see no evil, hear no evil, say no evil

see no evil, hear no evil, say no evil

Kamis, 13 Maret 2014

RETORIKA KOLONIAL DIBALIK KILAUAN SAWIT




RETORIKA KOLONIAL DIBALIK KILAUAN SAWIT
Ervina. P. R (136322010)
 

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….
Indonesia kaya sumber daya alamnya. Begitulah kira-kira maksud lirik dari lagu Koes Plus tersebut. Memanglah demikian adanya, karena kayaaan sumber daya alamnya maka Indonesia dari zaman ke zaman selalu menjadi  perebutan
asing dan sejarah telah membuktikan itu. Sumber daya alam yang kaya dan sumber tenaga kerja yang murah merupakan kunci utama untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang melatarbelakangi kemunculan retorika dalam hal ini kolonial.  Adapun penulis memilih membahas  perkebunan sawit bukanlah tanpa alasan. Salah satunya,  fakta ekonomi yang paling mencolok saat ini bahwa Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia atau dengan kata lain menyandang gelar Negeri Si Raja Sawit.
Beberapa tahun terakhir ini sawit menjadi primadona dibandingkan komoditas lain seperti karet, kopi, gula dan sebagainya. Pesona sawit yang mampu mengalahkan komoditas lain disebabkan karena kebutuhan akan konsumsi sawit meningkat di pasar internasional. Hal ini dikarenakan, kegunaaan sawit yang sudah bervariasi mulai dari minyak goreng, bahan bakar, pelumas mesin, bahan campuran untuk makanan hingga bahan kosmetika. Beragamnya kegunaan tersebut telah mengundang para konglomerasi kelas berat dunia. Sebut saja, Unilever, Kraft, Nestle, Johnson & Johnson, Protecter&Gambler  untuk ikut  menjadi konsumen minyak sawit[1].
      
       Fakta lain juga mengungkapkan kalau kebutuhan akan minyak sawit kedepanya  semakin meningkat. Mengingat, Uni Eropa yang bertekad mengganti 10 persen kebutuhan bahan bakar menggunakan biofuels (bahan bakar biologi) pada  tahun 2020. India juga melaporkan mulai tahun 2012 satu dari lima liter minyak solar harus berasal dari biofuels. Bahkan Amerika Serikat tak mau kalah dengan menetapkan UU Energi yang mewajibkan pasokan energi sedikitnya 36 miliar galon biofuels pada 2022. Perlu diterangkan pula, bahwa bahan bakar biologi dikenal dalam dua bentuk yakni Biothanol sebagai pengganti bensin dan Biodiesel untuk menggantikan minyak solar. Biothanol dapat berasal dari tanaman seperti tebu dan singkong sementara Biodiesel berasal dari sawit, kedelai, biji matahari, dan buah jarak[2]. Namun, bila dilihat dari biaya produksinya maka sawit lebih terjangkau  dibandingkan yang lain.
Maka dari itu tak heran bila Indonesia semakin gencar membuka hutan dan meluaskan lahan perkebunan sawit. Komersialisasi sawit secara mengglobal telah menuai rangkaian fakta-fakta kontroversial dilapangan sehingga menemukan dua kubu yang saling bersebrangan  antara LSM dengan pemerintah dan pengusaha. Mengingat sawit tidak hanya meliputi isu ekonomi saja namun sudah merambah menjadi isu sosial, politik dan ekosistem bahkan isu pemanasan global maka penulis menyadari betapa pentingnya pengkajian terhadap sawit. Agar tidak terlampau luas, dalam penulisan ini hanya akan memfokuskan pada retorika kolonial dalam dunia persawitan saat ini. Bertolak dari fenomena tersebutlah maka paper ini ditulis.
Seratus tahun lebih perkebunan kelapa sawit menjadi komoditas komersil. Suatu perjalanan yang patut di perhitungkan. Apalagi saat ini posisi sawit semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak? Indonesia sebagai negara pemasok 43 persen dari kebutuhan sawit dunia diikuti oleh Malaysia. Seiring dengan perkembangan tersebut maka pembabatan hutan demi memperluas areal perkebunan bukanlah lagi menjadi suatu yang tidak wajar bagi pemerintah dan pengusaha. Apalagi  posisinya sebagai komoditas penting bagi perekonomian Indonesia dan, sekaligus menjadi komoditas yang paling kontroversial saat ini.
Posisi sentral yang dimiliki sawit dalam dunia perkebunan saat ini berawal dari ekspansi ekonomi gaya Kolonial.  Proses tersebut telah mengakibatkan masyarakat, pengusaha maupun pemerintah berlomba-lomba menanam dan meningkatkan hasil produksi sawit. Proses inilah yang dimaksud penulis sebagai bias dari retorika kolonial. Adapun hal ini disebut retorika kolonial karena sebagai tanda adanya eksploitasi ekonomi baik sumber daya alam maupun tenaga kerjanya seperti yang dilakukan oleh penjajah terhadap jajahannya. Retorika kerapkali diasosiasikan dengan teknik persuasi atau bisa juga disebut seni berkomunikasi untuk meyakinkan orang lain.
[3]Roland Barthes adalah tokoh penting dalam perkembangan retorika. Jasanya ialah menteorisasikan retorika dari sudut semiotika sehingga membagi retorika ke dalam tiga wacana yaitu, pertama, Forensik dalam hal ini, retorika digunakan dalam forum pengadilan untuk meyakinkan hakim bahwa apa yang dikatakan oleh jaksa itu benar, sementara yang kedua, Deliberatif, jika wacana forensik untuk meyakinkan sesuatu yang sudah terjadi maka deliberatif sebaliknya, yakni untuk sesuatu yang belum terjadi. Umumnya menggunakan kata demi menjaga “keamanan” dan “kehormatan” sedangkan yang terakhir ialah Epideiktik yakni retorika yang dibuat untuk menghormati seseorang. Semacam memberi award dengan tujuannya untuk mengangkat nilai pantas dipuji (laudabilis) umumnya dipakai ketika mengenang orang yang meninggal. Sementara itu aspek-aspek keutamaan yang harus diperhatikan dalam retorika ialah,(1), harus jelas, yang bermaksud bila ngomong maka harus mengikuti kaidah bahasa atau baku, (2), harus diberi keindahan atau kenikmatan, (3), penggunaan hiasan kata harus terukur dan pas pada tempatnya. Dalam kerangka teori di atas maka dapat diketahui secara jelas yang dimaksud dengan retorika umumnya dan retorika kolonial pada khususnya.
Ekspansi Kolonialisme merupakan gerakan yang paling berpengaruh terhadap situasi dan kondisi Indonesia. Penetrasi kekuasaan Kolonialisme telah membawa perubahan pada politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan terhadap negeri jajahannya. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa nenek moyang sawit yang kini masih berdiri di kebun Raya Bogor didatangkan oleh Kolonial langsung dari Afrika dan Belanda, tepatnya tahun 1869. Bermula dari empat batang di Kebun Raya Bogor kini sawit menjamur hampir diseluruh kepulauan di Indonesia. Ironisnya lagi, komersialisasi perkebunan kelapa sawit justru dimulai dari Indonesia dan Malaysia dan bukan dari negeri asalnya.
Fenomena retorika memasuki abad 21 semakin berkembang yakni tak hanya meliputi isu sosial maupun ekonomi saja namun merambah pada isu pemanasan global hingga ekosistem. Hal ini, telah menambah daftar panjang retorika kolonial yang terbukti tetap eksis dalam perkebunan umumnya, kelapa sawit pada khususnya. Meskipun, sebagaian orang dengan mengatasnamakan LSM yang secara terang-terangan mengkampanyekan anti perkebunan kelapa sawit namun, pemerintah sebagai penguasa negeri pulau kelapa ini tak sependapat dengan itu. Dengan menggandeng pengusaha,  pemerintah berbalik menuding LSM-LSM tersebut telah dipengaruhi situasi global untuk menyebarkan Black Campaign karena adanya persaingan minyak sawit dunia, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen terbesar.
Black Campaign yang dimaksud bahwa sawit dari Indonesia tidak ramah lingkungan, merusak hutan, dan mengabaikan hak-hak petani[4]. Adapun alasan yang dipaparkan oleh pemerintah dan pengusaha bahwa adanya persaingan global, di beberapa negara Eropa dan Amerika yang mengembangkan produk perkebunan (jagung, kanola, bunga matahari) untuk diolah sebagai minyak nabati seperti fungsi sawit. Akan tetapi, bila ditinjau dari keunggulan minyak sawit baik dari segi efisiensi dan kegunaan maka komoditas sawit masih jauh melampaui komoditas perkebunan lainya[5]. Bahkan dalam akun resmi Ditjen Perkebunan menyatakan bahwa kontribusi perkebunan adalah meningkatnya produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya kesejahteraan. Hal ini disampaikan dalam konteks kelapa sawit sebagai komoditas ekspor terbesar untuk perkebunan. Di akun resmi itu, dipaparkan bahwa betapa pentingnya komoditas sawit ini bagi perekonomian Indonesia dan berbagai upaya yang juga dilakukan oleh pemerintah untuk semakin meningkatkan hasil produksi sawit. Tahun 2013 misalnya dicanangkan pengembangan kelapa sawit pada yang diperkirakan mencapai 9,15 juta ha dengan produksi 24,43 juta ton. Tentu melalui program andalanya yakni sistem PIR maupun Petani Plasma.
Seiring sejalan dengan pemerintah, para pengusaha sawit juga berlomba-lomba meluncurkan buku teknik-teknik dan keuntungan membudidayakan Kelapa sawit. Bahkan untuk menepis isu-isu yang dilemparkan LSM-LSM terhadap dampak sosial maupun ekosistem. Para pengusaha sawit yang tergabung dalam GAPKI atau Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengeluarkan buku Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global. Hal ini semakin memperuncing perseteruan diantara dua kubu tersebut. Ada yang menarik dari buku tersebut, mengapa? karena dinarasikan berdasarkan hasil penelitian pihak asing yang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah penyumbang emisi terbesar. Buku ini menguraikan data kalau sumbangan terbesar emisi berasal dari  GHG (Green House Gas) yang memproduksi karbondiaksoda sebesar 92 persen.  Sementara sektor yang terbesar pengemesi karbondiaksoda ialah bahan bakar fosil atau BBF  sebesar 52 persen kemudian disusul industri (14,7%), pertanian (13,8%), Land Use Change (12,2%) dan limbah (3,2%)[6].
Indonesia bukan termasuk negara terbesar pengemisi GHG global baik dari emisi konsumsi energi BBF, pertanian, maupun dari lahan gambut. Dilihat dari segi berbagai indikator kehutanan, bahwa hutan di Indonesia masih termasuk 10 negara terbaik dunia. Deforestasi global terbesar terjadi di negara-negara yang memiliki hutan non tropis. Sedangkan di negara-negara yang memiliki hutan tropis secara netto terjadi reforestasi. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut potensial menurunkan emisi GHG dibandingkan dengan sawah gambut maupun hutan gambut sekunder. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian solusi dari permasalahan pangan, energi, lingkungan dan ekonomi global[7].
Mengingat perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi ekologis yang menyerupai fungsi ekologis hutan, maka perkebunan kelapa sawit perlu dikategorikan sebagai hutan. Setidak-tidaknya dikategorikan sebagai salah satu bentuk afforestasi/reforestasi. Jika Indonesia ingin berpartisipasi menjadi bagian solusi masalah lingkungan global, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mempercepat substitusi BBF dengan energi terbarukan khususnya biofuels dari minyak sawit, yang jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan energi BBF[8] . Garis besar dari buku tersebut sangat jelas menunjukan bahwa industriliasasi sawit harus ditingkatkan mengingat sawit termasuk tanaman ramah lingkungan. Paling tidak itulah kesimpulan yang mau disampaikan dari buku tersebut. Suatu teknik persuasi yang terkini dengan melampirkan data-data yang didasarkan atas penelitian-penelitian. Lantas, jika demikian bukankah hampir serupa dengan yang dilakukan pada masa kolonial walau dalam kemasan yang berbeda.
 Kembali pada rekam sejarah persawitan. Pemerintah Kolonial sudah mencoba menanam kelapa sawit dan kegiatan promosi kepada masyarakat agar ikut menanam juga. Menurut Hunger[9], pada tahun 1869 pemerintah kolonial Belanda mencoba menanam di Muara Enim, 1870 di Musi Hulu dan tahun 1890 dibuka juga di Belitung namun, hal tersebut tidak berhasil karena rakyat belum tertarik membudidayakan kelapa sawit. Menurut Rutjer[10], hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan aparat pemerintah terhadap usaha pemerintah Kolonial dan adanya keragu-raguan masyarakat pada keuntungan serta pengolahan sawit menjadi minyak yang masih asing sehingga periode ini sawit hanyalah hiasan dipekarangan rumah atau tepi jalan.
Akan tetapi, setelah ditetapkan Undang-Undang Agaria tahun 1870, perkembangan kelapa sawit mulai tampak. UU tersebut merupakan tanda berakhirnya Sistem Tanam Paksa. Hal yang mencolok dari UU tersebut ialah kedudukan pemerintah digantikan oleh pengusaha perkebunan, kerja paksa diganti dengan kerja upah dan serah wajib tanah diganti dengan sewa tanah[11]. Jadi dalam hal ini, telah terjadi revolusi dalam perkebunan yakni mempertemukan antara pemilik modal dengan tempat penanaman modal yang dahulu melalui perantara (pemerintahan Kolonial). Sementara itu, tidak semua jenis tanaman dijinkan untuk dikelola pihak swasta sehingga hanya tanaman-tanaman tertentu yang diperbolehkan salah satunya kelapa sawit.
Penetapan UU Agraria 1870  ini membawa dampak pada pengenalan teknologi maupun komoditi baru demi meningkatnya hasil produksi. Mengapa demikian? dikarenakan dalam prinsip-prinsip ekonomi liberal secara formal memberi kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan produksi.[12] Selain itu, dampak lain ialah pesatnya pembangunan infrastruktur dari masa sebelumnya. Hal ini merujuk keampuhan retorika yang digunakan oleh pihak swasta dengan menjanjikan pembangunan dan teknologi yang mana kedua hal tersebut kurang mendapat perhatian oleh pemerintah kolonial sebelumnya.
Hallet seorang warganegara Belgia sebagai bapak dari industriliasasi sawit di Indonesia. Pada tahun 1911 kelapa sawit untuk pertama kali dikomersialisasikannya dalam bentuk perkebunan. Ia membuka perkebunan di Sungai Liput Aceh dan Pulu Radja (Asahan). Jejaknya diikuti oleh seorang Jerman bernama K.Schadt yang mendirikan perkebunan di daerah Itan Ulu di Deli. Walaupun, pada masa itu sawit belum mampu menyaingi komoditas mainstream seperti Gula, Karet, Kopi, Teh, Tembakau dan belum termasuk 10 komoditas utama dari Hindia Belanda. Namun, mulai dari tahun 1915-1940 jumlah perkebunan semakin bertambah dari 10 hingga 66 titik perkebunan. Selain itu produksi sawit menanjak tajam 576 (minyak sawit dalam ton) hingga 250.000 sementara produksi inti sawit dari 850 hingga 47.489 ton walau tiap tahun mengalami pasang surutnya[13]. Berdasarkan fakta-fakta itu tampak bahwa keberhasilan dari retorika kolonial yang membujuk masyarakat baik untuk menyewakan tanahnya maupun bersedia menjadi buruh kontrak. Identifikasi bahwa hal tersebut retorika kolonial ialah tujuannya hanya untuk mengeksploitasi baik itu SDA maupun SDM nya demi keuntungan pemilik modal.
Perambahan Hutan untuk dijadikan Perkebunan Sawit
   Berbeda bila masa Kolonial, sawit mendapat perhatian khusus terutama oleh pihak-pihak swasta yang memang membudidayakan sawit secara komersil, dibandingkankan masa Jepang. Pada masa ini, sawit tidak menjadi fokus pemerintahan Jepang karena mereka lebih mengutamakan tanaman pangan sebagai pemasok logistik untuk para militernya. Sejalan pula, ketika masuk zaman Soekarno tak ada yang mencolok dari perkembangan perkebunan sawit. Akan tetapi, sangat kontras ketika masuknya periode Soeharto, dalam masa ini perkebunan sawit digenjot produksinya. Apalagi semakin didukung dengan adanya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Ledakan produksi persawitan pun mulai tampak lagi di tahun 1980an dengan menerapkan sistem PIR  yang  terkenal dengan PIR BUN dan PIR NES. Tak heran saat ini begitu banyak pemain dalam perkebunan sawit adalah pihak swasta (asing). Memasuki pasca reformasi, produksi sawit semakin menduduki posisi puncak sebagai produsen terbesar. Bahkan SBY pada tahun 2005 pernah meluncurkan megaproyek Kalimantan Border Oil Palm, yaitu pembangunan kebun kelapa sawit raksasa seluas 1.8 juta hektare yang akan memagari perbatasan Indonesia dengan Malaysia dan Brunei[14]. Hal ini, tentu akan melewati kampung halaman penulis yang memang berasal dari wilayah perbatasan Malaysia dan Indonesia. Namun, hingga hari ini proyek tersebut belum terlaksana dan belum ada kejelasan juga akan dicabut. Tak perlu menunggu pemerintah, saat ini di wilayah perbatasan sudah di penuhi wajah-wajah perkebunan kelapa sawit swasta.
Sekilas sejarah itu membuktikan bahwa retorika kolonial tiada henti-hentinya membujuk masyarakat bahkan tak jarang pula memaksa rakyat untuk menyewakan tanah dan mau bekeja di perkebunan milik mereka. Suatu fenomena yang masih kita temui dalam persawitan saat ini. Begitu banyaknya kasus-kasus pahit diantara manisnya kilauan sawit ini telah membuktikan bahwa retorika-retorika itu masih terus dihidupi demi keuntungan yang dimiliki oleh kalangan terbatas. Kisah pilu itu tak jarang juga sengaja ditutupi/ direkayasa oleh oknum-oknum tertentu hingga seolah-olah hal tersebut wajar jika terjadi.
Memasuki dunia pascakolonial, lantas tidak mengakhiri kisah-kisah pahit dari perkebunan itu. Mengapa demikian? Karena  situasi yang dihadapkan pada mereka kurang lebih serupa yang terjadi saat kolonial walau dalam format yang berbeda. Sebut saja kasus yang sempat santer diperbincangkan yakni Mesuji. Akhir tahun 2011, wilayah perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, dimana para petani berupaya meminta keadilan terhadap hak atas tanah mereka. Akan tetapi, oleh perusahaan yang bertanggungjawab lantas mengerahkan pasukan keamanan termasuk TNI dan POLRI hingga peristiwa ini memakan korban[15]. Bukankah ini salah satu praktik kolonial? Memaksa rakyat bahkan mengancam sampai menelan korban jiwa. Sebagai bangsa yang terkenal dengan semboyan “musyawarah dan mufakat” ini merupakan salah satu contoh dari banyak kasus yang  menampar wajah Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Selain itu, juga kasus-kasus yang serupa terjadi di kepulauan Kalimantan Barat, seperti paman dari penulis (saya) harus mendekam tiga bulan dalam penjara akibat mempertahankan tanah perkuburan nenek moyang yang akan digusur oleh perusahaan swasta milik asing. Kasus yang tak kalah memilukan, datang dari Kalimantan Timur dengan adanya pembunuhan massal terhadap orang hutan. Sayembara untuk membunuh orang hutan dan monyet yang dianggap hama bagi perkebunan sawit  dengan membayar kepada masyarakat  1 juta per orang hutan dan 200 ribu monyet per ekornya[16] bukankah binatang tersebut termasuk yang dilindungi pemerintah. Dengan demikian maka retorika kolonial kian marak bahkan semakin kuat pengaruhnya. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Jinan[17], dari suku Daya Muluy, Passer, Kalimantan Timut. Ia menyatakan bahwa saat ini lembaga adat telah berkejasama dengan pengusaha untuk mempengaruhi warga agar penguasaan tanah lebih mudah. Adapun bujukannya berupa memberikan hadiah dan janji, ada yang menawarkan sepeda motor, janji pembangunan jalan namun kami tak mau karena hutan itu hidup kami.
Korban Tidak Berdosa dari Kilauan Sawit
Hal  serupa juga terjadi didaerah penulis (saya) yang mana para pengusaha mengiming-imingkan perkejaan dikebun kelapa sawit, dengan menukarkan 1 hektar tanah dan biaya sewa 300 ribu. Walau penduduk lokal yang diangkat hanya sebagai mandor, tapi bagi warga sudah merupakan posisi yang bergengsi. Perlu diterangkan juga bahwa penulis berasal dari Kalimantan Barat, Kabupaten Bengkayang, Kecamatan Seluas yang termasuk daerah perbatasan antara Malaysia dengan Indonesia. Selain itu, para pengusaha, juga menjanjikan bantuan listrik seperti yang dilakukan oleh Malaysia terhadap beberapa wilayah perbatasan. Betapa hebatnya drama kolonial yang dimainkan para pemilik modal dalam mencari perhatian masyarakat. Berbagai janji-janji dilontarkan demi terpuaskan hasrat kolonialnya.
Retorika yang berkembang dalam perkebunan kelapa sawit saat ini  merupakan kolonial model baru atau neokolonial. Seperti yang tertulis dari buku Empire karya Hardt dan Negri[18] yang menyatakan bahwa, “in contrast to Imperialism, Empire establishes no territorial center of power and does not rely on fixed boundaries or barriers” lebih lanjut lagi diterangkan,  Empire manages hybrid identities, flexible hierarchies and plural exchanges through modulating networks of command. Berdasarkan pernyataan di atas maka diketahui dapat kalau wajah global saat ini sudah berbeda dengan masa kolonialisme. Penjajahan model baru ini, sudah tidak dapat dirumuskan secara pasti para pelakunya dibandingkan masa kolonial hal ini dikarenakan kepentingan yang didalamnya telah mencair dan mempengaruhi semua aspek yang terlibat didalamnya. Apalagi tragisnya, bentuk yang baru ini telah  merampas kedaulatan negara. Jadi, dari nasional menjadi organisasi supranasional yang tunduk pada suatu peraturan. Oleh sebab itu, maka  tidak dapat lagi merumuskan oposisi biner diantara penjajah dan terjajah. Jika demikian bagaimana nasib petani-petani sawit? yang hidupnya akan semakin terjepit diantara raksasa-raksasa global.
Sebagai catatan penutup disini, bahwa tampak jelas retorika kolonial masih terus hidup bahkan semakin digalakan. Dalam hal ini, penulis juga mengakui pentingnya komoditas sawit. Namun bagaimana dengan pemandangan sosial maupun ekosistem yang disebabkan perkebunan kelapa sawit tersebut. Bak seorang predator yang kelaparan, perkebunan sawit terus memakan lahan-lahan demi meningkatkan hasil produksi. Hutan dalam sekejap mata disulap menjadi hutan sawit (bila tidak ingin disebut perkebunan versi pengusaha). Dengan berbagai retorika yang dilancarkan baik pemerintah maupun pengusaha yang ditujukan pada petani sawit untuk mengenjot hasil produksinya. Tampak jelas bagaimana petani terjepit dalam dua kubu yang berseteru yakni retorika yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pengusaha dengan LSM-LSM yang katanya memihak petani sawit. Jika pihak yang satu justru menganjurkan maka pihak yang lain menolaknya. Dalam situasi tersebut pantaslah kita harus kembali ke masa kolonial sebagai titik awalnya komersialisasi sawit.
Sudah seperti yang disinggungkan sebelumnya bahwa cirikhas dari munculnya retorika kolonial ialah motivasi mendapatkan keuntungan besar namun biaya produksi rendah termasuk tenaga kerja yang murah. Hal inilah yang terus menerus menyemangati retorika-retorika kolonial hingga bisa kita kategorikan yang mana retorika kolonial. Tanpa bermaksud memihak salah satu kubu tersebut. Bila sawit memang mendatangkan  keuntungan  dan  kesejahteraan bagi rakyat seperti yang disebutkan dalam akun resmi Ditjen Perkebunan tersebut, lantas mengapa dari beberapa kasus-kasus yang sudah sempat disinggung di atas justru para petani-petani yang kerapkali dirugikan?   Seolah-olah berlaku prinsip sadhumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati (sejari kepala, sejengkal tanah, dibela sampai mati)[19]. Prinsip yang terkenal dari Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda. Perang yang pecah tahun 1825 hingga 1830 dikarenakan Belanda merampas tanah makam leluhurnya. Zaman memang berubah namun masalah sengketa tanah antara petani-petani dengan pengusaha dan pemerintah belum berakhir. Mengingat, betapa kompleksnya persoalan retorika kolonial dalam persawitan maka paper ini tak dapat menuliskan keseluruhannya dan masih jauh dari sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Ditjenbun. 2013. Kelapa Sawit Sumbang Ekspor Terbesar Untuk Komoditas Perkebunan.
Hardt, Michael dan Negri, Antonio. 2000. EMPIRE. United States of America: President and Fellows of Harvard College
GAPKI.2013. Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global.Jakarta. Ebook PDF

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu. Kelapa Sawit: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media
Mardiyah Chamin, dkk. Raja Limbung: Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia. Jakarta: SAWIT WATCH dan TEMPO INSTITUTE
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media
Soemartojo dkk. 1984. Perkebunan Indonesia di Masa Depan. Jakarta: Penebar Swadaya









Tempe Goreng Berdarah

Setiap kali aku makan tempe goreng
setiap kali pula aku harus meminta maaf
kepada suku anak dalam
kepada orang-orang dayak
bahkan juga kepada orangutan

Sebab...
tempeku digoreng dengan minyak
yang perkebunannya disuburkan
dengan darah mereka semua!
Para manusia sederhana
serta hewan tak berdosa

Pada setiap gigit renyah tempe goreng itu
menetes darah
melumuri ini wajah
merah


Surakarta, 21 Desember 2013
@KalongGedhe (Padmo Adi)



[1] Mardiyah Chamin, dkk. 2012. Raja Limbung: Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia. Jakarta: Sawit Wacth dan Tempo Institut, hlm, 14
[2] Ibid, hlm 52

[4] Ibid, hlm viii
[5] Idem
[6] GAPKI.2013. Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global.Jakarta, hlm, 45
[7] idem
[8] Ibid, hlm 46
[9] Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu. 1991. Kelapa sawit: Kajian Ekonomi-Sosial. Yogyakarta: Aditya Media, hlm 13
[10] Idem
[11] Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: kajian sosial-ekonomi,. Yogyakarta: Aditya Media, hlm:83
[12] Ibid, hlm 84
[13] Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu op.cit. hlm, 14-15
[14] Mardiyah Chamin, dkk, op.cit hlm; 64
[15] Mardiyah Chamin, lo.cit, hlm viii
[16] Ibid, hlm 185
[17] Ibid ,hlm, 202
[18] Hardt, Michael dan Negri, Antonio. 2000. EMPIRE. United States of America: President and Fellows of Harvard College, hlm: xii-xiii
[19] Mardiyah Chamin, op.cit, hlm 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar