi bahwa hal tersebut retorika kolonial ialah
tujuannya hanya untuk mengeksploitasi baik itu SDA maupun SDM nya demi
keuntungan pemilik modal.
Perambahan Hutan untuk dijadikan Perkebunan Sawit |
Berbeda bila
masa Kolonial, sawit mendapat perhatian khusus terutama oleh pihak-pihak swasta
yang memang membudidayakan sawit secara komersil, dibandingkankan masa Jepang.
Pada masa ini, sawit tidak menjadi fokus pemerintahan Jepang karena mereka
lebih mengutamakan tanaman pangan sebagai pemasok logistik untuk para
militernya. Sejalan pula, ketika masuk zaman Soekarno tak ada yang mencolok
dari perkembangan perkebunan sawit. Akan tetapi, sangat kontras ketika masuknya
periode Soeharto, dalam masa ini perkebunan sawit digenjot produksinya. Apalagi
semakin didukung dengan adanya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Ledakan
produksi persawitan pun mulai tampak lagi di tahun 1980an dengan menerapkan
sistem PIR yang terkenal dengan PIR BUN dan PIR NES. Tak
heran saat ini begitu banyak pemain dalam perkebunan sawit adalah pihak swasta
(asing). Memasuki pasca reformasi, produksi sawit semakin menduduki posisi
puncak sebagai produsen terbesar. Bahkan SBY pada tahun 2005 pernah meluncurkan
megaproyek Kalimantan Border Oil Palm, yaitu pembangunan kebun kelapa sawit
raksasa seluas 1.8 juta hektare yang akan memagari perbatasan Indonesia dengan
Malaysia dan Brunei[14].
Hal ini, tentu akan melewati kampung halaman penulis yang memang berasal dari
wilayah perbatasan Malaysia dan Indonesia. Namun, hingga hari ini proyek
tersebut belum terlaksana dan belum ada kejelasan juga akan dicabut. Tak perlu
menunggu pemerintah, saat ini di wilayah perbatasan sudah di penuhi wajah-wajah
perkebunan kelapa sawit swasta.
Sekilas sejarah itu membuktikan bahwa retorika
kolonial tiada henti-hentinya membujuk masyarakat bahkan tak jarang pula
memaksa rakyat untuk menyewakan tanah dan mau bekeja di perkebunan milik
mereka. Suatu fenomena yang masih kita temui dalam persawitan saat ini. Begitu
banyaknya kasus-kasus pahit diantara manisnya kilauan sawit ini telah
membuktikan bahwa retorika-retorika itu masih terus dihidupi demi keuntungan
yang dimiliki oleh kalangan terbatas. Kisah pilu itu tak jarang juga sengaja
ditutupi/ direkayasa oleh oknum-oknum tertentu hingga seolah-olah hal tersebut
wajar jika terjadi.
Memasuki dunia pascakolonial, lantas tidak
mengakhiri kisah-kisah pahit dari perkebunan itu. Mengapa demikian? Karena situasi yang dihadapkan pada mereka kurang
lebih serupa yang terjadi saat kolonial walau dalam format yang berbeda. Sebut
saja kasus yang sempat santer diperbincangkan yakni Mesuji. Akhir tahun 2011,
wilayah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, dimana para petani berupaya
meminta keadilan terhadap hak atas tanah mereka. Akan tetapi, oleh perusahaan yang
bertanggungjawab lantas mengerahkan pasukan keamanan termasuk TNI dan POLRI
hingga peristiwa ini memakan korban[15]. Bukankah
ini salah satu praktik kolonial? Memaksa rakyat bahkan mengancam sampai menelan
korban jiwa. Sebagai bangsa yang terkenal dengan semboyan “musyawarah dan
mufakat” ini merupakan salah satu contoh dari banyak kasus yang menampar wajah Pancasila sebagai ideologi
bangsa.
Selain itu, juga kasus-kasus yang serupa terjadi di
kepulauan Kalimantan Barat, seperti paman dari penulis (saya) harus mendekam
tiga bulan dalam penjara akibat mempertahankan tanah perkuburan nenek moyang
yang akan digusur oleh perusahaan swasta milik asing. Kasus yang tak kalah
memilukan, datang dari Kalimantan Timur dengan adanya pembunuhan massal
terhadap orang hutan. Sayembara untuk membunuh orang hutan dan monyet yang
dianggap hama bagi perkebunan sawit
dengan membayar kepada masyarakat
1 juta per orang hutan dan 200 ribu monyet per ekornya[16]
bukankah binatang tersebut termasuk yang dilindungi pemerintah. Dengan demikian
maka retorika kolonial kian marak bahkan semakin kuat pengaruhnya. Misalnya
seperti yang diungkapkan oleh Jinan[17],
dari suku Daya Muluy, Passer, Kalimantan Timut. Ia menyatakan bahwa saat ini
lembaga adat telah berkejasama dengan pengusaha untuk mempengaruhi warga agar
penguasaan tanah lebih mudah. Adapun bujukannya berupa memberikan hadiah dan
janji, ada yang menawarkan sepeda motor, janji pembangunan jalan namun kami tak
mau karena hutan itu hidup kami.
Korban Tidak Berdosa dari Kilauan Sawit |
Hal serupa
juga terjadi didaerah penulis (saya) yang mana para pengusaha
mengiming-imingkan perkejaan dikebun kelapa sawit, dengan menukarkan 1 hektar tanah
dan biaya sewa 300 ribu. Walau penduduk lokal yang diangkat hanya sebagai
mandor, tapi bagi warga sudah merupakan posisi yang bergengsi. Perlu diterangkan
juga bahwa penulis berasal dari Kalimantan Barat, Kabupaten Bengkayang,
Kecamatan Seluas yang termasuk daerah perbatasan antara Malaysia dengan
Indonesia. Selain itu, para pengusaha, juga menjanjikan bantuan listrik seperti
yang dilakukan oleh Malaysia terhadap beberapa wilayah perbatasan. Betapa
hebatnya drama kolonial yang dimainkan para pemilik modal dalam mencari
perhatian masyarakat. Berbagai janji-janji dilontarkan demi terpuaskan hasrat
kolonialnya.
Retorika yang berkembang dalam perkebunan kelapa
sawit saat ini merupakan kolonial model
baru atau neokolonial. Seperti yang tertulis dari buku Empire karya Hardt dan Negri[18] yang
menyatakan bahwa, “in contrast to
Imperialism, Empire establishes no territorial center of power and does not
rely on fixed boundaries or barriers” lebih lanjut lagi diterangkan, “Empire
manages hybrid identities, flexible hierarchies and plural exchanges through
modulating networks of command. Berdasarkan pernyataan di atas maka
diketahui dapat kalau wajah global saat ini sudah berbeda dengan masa
kolonialisme. Penjajahan model baru ini, sudah tidak dapat dirumuskan secara
pasti para pelakunya dibandingkan masa kolonial hal ini dikarenakan kepentingan
yang didalamnya telah mencair dan mempengaruhi semua aspek yang terlibat
didalamnya. Apalagi tragisnya, bentuk yang baru ini telah merampas kedaulatan negara. Jadi, dari
nasional menjadi organisasi supranasional yang tunduk pada suatu peraturan. Oleh
sebab itu, maka tidak dapat lagi merumuskan
oposisi biner diantara penjajah dan terjajah. Jika demikian bagaimana nasib
petani-petani sawit? yang hidupnya akan semakin terjepit diantara raksasa-raksasa
global.
Sebagai catatan penutup disini, bahwa tampak jelas
retorika kolonial masih terus hidup bahkan semakin digalakan. Dalam hal ini,
penulis juga mengakui pentingnya komoditas sawit. Namun bagaimana dengan pemandangan
sosial maupun ekosistem yang disebabkan perkebunan kelapa sawit tersebut. Bak
seorang predator yang kelaparan, perkebunan sawit terus memakan lahan-lahan
demi meningkatkan hasil produksi. Hutan dalam sekejap mata disulap menjadi
hutan sawit (bila tidak ingin disebut perkebunan versi pengusaha). Dengan
berbagai retorika yang dilancarkan baik pemerintah maupun pengusaha yang
ditujukan pada petani sawit untuk mengenjot hasil produksinya. Tampak jelas
bagaimana petani terjepit dalam dua kubu yang berseteru yakni retorika yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan pengusaha dengan LSM-LSM yang katanya memihak
petani sawit. Jika pihak yang satu justru menganjurkan maka pihak yang lain
menolaknya. Dalam situasi tersebut pantaslah kita harus kembali ke masa
kolonial sebagai titik awalnya komersialisasi sawit.
Sudah seperti yang disinggungkan sebelumnya bahwa
cirikhas dari munculnya retorika kolonial ialah motivasi mendapatkan keuntungan
besar namun biaya produksi rendah termasuk tenaga kerja yang murah. Hal inilah
yang terus menerus menyemangati retorika-retorika kolonial hingga bisa kita
kategorikan yang mana retorika kolonial. Tanpa bermaksud memihak salah satu
kubu tersebut. Bila sawit memang mendatangkan
keuntungan dan kesejahteraan bagi rakyat seperti yang
disebutkan dalam akun resmi Ditjen Perkebunan tersebut, lantas mengapa dari
beberapa kasus-kasus yang sudah sempat disinggung di atas justru para petani-petani
yang kerapkali dirugikan? Seolah-olah berlaku prinsip sadhumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan
pati (sejari kepala, sejengkal tanah, dibela sampai mati)[19].
Prinsip yang terkenal dari Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda. Perang
yang pecah tahun 1825 hingga 1830 dikarenakan Belanda merampas tanah makam
leluhurnya. Zaman memang berubah namun masalah sengketa tanah antara petani-petani
dengan pengusaha dan pemerintah belum berakhir. Mengingat, betapa kompleksnya
persoalan retorika kolonial dalam persawitan maka paper ini tak dapat
menuliskan keseluruhannya dan masih jauh dari sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Ditjenbun. 2013. Kelapa
Sawit Sumbang Ekspor Terbesar Untuk Komoditas Perkebunan.
Hardt, Michael dan Negri, Antonio. 2000. EMPIRE. United States of America:
President and Fellows of Harvard College
GAPKI.2013. Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam
Isu Lingkungan Global.Jakarta. Ebook PDF
Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu. Kelapa Sawit: Kajian Sosial-Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media
Mardiyah Chamin, dkk. Raja Limbung: Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia. Jakarta: SAWIT
WATCH dan TEMPO INSTITUTE
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Yogyakarta:
Aditya Media
Soemartojo dkk. 1984. Perkebunan Indonesia di Masa Depan. Jakarta: Penebar Swadaya
Tempe Goreng Berdarah
Setiap
kali aku makan tempe goreng
setiap
kali pula aku harus meminta maaf
kepada
suku anak dalam
kepada
orang-orang dayak
bahkan
juga kepada orangutan
Sebab...
tempeku
digoreng dengan minyak
yang
perkebunannya disuburkan
dengan
darah mereka semua!
Para
manusia sederhana
serta
hewan tak berdosa
Pada
setiap gigit renyah tempe goreng itu
menetes
darah
melumuri
ini wajah
merah
Surakarta,
21 Desember 2013
@KalongGedhe
(Padmo Adi)
[1] Mardiyah
Chamin, dkk. 2012. Raja Limbung: Seabad
Perjalanan Sawit di Indonesia. Jakarta: Sawit Wacth dan Tempo Institut,
hlm, 14
[5] Idem
[8] Ibid, hlm 46
[9] Loekman
Soetrisno dan Retno Winahyu. 1991. Kelapa
sawit: Kajian Ekonomi-Sosial. Yogyakarta: Aditya Media, hlm 13
[10] Idem
[11] Sartono Kartodirjo
dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan
di Indonesia: kajian sosial-ekonomi,. Yogyakarta: Aditya Media, hlm:83
[17] Ibid ,hlm, 202
[18] Hardt,
Michael dan Negri, Antonio. 2000. EMPIRE.
United States of America: President and Fellows of Harvard College, hlm:
xii-xiii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar